Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31 : Runtuh Dalam Semalam

Api membakar ujung rokoknya, pria itu berdiri di balkon apartemen sembari menatap hamparan lampu kota. Pikirannya semerawut detik ini, ia telah menyeret gadis yang salah untuk masuk ke dalam peperangannya.

Danish pikir Nara adalah gadis manja yang polos, gadis yang memberi warna untuk hidupnya yang gelap. Namun, semua warna yang ditampakkan gadis itu hanya bias dari warna-warna aslinya. Hidup Nara sama gelapnya dengan hidup Danish. Mereka sama-sama dituduh sebagai seorang 'pembunuh', menelan trauma yang sama.

"Dia sempat pindah sekolah, semua temennya merundung, mengucilkan. Apalagi rekan setimnya di Pelatnas. Dia terpaksa mengubur mimpinya tanding di Seagames dan Olimpiade. Pelatih sempat mempertahankan Nara karena pada dasarnya Nara tidak bersalah. Tapi, tetap saja tekanan publik dan orang-orang di sekitar membuat Nara menyerah. Dia mengundurkan diri di detik-detik pengukuhan," tutur Karin.

Danish menelpon perempuan itu beberapa waktu yang lalu setelah memastikan Nara tertidur dan meminum obat penenang. Danish selama ini tidak tahu kalau Nara juga mengonsumsi rutin obat-obat dari psikiater.

"Dia juga pernah hampir mengakhiri hidup, gantung diri di kamarnya. Tapi, untungnya papi tahu dan sejak itu papi nggak pernah ngambil proyek di luar kota. Nara pindah ke sekolahanku, tapi waktu itu kita belum saling kenal. Kami baru dekat waktu kuliah. Anaknya dulu pendiem, tertutup, dan anti sosial. Aku dan Dinda berusaha membuatnya lebih percaya diri, kami terus merangkul meski awal-awal sulit banget narik dia dari sumur depresinya."

"Dia nggak mau jadi atlet lagi?"

"Jangan, kan, balik jadi atlet, ngelihat obinya, pakaian tanding Judo aja dia langsung ke-trigger. Sampai sekarang mungkin dia masih bersalah soal tragedi itu. Yang Anda lihat sekarang itu adalah Nara versi buatan Psikiater. Aslinya dia masih gelap, tenggelam di sumurnya, belum bertemu titik damainya."

Memikirkan itu, tak sadar api habis membakar rokoknya. Ia mencabut satu batang rokok lagi, kemudian  membakarnya kembali. Pikirannua seperti kabel yang semerawut, memutar di kepala. Hisapan demi hisapan terus membakar ujung rokoknya, pemandangan city light sama sekali tak membantu menenangkan kepalanya yang riuh dengan pertimbangan, penyesalan dan juga kemarahan pada dirinya sendiri.

Setelah melenyapkan api di ujung rokok yang tinggal setengah batang, Danish meraih ponsel di saku. Ia menelpon paman, ada satu keputusan yang diambil setelah berpikir panjang.

"Halo, Paman?"

"Iya, Danish? Ada apa nelpon tengah malam? Mamamu baik-baik aja, kan?"

"Maaf, nelpon tengah malam, Paman. Mama... mama pasti baik-baik aja. Danish nelpon bukan soal mama."

"Hm? Terus? Ada masalah?"

Danish terdiam untuk beberapa detik. Sedikit berat untuk memutuskan, tetapi ia tak mau semua semakin berantakan. Mamanya harus segera keluar dari Pendopo Agung, ia harus berjalan sesuai rute rencana untuk melaksanakan kudeta.

"Danish, semua baik-baik aja, kan?"

"Paman, sepertinya Danish ... tidak mau menyeret Nara di perang ini."

"Maksudnya?"

"Nara bukan orang yang tepat buat ini."

"Lalu maumu apa? Rencana kita sudah berjalan, Danish. Istrimu tinggal hamil dan melahirkan anak, setelah itu kamu bisa kudeta. Kita nggak bisa menunda-nunda lagi, mamamu harus segera keluar dari sana."

Mendadak Danish bimbang. Ia takut Nara semakin terluka dan hidupnya kian menderita jika seandainya berdiri bersamanya di bidak catur peperangan. Nara sudah banyak menelpon kepahitan dalam hidup, Danish tidak mau menambah kepahitan itu. Sebelum semua terlanjur jauh dan sulit untuk diatur ulang, lebih baik Danish memutuskannya sekarang.

"Sepertinya Danish akan menceraikannya."

Pyar! Gelas di tangan Nara jatuh dan pecah ke lantai, ia baru saja akan membuka pintu balkon. Namun, dikejutkan dengan kalimat terakhir suaminya. Menceraikan? Danish akan menceraikannya?

Danish menoleh, ponselnya turut terjatuh dari tangan saat menyadari Nara berada di sana.

"Nara?"

Baru saja terpukul satu masalah, kini kembali terpukul dan jauh lebih menyakitkan. Istri mana yang tak akan merasa seperti disambar petir siang bolong saat mendengar suaminya tiba-tiba akan menceraikannya?

Pikiran Nara membentuk kemungkinan alasan-alasan paling logis mengapa Danish mengatakan itu. Apa karena masa laluku? Atau karena dia belum selesai dengan masa lalunya? Air mata jatuh tanpa perintah, langkahnya mundur sedikit demi sedikit.

"Nara, dengerin penjelasanku dulu."

Nara berbalik, ia berjalan balik ke kamar.

"Nara!" Danish menyusul.

Pria itu berhasil menjangkau tangan Nara, menarik gadis itu untuk menghadapnya. Air mata sudah banjir dari mata Nara.

"Lepasin, aku mau pulang ke rumah papi." Nara mencoba melepaskan tangan Danish dari lengannya.

"Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud—"

"Karena masa laluku? Karena aku seorang pembunuh?"

"Nara, bukan. Bukan itu."

"Lalu apa, Kak? Apa salahku?"

Danish tak mampu menjelaskan. Pikirannya mengambang melihat Nara menangis karena kalimatnya. Ada perasaan bersalah yang carut marut dengan perasaan sakit hati yang tidak jelas dari mana asal usulnya. Melihat Nara menangis seperti ini, turut menyakiti hatinya.

"Aku—"

"Bilang aja, sih, Kak! Bilang aja terus terang kalau kamu masih belum bisa move on," sahut Nara dengan suara bergetar, air mata tak bisa lagi dibendung. Meluncur begitu saja mewakili luka. "Itu sebabnya sampai sekarang kamu nggak bisa kasih aku nafkah batin. Iya, kan?"

"Nara, bukan—"

"Kamu terus terbayang mantanmu, karena itu kamu nggak sanggup meniduriku, kan?! Kamu jahat banget, tahu, nggak? Terus buat apa kamu nikahin aku kalau akhirnya bakal kamu ceraiin? Ha? Seharusnya kamu nolak buat dijodohin sama aku?!"

Nara berlalu dari hadapan Danish. Pria itu langsung meraih tangannya kembali, mencegahnya pergi.

"Bukan karena itu, Ra."

"Lepasin!"

"Dengerin aku dulu, bisa nggak?"

Nara menggeleng, menepis tangan Danish. "Aku nggak tahu apa alasan sebenarnya kamu mau dijodohin. Tapi, ini keterlaluan buat aku. Kalau emang karena belum cinta, usaha dong! Kita belum sebulan nikah, Kak! Kamu mau buat malu aku sama keluargaku?"

"Aku nggak ada hubungan apa pun lagi sama Isabel. Demi Allah, Nara." Danish mencengkeram bahu Nara, "Apa pun yang dia katakan, udah nggak berarti lagi buat aku. Aku juga mulai udah nggak peduli apa pun lagi tentangnya."

"Terus apa alasannya kamu nggak kasih aku nafkah batin? Apa alasannya kamu ngehindarin aku terus setiap malam? Aku selalu mikirin apa alasanmu, tapi aku buntu. Terus tiba-tiba denger kamu mau ceraiin aku. Ooh ... aku emang nggak pantes buat kamu cintai, ya?"

Danish menggeleng. "Nara, denger, bukan itu."

"Dia juga nelpon kamu, kan, waktu subuh itu. Di malam setelah kita nikah?" Raut Nara terpias kekecewaan yang dalam, matanya basah dengan bulir bening yang mengalir ke pipi.

"Duduk dan aku jelasin," kata Danish. "Aku bakal jelasin semuanya. Aku bakal jujur alasanku menerima perjodohan dan alasanku tadi bilang..."

Nara bergeming, tak langsung menurut.

"Aku mau ngambil sesuatu, kamu tetap di sini," kata Danish lagi, rautnya khawatir kalau Nara akan pergi setelahnya berlalu ke ruang kerja untuk mengambil sesuatu. "Tetap di sini, ya, aku mohon."

Nara menyeka pipi, gadis itu berjalan ke sofa dan duduk di sana dengan gemuruh dadanya yang kecewa dan marah serta benaknya yang penuh tanda tanya.

Danish segera melesat ke ruangan kerjanya yang masih berantakan, belum selesai ditata. Banyak tumpukan buku di dalam dus, tetapi ada satu barang yang sudah ia simpan rapi di salah satu laci lemari di sana. Ia mengambil barang itu dan segera kembali ke ruang tamu.

Danish meletakkan surat salinan perjanjian pranikah orang tuanya, kemudian menjelaskan dari alasan sebenarnya perjodohan itu ada. Ia menjelaskan semuanya tanpa ditutupi, tanpa terkecuali ancaman tak langsung dari sang ayah di malam resepsi pernikahan mereka. Nara diam mendengarkan, piramid kepercayaannya pada Danish sedikit demi sedikit mulai runtuh.

"Jadi, kamu cuma manfaatin aku? Setelah dulu kamu manfaatin aku buat nyelametin perusahaan sahabatmu, sekarang kamu manfaatin aku buat nyelematin harta warisan keluargamu?" Air mata mengalir di pipi Nara. "Kamu jahat, ya, Kak."

Danish sudah menduga akan mendapat respons demikian, bahu pria itu semakin membengkung. Ia meraih tangan Nara, "Maaf, kalau kesannya aku manfaatin kamu."

Nara menepis tangan Danish, hatinya terlanjur sakit. Gadis itu berjalan ke kamar, mengambil ponsel dan keluar setelah itu.

"Nara, aku cuma nggak mau hidup kamu semakin menderita."

"Harusnya sebelum kita nikah kamu ngomong, Kak! Ini sama aja kamu nyakitin aku berkali-kali, ngebuat hidupku jauh semakin menderita, kamu tahu?!"

"Nara, jangan pergi."

"Maumu apa? Maumu aku tetap di sini dengan suami yang berniat ceraiin aku? Iya?"

Danish membisu, ia hanya menatap mata Nara yang terluka karenanya.

"Aku mau nenangin diri. Jangan cegah aku pergi." Gadis itu berlalu dari hadapan Danish.

"Nara ..."

Nara berbalik sebentar, ia memukul-mukul dada Danish berkali-kali meluapkan kekesalannya. Teriakannya terdengar hancur dan pilu. Hatinya benar-benar patah. Harapan, cinta dan rasa percaya seolah runtuh dalam semalam.

Sementara Danish pasrah untuk dipukuli. Ia membiarkan Nara melampiaskan kecewa dan marahnya. Sebelum gadis itu benar-benar berlalu dari hadapannya, meninggalkan pria itu dengan segunung rasa bersalah. 

***

Masih ada satu konflik lagi dan itu jadi titik balik hubungan Danish dan Nara sebelum masuk ke konflik utama 🥲
sakit sakit dulu, sebelum baper kemudian.

Minal aidzin wal Faizin mohon maaf lahir dan batin ya, Miaowers 💞

secepatnya aku update, jangan lupa vote dan tinggalkan komentar yaaa 🤍



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro