030: Tamu Tak Diundang
Kaki Nara berputar mengelilingi meja makan, di belakangnya Danish berusaha mengejar. Dari dapur, Nara berusaha menjangkau kamar dan berniat bersembunyi di sana, tetapi nyaris ia tertangkap. Ia pun berlari ke depan, ke ruang TV. Berputar-putar mengelilingi sofa.
"Sini, nggak?"
"Nggak mauuu!"
"Awas aja kalau ketangkep."
Nara berteriak sembari menaiki sofa, disusul Danish yang kembali nyaris menangkapnya. Gadis itu melompat ke ruang tamu, di sana kembali memutari sofa.
"Ini gara-gara kamu, tauk!"
"Aku, kan, udah minta maaf!"
"Emang maaf doang selesai? Kamu nggak tahu aja nahan sakit haid, belum makan dari siang, terus disalah-salahin nggak ada benernya. Mana galak banget kayak macan!" omel Nara tanpa berhenti berputar di sofa.
"Udah, udah, berhenti. Aku nggak ngejar. Nanti kamu sakit lagi." Danish menghentikan kaki, berhenti mengejar. Napasnya terengah-engah, meskipun kaki Nara kecil, gadis itu lincah sekali sulit ditangkap.
Nara menatap awas, berhenti berlari di belakang sofa.
"Udah, ya? Aku minta maaf."
"Berarti kemarin itu sengaja?"
Danish menggeleng, "Nggak. Aku cuma kebawa emosi. Kemarin malam Paman telepon, kondisi mama lagi drop. Jadi, aku nggak bisa berpikir jernih. Aku minta maaf."
Meski kesal, mendengar mertua—yang belum pernah ia temui—sedang drop, ia merasa khawatir. "Sekarang udah baik-baik aja?"
Danish mengangguk. "Paman ngabarin tadi udah membaik."
"Syukurlah. Tapi, besok kamu harus minta maaf juga sama yang lain. Veve kemarin harus jemput adiknya, tapi telat gara-gara kamu. Wina harus naik taksi lebih mahal ke rumahnya karena kereta terakhir dah lewat."
"Oh, ya?"
"Hm. Kita punya grub, yang nggak ada kamunya. Jadi, mereka pada ghibahin kamu di sana. Aku nggak suka kamu dijelek-jelekin, meski kenyataan emang kamu nyebelin."
Danish menatap Nara sejenak, menahan sudut bibirnya untuk tersenyum. Kemudian pria itu mengangguk. "Oke. Aku besok traktir mereka makan siang."
"Good! Jangan diulangi lagi." Nara mengulurkan tangan kanannya, "Damai?"
Danish mendekat menjabat tangan Nara sebagai bentuk perdamaian di antara mereka. Namun, Danish lagi-lagi tertipu saat tiba-tiba Nara menggigit lengannya. Pria itu memekik sebentar, meski sakit ia berusaha tidak melepaskan tangan Nara.
Keduanya jatuh bersama ke sofa dengan posisi Danish di bawah Nara. Mata bertemu mata, mengerjap dan membulat. Keduanya membeku untuk waktu yang lama, hanya saling bertatap. Entah itu menatap bibir, hidung, pipi Nara yang memerah, atau pupil yang bergerak ke sana kemari. Gugup.
Jantung berdetak hampir seirama, kencang. Suasana menjadi intim untuk dua orang yang kemarin saling sebal dan membenci. Sesuatu seperti magnet menarik Danish untuk menatap bibir Nara, ada perasaan yang penasaran? Apakah ia benar-benar sudah jatuh hati pada gadis yang pernah ia tolak mentah-mentah itu?
Boleh aku ingin membuktikannya? Aku penasaran.
Tangan kiri yang menyanggah tubuh Nara agak tak jatuh itu perlahan bergerak ke atas, ke tengkuk leher gadis itu. Mungkin besok ia akan menyesalinya, tetapi entah mengapa detik ini seolah persetan dengan apa pun.
May I kiss you?
Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Spontan keduanya saling menarik jarak, seolah baru saja tersadarkan dari lamunan yang menggelamkan.
"Siapa?" Nara menggigit bibir, mendadak menjadi canggung.
"Ehem—" Danish berdeham, merasakan hal yang sama. "Aku buka pintunya."
"Hm. Aku mau ambil jilbab dulu." Nara berjalan ke arah kamar. Sementara Danish berjalan ke pintu.
Sarah, ibu tiri Danish datang secara tiba-tiba. Danish tahu perempuan itu akan membuat kekacauan di sini, ia tak mau Nara menemuinya. Namun, sayang, Sarah tidak sendiri, ia bersama Eran, putra Sarah dari suami sebelumnya.
Eran dan Danish memiliki hubungan yang sama buruknya. Mereka seumuran, Eran dibawa ke Pendopo Agung di hari pertama Sarah pindah ke sana. Eran juga disekolahkan di sekolah Danish. Tingkahnya menyebalkan, pembuat onar dan bergabung dengan kelompok penindas yang suka memalak. Eran sering merusak mainan Danish, tak jarang juga mencuri barang-barang milik Danish. Kabarnya ia menempati kamar Danish sepergi Danish dari Pendopo Agung. Tak hanya kamar, tetapi juga fasilitas lainnya, mobil, baju-baju dan semua barang yang ditinggalkan Danish.
Saat Danish mencoba menutup pintu, Eran lebih dulu mendorongnya. Pria itu masuk tanpa Danish persilakan.
"Kita bicara di luar. Jangan di sini," ujar Danish.
"Mmm..." Eran duduk di sofa, "Gue mau ketemu sama ipar gue. Di mana dia? Gue denger dia cantik, hm?"
Sarah tersenyum sembari ikut berjalan masuk. Perutnya terlihat besar, tengah hamil tujuh bulan. Anak dalam kandungan itu digadang-gadang akan menjadi pewaris tunggal Pendopo Agung dan Thunder Holdings, setelah menggugurkan Danish dari hak warisnya.
"Kita nggak lama di sini. Aku hanya mau mengantarkan undangan." Sarah memperlihatkan undangan beramplop dengan stampel Pendopo Agung. "Ayahmu akan mengadakan open house sebagai syukuran maju ke pilihan gubernur tahun depan. Presiden hadir, para Menteri, pejabat, rekan bisnis, semua hadir."
Danish masih berdiri di pintu dengan tatapan tajam, jika tidak sedang hamil mungkin Sarah akan diseret paksa keluar dari rumahnya.
"Sialnya, ada salah satu Menteri nanyain kamu." Sarah tertawa sebentar sembari duduk sofa, "Jadi, kamu harus datang dengan istrimu ke pesta. Ayahmu nggak mau rumor masa lalu terungkit karena kamu tidak hadir di pestanya."
Saat SMP, Danish pernah melaporkan ayahnya atas tindakan penganiayaan. Sempat masuk berita dan Candra dipanggil ke kantor polisi. Namun, uang dan jabatan menyelamatkannya dari rumor.
Memakai hijab instan dan sweater rajut, Nara keluar dari kamar.
"Oh, hai?" Sarah menyapa.
Danish langsung berjalan ke Nara, sedetik sebelum Eran mendekat dan mengulurkan tangan, Danish berdiri di depan Nara. Pria itu menatap tajam Eran, seolah memberi sinyal untuk tidak mendekati istrinya.
"Kami terima undangannya. Kalau tidak ada kepentingan lagi, silakan keluar."
Eran menepuk-nepuk bahu Danish, "Gue pengin kenalan sama istri lo." Eran bergeser ke samping Danish, mengulurkan tangan ke Nara, "Hai? Gue Eran."
"Nara." Gadis itu tak menyambut uluran tangan Eran. Ia merasa suasananya tidak begitu nyaman, tangan kanannya memegang erat kemeja belakang Danish. Sedikit takut.
Eran terkekeh, tersenyum miring. "Lo tahu, nggak? Suami lo ini dulu—"
"Keluar, nggak?" sela Danish. "Atau aku seret?"
Sarah berdiri dari sofa, "Nggak perlu. Ayo, Eran, kita pulang. Jangan lupa datang minggu depan, Nara juga harus bertemu dengan mama mertuanya, kan? Ah, dia sudah tahu belum?"
"Tante, silakan keluar!"
"Lo jangan bentak nyokap gue, ya!" Eran tidak terima. Suasana semakin memanas. Nara semakin erat memegang kemeja Danish.
Sarah tertawa, ia tahu kalau Danish menyembunyikan fakta soal mamanya yang tidak waras di Pendopo Agung. Sarah jadi yakin kalau pernikahan dadakan putra tirinya itu disenyalir karena harta warisan.
"Sampai ketemu minggu depan. Pasti bakalan seru, hahaha. Ayo, Eran." Sarah berjalan menuju pintu, diikuti Eran di belakangnya dengan mata sengit dan senyum yang menyebalkan di mata Danish.
Sepergi mereka, perlahan Nara melepaskan peganggannya di kemeja Danish. Untuk sekian detik mereka membisu, sebelum akhirnya Danish membalikkan badan.
"Ra, maaf, aku harus ke rumah Paman."
"Sekarang?"
"Jangan tunggu aku, mungkin malem banget pulangnya."
"Semua baik-baik aja, kan, Kak?"
"Hm." Danish tersenyum, senyuman yang menyembunyikan kekhawatiran. "Aku pergi dulu, ya. Jangan lupa kunci ganda pintunya, jangan bukain pintu siapa pun yang datang selain aku. Hm?"
Mendengar itu Nara tertegun untuk beberapa detik.
"Nara, denger aku?"
"Iya." Nara tersadar dari rasa tertegunnya. "Kamu nggak makan dulu?"
"Nggak usah, nanti saja." Danish menyambar kunci mobil di atas meja dan juga undangan yang baru saja diberikan ibu tirinya, kemudian berjalan menuju pintu. Sejenak ia menoleh ke Nara, "Tolong ponselnya tetep aktif dan selalu di dekatmu, hm?"
Nara mengangguk. Meski ada tanda tanya besar menggantung di kepala gadis itu, ia memilih bungkam detik ini. Dari awal ia merasa jika hubungan Danish dan keluarganya tidaklah baik, mungkin saja ada sesuatu yang belum waktunya Nara tahu.
Nara menutup pintu sepergi Danish, menguncinya ganda sesuai perintah. Kemudian ia duduk di sofa, termenung di sana dengan deretan tanya berputar di kepala.
***
Nara mendapati Danish tidak pulang semalaman. Sekitar jam sebelas malam, pria itu mengirim pesan yang dibaca Nara saat bangun, di pagi harinya. Danish bilang ia tidak pulang karena menyelesaikan urusan bersama pamannya. Entah apa pun itu, perlahan Nara seperti ditarik ke dunia Danish yang penuh teka-teki.
Seperti yang pernah Nara bilang, Danish itu seperti danau yang di dalamnya sukar ditebak riaknya. Tidak keruh, tidak juga bening. Abu-abu. Hanya cinta yang Nara punya yang mampu membuatnya tidak peduli dengan segala riak di dalam danau milik Danish.
Nara menyikap selimut, bersiap untuk ke kantor.
"Lo kenapa?" tanya Jian setiba Nara di mejanya.
"Nggak apa-apa, cuma kecapekan," jawab Nara sembari melirik ruangan Danish yang kursinya masih kosong. "Pak Danish belum dateng?"
"Kalian, kan, serumah, kok nggak tahu dia udah pergi atau belum?" sahut Veve.
"Oh—" Iya juga, ya. "Itu... karena dia berangkat duluan mampir ke rumah pamannya, sih, katanya gitu."
Seperti tahu kalau sedang dibicarakan, pria itu tiba-tiba muncul dari pintu.
"Pagi, Pak," sapa semuanya.
"Hm, selamat pagi." Danish membalas sapaan, sebelum masuk ke ruangannya ia menoleh ke arah kubikel karyawan. "Nanti saya traktir makan siang. Kalian yang pilih restaurannya."
"Wiiih!" semua bersorak kegirangan. Danish bukan tipe atasan yang royal, tetapi mendadak hari ini pria itu akan mentraktir. Tentu itu karena perjanjiannya dengan Nara, gadis yang duduk di mejanya dengan senyum hangat detik ini. Soal semalam, ia akan menanyakan nanti saat di rumah.
Jam istirahat tiba, semua karyawan Tim Pengembang berjalan mengikuti langkah Danish menuju restauran prasmanan terkenal enak dan mahal di seberang gedung.
"Ada hajat apa lu traktir kita?" tanya Marvin sambil memilih makanan di antrean pengunjung resto.
"Nggak ada. Lagi pengen traktir aja."
Marvin terkekeh, kemudian pria itu berbisik, "Pasti Nara yang maksa, kan?"
Danish melirik atasannya itu dengan pandangan protes untuk diam. Tahu, saja.
"Nggak sabar bulan depan Pekan Olahraga Tahunan. Greget banget kita nggak pernah jadi Juara Umum," celoteh Wina saat mereka sudah duduk di meja panjang restauran, saling berhadapan.
"Pekan Olahraga Tahunan?" beo Nara karena baru mendengar itu.
"Iya, disingkat POT. Di Capital Tower tuh setiap tahun punya acara olahraga yang mempertemukan perusahaan kita sama perusahaan lain. Macam pertandingan Seagames antar negara, kalau kita antar perusahaan."
"Seagames?" Nara selalu tersentil mendengar satu istilah itu.
"Juara umum dapat hadiah liburan ke luar kota," imbuh Jian.
"Oh, ya?" Veve dan Nara nyaris berseru bersamaan. "Seru dong!"
"Tahun kemarin ke Bali. Katanya tahun ini ke Lombok, sih. Full gratis, tanpa biaya apa pun," imbuh Marvin. "Cuman kita nggak pernah menang, pada males karyawan gue."
Kalimat terakhir Marvin dihadiahi tawa dari bawahannya.
"Ah, Pak. Saya punya ide," sahut Nara tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Semua orang tertuju menatapnya, "Gimana kalau acara itu kita manfaatkan buat promosi produk baru kita? Kayak kita kasih sample gitu ke orang-orang yang hadir di sana. Sponsor?"
"Iya, iya, gue kok nggak kepikiran? Ide bagus, tuh."
"Kita manfaatkan media sosial, bikin vlog dan challenge. Orang-orang bakal cepet kenal sama produk kita dengan cara yang lagi banyak digandrungi sama orang. Saya sudah mengajukan ide-ide konten ke Pak Danish." Nara terlihat antusias.
"Woaaah, tiktokers emang bukan main idenya," sahut Jian yang dibalas senyuman oleh Nara. "Gue siap jadi partner challenge lo, Ra."
"Boleh." Nara mengangguk setuju.
"Ngomong kerjaan di tempat kerja, kalau di tempat makan itu makan," tegur Danish tidak suka dengan interaksi Nara dan Jian.
"Santai aja, kali, Nish," ujar Marvin.
Karena teguran Danish, semua orang fokus melahap makanannya dengan sesekali mengulas apa yang mereka makan. Tak hanya ditraktir menu prasmanan, mereka juga boleh mengambil dessert es krim di tempat yang sama.
Di tengah asyik mengobrol menikmati es krim, seseorang menepuk bahu Nara. Gadis itu menoleh dengan senyuman ramah. Namun, senyuman itu sekejap menghilang ketika tahu siapa yang menepuk bahunya.
"Ternyata bener itu kamu, ya?" kata orang itu dengan nada tidak bersahabat.
"Tante?" Nara perlahan berdiri dan menghadap ibu-ibu paruh baya itu. "Tante, apa kabar?"
Byur! Tiba-tiba ibu itu menyiramnya dengan minuman. Semua orang terkejut. Terlebih Danish yang spontan berdiri.
"Masih bisa ketawa kamu setelah membunuh anakku?!" Ibu itu melayangkan tangan ke arah wajah Nara berniat menamparnya. Namun, ditepis oleh Danish.
"Jangan berani-beraninya menampar istri saya." Mata Danish nyalang, berdiri di depan Nara, "Hadapi saya karena saya suaminya."
Seperti halnya Danish, Nara juga memiliki kisah gelap dan terang yang menggantung di atas kepalanya. Luka dan trauma juga bermuara dalam hati gadis itu bertahun-tahun lamanya.
***
Takut banget ini mah mau narget kalian lagi 😭🤣
Jangan lupa vote dan komen yang sebanyak-banyaknya, ya.
Kayaknya untuk 3-4 hari ke depan saya nggak bisa update. Ada kerjaan di real life yang harus diselesaikan.
sampai jumpa part selanjutnya 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro