35. Jungkat-Jungkit
"Kamu ngapain di sini? Kamu tuh habis operasi, balik nggak ke rumah sakit?" omel Nara.
"Kamu ke mana aja? Aku nunggu kamu di rumah sakit."
Gadis itu tampak lelah dengan sikap Danish, membuat Nara muak dan tidak tahan. Ditambah lagi kesal karena melihat pria itu keluar dari rumah sakit padahal tiga hari yang lalu baru saja menjalani operasi.
"Aku telpon pamanmu, biar kamu dijemput dan kembali ke rumah sakit!" Nara melangkah menuju meja kamarnya, mengambil charger untuk mengisi daya ponsel.
"Nara?"
Nara tidak menggubris, ia menancapkan charger di stop kontak kemudian menghidupkan ponselnya. Entah bagaimana Danish bisa sampai di sini dan membuat benak dan hati gadis itu tak bisa beristirahat. Hubungan mereka seperti jungkat-jungkit yang naik turun, begitu juga dengan sikap Danish yang abu-abu. Tidak jelas.
Ponsel Nara hidup, terlihat notifikasi beberapa pesan dan panggilan tak terjawab. Semua notifikasi itu digulir, Nara mengetuk ikon kontak untuk menelpon paman Danish. Malam ini Nara sudah putuskan, untuk turun dari jungkat-jungkit hubungan mereka.
"Aku sayang kamu, Ra."
Deg. Jantung Nara seolah kehilangan detak untuk beberapa detik. Jarinya menggantung di atas panel panggil pada kontak paman Danish, urung untuk menelpon.
Bukankah itu yang ia tunggu? Kalimat yang akan mereda permainan jungkat-jungkit di hubungan mereka? Kalimat yang akan menghentikan tarik ulur, yang akan memberi kejelasan arah mana hati dan teguh Nara akan bertaruh.
Nara membalikkan badan, menghadap Danish. Di sana ia lihat mata pria itu sudah memerah, menatap Nara tanpa berkedip.
"Aku ke sini karena mau bilang itu. Aku udah nunggu kamu dari kemarin, tapi kamu nggak dateng ke rumah sakit. Jadi, aku yang cari kamu, aku yang datangi kamu."
Nara masih mematung. Setelah mendapatkan apa yang ia tunggu, mengapa hatinya bimbang, apakah pernyataan cinta Danish berdasarkan perasaan atau hanya ingin mempertahankan status demi melanjutkan rencana kudetanya?
"Aku nggak percaya."
Danish mengangguk, memaklumi rasa percaya Nara yang telah berkeping sejak di hari gadis itu tahu kebohongan Danish.
"Aku juga nggak percaya dengan apa yang aku rasa, Ra. Tapi, aku beneran sayang sama kamu, aku nggak mau cerai sama kamu, aku nggak mau nikah sama perempuan lain selain kamu."
Danish mengatur napasnya, meredam perasaan emosional yang meraksasa detik ini, ia harus bisa melanjutkan kalimatnya dengan benar sebelum Nara berubah pikiran untuk mau mendengarkan.
"Alasanku sempat ingin menceraikanmu bukan karena aku belum sayang sama kamu, tapi aku nggak mau membawamu terlalu jauh. Aku berpikir kalau keputusanku salah menyeretmu ke masalahku dengan ayah. Setelah kamu pergi dari rumah, aku sadar aku nggak mau melepasmu. Kecelakaan itu juga sempat membuatku nyerah untuk mempertahankanmu, Ra. Tapi, sekarang aku benar-benar nggak mau melepasmu."
Nara menilik manik Danish dalam-dalam.
"Sepertinya aku jatuh cinta sama kamu, Nara."
Sesuatu seperti kepak-kepak riang yang menggelikan berdesir di perut dan dada Nara. Dentum-dentum jantungnya terasa sekali, embus napasnya pun diatur pelan yang sedikit menyesakkan. Jika detik ini kepalanya tidak terbalut hijab, mungkin Danish akan melihat telinga Nara yang memerah karena terasa panas.
"Karena itu aku meragu buat membawamu dalam perangku, aku takut kamu kenapa-napa. Aku berusaha cari cara yang lain, tapi aku buntu. Aku nggak mau melepasmu, tapi aku juga nggak mau membawamu ke medan perangku, Nara." Danish menggigit bibir sebentar, satu bulir air mata yang sejak tadi terbentung mengalir di pipi. "Aku harus gimana?"
Senyap untuk sesaat, ruangan kamar penuh dengan perasaan emosional di hati masing-masing. Selama ini Nara seperti melihat danau yang tenang dalam diri Danish, entah apa yang ada di dalam danau tersebut. Nara tidak dapat menebaknya.
Namun, perlahan seolah danau itu memperlihatkan riaknya. Danau setenang itu ternyata memiliki arus yang hebat, yang membuat siapa pun hanyut dan tenggelam di dalamnya. Seperti Nara yang detik ini kian lama kian hanyut dalam perasaan dan juga mulai tenggelam di dalam danau milik Danish. Raut kesalnya perlahan berubah menjadi raut kesedihan.
"Aku harus gimana, Ra?" Danish tersenyum tipis, kontradiksi dengan buliran bening yang mengalir di pipinya.
Sewaktu putus dengan Isabel, Danish tidak pernah sehebat ini rasa kalutnya. Padahal gadis itu sudah bersamanya selama bertahun-tahun. Pada saat Isabel menikah dengan pria lain, Danish hanya terluka dengan tenang. Air matanya tak pernah menitih sebulir pun. Namun, di hadapan Nara sekarang, jangan, kan, untuk menangis, berlutut pun sanggup untuk dilakukan.
Mengingatkannya pada tujuh tahun silam saat berlutut meminta maaf kepada ibunya sesaat sebelum hengkang dari Pendopo Agung. Danish baru sadar jika cinta yang tumbuh kepada Nara sudah sebesar itu. Hanya saja selama ini ia sulit untuk mengakui.
Perlahan kaki Nara mengayun mendekat tanpa melepas pandangan ke mata Danish yang penuh dengan air mata. Seperti gerakan ragu, dua tangannya diangkat lalu diselipkan di bawah jaket Danish. Kepalanya direbahkan pelan pada dada pria itu, memeluknya.
Kening Danish jatuh pada pundak Nara, menangis sesegukan di sana. Selama ini ia melampaui segala trauma sendirian, sekarang ia telah menemukan sebuah rumah untuknya bersandar, mengadu, dan juga menangis. Perasaannya campur aduk, seperti bertemu dengan kepingan yang hilang dari puzzle hidupnya.
Rasa nyaman, syukur dan juga rasa tenang hadir dalam satu pelukan. Meski tidak ada kalimat yang terucap, tetapi eratnya saling mengutarakan.
***
Senyap, hanya ada suara detak jantung dan embusan napas dari keduanya yang kini duduk di tepi ranjang. Terhanyut dalam pikiran dan perasaan masing-masing, pengungkapan cinta yang membuka segalanya yang buntu, menghentikan jungkat -jungkit yang memuakkan.
"Kamu nggak pernah tahu surat itu di mana?" Nara membuka kalimat setelah sekian menit menata rasa gugup.
"Hm. Mama nggak pernah bilang."
"Kemungkinannya di mana?"
"Edinburgh, tempat mama sekolah dulu. Salinan surat itu malah ada di mendiang mamamu dan dikembalikan papi ke Tante Marida saat mereka reuni waktu itu. Tapi, papi nggak pernah tahu isi surat itu."
"Atau jangan-jangan di sini juga?" Nara menoleh, menatap Danish yang sesaat kemudian pria itu turut menoleh dan menatapnya.
"Kalau pun ada di sini, pasti papi juga tahu."
"Iya, sih." Nara mengangguk-angguk sembari kembali menghadap ke arah jendela.
"Nara?"
"Hm?" Nara kembali menatap.
"Kalau kamu ikut berperang lalu kamu hamil, banyak hal yang akan berubah." Nada kalimat Danish terdengar serius. Tatapannya tak dapat dikelabui bahwa banyak ketakutan yang terpancar dari sorotnya.
Nara sedikit tertegun dengan kalimat Danish, tercekat untuk beberapa detik sebelum menanggapi kalimat pria itu. "Apa yang akan berubah?"
"Aku akan pindah ke Thunder Holdings menggantikan posisi paman."
"Lalu?"
"Kamu harus resign dari kantor Marvin. Aku nggak mau ngebahayain kamu di luar rumah tanpa pengawasanku."
Nara menelan ludah, setengah hatinya berat mendengar itu. "Selanjutnya?"
"Kamu nggak bisa hidup bebas selama kudeta ini berlangsung. Kamu bisa jadi dalam bahaya, papaku pasti mengincarmu. Sebelum kamu hamil, aku usahain pindah ke perumahan yang lebih aman, yang nggak sembarang orang bisa masuk."
Sepertinya ini memang benar-benar perang.
"Tapi, kamu akan selalu di sisiku, kan?"
"Tentu."
Nara mengangguk pelan, meski dalam hatinya muncul sebuah ketakutan. Benaknya mengulang kalimat Dinda bahwa ia akan berusaha untuk mendukung suaminya, menjalani taat meski harus mengorbankan keselamatan dirinya sendiri. Cinta akan membersamai dan saling menguatkan satu sama lain.
"Aku minta maaf," ucap Danish seraya tangannya meraih jemari Nara. "Maaf karena sudah jatuh cinta sama kamu dan nggak mau ngelepas kamu, membawamu ke bidak catur peperanganku dengan ayah. Aku minta maaf."
"Kamu pasti ngelindungin aku, kan?"
"Hm. Dengan nyawaku, aku pasti ngelindungin kamu."
Nara tersenyum, "Kalau begitu mari hadapi bersama, membawa mamamu keluar dari sana dan hidup berkeluarga dengan tenang, hm?"
Danish mengagguk, turut tersenyum. "Terima kasih, Ra."
Detik demi detik berlalu, tatapan terus bercengkerama ditemani degub debar yang mengalun hampir bersama. Pandangan mata Danish turun ke dua belah bibir yang merah pucat milik Nara, sedetik kemudian kembali ke manik perempuan itu yang mengerjap sadar ke mana arah pandang Danish jatuh pada sedetik yang lalu.
"I love you, Naraina..." Tangan kiri Danish meninggalkan jemari Nara di tepi ranjang, menyentuh perlahan pipi gadis itu. "May I kiss you?"
Nara menahan napas sebentar. Pandangannya mati terkunci pada tatapan Danish.
"May I?" ulang Danish meminta izin untuk mencium Nara, "Kali ini dengan cinta, bukan desakan. Dan anggap yang waktu itu bukan ciuman pertama kita. Tapi, ciuman yang ini jadi ciuman pertama kita."
Suhu tubuh Nara mendadak naik dan pipinya terasa panas, degub jantungnya berdebar tidak keruan, berlomba dengan rasa geli, gugup dan canggung yang mampir secara bersamaan. Seharusnya Danish tidak perlu izin, izinnya membuat Nara frustasi bagaimana harus menanggapi.
Setelah dua menit berlalu, Nara menyerah dengan rasa canggungnya, gadis itu pun menjawab, "Hm. Silakan."
Danish sempat tersenyum tipis sebelum mendekat. Hingga napas mereka menyatu dan saling menyapa, Nara memejam. Secelah tipis bibir akan saling bersingunggan ditemani debar dan rasa gugup yang memburu secara bersamaan.
"Nara! Nara pulang ke sini, Nak?" Suara papi tiba-tiba terdengar dari arah tangga.
Nara spontan berdiri, kaget.
Sementara Danish hanya melumat bibirnya sendiri sembari tersenyum karena urung mencium istrinya itu. Pria itu membuka mata lalu mendongak melihat Nara tampak panik.
"Kak, ada papi!"
"Ya, terus?"
"Kamu sembunyi, gih, cepet!" Nara menoleh ke kanan kiri, mencari tempat persembunyian. "Bawah kasur bisa, nggak? Atau ... oh, di sini aja." Nara membuka lemari.
Danish melongo untuk beberapa detik, sebelum kemudian tertawa kecil.
"Ih, malah ketawa. Cepet, sembunyi!"
"Ya, kenapa harus sembunyi? Kita udah nikah, Ra. Salah kalau aku di kamar istriku sendiri?"
"O—" Nara baru sadar. Paniknya buyar seketika. Salah tingkah membuat ingatannya lupa kalau mereka sudah menikah. Kepalang malu, ia menutup lemari kemudian berjalan cepat ke pintu, "Iya, Pi! Papi dari mana?"
Gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Danish yang tersenyum lebar melihat lucu tingkah Nara. "Gemesin, MasyaAllah. Aku bakalan nyesel kalau ngelepas dia, Demi Allah." Pria itu menghela napas panjang sembari berdiri dari tepi ranjang.
"Aku pasti ngelindungin kamu, apa pun yang terjadi. Aku janji, Ra," monolognya sebelum menyusul langkah Nara keluar kamar.
***
Sementara itu di Pendopo Agung.
"Tabrak lari?" Candra baru mendapat laporan dari salah satu bawahannya, pria 60 tahun itu terlihat tersenyum sembari menyesap cerutunya. "Gimana keadaanya?"
"Sempat menjalani operasi, tapi keadaannya baik-baik saja, Tuan." Bawahannya itu membisikkan sesuatu kepada Candra.
Setelah mendengar bisikan itu, pandangan Candra beralih pada istri mudanya yang saat ini sedang berjalan di tangga. Mengenakan piyama dengan perutnya yang membesar. Sarah menangkap pandangan yang menyirat sesuatu dari suaminya itu.
"Ada apa?"
Candra tersenyum miring, ia berdiri dan berjalan mendekat ke Sarah.
"Kamu mencoba membunuhnya?"
Wajah Sarah terlihat tegang, bibirnya bergeming. Ia tahu peringai suaminya yang seperti monster yang tidak pandang bulu mencengkeram apa pun di bawah tangannya. Termasuk kepada Sarah meski sedang mengandung darah daging Candra.
"Kamu tahu, kan, sebentar lagi masa kampanye?"
"Tapi, aku nggak bisa diam aja, Mas. Bisa jadi anakmu sekarang merencanakan kudeta dan menghancurkan karirmu di politik. Kalau dia mati, kamu aman. Keluarga kita aman."
Candra tersenyum sembari ia menepuk-nepuk pipi kiri Sarah. Rasa tegang dan takut Sarah perlahan luruh karena mendapat respon yang baik dari suaminya. Namun, senyuman Sarah lenyap saat tepukan kecil tangan Candra berubah menjadi tamparan. Wanita itu terbanting ke lantai.
"Sudah aku bilang, jangan ngelakuin apa pun tanpa izin dan perintahku!" Urat-urat Candra mengular di lehernya, matanya mendelik di wajah yang merah padam. "Kalau sampai polisi mengusut dan datang ke rumah ini, kamu nggak cuma ngancurin karirku di politik, tapi ngancurin apa yang selama ini aku bangun!"
"Ampun, Mas, ampun..." Pipi Sarah memerah, menyeringai kesakitan.
"Mama!" Eran dari lantai atas, secepat kilat menuruni tangga saat melihat ibunya baru saja digampar oleh ayah tirinya. "Pa, mama itu lagi hamil!"
"Urus anakmu itu, jangan sampai membuat masalah selama masa kampanye!" Candra melenggang pergi keluar rumah diikuti dengan beberapa anak buahnya.
"Ma, mama nggak apa-apa?" Eran membantu mamanya untuk berdiri.
Tatapan Sarah memincing ke arah pergi suaminya. Bertahun-tahun menghamba pada manusia iblis seperti Candra, tak membuat Sarah menjadi istri yang dapat diperlakukan baik oleh Candra. Sarah seperti layaknya keset yang diinjak semua Candra, kemudian dicuci jika dibutuhkan. Namun, demi apa yang sedang bergelimang, Sarah mengusap air matanya. Hal ini lebih baik dibanding ia kembali pada jurang kemiskinan dan kehinaan.
"Temanmu yang menabrak Danish itu aman, kan?"
"Aman, Ma. Nggak usah khawatir. Dia cuma dituntut ganti rugi, aku sudah menjamin dan segera dibebaskan. Nggak ada masalah di kantor polisi."
Sarah mengembuskan napas lega, "Kalau Danish, gimana keadaannya sekarang?"
"Masih di rumah sakit. Apa perlu aku ngelakuin sesuatu?"
Sarah menggeleng. "Kamu nggak denger tadi? Untuk sementara jangan membuat masalah selama papamu masa kampanye."
"Jadi, dibiarin aja? Ma, gimana kalau Danish berhasil dapatin surat itu dulu?" Eran tidak terima, "Aku nggak mau kalau sampai keluar dari Pendopo Agung. Aku nggak mau balik ke rumah lama yang menjijikan itu lagi. Pokoknya aku nggak mau!"
"Memangnya kamu pikir mama mau jadi pemandu karaoke lagi?" timpal Sarah, "Untuk sementara kita ikuti rencana papamu. Tapi, mama tetap punya rencana lain."
"Apa itu?"
"Kalau kita sementara dilarang nyerang Danish, gimana kalau kita nyerang istrinya?"
Eran tertawa kecil, "Dia cuma istri batu loncatan. Nggak akan ngaruh buat Danish kalau kita nyerang istrinya."
"Siapa tahu?" Sarah mengusap pipinya yang panas bekas tamparan suaminya, tatapannya tajam menyiratkan kelicikan, "Kita buat istrinya pergi dari Danish. Dengan begitu, kesempatan Danish buat kudeta semakin jauh. Kalau kita nggak bisa menekan Danish buat menyerah, kita bisa menekan istrinya buat pergi dari Danish."
Eran mengangguk-angguk, "Di mana aku bisa dapat infomasi tentang istrinya?" tanya Eran diakhiri dengan senyuman penuh rencana licik.
***
Vote dan komen, ngga?!? Maksa niiih! 👊
Hahaha bercanda, tapi beneran, loh.
Btw, gimana part ini? Masih seru nggak?
Aku udah rajin update, jadi kalian harus rajin dukung aku terus yaaa 🤍
Follow tiktokku :dianafebi_ buat ikutin konten Nara dan Danish 👀
see you next part ❣️
next part kita kembali ke aturan awal : Nara si Cegil 😎
With Love, Diana Febi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro