Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33. Rumah Sakit

"Kak Danish! Kak Danish!" Nara menarik tubuh Danish yang tersungkur di trotoar, setengah sadar pria itu mengerang kesakitan. Wajahnya berlumur darah segar, bahunya tak dapat digerakan, kemungkinan retak karena benturan.

Nara menangis terkejut, bingung dan takut. Melihat darah yang mengalir di kepala Danish, membuat sekujur tubuhnya gemetar. Pemandangan detik ini tampak mengerikan.

"Kak, Kak, lihat aku..." Nara menggoyang-goyangkan wajah Danish, tetapi sama sekali tidak ada gerakan, "Kak Danish! Aku mohon. Kak!"

Danish hanya sekali membuka mata, kemudian kembali terpejam dan benar-benar tak sadarkan diri setelahnya itu.

"To—tolooong!" teriak Nara sekencang-kencangnya. Beberapa orang di sekitar mendekat, teriakannya juga sampai ke pos polisi, tak lama polisi turut datang. "Pak, tolong... tadi—tadi ditabrak lari... suami saya—nggak tahu, Pak, tolong, tolong panggilkan ambulan." Lidah Nara kelu, terbata-bata menjelaskan saat polisi datang.

Melihat kondisi Danish yang tak sadarkan diri dengan banyaknya darah yang keluar, polisi membawanya dengan mobil patroli.

"Naraa!" Karin yang baru saja tiba di pos polisi setelah kembali untuk mengambil perlengkapan surat motornya, terkejut melihat keramaian. Lebih terkejutnya, ia melihat Nara menangis sesegukan, seseorang dibopong masuk ke mobil polisi.

"Nara, ada apa?" Karin menghampiri.

"Kak Danish... Kak Danish ditabrak lari." Nara tergesa menyusul masuk ke mobil patroli, "Kar, tolong kabarin Kak Marvin. Suruh langsung ke rumah sakit."

"I—iya." Karin masih terlihat syok, "Tapi, lo baik-baik aja, kan?"

Sebelum masuk ke mobil, Nara hanya menatap Karin sekian detik dengan air mata yang mengalir, tanpa mengatakan apa pun. Ia tidak baik-baik saja. Bagaimana jika Danish kenapa-napa dan pergi meninggalkannya dalam keadaan hubungan mereka yang tak baik-baik saja? Akan semenyesal apa nantinya Nara karena kejadian nahas itu terjadi sekian detik setelah mereka bertengkar? Sebenci-bencinya Nara pada Danish, masih ada cinta dan rasa sayang untuk pria itu. Kalau pun akhirnya mereka berpisah, Nara tak ingin berpisah dengan setragis ini.

"Kak, bangun..." Nara duduk memangku kepala Danish yang terus mengalirkan darah, berusaha kuat untuk ditahan dengan tangannya, agar tak semakin banyak darah suaminya yang keluar.

"Kak, aku mohon... kamu jangan ninggalin aku kayak gini!"

Suara tangisan Nara beradu dengan suara sirine mobil polisi yang melaju kencang menuju rumah sakit terdekat.

"Kamu jahat banget, sih, sama aku! Kamu nggak boleh seenaknya sendiri, tau, nggak, Kak! Kamu harus tebus dosa kamu ke aku dulu! Jangan seenaknya pergi! Tolong, buka matamu ..."

Namun, hingga mobil sampai di rumah sakit, kemudian Danish dipindah ke atas brankar dan dilarikan langsung ke ruang tindakan. Pria itu tidak membuka mata sama sekali. Ada gumpalan perasaan yang menyerang Nara, gadis itu berdiri di depan ruang tindakan dengan tatapan khawatir, bibirnya merapal doa agar Allah menyelamatkan suaminya. Tak peduli dengan hijab dan gamisnya yang penuh dengan darah, Nara berdiri di antara lalu lalang pasien dan tenaga medis.

Dokter membuka pintu setelah Danish mendapat pertolongan darurat.

"Wali pasien?"

"Sa—saya, Dok. Saya istrinya."

"Labrum bahu pasien sobek, sepertinya dulu pernah menjalani operasi bahu. Dan sekarang sobekannya jauh lebih parah. Jadi, pasien harus menjalani operasi ulang untuk perbaikan labrum bahunya."

"Pernah menjalani operasi?" Nara bingung, karena sebenarnya ia tidak tahu soal itu. Danish tidak pernah bercerita. "Saya nggak tahu kalau suami saya pernah operasi, Dok."

"Kemungkinan pemulihan sedikit lama karena ini cidera yang berulang. Namun, apabila tidak segera ditangani dengan operasi, tangan kanan pasien akan mengalami kecacatan seumur hidup atau disfungsi," penjelas dokter.

"Si—silakan, Dok, silakan dioperasi," ujar Nara.

Seorang perawat menyerahkan lembaran persetujuan dan ditandatangani oleh Nara sebagai wali sah pasien yang bertanggung jawab. Langkah Nara yang masih gemetar mengikuti roda brankar yang membawa Danish ke ruang operasi. Ia memegang erat tangan suaminya sepanjang perjalanan ke bedah sentral.

"Kak, aku nggak akan pernah maafin kamu kalau kamu kenapa-napa. Demi Allah, aku bakalan benci kamu seumur hidup aku, jadi kamu harus sadar dan tebus dosamu ke aku. Kamu harus minta maaf dengan benar, kamu nggak boleh seenaknya pergi gitu aja. Hm?"

"Keluarga pasien mengantar sampai di sini, silakan ditunggu di ruang tunggu."

Nara berat melepas tangan Danish, "Kak, denger, kan? Kamu janji, ya? Kamu nggak boleh seenaknya lagi sama aku. Hm? Kamu harus minta maaf sama aku..."

Brankar didorong masuk ke dalam pintu ruang operasi, tangan Nara perlahan lepas dari jemari Danish. Beberapa detik setelah pintu operasi tertutup dan lampu di atasnya menyala, Nara terduduk lemas di lantai dengan tangisannya yang tersedu-sedu.

Gadis itu kemudian duduk bersandar di dinding, menatap kosong lampu operasi dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Gumpalan perasaan seperti mendung yang pekat, ada derasnya perasaan takut yang menyiram dan lambat laun menenggelamkan.

"Aku benci kamu, Kak. Aku benci banget sama kamu..." lirihnya di tengah sedu sedan tangisnya.

***

Operasi selesai setelah tiga jam kemudian, tidak ada cidera yang parah selain bahu dan kepalanya yang mengalami gegar otak, sempat kehilangan tekanan darah, tetapi kini dalam keadaan normal setelah menjalani tranfusi. Jika bisa melewati masa pemulihan pasca operasi, Danish dapat dinyatakan selamat dari maut.

"Minum, Ra." Marvin menyodorkan botol mineral, ia datang setengah jam setelah operasi berjalan bersama Karin dan mamanya. Disusul Paman dan papi Nara satu jam kemudian. Kini mereka sedang berada di ruang tunggu ruang recovery, sementara Nara baru saja dimintai keterangan polisi sebagai saksi di lokasi kejadian.

"Makasih, Kak." Nara meraih botol itu. Hanya menerima, tetapi tak diminum. Wajahnya tampak pucat dengan banyak bekas darah di hijab dan gamisnya.

"Karin tadi pulang ke rumah lo ngambil pakaian ganti."

Mereka duduk di sofa lobi, hampir pukul satu dini hari. Sempat sunyi beberapa menit, keduanya tenggelam dalam rasa khawatir masing-masing. Hanya suara derap sepatu perawat dan roda brankar yang sesekali terdengar.

"Dulu Kak Danish pernah operasi bahu, ya?"

"Hm. Waktu SMA."

"Kecelakaan?"

Marvin tak langsung menyahut, sampai membuat Nara menoleh untuk memburu jawaban. Ada raut pertimbangan di wajah Marvin, seolah berat untuk menjelaskan.

"Aku sudah tahu soal surat perjanjian itu."

Marvin menoleh dengan wajah terkejut. "Danish yang kasih tahu?"

"Hm." Nara mengangguk, "Dia jujur semua soal itu."

"Terus, Ra?"

"Katanya dia mau ceraiin aku, takut aku kenapa-napa. Aku juga setuju buat cerai, sakit banget rasanya tahu kalau cinta yang kuberi cuma diperalat dia buat merebut harta warisan. Entah apa pun alasannya, aku sulit buat terima. Tapi, tadi sebelum kecelakaan, tiba-tiba dia bilang kalau nggak mau cerai. Aku jadi bingung. Dia sebenarnya ngelakuin itu karena harta warisan atau memang karena aku?"

Lengang sedikit lama. Terdengar embusan panjang napas dari Marvin.

"Mungkin lo nggak bakal percaya sih, kalau gue bilang kalau ..." Marvin menjeda kalimatnya sebentar, menoleh ke Nara, "Dia udah jatuh cinta sama lo."

Nara tersenyum, kecut sekali. Apa yang dikatakan Marvin benar, Nara sama sekali tidak percaya. Untuk hati yang telah remuk karena kebohongan, terasa sulit untuk percaya.

"Dia aja nggak pernah bilang." Nara tersenyum getir. "Seharusnya aku nggak pernah ketemu dan kenal sama dia. Setulus ini cintaku sama dia, tapi ..." Nara menggigit bibir, menahan rasa sakit di dada menerima kenyataan semenyakitkan itu, "dia membunuhnya dengan kebohongan itu."

"Gue paham, Ra. Gue juga minta maaf." Marvin turut merasa bersalah. "Tapi, jadi Danish juga nggak mudah. Maaf kalau gue kesannya ngebela, tapi kayaknya lo harus tahu. Jadi dia itu serba salah. Dia juga nggak mau kayak gini, tapi nyawa ibunya juga terancam. Satu-satunya jalan dengan merebut harta warisan, menggeser posisi ayahnya di Pendopo Agung dan perusahaan. Cuma itu jalan satu-satunya, Ra."

"Dengan manfaatin anak orang? Dengan nyakitin orang lain?" Nara tertawa sumbang, "Nggak masuk di akal, Kak. Kalau cuma pengen bawa ibunya pergi dari sana, dia bisa ambil paksa, kan? Atau diam-diam bawa kabur. Bisa, kan? Nggak harus sejauh ini sampai nyakitin perasaan orang yang bener-bener sayang sama dia." Air mata kembali mengalir di pipi Nara.

Marvin menoleh dengan embusan napas berat, "Kalau kamu tanya kenapa dulu Danish pernah operasi bahu?" Jeda tiga detik, "Karena dia pernah berusaha dengan cara yang kamu sebutkan tadi, Ra."

"Maksudnya?"

"Dia berkali-kali pernah coba bawa kabur ibunya, tapi penjagaan di sana ketat. Dia selalu ketahuan dan berakhir dipukuli ayahnya. Terakhir sebelum akhirnya dia nyerah dengan cara itu, dia dipukul dengan stik golf yang bikin bahunya cidera dan harus dioperasi."

Nara membeku mendengar itu, meninggalkan detak jantungnya berdentum keras dan tubuhnya yang merinding. Syok untuk beberapa detik.

"Ayahnya itu monster. Iblis. Atau lebih dari itu," lanjut Marvin, "Danish selalu jadi korban penganiayaan ayahnya sejak kecil. Itu kenapa dia dingin, itu kenapa dia punya tekad, itu alasan dia berani buat berjuang lagi nyelametin ibunya. Dan alasan kenapa dia mau ceraiin lo karena sebenarnya dia udah jatuh cinta sama lo. Dia nggak mau lo kenapa-napa. Lo nggak nangkep tadi penjelasan polisi? Kalau tabrak lari ini bukan kecelakaan, tapi disengaja."

"Ayahnya sendiri?"

"Entah itu ayah atau ibu tirinya, intinya mereka yang nggak mau Danish kudeta."

Bibir Nara bergetar, tak sanggup berkata-kata lagi.

"Alasan dia setuju dijodohin sama lo, bukan karena lo mudah buat dimanfaatin, Ra. Tapi, karena dia cuma butuh cinta dari perempuan yang dia nikahi. Kalau kudeta ini berakhir, dia juga udah janji mau mencintai perempuan yang dia nikahi. Tapi, sayangnya ternyata dia jatuh cinta duluan sebelum kudeta ini berakhir. Dan itu yang bikin dia berat. Yang bikin dia sempat berpikir buat ngelepas lo, karena dia nggak mau perempuan yang dicintainya kenapa-napa."

Benteng Nara perlahan retak, ada jebolan kecil yang disebut perasaan luluh itu terasa. Seberat itu hidup Danish sebelum ini dan seberat itu kenyataan yang sekarang dihadapi. Seperti berdiri di tengah jungkat-jungkit, antara ibu dan istrinya, entah bagaimana caranya menyelamatkan keduanya.

"Nara, Marvin." Marida muncul dari arah lorong bangsal, "Danish dipindah ke bangsal biasa. Dia berhasil melewati masa kritis."

"Alhamdulillah ..." lirih Nara berucap, ada perasaan lega yang terbayar atas segala takut yang meruncing menusuknya perlahan.

***

Subuh menjelang, tetapi mata tak juga terpejam. Nara duduk di samping Danish yang masih belum sadar. Bahu hingga lengan kanannya terbaluti arm sling, berbaring setengah duduk, ada banyak luka lecet di wajahnya akibat gesekan dengan trotoar, lecet yang paling lebar ditutup dengan kassa.

Aroma dari humidifier dan bunga segar di nakas membuat suasana ruangan VIP ini tampak begitu tenang. Meski dalam pikiran Nara berkecamuk tidak keruan.

Sepanjang malam Nara terus berpikir, ada banyak pertimbangan yang sukar untuk ditentukan. Sisi logikanya mengatakan bahwa ia layak untuk lepas dari Danish. Namun, sisi nuraninya yang amat mencintai pria itu mengatakan untuk tetap bertahan di sisi Danish. Mau bagaimanapun alasannya, Nara adalah istri Danish yang mempunyai tanggung jawab untuk selalu mendampingi dan mendukung sang suami.

Azan subuh berkumandang, Nara perlahan beranjak dari kursi. Mengambil wudu kemudian menggelar sajadah di samping bed perawatan Danish. Sepanjang dua rakaat salat, Nara mati-matian menahan tangis, ia tak mau salatnya batal karena air mata yang keluar perihal menangisi dunia. Hingga dua salam terucap, barulah tangis Nara terlepaskan.

Ia membungkam bibirnya sendiri, sekuat menahan pekikan tangis yang ingin sekali diteriakkan. Kenapa aku? Kenapa aku, Ya Allah? Kalimat itu terus terucap di hatinya hingga tangisan mereda dan buta perlahan terang.

"Tekanan darahnya stabil, tidak ada tanda-tanda peradangan sejauh ini, suhunya juga normal. Nanti dokter ortho visite buat ngecek, ya, Bu. Ini perban sudah diganti, kalau ada apa-apa, langsung hubungi kami," ucap perawat setelah mengganti perban di kepala Danish dan follow up pagi.

"Ini kenapa, kok, belum bangun, ya, Ners, sejak operasi?"

"Bisa jadi karena efek bius, nanti kami konsulkan dengan dokter, ya."

"Baik, terima kasih, Ners."

Nara duduk kembali setelah dua perawat pergi. Ia mengembuskan napas panjang, matanya terasa sekali mengantuk karena terjaga sepanjang malam. Perlahan Nara menjatuhkan kepala di tepi bed perawatan Danish, menumpu dua tangan sebagai bantal. Sebenarnya ada sofa, tetapi ia lebih tenang tidur di samping Danish, takut jika sesuatu terjadi.

Entah sudah berapa lama, Nara terbangun saat merasakan tangan seseorang mengusap-usap kepalanya. Perlahan ia mendongak dan terkejut melihat Danish sudah siuman, pria itu menatapnya dengan pandangan dan senyuman yang lemah.

"Udah siuman?" Nara duduk tegak, kemudian berdiri mendekat. "Aku panggilin dokter dulu."

Danish menahan tangan Nara, kemudian menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa."

"Nggak, aku panggilin dokter dulu." Nara melepas tangan kiri Danish, kemudian berlari tergesa ke ruangan perawat.

Setelah diperiksa dokter dan perawat, Nara lega mengetahui Danish dalam keadaan baik-baik saja. Dokter bilang bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan, akan dijadwalkan terapi setelah tahap pemulihan untuk bahunya.

"Kamu pasti terkejut, ya? Aku minta maaf," ucap Danish setelah dokter dan perawat pergi dari ruangan.

"Minta maaf mulu kek lebaran," sahut Nara dengan nada dingin. Perempuan itu menyiapkan makanan yang satu jam lalu diantar petugas rumah sakit. "Makan dulu."

"Kamu masih marah sama aku?"

"Kamu pikir, nggak? Aku malah tambah benci sama kamu." Benci yang Nara maksud adalah saat tahu Danish dalam keadaan tidak sadar dan menjalani operasi yang setiap detik mencekik Nara dalam ketakutan.

"Maaf, ya."

Nara membelakanginya, membuka kotak makanan dan menuangkan air minum di gelas. Saat ia berbalik untuk menyuapi Danish, Nara terkejut melihat Danish menutup matanya dengan tangan kiri. Menangis.

"Aku minta maaf, Ra ..." ucapnya di sela tangisnya tanpa suara.

Nara menggigit bibir, menahan perasaan yang sama. Ia menghela napas panjang sebentar sembari menghalau air mata agar tak turut mengalir. Ia menarik overbed table, kemudian meletakkan piring berisi makanan di sana.

"Berhenti, nggak?" suara Nara terdengar bergetar.

Namun, Danish tetap tersengguk.

"Kalau kamu nggak mau berhenti nangis dan nggak mau makan, aku pergi."

Danish menarik napas panjang lalu mengembuskan pelan untuk mereda tangisannya, mengusap-usap air mata sebentar kemudian mendongak ke Nara, mengangguk untuk menurut.

Nara meraih sendok, kemudian mengarahkan suapan ke Danish. Sunyi untuk beberapa menit, hanya ada suara dentingan sendok dan suara humidifier. Setelah makanan itu habis, meski tak semuanya. Nara membantu Danish untuk minum.

"Bahumu robek." Jeda beberapa detik, "Lagi."

Danish mengangguk sembari menunduk, sesekali mencuri pandang. Ia merasa bersalah atas apa yang terjadi, ia juga semakin takut dengan kejadian ini. Bagaimana jika semalam yang seharusnya ditabrak Nara bukan dirinya? Namun, meskipun begitu Danish bersyukur melihat Nara dalam keadaan baik-baik saja.

"Aku nggak akan nahan kamu kalau kamu ingin—"

"Ingin apa?" sahut Nara dengan dingin. "Ingin cerai sama kamu?"

Danish tak memberi respons, selain diam. Namun, saat pria itu ingin membuka mulut, tiba-tiba pintu terbuka. Tante Marida dan Marvin datang bersama pamannya. Mau tidak mau Nara dan Danish sama-sama menahan kalimat, menahan jawaban dari keputusan apakah hubungan mereka akan terus lanjut atau berakhir setelah kejadian ini.

***

Vote dan komen, jangan lupa, ya.

See you next part. Sepertinya akan sering update karena di RL dah lumayan nganggur 🤭
Jadi, jangan lupa vote terus yaaa 🤍

With Love, Diana Febi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro