Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

031: Kepakan Sayap Burung

Banyak orang yang menganggap bahwa mereka yang memiliki tawa paling banyak, hidup yang paling berwarna, wajah yang selalu terlukis senyum adalah mereka yang memiliki hidup yang nyaris sempurna.

Namun, sebenarnya ia yang memiliki luka paling dalam, paling tajam menusuk.

Banyak orang pula yang menganggap bahwa mereka yang mampu memiliki apa yang diinginkan, seperti menikah dengan orang yang dicintai, memiliki keluarga yang hangat, dan persahabatan yang seru adalah mereka yang paling beruntung.

Namun, coba tanya, apa yang telah diambil Tuhan dari hidupnya?

Nara memiliki ayah yang hangat, yang membuatnya merasa menjadi seorang putri dalam kerajaan. Ia juga memiliki dua sahabat yang seru, Karin yang selalu mendukung dan Dinda yang selalu mengajak dalam kebaikan. Nara juga menikah dengan pria yang dicintainya, yang rupawan dan juga mapan.

Namun, apa yang telah Tuhan ambil darinya?

Yakni ibu. Juga mimpinya yang paling besar.

Lantas, apa luka yang paling tajam menusuk dalam hidupnya?

"Masih bisa ketawa kamu setelah membunuh anakku?"

Layangan tangan mengarah ke Nara, tetapi sigap dicegah oleh Danish.

"Jangan berani-beraninya menampar istri saya. Hadapi saya karena saya suaminya." Danish berdiri di depan Nara, mencoba melindunginya.

"Hijabmu nggak bisa menutupi perbuatanmu. Pembunuh tetap pembunuh. Bisa-bisanya kamu masih bisa hidup tenang setelah membuat anakku mati!"

"Kita bicara di tempat lain, ya, Tante?" kata Nara dengan suara gemetar.

Ibu itu kembali tersenyum kecut, matanya pedas ingin sekali menjambak hijab yang menutupi kepala Nara. Kebenciannya kepada Nara semakin menjadi-jadi.

"Perhatian semuannya! Dia!" Ibu itu menunjuk Nara, "Anak saya mati gara-gara dia! Dia yang membunuh anak saya! Saya kehilangan anak saya satu-satunya, anak saya yang saya banggakan, mati gara-gara dia!"

Semua orang di resto itu menatap ke mereka.

"Ibu, jangan ngomong sembarangan. Saya bisa menuntut Anda atas pasal pencemaran nama baik." Danish benar-benar tidak tahan.

"Memangnya Anda tahu masa lalu istri Anda? Dia pembunuh!"

Danish terdiam untuk sekian detik, tetapi matanya masih nyalang tajam menatap ibu-ibu di depannya itu. Ia memang tidak tahu masa lalu Nara, tidak tahu pula apa yang dimaksud ibu itu, mengenai tuduhannya terhadap Nara sebagai pembunuh.

"Sebelum saya lapor polisi, lebih baik Anda pergi dengan tenang."

"Pak—"

"Diem, Nara. Jangan menahanku." Danish kembali menatap pedas ke ibu itu, "Kalau Anda menganggap putri Anda meninggal karena istri saya, silakan buat laporan ke polisi. Mari kita selesaikan di pengadilan. Sekaligus saya bisa melaporkan Anda atas pencemaran nama baik, menggangu kenyamanan dan membuat kegaduhan."

Danish terlihat tenang, tetapi tidak dengan matanya yang terus menajam.

"Anak saya korban! Dia yang membuat anak saya lumpuh dan meninggal! Sampai kapan pun saya tidak terima dia bisa hidup tenang!"

"Kalau begitu ayo ke pengadilan! Buktikan siapa yang salah!" suara Danish semakin lantang.

"Danish—" Marvin turut berdiri, mencoba menengahi.

Petugas keamanan resto datang dan melerai keributan. Meski dengan mendumel sumpah serapah, ibu itu pergi dari sana. Danish pun tak berhenti menatapnya tajam hingga ibu itu hilang dari penglihatannya.

Nara langsung terduduk lemas, wajahnya terlihat memucat seolah-olah darahnya surut beberapa menit lalu. Dua tangannya juga gemetar hebat.

"Hei?" Danish mencari tatapan istrinya. "Aku antar balik ke kantor, ya? Ayo." Danish meraih tangan Nara yang gemetar, menggenggamnya erat. "Jangan berasumsi apa pun sebelum mendengar penjelasan Nara, saya harap kalian tidak termakan tuduhan tanpa bukti," ujarnya ke arah para karyawan yang membisu karena terkejut sejak tadi.

"Ba-baik, Pak."

Di belakang gemelatuk suara fantovel milik Danish, air mata Nara deras menetes. Laju langkahnya ditarik oleh genggaman erat tangan Danish, membelah kerumunan pejalan kaki di trotoar. Kemudian kaki mereka berhenti di pinggir jalan, menanti traffic light berwarna hijau. Sepanjang waktu bergulir menunggu, tiada kalimat yang terucap, tetapi genggaman semakin erat.

Sejak awal Nara sadar bahwa ia tak mungkin bisa menyembunyikan masa lalunya pada Danish selamanya. Cepat atau lambat pasti akan terungkap. Danish pasti akan tahu bahwa Nara yang ia kenal punya masa kelam. Satu kata kunci diketik di laman pencarian akan membeberkan segalanya. Tentang meninggalnya seorang atlet muda karena sebuah persaingan yang 'kotor'.

Traffic light menghijau, beberapa orang menyeberangi jalan. Termasuk Nara dan Danish, masih tanpa kalimat yang diucap. Hening di tengah hiruk pikuk suara kendaraan dan orang-orang.

Tiba-tiba di tengah jalan, Nara melepaskan genggaman. Danish menoleh, melihat istrinya perlahan mundur, ragu untuk terus mengikuti langkah Danish.

"Jangan pergi, aku ingin dengar penjelasanmu."

Mendengar itu, ketakutan Nara semakin menyeruak. Langkah mundurnya terhenti. Ia masih menunduk, tak sanggup untuk mendongak menatap mata Danish. Ia malu, sekaligus takut.

"Ayo." Danish kembali mengulurkan tangannya.

Namun, uluran tangan itu tak jua disambut. Nara tiba-tiba pergi, berlari kencang di antara orang-orang dan seketika menghilang dari penglihatan Danish.

"Nara! Nara! Nara!" panggil Danish mencari-cari, membelah pejalan kaki yang menyeberang. "Nara!" panggilnya saat melihat sekelibat, lantas benar-benar menghilang dari penglihatannya.

Danish lari ke sana ke mari, tampak gusar. Dari gang satu ke gang yang lain, dari kemungkinan jalan yang dilewati Nara, kaki Danish terus mencari-cari. Tanpa jejak, seperti lenyap begitu saja. Sembari menempelkan ponsel pada telinga kanan, matanya menyapu segala arah.

"Nara, kamu di mana?" desisnya di tengah rasa khawatir dan juga rasa marah karena Nara pergi begitu saja tanpa penjelasan.

Tak menemukan satu jejak pun di sana, Danish memutuskan untuk kembali ke kantor. Barangkali Nara sudah kembali ke sana. Namun, mejanya kosong, Danish mendapati tatapan bingung pada karyawan yang lain, tentang apa yang terjadi saat Danish tiba-tiba datang dengan raut khawatir mencari Nara.

"Lo dari mana aja?" tanya Marvin.

"Kamu nggak lihat Nara?"

"Bukannya pergi sama lo?"

"Hm. Tapi, dia pergi."

"Sebenarnya ada apa, sih?"

"Aku juga nggak tahu." Danish melangkah menuju lift, "Vin, aku izin pulang dulu. Aku khawatir sama Nara, aku mau cari dia."

"Lebih baik lo datang ke orang yang lebih tahu tentang Nara, deh."

Danish urung masuk lift, ia menoleh ke Marvin. "Siapa?"

"Siapa lagi? Karin."

Setelah mendengar itu, Danish masuk lift dan melesat menuju rumah Karin. Mobilnya membelah jalanan, sembari terus menghubungi Nara. Namun, tetap tidak pernah ada jawaban. Jarak yang biasa ditempuh dalam satu jam, seperti punya keajaiban menempuhnya dalam waktu setengahnya. Deru mobil Danish telah sampai di bengkel milik keluarga Karin.

Karin mendongak dari lantai dua, dahinya terlipat saat melihat Danish keluar dari mobil. Ngapain dia ke sini?

"Nggak ada, dia nggak nelpon sama sekali. Ada apa?" tanya Karin setibanya Danish di hadapannya, menanyakan apakah Nara menghubungi Karin hari ini.

Ia menceritakan apa yang terjadi di restauran beberapa waktu lalu, wajah Karin yang penasaran berubah menjadi kerjapan terkejut. Masa lalu yang dimaksud itu jauh sebelum Karin mengenal Nara, ia tidak tahu persis dengan kejadian itu. Namun, ia tahu ceritanya dari Dinda.

"Tolong, ceritakan sedikit saja, saya perlu tahu," desak Danish.

"Gimana kalau dia nggak mau Anda tahu? Buktinya dia pergi tanpa penjelasan."

"Saya nggak tahu harus tanya siapa, saya nggak mungkin tanya papi."

"Anda juga seharusnya nggak mungkin tanya saya. Saya nggak mungkin menghianati sahabat saya. Meskipun Anda suaminya, gimana kalau dia benar-benar nggak mau Anda tahu?"

Danish menatap Karin frustasi.

"Anda sudah mencintainya?"

Pertanyaan Karin mendapat lipatan dahi dari Danish, di tengah kekhawatirannya pada Nara, terdengar tidak relavan dengan pertanyaan itu.

"Belum," jawab Danish.

"Ya, sudah, silakan cari tahu sendiri."

Danish menghela napas panjang, ia sungguh tidak paham dengan Karin. Sebetulnya ia juga tidak paham pada dirinya sendiri, kalau pun belum jatuh cinta mengapa sefrustasi ini mencari Nara? Iris matanya bergetar, membulat menyadari sesuatu.

"Ah, ternyata sudah, ya?" Karin dapat menangkap itu.

Danish menggeleng, menolak prasangka Karin yang mengatakan ia telah jatuh cinta pada Nara.

"Saya kasih clue," ujar Karin seperti mengabaikan gelengan kepala Danish, "Mindy Mandayu."

"Siapa itu?" Danish mengernyit, ia belum pernah mendengar nama itu sama sekali.

"Cukup cari tahu itu, Anda pasti paham apa yang terjadi pada Nara delapan tahun silam." Karin berbalik masuk ke dalam rumahnya, masih mengguna kursi roda karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi, "Ah, ya."

Karin menoleh sedikit, "Selamat jatuh cinta pada Nara."

Danish tak menanggapi kalimat Karin, pria itu pergi detik itu juga. Seusai menutup pintu mobil, Danish berdiam sejenak. Kalimat terakhir Karin semakin lama semakin menganggu. Ia merasa belum jatuh cinta pada Nara.

Danish kembali menggeleng, ia hanya penasaran. Itu saja. Bukan jatuh cinta, anggapannya begitu.

Pria itu mengeluarkan ponsel dari jasnya, kemudian mengetik di laman pencarian google dengan kata kunci, 'Mindy Mandayu.' Sebelum mengetuk 'cari', Danish menyiapkan diri untuk mengetahui fakta tentang istrinya. Ia jadi sedikit takut, bagaimana kalau hidup Nara jauh lebih rumit dari hidupnya? Bagaimana ia akan membawa Nara dalam bidak catur peperangan jika hidup mereka sama-sama rumit?

Ia menyadari keputusannya untuk menerima perjodohan dengan Nara, sepertinya memang salah.

Jari Danish mengetuk panel 'cari', dalam hitungan detik ratusan artikel muncul dengan headline paling atas tertulis 'Atlet Judo mengakhiri hidup setelah gagal lolos ke Seagames 2015'.

Danish menatap lamat-lamat judul itu, selama beberapa detik. Ia meneguk ludah sebentar, sebelum membuka artikel tersebut.

"Mindy Mandayu, 17 tahun, atlet Judo yang memutuskan mengakhiri hidup setelah gagal lolos ke Seagames. Hal itu ditengarai oleh kejadian nahas pada pertandingan uji coba sebelum dikukuhkan mewakili Timnas ke ajang Seagames 2015. Mindy maju ke final pertandingan uji coba melawan rekan setimnya, ND (17). Tak menerima kekalahan, Mindy mengungkap ND menerima suap pada saat pertandingan uji coba. Hal itu diakui ND di tengah lapangan, tetapi ND juga menjelaskan bahwa uang suap urung diterima dan dikembalikan kepada ibu Mindy sebelum babak final. Mindy merasa tidak terima, ia melakukan gerakan impulsif mendorong ND ke pinggir lapangan. Keduanya terlibat perkelahian, ND membanting Mindy membuat Mindy tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan, Mindy dinyatakan lumpuh permanen karena patah tulang belakang. Dan dilaporkan mengakhiri hidup bertepatan dengan pembukaan Seagames 2015 yang dihelat di Singapura."

Danish menahan napas untuk beberapa detik.

"ND? Naraina Danisha?"

Pria itu menelan ludah sebentar, kembali bernapas dengan pelan. Jarinya kembali berselancar, membaca puluhan artikel, mencoba mencari sudut pandang yang berbeda. Banyak artikel yang menyudutkan ND meskipun ND dinyatakan tidak bersalah di pengadilan, hakim menilai bantingan yang dilakukan ND adalah bentuk dari pembelaan diri. Tindakan penerimaan suap itu dinilai tidak kuat dihukum sebab ada bukti rekaman CCTV ND mengembalikan uang suap itu kepada orang tua Mindy.

Di setiap artikel itu pun, tak sedikit komentar jahat yang ditujukan kepada ND.

"Persaingan kotor, ND seharusnya dihukum. Kalau nggak menerima suap itu, Mindy nggak mungkin melakukan penyerangan."

"Atlet mental suap. Paling-paling masuk Timnas karena sogokan."

"ND munafik. Sok bersih. Harusnya nggak usah nerima suap dari awal. Kasihan Mindy, padahal masih muda, cantik dan berbakat."

Tanpa sadar Danish mencengkeram kuat ponselnya, setiap menggulir komentar-komentar itu. Hingga di komentar "Namanya jangan disingkat, Naraina Danisha, dia putri mantan atlet Judo, Ali Shah yang mengundurkan diri karena perkelahian dengan pelatihnya saat di Timnas dulu. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Keturunan bar-bar. Harusnya dia yang modar!"

Danish membanting ponselnya ke kemudi, keras sekali hingga membuat layarnya retak dan tergeletak di bawah. Rasa emosi menjalar di kepalanya, darahnya seolah-olah mendidih. Meskipun belum mendengar cerita Nara langsung, Danish dapat menilai perkara itu tidak seharusnya Nara yang disalahkan sepenuhnya.

Mobilnya melaju kencang seolah ingin menabrak siapa pun yang menghalangi jalannya. Pria itu mencari-cari Nara di setiap sudut jalan, Jakarta dilahap dalam pencariannya hingga malam. Hingga di suatu jalanan yang ramai lalu lalang kendaraan. Sekelibat Danish melihat hijab warna merah mudah terlambai di bawah tiang traffic light di seberang jalan. 

Spontan Danish menginjak rem, ia langsung menepikan mobilnya. Pria itu keluar dari mobil dan berjalan mendekat memastikan. Perempuan di seberang jalan sana  berdiri dengan tatapan kosong, pelan melangkah menuju lalu lalang mobil melaju kencang di jalanan. 

"Nara! Nara!" Danish menyeru, tetapi Nara seperti tuli. Perempuan itu ke badan jalan, terus melangkah ke tengah jalan. 

Danish di seberang langsung membelah jalan, meski disumpah serapahi pengemudi karena menyeberang sembarang. Beberapa detik sebuah mobil hampir menabrak Nara, Danish berhasil menangkapnya. 

"Kamu gila, ya!" bentaknya, mencengekeram dua pundak Nara setelah menyeret perempuan itu keluar jalan. "Kamu nggak lihat tadi ada mobil, ha?! Kalau kamu ketabrak gimana?"

Nara mendongak dengan mata yang sembab, penuh air mata. "Kata mereka ... aku pantas mati, Kak."

Mendengar itu jantung Danish seperti teremas sesuatu yang menyakitkan.  Urat marahnya tenggelam, tatapannya yang tajam pun melunak. Teringat beberapa komentar jahat yang sebelumnya ia baca. Melihat kondisi Nara yang pucat dengan mata sembab, terasa amat menyakiti perasaannya.  

Danish menarik tubuh Nara dalam dekapan, memeluknya erat. Tangisan perempuan itu pecah di tengah hiruk pikuk suara kendaraan. Danish semakin memeluknya dalam-dalam, perasaan sayang itu muncul seperti kepakan sayap burung yang singgah di hatinya. Semakin keras tangisan Nara, semakin sakit hati Danish mendengarnya. 

***

Miaowers, 500 vote + 700 komen fast update 🔥
Sampai jumpa di part selanjutnya ❣️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro