Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. Suara Membelah Hujan


Bertema Takdir, Jodoh dan Rejeki, kajian itu membuka pikiran Nara yang selama ini keliru mengenai apa itu jodoh. Nara pikir jika kita berusaha untuk mengejarnya, kita akan mendapatkannya. Ternyata apa yang menjadi milik kita akan menjadi milik kita, tetapi apa yang tidak menjadi milik kita, seberapa keras kita mengejar jika tidak ada jodoh di antara kita dan dirinya, kita tidak akan pernah berjodoh.

Di tengah ratusan orang yang hadir di majelis tersebut, di baris tengah-tengah Nara yang mengenakan gamis serba hitam itu menangis sesenggukan. Bukan hanya soal Danish yang memanfaatkannya terang-terangan, bukan juga hanya soal dirinya yang cinta sendirian. Namun, semua kenangan pahit seolah keroyokan meminta untuk direka ulang.

Semua kenangan pahit itu saling berbenturan di kepala Nara, menjadi riuh yang bising hingga membuat tangisan tanpa suara.

"Jodoh tidak bisa diubah, tetapi perasaan yang bisa diubah. Jika sudah jelas kemungkinan dia bukan jodohmu, maka ubahlah perasaanmu." Kalimat itu memukul dada Nara, menjadi sesak seolah udara lenyap tak membiarkannya untuk bernapas.

Sebesar itu cinta Nara pada Danish dan sehebat itu lukanya karena Danish.

Dalam perjalanan pulang dari kajian, Dinda juga banyak memberi nasihat. Bukan untuk menghakimi Nara yang selama ini terlalu memperlihatkan rasa cinta, mengungkap perasaan dengan terang-terangan di mana Nara adalah perempuan yang umumnya menunggu. Bukan soal gender, tetapi soal harga diri sebagai perempuan.

"Perempuan itu punya mahkota, Nara. Kalau terlalu menunduk, mahkotamu akan jatuh. Tapi, kalau terlalu melihat ke atas juga bisa menjatuhkan mahkotamu. Jadi perempuan itu harus tegak lurus, hanya memberikan mahkotanya untuk yang serius. Kamu terlalu menunduk pada cinta hingga membuat mahkotamu jatuh, tanpa sadar mahkotamu diinjak oleh pria yang hanya memanfaatkanmu."

"Aku bodoh, ya, Din?"

Dinda yang di belakang kemudi itu menoleh dan tersenyum, "Bukan bodoh, tapi belum mengerti."

Tiba-tiba Nara kembali menangis tersengguk-sengguk, meratapi diri tanpa hadirnya seolah ibu. Seandainya jika ada mama di sisi, ia tidak akan pernah jatuh pada jurang luka yang merenggut senyumnya detik ini. Dari sekian rasa sakit, baru sekarang merasa kehilangan sosok mama yang tidak pernah hadir di hidupnya.

Dinda mengembuskan napas prihatin, ia tidak tahu harus menghibur Nara bagaimana. Yang Dinda bisa, ia hanya bisa mendoakan. Semoga ada pelangi setelah hujan badai, semoga ada hari baru setelah hari gelap untuk Nara. Dua kali Dinda menyaksikan Nara hancur, dua kali ini juga menghancurkan hati perempuan itu.

***

Selama hampir seminggu Nara tidak pulang ke rumah Danish, ia menginap di rumah Karin karena tidak mau membuat papinya khawatir. Baru dua minggu yang lalu ia menikah, Nara tidak mau masalah semakin runyam jika papi tahu. Ia akan menghadapinya sendiri.

Tak peduli hatinya sedang kalut, pikirannya semerawut dan hubungannya sedang tidak baik-baik saja, Nara tetap datang ke kantor. Meski harus menyembunyikan susah payah masalah yang sedang dihadapi.

Dari ruangannya Danish memperhatikan Nara yang riwa-riwi dari meja ke mesin fotocopy, dari mesin fotocopy keluar ruangan, kembali lagi ke meja mengerjakan sesuatu di depan komputer. Nara seolah menyibukkan diri agar tak ada waktu untuk memperlihatkan sisi dirinya yang rapuh.

Begitu pula dengan esok harinya, Nara malah lebih sibuk di ruangan Tim Peneliti untuk bereksperimen menu-menu baru yang diusulkan. Ketika Danish mencoba mengambil kesempatan, Nara selalu punya cara untuk menghindar.

Sepanjang di kantor, Nara hanya bersikap profesional. Tidak lagi mengetuk pintu ruangan Danish hanya sekadar say hi dan bilang i love you. Tidak ada rayuan-rayuan, kedipan mata saat mereka tidak sengaja berpapasan. Membuat Danish merasa sesuatu yang disebut kehilangan.

Pukul delapan malam bubaran kantor, Nara tidak membawa motor karena suasana hatinya yang buruk. Suara deru knalpot motor Benelli terdengar mendekat, motor itu berhenti di depan Nara yang sedang berdiri di depan gedung menunggu papi. Karin membuka kaca helm, mengulurkan helm yang lain untuk Nara.

"Oi! Kuy!" Karin datang menjemput. Perempuan itu telah pulih kesehatannya, ia bahkan sudah berani menaiki motor setelah hampir dua bulan menjalani bedrest total.

"Gue, kan, udah bilang, nggak usah jemput! Lo itu habis operasi loh, Kar."

"Gue bosen di rumah terus. Nih." Karin mengulurkan helmnya.

"Terus kalau lo ketemu Beni gimana? Dia masih buron, kalau lo lupa!"

"Dia nggak bakal nemuin gue di tempat terbuka kayak gini. Udah, percaya deh, sama gue. Nggak bakal terjadi apa-apa. Yuk, keburu ujan."

Nara meraih helm dari tangan Karin, kemudian naik pelan-pelan di atas motor sambil memasang helmnya. Kebetulan hari ini memakai celana kulot, jadi mudah untuk duduk di motor Benelli milik Karin.

"Udah siap?"

Nara mengangguk.

"Oke, let's go!" seru Karin sembari menarik kencang gas yang hampir membuat Nara terjungkal ke belakang.

"KARIIIN!" pekik Nara terkejut sembari memeluk erat.

Bukannya khawatir, Karin malah tertawa terbahak-bahak. Melajukan motornya kencang ke tengah-tengah jalan, memanuver di antara kendaraan lain. Sepanjang perjalanan Nara tidak berhenti teriak, Karin meliuk-liuk lihai mengemudi motor tersebut. Semakin kencang teriakan Nara, semakin kencang pula tawa Karin.

"GUE NGGAK MAU MATI PERAWAN, WOIII!" teriak Nara ketakutan.

"LEBIH BAIK MATI PERAWAN, DARIPADA NIKAH SAMA COWOK BAJINGAN!" balas Karin.

Jalanannya yang ramai tak membuat Karin meredakan lajunya. Nara akan mengomel di lampu merah, tetapi seperti masuk kuping kanan keluar kuping kiri, setelah lampu hijau motor kembali melaju kencang. Yang awalnya berteriak ketakutan, Nara jadi berteriak keseruan.

"Mau gantian nyetir?"

"Nggak mau, nggak bisa motor cowok."

"Gue ajarin." Karin menepikan motornya, kemudian menurunkan standard.

"Nggak mau, Kar! Aku nggak bisa!"

"Bisa! Ayo! Seru, tahu, yakin deh sama gue."

"Kalau jatuh gimana?"

"Kalau nggak nabrak mobil, no prob." Karin mendorong Nara untuk pindah ke depan, kemudian ia duduk di belakang.

"Pertama tarik rem sama koplingnya, gas pelan-pelan sambil pelan-pelan lepas juga koplingnya. Kalau mau masukin gigi, tarik koplingnya. Gampang, ayo!"

Nara menggeleng, masih tidak mau.

"Kadang kita itu harus coba hal baru buat ngeluapin dan ngelupain masalah yang kita hadapi. Lo nggak harus terus berlarut-larut, lo berhak dengan diri lo yang lebih bahagia."

Kalimat Karin barusan membentuk tekad dalam diri Nara, apa yang dikatakan Karin ada benarnya. Ia terlalu berlarut sampai berpikir bahwa dunia seolah jahat padanya. Padahal, kehadiran Karin dan Dinda serta papi yang tulus menyayangi adalah bentuk dari dunia yang tak sepenuhnya jahat.

"Paham?"

"Hm."

"Oke. Naikin standard dulu, terus hidupin mesinnya."

Nara mendengarkan satu persatu langkah yang diajarkan Karin. Meski sempat kesulitan, roda motor akhirnya melaju. Jalanan yang lurus tampak mudah, beberapa kali Nara teriak karena naik motor cowok seseru itu.

Sejenak masalah yang berputar di kepala lenyap, ia sadar bahwa kebahagiaan tidak melulu soal cinta. Namun, banyak hal yang disyukuri sebagai sumber untuk bahagia.

Karin dan Dinda adalah salah satu sumber bahagia Nara. Dinda yang merangkul Nara dengan cara religius, menggandeng tangan Nara untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, membuka lebar-lebar mata Nara tentang takdir dan jodoh hingga membuat Nara tersadarkan banyak kesalahan yang perlu diperbaiki. Dan Karin yang merangkul Nara secara psikologis, mengajak Nara untuk melampiaskan, membuang segala pikiran buruk dengan hal-hal baru.

"Kar, beloknya gimana, nih?" tanya Nara sedikit panik saat melihat persimpangan dan mereka harus belok ke kanan.

"Pertama kurangi gigi."

"Berapa?"

"Ke dua atau satu."

"Dua apa satu?!" Nara sedikit panik, merasa bingung.

"Dua, dua. Terus tarik setengah kopling, rem bawah juga diinjak sedikit."

Tiba-tiba dari lawan arah ada sebuah mobil, karena kaget dan panik Nara malah menarik gas bukan menarik rem. Akibatnya ban depan berbenturan dengan mobil patroli polisi tersebut.

"Karrriiiin!" teriak Nara.

"Nabraknya pelan, nggak usah heboh." Karin menurunkan standard dan turun dari motor.

"Masalahnya nabrak mobil polisiiiii?!"

***

Danish tiba di pos polisi dengan napas terengah-engah, buliran keringat menjadi hiasan di wajah khawatirnya. Mengetahui Nara dalam keadaan baik-baik saja, pria itu menurunkan bahunya yang tegang. 

Sementara Nara duduk di kursi ruang tunggu, ia menduduk saat melihat Danish datang. Sebuah takdir yang lucu sedang mempermainkan Nara, seseorang yang ingin sekali dihindari malah menjadi penolongnya malam ini. Polisi menelpon Danish untuk membawakan surat izin mengemudi Nara yang tertinggal di apartemen pria itu. 

Antara jengkel dan malu, Nara merutuki dirinya sendiri. 

"Ini SIM istri saya, Pak. Jadi, kronologinya tadi gimana?" Danish menyerah SIM itu kepada polisi untuk dilanjut penilangan dan denda. Sembari bertanya pada polisi soal kecelakaan tadi, Danish terus melirik Nara yang masih menunduk. 

Motor Karin ditahan sampai gadis itu kembali membawa kelengkapan suratnya ke pos polisi. 

Usai menerima surat tilang dan jadwal sidang untuk membayar denda pelanggaran, Danish berjalan mendekat ke Nara. 

"Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka?" 

Tak menjawab, Nara justru berdiri dan keluar dari pos polisi.  Air mata terlihat mengalir di pipinya, gadis itu terlalu malu untuk menghadapi Danish detik ini. Ia juga membenci pria itu, hatinya seperti tercubit sakit saat mengingat bahwa Danish ingin menceraikannya, saat mengingat Danish membawanya ke dalam pernikahan hanya untuk dimanfaatkan. 

"Nara?" Danish menyusul.

Hujan rintik-rintik jatuh membasahi bumi. Tak peduli hal itu, kaki Nara terus berjalan di trotoar. Ia ingin kabur dari Danish, tetapi langkah pria itu mengikutinya.

"Ra! Mau ke mana?" Danish meraih tangan Nara, "Hujan. Ayo, masuk ke mobil."

"Nggak mau! Lepasin!" 

Danish kembali meraih tangan Nara, "Kalau kamu sakit gimana? Hujannya makin deres!"

"Emangnya sejak kapan kamu peduli? Nggak usah pura-pura, jijik tahu aku lihatnya."

Hujan tak menenangkan apa yang telah memanas, membara di kepala dan hati Nara. Sakitnya sudah di level luar biasa. Sementara Danish menyadari sejak awal memang sudah salah jalan keputusan, tetapi siapa sangka jika pria itu meletakkan perasaan sebelum waktunya? Sebelum bidak catur peperangan itu dimulai. 

Danish menatap punggung Nara yang semakin menjauh. 

"Nara, nggak bisa kita ngomong dulu?"

"Nggak!" sahut Nara masih tetap mengayunkan kakinya menjauh dari Danish. 

"Oke, kalau nggak mau ngomong. Tapi, aku mohon kamu jangan pulang ujan-ujanan. Aku anter." Danish kembali menyusul. "Masuk mobil, Nara."

Nara berbalik dan berteriak, "NGGAK! KALAU MAU CERAI, SILAKAN! URUS SURATNYA!" 

Nara menatap dengan bibir bergetar, air matanya sudah bercampur dengan air hujan. Segala mimpi dan harapannya membina rumah tangga dengan pria yang dicintainya luluh lantah berantakan, terhina dan terluka. 

"Kamu nggak ngerti, Ra. Aku cuma takut kamu kenapa-napa." Salahku memang nggak jujur dari awal. Tapi, semenjak kamu keluar dari rumah, aku rasa..." jeda beberapa detik, ia menatap Nara lamat-lamat di antara ribuan bulir hujan yang mengguyur, "aku nggak mau cerai."

Nara tersenyum kecut,  "Kamu pikir aku mau melanjutkan pernikahan yang kamu bawa karena harta dan warisan?" Nara menggeleng, "Aku udah nggak bodoh lagi, Kak."

Langkah Nara berputar, kembali mengayun menjauh dari Danish yang menatapnya dengan mata sendu. Ada retakan sebuah harapan untuk kembali memperbaiki dengan baik dari awal. Namun, ternyata kaca yang dipecahkan Danish untuk Nara, tak mampu kembali semula. Kaca itu terlanjut berkeping-keping hancur, tak utuh. 

Ternyata aku beneran sayang sama kamu, ya? Rasanya sakit mendengar kalimatmu barusan, Ra. Danish menggigit bibir menatap punggung Nara yang semakin menjauh. Menahan sesuatu yang mencubit hatinya, sakit. 

"Ra... Nara..." panggilnya dengan suara pelan.

"Nara!" panggilan itu semakin keras. 

Sementara Nara terus mengayunkan kakinya, air matanya deras membasahi pipi. Keputusannya sudah bulat untuk menyerah. Sebelum semuanya semakin sulit untuk dilepas dan diakhiri. Mungkin akan menjadi aib di usia pernikahannya yang seumur janggung, tetapi terkadang perpisahan adalah terbaik.

"Nara, aku-" BRAK! Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya dari belakang. Tubuh Danish terpental dan membentur tembok. 

Spontan kaki Nara berhenti melangkah, tangisannya yang terisak juga berhenti. Suara tabrakan itu terdengar jelas di belakangnya. Gadis itu mematung, memegang gemetar tali tasnya yang menggantung. Seperti ada selang waktu yang diisi dengan kosong, mendadak senyap, hanya ada suara detak jantungnya yang terasa berdentum-dentum. Bukan dia, kan?

Nara berbalik badan dengan perlahan, mobil yang menabrak Danish baru saja melarikan diri. Meninggalkan Danish yang tergeletak tersungkur tak jauh dari kaki Nara berpijak.

"KAK DANISH!?" teriakan Nara membelah hujan, kakinya mengayun cepat dengan gemetar. 

***

500 vote + 500 komen fast update!!!

Jangan males vote dan komen, gratis loh 😭

Oke, see you next part.

With love, Diana Febi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro