36: Salah Persepsi
Hari ini Danish pulang dari rumah sakit setelah satu minggu dalam perawatan pasca operasi. Ia masih mengenakan arm sling, masih harus pemulihan dengan terapi sampai benar-benar bahunya aman untuk beraktivitas sehari-hari.
"Biar aku aja." Danish meraih tas berisi baju-bajunya selama di rumah sakit.
"Nggak usah. Kan, kamu habis dirawat." Nara menepis pelan tangan Danish dari tali tas.
"Yang sakit tangan kananku, tangan kiriku sehat, kok. Sini biar aku aja, aku nggak tega lihat kamu bawa tas sebesar itu." Danish kembali meraih tali tas, menarik tali itu untuk digantung di tangan kirinya.
"Kak, kamu lupa? Aku mantan atlet, loh. Banting orang aja aku kuat."
Danish menunduk, mendekat ke wajah Nara, karena memang tinggi Nara hanya sebahunya. "Mau kamu atlet angkat besi pun, aku tetep nggak mau kamu bawa tas ini. Sini, biar aku aja."
Nara tersenyum merasa salah tingkah, pipinya mengembang terasa panas.
"Meledak nanti tuh pipi," celetuk dari arah sofa, Marvin berekspresi setengah geli melihat pemandangan detik ini. "Kalau pacaran di rumah aja, deh. Nggak usah di depan jones gini."
Nara melirik Marvin dengan tatapan 'ganggu aja, sih.'
"Sebenarnya kamu ke sini itu mau jemput Kak Danish atau cuma mau jadi komentator. Bantuin bawa, kek, berat tuh."
Marvin berdiri dari sofa, "Iye, iye. Sini, Nish." Pria itu merebut tas di tangan Danish, kemudian berlalu menuju pintu, "Pulang, pulang."
Nara berdecih kesal menatap punggung Marvin yang menghilang di balik pintu perawatan, sejak empat hari yang lalu atasannya itu cukup menganggu. Padahal hubungan Nara dan Danish sedang ditahap pendekatan setelah keduanya berdamai untuk kembali bersama. Seperti tidak tahu kondisi dan situasi, Marvin tiba-tiba datang dan menjadi penganggu.
"Kenapa, sih, Karin itu sulit banget dideketin! Gue kurang ganteng gimana coba?" Tiga hari yang lalu, datang-datang mencurahkan patah hatinya karena ditolak Karin. Padahal waktu itu Nara dan Danish sudah berusaha keras untuk beradaptasi dengan hubungan mereka. Marvin datang-datang curhat seperti orang gila.
"Gue sengaja ngerusakin sepeda listrik nyokap biar cari kesempatan di bengkelnya. Tapi, dia malah ngusir gue. Dia tahu kalau gue sengaja ngerusakin sepeda itu. Cenayangkah dia? Kenapa gue jatuh cinta sama cewek batu, sih?" Dua hari yang lalu, nangis-nangis seperti anak kecil yang kehilangan mainannya, berguling-guling di lantai rumah sakit.
Kemarin saat Danish dan Nara serius sedang membicarakan hubungan mereka dan nyaris untuk bertemu kembali dalam ciuman. Tiba-tiba Marvin membuka pintu, mencebik bibirnya seperti anak yang mengadu pada orang tuanya.
"Dia ngusir gue lagi! Dia nendang 'burung' gue! Sakit, Danish. Hati gue sakit. Tolong peluk gueee..." Danish yang seharusnya memeluk Nara, malah sering memeluk Marvin yang sedang patah hati.
"Aaauh!" Nara geregetan mengangkat tinjunya ke arah Marvin pergi. "Kalau bukan atasanku di kantor, udah aku ... uuurgh!"
Danish tertawa kecil melihat tingkah gemas Nara yang sedang kesal. Gadis itu kembali seperti dulu, menggemaskan dan juga setengah menyebalkan. Tingkah yang menyumbang perasaan Danish semakin berkembang dari rasa sebal menjadi rasa rindu hingga jatuh pada rasa sayang dan cinta.
"Ayo," ujar Danish sembari mengulurkan telapak tangan kirinya.
"Hm?" Nara mengerutkan kening menatap telapak tangan Danish, ekspresi kesalnya berubah saat menatap Danish "Mau minta apa?"
"Minta tangan kamu. Sini."
Pipi Nara kembali mengembang karena garis senyum yang tak dapat ditahan. Perlahan ia mengulurkan tangan di atas telapak tangan suaminya, Danish menyambut itu dengan senyuman yang sama. Jari mereka bertaut, bergandengan tangan.
"Yuk, pulang. Aku jamin nggak akan ada yang ganggu lagi kalau di rumah."
Nara hanya menggigit bibir menahan senyumannya agar tak semakin melebar.
Seperti pasangan yang baru jadian, masih mempunyai batas rasa canggung dan rasa salah tingkah. Berjalan dengan kikuk sepanjang lorong rumah sakit hingga ke lobi, sesekali melempar senyum saat tak sengaja kontak mata.
Terdengar helaaan napas panjang dari mata iri yang sedang bersender di mobil menuggu mereka, satu bibirnya terangkat mengekpresikan kegelian melihat tingkah sahabatnya yang seperti anak SMA yang baru pacaran.
"Apaan-apaan mereka? Kek bocil baru pacaran aja." komentarnya sembari membuka pintu depan mobil.
Danish membuka pintu tengah, mempersilakan Nara untuk naik. Kemudian pria itu menyusul, duduk di tengah bersama Nara. Marvin yang membukakan pintu untuknya itu detik ini melongo, terkacangi.
"Danish! Ini gue bukain pintu buat lo, ya!"
"Aku duduk di sini aja." Danish menoleh sembari tersenyum ke Nara, "Aku nggak mau biarin istriku duduk sendirian."
"Aku nggak apa-apa, kok, duduk sendiri." Nara terlihat kembali salah tingkah.
"Aku, kan, udah janji, aku pasti selalu di sisimu."
Marvin tertawa keras, tertawa kesal, "Hahaha, ikan sepat ikan..."
Danish melirik dengan tajam, ia tahu apa yang akan disemburkan bibir sahabatnya itu.
"Patin. Astagfirullah, ya, batin, kuat-kuat ngeliet keuwuan ini. Hahaha," ralat Marvin sembari menutup pintu depan. "Gwencana abdi gwencana..." ocehnya seraya duduk di belakang kemudi.
Mobil melaju meninggalkan halaman rumah sakit, melalui spion belakang terlihat sepasang mata iri melihat atmosfir yang berbeda di jok belakang. Atmosfir di belakang berwarna merah muda dengan banyak blink-blink yang bertaburan, berbeda dengan atmosfir di depan yang suram penuh dengan kedengkian, meratap karena cintanya ditolak berulang kali.
"Eh, kalian. Gue ingetin barangkali lupa," ujar Marvin.
Nara dan Danish yang sedang sibuk dengan rasa canggung mereka, menoleh ke depan.
"Kenapa, Kak?" sahut Nara.
"Kalian itu udah suami istri. Bukan bocil baru pacaran, ya. Nggak usah malu-malu gitu. Geli gue lietnya, anjir. Lo dulu sama Isabel nggak kayak gini, deh, Nish."
Botol minum di pintu itu terlempar ke kepala Marvin.
"Diem, nggak?"
"Astaga, Danish, kalau gue oleng gimana? Nyetir nih, gue!"
Nada dan tatapan Danish terdengar kesal, bukan karena Marvin menggoda mereka, tetapi karena satu nama yang disebut Marvin membuat pria itu mengancam melalui tatapannya. Marvin meneguk ludah, menyadari bibirnya yang kebablasan.
"Dulu Kak Danish sama Isabel kayak gimana emangnya, Kak?" tanya Nara tiba-tiba, mencondongkan tubuhnya ke depan mendekat ke Marvin.
"Nggak usah penasaran, Nara," ujar Danish tidak ingin ada masalah di antara mereka.
"Emmm..." Marvin melirik Danish melalui spion, tatapan Danish langsung menghujam tajam penuh ancaman ke arah pria itu. "Takut gue sama suami lu."
"Kita barter info aja. Aku bakalan kasih tahu tips deketin Karin, Kak Marvin barter info tentang gimana Kak Danish dulu waktu sekolah sampai kuliah, hm?" tawar Nara.
Marvin kembali melirik Danish, sahabatnya itu masih memberi tatapan ancaman yang sama. Marvin menghela napas panjang, terlihat wajahnya frustasi.
"Gimana?"
"Sorry, Nish. I'll take it, Ra! Lo jual, gue beli!" Wajah frustasi Marvin sekejap hilang, mantap menyetujui barter.
"Serah kalian!" Danish merebahkan punggungnya di sanggahan kursi, memalingkan wajah ke kaca mobil. Terlihat kesal.
Nara mengejar tatapan Danish, mendekat ke pria itu yang kini terkesan menghindar karena marah pada Nara, mencari biang keributan yang sesungguhnya tidak perlu. Hubungan mereka sedang menuju baik, membahas masa lalu hanya cari penyakit saja.
"Ngambek?"
"Nggak, biasa aja," jawabnya meski kontradiksi dengan raut dan nadanya yang jelas terlihat kesal.
"Beneran ngambek," cicit Nara. "Aku, kan, pengen tahu kamu kayak gimana dulu waktu sekolah. Emang salah, ya?"
Danish hanya bergeming.
Nara tertawa kecil, "Beneran ngambek ternyata. Ya, udah kalau gitu, aku duduk di depan, ya? Aku mau barter informasi sama Kak Marvin."
Danish menoleh dengan tatapan tak percaya, sudah tahu suaminya lagi ngambek, bukannya minta maaf dan dibatalkan barternya. Nara malah mau pindah duduk di depan demi meyukseskan barter informasinya dengan Marvin.
"Kak Marvin, nepi, deh. Aku mau duduk di—"
"Nggak boleh. Di sini aja. Barter informasinya bisa kapan-kapan." Danish menarik bahu Nara dengan tangan kirinya, merangkul gadis itu agar tak jadi pindah ke kursi depan. "Vin, awas kamu kalau sampai cerita macem-macem."
Marvin tertawa, "Hahaha. Tenang aja, tenang, Bro."
***
Bukannya langsung pulang, Marvin lagi-lagi tidak peka dengan tatapan sahabatnya. Pria itu menagih barter informasi dengan Nara, ia sudah kepalang frustasi menghadapi Karin dan ingin segera mendengar tips untuk bisa mendapatkan hati perempuan kepala batu itu.
"Vin, kamu serius? Pulang, nggak!" usir Danish saat Nara ke dapur untuk mengambil minuman.
"Kenapa, sih, Bro? Ini tuh demi masa depan gue, Bro. Udah, deh, sabar. Lagian, lu mau ngapain sama tangan yang diiket satu itu?" Senyum Marvin meledek.
Danish melempar bantal sofa dengan jengkel.
"Kalian dulu juga sering berantem gini, ya?" Nara datang membawa tiga botol minum kemasan dingin, diletakkan di meja. "Cerita, dong, cerita!"
"Nara, Marvin harus ke kantor—"
"Kantor udah bubar kali, Nish. Noh, liat jam lima sore." Marvin meraih salah satu botol, meneguk setengah isinya. "Jadi, kita mulai barternya, ya."
"Yuk, yuk. Kamu dulu, Kak. Jadi, dulu Kak Danish waktu SMA gimana?"
Danish mendengus kesal, padahal sejak beberapa hari yang lalu Nara terganggu dengan kehadiran Marvin, tapi sekarang apa? Istrinya malah bersemangat untuk saling menukar informasi dengan sahabat tak peka satu itu.
"Enjoy!" sarkas Danish sembari bangkit dari sofa, ia berjalan masuk ke kamar. Sempat menoleh dan berharap Nara akan mengikuti langkahnya, tetapi harapan tinggal harapan. Raut gadis itu antusias mendengar informasi yang disampaikan Marvin.
Danish hanya menghela napas panjang sembari berdecak kesal. Di tepi ranjang, ia duduk mencari cara agar Marvin pergi dari rumahnya. Setelah beberapa menit, akhirnya ketemu ide.
"Ra, kemejaku yang putih di mana, ya?" Danish muncul di pintu.
"Di lemari tengah, Kak, aku gantung di situ," jawab Nara menoleh sebentar, "Terus, terus, gimana?" tanyanya pada Marvin meminta kelanjutan cerita.
Usaha tidak berhasil. Pria itu memutar otak kembali.
"Ra, aku mau mandi, bisa bantu bukain arm sling-ku?" Danish yakin Nara tidak akan menolak.
Tidak ada jawaban dari Nara, gadis itu tengah serius mendengar Marvin, sesekali mengangguk-angguk dan juga melempar kalimat setengah berbisik. Terlihat sebuah konversasi dua arah yang sangat serius di antara Nara dan Marvin.
"Nara?"
"Iya, Kak, sebentar!" Nara kembali melanjutkan kalimatnya kepada Marvin setelah menjawab panggilan Danish. "Pokoknya kamu jangan sampai terlalu memaksa, biarin apa pun mengalir alami. Dia suka touring, kalian juga, kan? Coba tawarin kontes atau event. Jangan sesekali kasih kado, dia paling nggak suka. Dia terlalu independent women sampai—"
"Sampai kapan kalian ngobrol? Udah mau magrib," sahut Danish yang tiba-tiba sudah di belakang sofa yang diduduki Nara.
Marvin mendongak ke arah Danish, wajah pria itu terlihat tidak bersahabat. Tiba-tiba Marvin berdiri, "Ra, barternya dilanjut besok. Suami lu lagi hulk mode on."
Nara menoleh ke belakang, Danish terlihat tersenyum tipis ke arahnya. Kontrakdiksi dengan sorot mata dan wajahnya yang menelan kesal.
"Jangan lupa besok masuk kantor, Nish! Kerjaan lo numpuk!" Marvin menghilang dari balik pintu. "Nara, sampai jumpa di kantor! Kita lanjut besok, ya!"
Nara berdiri, "Iya, Kak, hati-hati di jalan. Makasih, ya, bantuannya. See you!" Gadis itu tertawa kecil, tidak menyadari sedang membuat suaminya kesal. Kemudian ia menoleh ke Danish dengan melompat kecil, "Aku udah dapet beberapa aibmu waktu SMA!" ucapnya sambil bernada meledek.
"Seneng?" Nada Danish terdengar menahan kesal.
"Hm! Belum, sih, aku harus tahu semuanya tentang kamu. Termasuk waktu kamu pacaran sama Isabel."
"Oh, ya? Demen banget nyari penyakit, lupa kalau pernah hampir nggak mau aku nikahin gara-gara cemburu sama Isabel?" gerutu Danish.
"Sekarang aku udah nggak cemburu. Kan, kamu... udah jadi milikku," sanggah Nara dengan nada pelan di akhir kalimatnya. "Mau mandi? Sini aku bantu buka arm sling-nya." Nara mendekat dan meraih tautan kunci pada arm sling di bahu Danish.
"Udah, hati-hati, ya," ucap Nara selesai membantu melepas arm sling Danish.
"Bukain bajunya juga."
"Hm?" Nara mengerutkan kening sebentar, "Ini dilepas sendiri, bisa, kok, Kak. Kan, kemeja bukan kaos."
"Nggak bisa, bukain."
"Kemarin, kan, bi—sa..." Nara menelan ludah saat menyadari tatapan suaminya yang memburu seperti elang yang membidik mangsanya. "Tanganmu masih sakit, Kak."
"Terus?"
"Ya ... kita harus nunda. Kan?"
Danish mengerutkan kening sembari tersenyum miring. Ia menunduk mendekat ke wajah istrinya yang tiba-tiba terlihat memerah. "Memangnya kamu pikir aku nggak bisa pakai satu tangan?"
"Hm?" Spontan wajah Nara tersiram kegugupan. Matanya membulat, mengerjap dengan bibir yang berkedut. Ada kalimat yang ingin dilontarkan, tetapi tertahan di tenggorokan. Dadanya berdebar kencang. "Emangnya... bisa?"
Danish menelengkan kepala dengan mengerutkan kening, "Kan, pakai shower bukan gayung."
"Pakai—hah?" Otak Nara berproses untuk sekian detik, "Hahaha..." tiba-tiba ia tertawa sumbang. "Mandi, ya?"
Danish berdiri tegap, "Hm, memangnya kamu mikir apa?"
"Mandi! Iya, mikirnya juga itu, mandi. Sini aku bantu lepas kemejanya."
Nara melepas kancing kemeja Danish satu persatu dengan menahan malu yang berton-ton menindihnya. Sementara Danish menatap Nara dengan menahan senyum, sukses mengerjai istrinya itu. Betapa imutnya, batinnya saat melihat pipi Nara yang merona gugup karena salah persepsi.
"Hati-hati, ya, di kamar mandi," ucapnya selesai membantu melepas kemeja Danish.
"Ikut aja kalau khawatir."
"Hahaha..." Nara tertawa sumbang, "No, thanks. Aku mau ngeluarin baju-baju kamu di tas." Secepat kilat gadis itu meraih tas yang dibawa dari rumah sakit kemudian berlari ke balkon, tempat di mana mesin cuci berada.
Di sana pula ia merutuki pikiran kotornya, "Malu banget, Ya Allah ..."
***
Danish mode bucin, sedang dimulai 😫
Vote 500 bisa ga? Ayo vote dan komen sebanyak-banyaknya biar semangat nulis authornya 😎‼️
see you next part ❣️
With Love, Diana Febi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro