Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34. Jangan Pergi


Sekitar jam dua siang Nara dipanggil ke kantor polisi, pelaku tabrak lari sudah ditangkap. Pelaku adalah seorang pemuda berusia 25 tahun, ia mengaku dalam pengaruh alkohol saat tidak sengaja menabrak Danish yang berdiri di trotoar. CCTV menangkap jelas kejadian tersebut sehingga pelaku dapat diringkus kurang dari 24 jam.

Ditemani papi, Nara memenuhi panggilan sebagai saksi. Setelah dimintai keterangan untuk melanjutkan kasus ke persidangan, Nara meminta untuk bertemu dengan pelaku.

"Kamu sengaja, kan?" Entah dari mana tekad Nara sehingga memberanikan diri untuk bertemu dengan pelaku yang menabrak Danish.

"Saya sudah bilang, Mbak, saya nggak sengaja. Saya mabuk," ucap pelaku berulang kali, dari penampilannya pun memang seperti pemuda urakan, bertato dan juga bertindik. Matanya yang memerah dan bibirnya yang menghitam menunjukkan bahwa ia memang pecandu alkohol.

"Kamu disuruh, kan?" Nara menatap tajam, sebenarnya ia juga bingung mengapa sebegitu yakin bahwa insiden ini adalah kesengajaan. Padahal seharusnya ia takut, menghindar, atau pergi dari Danish, tetapi ada amarah yang besar kepada pelaku karena telah melukai pria yang dicintai. Dan, Nara ingin membuktikan satu hal tentang perasaannya.

"Mbak, Demi Tuhan, saya nggak sengaja. Saya kabur karena saya panik. Tolong, maafin saya. Saya akan tanggung jawab, hukuman atau ganti rugi. Saya akan sanggupi. Saya beneran nggak sengaja." Namun, pelaku meyakinkan dengan nada dan raut wajahnya, bahwa memang benar tabrak lari itu tidak sengaja.

Nara mengembuskan napas panjang, ia memejam untuk beberapa detik meredam amarah kepada pelaku. Mau sebenci apa pun kepada Danish, pria itu tetap suami yang pernah dan masih amat dicintai. Melihatnya tersungkur di jalan dengan darah dan tidak sadar, kemudian harus dioperasi beberapa jam yang setiap detik menenggelamkan Nara dalam rasa takut kehilangan.

"Permisi. Kami akan membawa tersangka ke sel." Polisi menarik tangan pelaku yang diborgol untuk masuk ke sel untuk selanjutnya kasus akan lanjut ke persidangan, Nara tidak mencabut laporan meskipun itu tidak disengaja.

"Nara, ayo kita pulang, Nak. Kasusnya biar jadi urusan polisi." Papi turut masuk ke ruangan pemeriksaan, mengajak Nara untuk pergi dari kantor polisi.

Meski rasanya tidak lega, Nara tidak bisa berbuat banyak. Gadis itu menangguk menerima ajakan papinya untuk pergi dari kantor polisi. Sebelum berdiri, Nara menatap tajam pelaku yang sedang dituntun masuk ke dalam sel.

Pelaku menoleh ke Nara sebelum keluar dari ruang pemeriksaan, ujung bibirnya menyabit membentuk senyuman yang tipis. Spontan Nara berdiri, menatap tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Pelaku itu berbohong, ia memang sengaja menabrak Danish. Melihat bagaimana tatapan menang dan juga senyumannya yang licik itu.

Nara menggigit bibir dan juga mengepalkan tangan. Menahan amarah yang sudah siap meledak. Di sini ada papi, ia tidak mau sampai papi tahu masalah antara dirinya dengan Danish. Meski rasanya detik ini ingin menyeret pelaku dan memberinya pelajaran.

"Nara? Ayo, Nak," ajak papi lagi.

Langkahnya berat untuk beranjak, ia benar-benar ingin memberi pelaku pelajaran. Namun, demi papi, Nara menyambar tas dan beranjak dari sana.

Sepanjang jalan dari kantor polisi ke rumah sakit, Nara hanya diam menatap luar kaca mobil. Benaknya penuh dengan bermacam pertanyaan, tetapi satu pertanyaan yang masih tidak masuk di akalnya. Kenapa seorang ayah tega melakukan itu pada anaknya sendiri?

Sebagai anak yang dibesarkan dengan kasih sayang berlimpah dari sosok ayah, membuat Nara tidak percaya dengan kenyataan bahwa di luar sana ternyata ada seorang ayah yang tega ingin melukai anaknya sendiri.

Perasaan kasihan pada Danish tiba-tiba menyeruak, air mata kembali membendung di pelupuk mata. Membayangkan bagaimana menjadi Danish yang berusaha dilukai oleh ayahnya sendiri. Membayangkan bagaimana menjadi Danish remaja yang mengalami trauma hingga membuatnya menjalani operasi. Dada Nara terasa sesak detik ini.

"Cobaan menikah memang bermacam-macam, Nduk," ujar papi tiba-tiba. Sembari fokus mengemudi, ia juga memperhatikan kemelut dan perasaan sedih yang tengah dihadapi putrinya. "Ada yang dicoba dengan ekonomi, ada yang dicoba dengan mertua, ada yang dicoba dengan kegagalan, ada juga yang dicoba dengan kecelakaan seperti yang kalian alami sekarang."

Nara membiarkan air matanya mengalir, sembari menatap gedung-gendung yang silih berganti di luar sana. Bisingnya Kota Jakarta seolah kalah dengan bising di kepalanya saat ini. Cobaan seperti mengantre di depan Nara, ia tidak menyangka akan menjalani pernikahan seberat ini.

"Setiap pasangan yang menikah itu pasti mendapat cobaannya masing-masing. Pasangan yang terlihat harmonis, baik-baik saja, coba tanyakan, cobaan apa yang mereka hadapi. Menguji kita sebagai pasangan, menguji kita sebagai manusia yang mempunya iman."

Papi menyentuh tangan kanan Nara, mencoba menyalurkan dukungan kepada sang putri.

"Ini bentuk dari pendewasaan diri, Nduk. Karena nggak semua hal berjalan dengan apa yang kita harapkan. Tapi, di setiap kejadian, pasti menyimpan rencana yang lebih indah."

Tapi, papi nggak tahu apa yang akan Nara hadapi. Maafin Nara, Pi. Air matanya kian mengalir deras, segala perasaan sedih berbondong-bondong menghampiri.

***

Nara berjalan menuju kamar perawatan Danish, papi tidak ikut masuk karena harus ke proyek. Sepanjang kakinya mengayun di lorong rumah sakit, pikiran Nara bergelayut dan bermuara pada satu pertanyaan, bercerai atau ikut berperang?

Sungguh bukan keputusan yang mudah.

Hingga kakinya sampai di depan pintu perawatan Danish, Nara tak juga menemukan jawaban. Di sisi lain ia takut, tetapi di sisi lain pula ia khawatir. Jika memutuskan bercerai, ia terpaksa harus mengubur cinta dan berpisah dengan Danish. Namun, jika tetap bertahan, bisa jadi ia akan kehilangan nyawa.

Gadis itu menghela napas panjang sebentar sebelum menarik handle pintu dan masuk.

"Assalamualaikum?" ucapnya pelan, hampir tidak terdengar di telinga Danish yang sedang bersusah payah mengambil air minum di meja.

"Walaikumussalam." Pria itu urung mengambil minum. Sedari tadi ia menunggu Nara kembali, wajahnya harap-harap cemas, sedikit terlihat tegang. "Papi mana?"

"Ke proyek."

Setelah menutup pintu, Nara berjalan ke nakas. Menuangkan air minum pada gelas kemudian menyodorkannya pada Danish.

Dengan kikuk, Danish menerima gelas itu dan meneguknya.

"Makasih," ucapnya seraya mengembalikan gelas kepada Nara.

Gelas diletakkan kembali di atas nakas, setelah itu Nara berjalan ke sofa, duduk di sana. Bukan duduk di kursi dekat bed perawatan Danish. Membuat Danish mengembuskan napas kecewa, ia berharap mereka dapat mengobrol mengenai nasib hubungan mereka. Namun, sepertinya Nara masih butuh waktu. Gadis itu terlihat menghindar.

"Kalau capek, kamu pulang aja. Aku nggak apa-apa sendirian. Nanti pasti Marvin atau paman ke sini."

"Kak Marvin lagi sibuk, besok grand opening Kedai Soonday." Nara menyenderkan kepalanya di sanggahan sofa, memejam sembari melipat tangan di sana. "Pamanmu tadi telepon, katanya nggak bisa ke sini karena ada kerjaan. Besok baru bisa ke sini."

"Oh, ya?" Danish melumat bibir sebentar sembari mencari-cari alasan agar Nara pulang dan beristirahat di rumah. "Tante Marida pasti nggak sibuk, kok. Kamu pulang aja, istirahat."

Nara tidak merespons, sepertinya terlalu lelah hingga langsung terlelap. Kamar dengan harum bunga segar dan juga aroma terapi itu sesak dengan rasa canggung dan kikuk. Nara menjelma menjadi sosok yang sulit untuk digapai, ada tembok es yang seolah menyekat jarak keduanya. Danish merasa Nara kian jauh.

"Ra?" panggil Danish setelah beberapa menit tidak ada tanggapan dari Nara, "Tidur, ya?"

Pandangan pria itu sedu menatap istri yang ia bawa dalam pernikahan karena harta dan warisan. Kini hatinya terkabung rasa bersalah, rasa takut kehilangan, segala perasaan tidak mengenakan bersarang di hati. Antara berharap bertahan atau bercerai, segalanya terasa berat.

Tak berselang lama, pintu terbuka. Satu perawat laki-laki datang membawa baskom dan dua handuk kecil. Melihat perawat datang, Danish buru-buru memberi isyarat untuk tidak menimbulkan suara yang keras.

"Istri saya sedang istirahat, Mas, nanti aja, ya," ujar Danish dengan nada berbisik, meminta perawat tersebut untuk kembali lagi nanti.

Perawat itu mengangguk, pelan-pelan meletakkan baskom dan dua handuk kecil di atas kulkas.

"Saya taruh di sini, ya, Pak," kata perawat tersebut, ikut berbisik. "Buat bersihin badan."

Danish mengangguk, "Makasih, Mas. Pelan-pelan nutup pintunya, ya."

Perawat tersebut melakukan apa yang diminta Danish, menutup pintu dengan pelan-pelan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Begitu perawat keluar dari ruangannya, Danish mengembuskan napas lega. Nara harus istirahat lebih lama, Danish merasa khawatir karena sejak semalam katanya Nara tidak tidur, siang tadi ke kantor polisi dan baru kembali menjelang sore.

Danish kembali menatap ke arah Nara, tahu-tahunya ternyata Nara sudah membuka mata. Pria itu tersentak kaget.

"U—udah bangun?"

"Siapa yang tidur?" Nara berdiri, berjalan ke arah kulkas.

"Jadi, dari tadi nggak tidur?"

"Mau dibersihin badannya?" Pertanyaan Danish dibalas pertanyaan.

"Nggak usah. Nanti biarin perawat aja."

"Perawat itu tugasnya banyak. Selagi ada keluarga, kenapa harus minta tolong perawat? Cuma ngelap aja, kan." Nara meraih baskom dan membawanya ke wastafel, untuk diisi dengan air. Membasahi salah satu handuk.

Danish menggigit bibir sebentar, "Nggak gitu, Ra. Aku takut kamu capek aja. Gapapa, nanti biar aku minta perawat. Kamu mending pulang, istirahat di rumah."

Nara memutar keran wastafel, mematikan alirannya. Kemudian menurunkan bahunya dengan embusan napas panjang. Gadis itu berdiri di depan wastafel menatap air yang menggenang di baskom, beberapa detik sebelum memutar kaki menghadap ke Danish.

"Kamu anggap aku apa, sih, sebenernya?"

Danish bergeming, ia terlalu bersalah untuk setiap kalimat yang ingin dilontarkan. Merasa tidak pantas untuk segala harapan.

"Jawab! Kamu anggep aku apa?"

"Nara."

"Kalau kamu anggep aku istrimu, nggak usah banyak protes soal bantuanku. Tapi, kalau kamu nganggep aku bukan siapa-siapamu, oke fine. Aku pergi sekarang."

Bibir Danish terkatup. Ia hanya menatap Nara dengan tatapan sendu. Kalimat Nara seperti pintu pilihan, antara Danish mengajak Nara berperang atau melepaskan Nara. Berat memutuskan memilih pintu yang mana.

"Aku udah bilang, aku nggak bakal nahan kamu kalau kamu pengin pisah."

"Itu jawabanmu?"

Danish kembali diam.

"Oke, kalau itu jawabanmu." Nara mengayunkan kakinya menuju sofa, menyambar tas untuk pergi dari sini. Untuk apa bertahan dengan seseorang yang tidak mau berjuang mempertahankan. Terkesan cinta sendirian dan menyedihkan.

Nara memutar knop pintu, rasanya lega dan juga sakit mengetahui akhir kisah cinta seperti ini. Entah bagaimana nanti menjelaskan kepada papi, akan ia pikirkan nanti. Untuk saat ini, Nara hanya ingin pergi dari sini.

"Nara," ujar Danish, jeda tiga detik, "Jangan pergi."

Nara menahan langkahnya di depan pintu. Air mata mencelos di pipinya, ia menggigit bibir tanpa menoleh ke Danish. Perasaanya seperti layangan yang ditarik ulur, seperti rollercoaster yang dinaik turunkan tidak keruan.

"Tetap di sini." Sebuah tekad kuat mendorong Danish, keberanian yang sempat lenyap, hadir dalam dirinya. "Kamu istriku," jeda sebentar, "Kamu masih istriku."

Nara mencengkeram kuat knop pintu. Entah cinta ini terlalu buta dan bodoh, tetapi hal itu yang membuat Nara urung keluar dan memutar kakinya kembali. Benar, entah nanti bagaimana nasib hubungan mereka, detik ini Nara masih istri Danish. Sebagai istri ia punya tanggung jawab untuk mendampingi dan merawat suami.

Nara melempar tasnya di sofa, kemudian berjalan kembali ke wastafel sembari mengusap air mata yang sempat mengalir. Usai menarik overbed table dan meletakkan baskom berisi air dan handuk di sana, Nara menyiapkan baju ganti dari rumah sakit.

"Dilepas dulu bajunya, sini."

"Biar aku aja."

"Emangnya bisa?" sahut Nara dengan nada kesal, "Diem."

Danish mengangguk, seperti anak ayam yang menurut. Nara mendekat kemudian menarik tali yang mengikat di dada Danish, pelan-pelan melepas baju sebelah kanan yang menutupi arm sling, lalu berpindah ke lengan kiri. Baju atas berhasil dilepas, setengah dada kanan atas Danish dilapisi perban elastis.

"Lihat sini, wajahnya dulu dibasuh."

Danish menurut, mendongak ke Nara.

"Merem," titah Nara karena merasa terganggu dengan tatapan Danish.

Pria itu kembali menurut. Memejam pasrah. Sementara itu Nara pelan-pelan membasuh seluruh wajah yang tidak ada luka lecetnya. Dari dahi, hidung, dua pipi dan dagunya. Terakhir bibir, gerakan tangan Nara sempat terhenti di depan bibir Danish. Bibir yang pernah merenggut ciuman pertamanya dengan rasa sakit dan kecewa. Kenangan itu sama sekali tak indah jika diingat, meski debarnya masih tertinggal.

Karena tidak ada pergerakan dari Nara, Danish membuka mata yang langsung tertuju pada manik Nara yang menatapnya. Beradu untuk sekian detik, sebelum Nara memutuskan pandangan dan beralih ke baskom.

"Aku ganti dulu airnya." Nara membawa baskom ke wastafel, mengganti air dan mencuci handuk.

Nara kembali dengan baskom dan air yang baru. Meraih lengan kiri Danish, membasuhnya jari jemari Danish satu persatu hingga bahu. Kemudian tengkuk, dada dan perutnya. Rasa canggung seperti membunuh keduanya detik ini, kikuk dan senyap. Danish hanya menggigit bibir sembari terus memperhatikan Nara merawatnya.

"Punggungnya." Setelah mengganti baskom dengan air yang baru, Nara mengatur tegak bed, untuk membasuh punggung Danish.

"Nggak usah, Ra. Nggak apa-apa."

"Bisa, nggak, sih nurut aja gitu sampai selesai?"

Danish terlihat seperti tidak enak membiarkan Nara membasuh punggungnya, "Anu—"

"Kenapa? Kamu panuan?"

"Nggak, bukan gitu."

"Terus?" cecar Nara, tetapi Danish tak kunjung menyanggah. "Bisa nurut, nggak? Kalau nggak, aku pergi."

"Ya, udah, iya." Danish menarik punggungnya dari sanggahan bed, bergeser posisi memudahkan Nara untuk membasuh punggungnya.

Saat Nara melihat punggung Danish, gadis itu terdiam untuk beberapa detik.

Tampak memar di beberapa titik di punggung pria itu, juga ada beberapa bekas luka lama yang sudah menjadi stertmark. Mata Nara memerah menahan air mata sembari membasuh pelan-pelan seluruh punggung Danish, bekas luka lama itu pasti bekas dari penyiksaan ayahnya di masa lalu.

Sampai akhirnya mata Nara menangkap satu bekas luka berkeloid dengan bentuk memanjang meski tak besar di punggung atas, air mata Nara tidak dapat ditahan. Luka yang seperti apa hingga menjadi keloid itu? Sesakit apa dulu Danish merasakan dan menahannya?

"Aku sudah bilang, nggak usah, kan?"

Tangisan Nara semakin terisak, hingga benar-benar menangis sejadi-jadinya. Nara ingin membenci Danish karena telah memanfaatnya, tetapi apa yang dilihatnya menindih rasa benci itu dengan rasa tidak tega, kasihan dan juga merasa tersakiti atas segala kesakitan yang pernah Danish alami di masa lalu.

"Kenapa, sih, ayahmu jahat banget sama kamu?" tanya Nara di tengah tangisannya.

Danish menggeser posisinya kembali, menghadap ke Nara yang tersengguk belum selesai membasuh punggung Danish.

"Itu kenapa aku nggak akan nahan kamu kalau mau pisah sama aku, Ra." Danish sudah di titik pasrah, jika memang mereka berpisah adalah keputusan terbaik. Demi melindungi Nara dari bahaya, meski hatinya berat karena sudah jatuh cinta.

"Dari awal memang salahku sudah nyeret kamu dalam pernikahan ini. Bukan karena aku nggak mau mempertahankan, tapi aku lebih memilih kamu tetap aman."

"Terus kamu bakalan nikahin orang lain buat ngelanjutin rencanamu?"

Danish diam untuk beberapa saat, hanya menatap mata Nara dengan kerjapan pelan.

"Jawab, Danish," desak Nara, terlalu marah untuk menyebut 'Kak'.

"Nggak ada cara lain selain itu."

Nara menggigit bibir, air mata semakin mengalir deras. Handuk di tangannya itu dilempar ke dada Danish, "Berengsek!" ucapnya seraya melangkah keluar dari ruangan meninggalkan Danish yang tak dapat lagi mencegahnya untuk pergi.

Danish menatap Nara menghilang dari pintu sembari mengembuskan napas panjang, matanya memerah menahan perasaan carut marut dalam hati.

***

Grand opening Kedai Soonday yang dinanti-nanti terasa menghibur untuk beberapa saat, meski tidak dapat mengelabui keadaan hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Senyum yang seharusnya lepas, tertahan di sudut bibir. Tawa yang seharusnya renyah, tertahan di pangkal tenggorokan. Ada gumpalan berat di dalam dada, yang kala sepi meledak menjelma tangisan.

Sudah dua hari Nara tidak kembali ke rumah sakit dengan alasan sibuk di kantor, yang sebenarnya ia tidak mau bertemu dengan Danish atas rasa sakit yang teramat besar. Pria itu mengantarkannya pada posisi sulit. Menawarkannya buah simalakama, dimakan atau tidak, tetap menyakiti Nara.

"Din, suamimu, kan, pilot."

"Iya, kenapa, Ra?"

Sepulang acara syukuran grand opening, Nara mampir ke rumah Dinda. Sepertinya Nara tidak mampu untuk menyembunyikan masalah ini sendirian, dadanya kian sesak. Tidak mungkin memberitahu papi karena takut membuat papi khawatir dan kepikiran, tidak mungkin juga memberitahu Karin karena Karin juga sedang menghadapi masalah dengan mantan pacarnya. Nara belum pernah cerita mengenai permasalahan inti mengapa rumah tangga Danish dan Nara diujung tanduk kepada siapa pun, kecuali Dinda. Sebelumnya Nara hanya cerita kalau Danish masih belum bisa move on dari masa lalunya.

Satu-satunya sahabat yang menjadi tempat paling tepat untuk meminta saran adalah Dinda. Sebab pun, Dinda selalu berpikir logis yang berdasarkan pemahaman agamanya.

"Misal suamimu ngajak kamu naik pesawat dan ternyata pesawat itu rusak, kemungkinan pesawat itu akan jatuh atau meledak saat di udara. Suamimu tahu kalau pesawat itu rusak, tapi dia tetap ngajak kamu naik ke pesawat itu bersamanya. Menurutmu gimana?"

Sambil melipat baju-baju anaknya, Dinda mengerutkan kening, "Tujuannya dia apa ngajak aku naik pesawat itu?"

Nara berpikir sebentar, mencari analogi yang sama dengan masalah yang sedang ia hadapi. Namun, tidak ada analogi yang pas. Gadis itu tiba-tiba menunduk, kemudian menangis sejadi-jadinya. Dinda mendekat dan mengusap-usap punggung Nara, menemaninya menangis hingga tangisan gadis itu mereda.

"Din..."

"Iya, Nara, kenapa?" tanya Dinda lembut.

"Kayaknya aku mau pisah sama suamiku."

Dinda bukan Karin yang akan meledak mendengar kalimat yang mengejutkan itu. Nara baru saja menikah, belum ada satu bulan. Bagai petir di siang bolong kabar itu. Namun, Dinda merentangkan tangan untuk memeluk sahabatnya.

"Perceraian itu dibenci Allah, tapi tidak haram, Ra. Ada juga perceraian yang diwajibkan apabila dalam pernikahan itu lebih banyak mudharatnya. Prinsipku dalam menjalani pernikahan adalah taat. Taatku pada suami bentuk dari taatku pada Allah. Ada tiga kesalahan suami yang tidak mampu aku maafkan, pertama perselingkuhan, kedua kekerasan dan ketiga adalah perjudian. Kenapa aku tidak mampu memaafkan karena tiga dosa itu akan sulit diubah dari kebiasaan. Benar kalau dia sadar sekarang, kalau nanti? Empat atau lima tahun lagi? Tidak bisa menjamin."

Dinda terus mengusap punggung Nara dengan lembut.

"Kalau suamiku mengajakku naik ke pesawat rusak demi sebuah kebaikan, demi sebuah taat. Aku akan ikut dengannya. Meski baling-baling pesawat itu rusak parah atau bannya terbakar kalau belum waktunya aku meninggal, aku dan suamiku pasti selamat. Aku akan menemaninya, mendukungnya untuk terus menerbangkan pesawat hingga berlandas di tempat tujuan. Itu juga bentuk dari rasa setia dan taatku padanya."

"Kalau akhirnya kamu meninggal gimana?"

"Aku akan meninggal dengan bangga karena membawa taat dan ridhonya. Terkesan bodoh, tapi surga menjadi jaminannya." Dinda melepaskan pelukan, mengusap air mata di pipi Nara, "Mungkin bakalan sulit, tapi aku berharap kamu jadi istri yang mengusahakan ketaatan pada suami. Selagi dia tidak mengajakmu pada kemudharatan, aku berharap kamu bisa mendukungnya. Kalian bisa saling menguatkan. Dia sendirian, kan? Dia cuma punya kamu."

"Tapi, sampai detik ini dia nggak pernah bilang cinta sama aku. Aku cuma mau nunggu itu, Din. Tapi, dia nggak ada usaha buat bilang. Apa memang kenyataannya dia nggak bisa cinta sama aku? Sedikit pun." Nara kembali terisak menyadari cinta sendirian yang amat menyakitkan.

"Sabar, ya, Ra... aku cuma bisa mendoakan yang terbaik." Dinda kembali memeluk, menenangkan.

Pulang dari rumah Dinda, Nara memutuskan untuk pulang ke rumah papi. Ia tidak bisa pergi ke rumah sakit, juga tidak bisa menginap di kantor lagi karena acara sudah selesai. Sejujurnya, ia ingin sekali mengadu pada papi. Tapi, Nara benar-benar takut.

Motornya masuk ke halaman rumah dan mermarkirnya di sana. Lampu rumah terlihat menyala. Kemungkinan papi sudah pulang dari proyek.

"Assalamualaikum, Pi?" Nara melepas helm, menutup pintu kemudian meletakkan helm di atas meja dekat pintu. "Papi?"

Nara berjalan ke dapur, tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia merogoh tas dan mengambil ponselnya. Gadis itu menghela napas panjang setelah tahu ponselnya mati karena kehabisan daya.

"Papi?" Kaki Nara menaiki anak tangga satu persatu. "Ck, ke mana, sih? Pintunya nggak dikunci. Kebiasaan, deh. Papii!" Nara berkeliling lantai dua, ke kamar gudang, ke balkon, tetapi papi tidak ada di sana.

"Charger-ku di sini juga nggak, sih?" Nara berjalan ke kamarnya untuk mengisi daya ponsel, seingatnya ia punya dua charger, satu di sini dan satu di apartemen Danish. Begitu membuka pintu, Nara mengerutkan kening melihat lampu kamar yang biasa mati itu menyala.

Sedetik kemudian nyaris menjerit ketika melihat siapa yang duduk di tepi ranjangnya.

"Kak—Danish?"

Pria itu menoleh, kemudian tersenyum. Ia berdiri dari tepi ranjang, tangan kanannya masih mengenakan arm sling yang dilapisi jaket warna hitam. Melihat gelang rumah sakit masih melingkar di tangan kirinya, sepertinya pria itu kabur dari rumah sakit.

***

3200+ kata! 🤧 Kebangetan kalau masih bilang kurang panjang 👊
Kebangetan juga kalau nggak vote sama komeeen 😭

Ayo, vote dan komen biar ratingnya naik!
Biar aku juga semangat menulis, teuu 🤭

See next part ❣️

Follow IG : hellojodoh

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro