029: Rasa Bersalah atau Tanggung Jawab?
Vote dulu dongs, soalnya double update, nih.
xixixi
Setelah menghabiskan satu botol infus di IGD, Nara pulang. Sepanjang menunggu Nara yang terbaring di atas brankar, Danish menatapnya dengan perasaan bersalah. Entah setan apa yang merasukinya, ia kehilangan logika dan termakan egonya sendiri.
Kini gadis itu meringkuk di atas ranjang, Danish menghela napas panjang duduk di dekatnya. Ingatannya mundur beberapa jam saat tiba-tiba Nara pingsan dengan wajah yang pucat, pria itu menggendongnya turun ke parkiran. Kantor sudah sepi, hanya ada beberapa karyawan dan staff gedung.
Mobilnya mengebut di jalanan yang padat merayap, tak jarang ia disumpah serapahi pengemudi lain karena menyolonong dan terkesan ugal-ugalan. Danish tidak peduli, ia harus segera sampai di rumah sakit.
"Istri Anda mengalami dismenore, istilah dari kram yang menyakitkan dan muncul saat masa haid atau menstruasi. Anda tidak perlu khawatir, dismenore itu masalah umum terkait haid dan akan membaik 2-4 hari."
"Sakit banget, ya, Dok?"
Dokter perempuan itu tersenyum sembari mengangguk. "Kalau Anda pernah merasa kram, dismenore jauh lebih sakit. Nanti setelah sampai di rumah, kompres dengan hot pack di bagian perut bawah dan pinggangnya. Jangan dipijat. Usahakan untuk minum air putih yang banyak dan istirahat yang cukup."
"Baik, Dok."
Raut Danish terbasahi rasa bersalah, ia tidak tahu istrinya sedang mengalami itu. Tanpa perasaan sejak pagi disalah-salahkan, didamprat habis-habisan dan dibuat pulang paling akhir. Hanya karena kesal semalam Nara tidak pulang, juga masalah cokelat pemberian Jian.
Desisan dingin dan rintihan sakit Nara menarik Danish pada detik ini, ia yang duduk di tepian ranjang menoleh.
"Kenapa, Ra? Butuh sesuatu?"
Nara hanya memejam, kerutan di dahinya seolah memberitahukan rasa sakitnya. Danish mendekat, jongkok di pinggir ranjang. Meski ragu untuk menyentuh kepala Nara, tangan itu perlahan mengusapnya pelan.
"Aku minta maaf."
Nara tak merespons, ia hanya mendesis kedinginan.
"Aku udah matiin AC, masih dingin?"
"Hm..."
Danish menatapnya sekian detik, dua bahu Nara membengkung dan meringkuk dalam selimut. Pria itu mencoba menimbang-nimbang apa yang akan dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan dingin Nara.
"Aku buatkan minuman hangat, ya?"
Nara tidak menjawab, detik itu juga Danish beranjak. Ia pergi ke dapur, membuatkan minuman hangat. Sepanjang menunggu air dalam teko matang, pria itu bersandar di meja dapur.
Ia benar-benar buta masalah perempuan. Dulu saat bersama Isabel ia tak pernah menemui masalah seperti ini. Danish dan Isabel dulu pasangan yang sama-sama ambisius belajar dan menghabiskan kencan di perpustakaan kampus. Isabel jarang menunjukkan ketergantungan padanya, sakit pun mereka hanya berbalas pesan tanpa saling bertemu.
Danish meraih ponsel di meja, ia mengetik sesuatu di laman pencarian google.
Bagaimana cara mengurangi sakit haid?
Bagaimana cara menghibur istri yang sedang sakit?
Apa yang harusnya dilakukan suami saat istri haid?
Minuman apa untuk mengurangi rasa nyeri haid?
Makanan apa yang cocok untuk perempuan haid?
Dengingan teko yang mengepul asap itu mengalihkan perhatian Danish dari guliran ponselnya sejak tadi. Banyak informasi yang ia dapat, meski ragu melakukan semua apa yang tertulis di internet.
Ah, seandainya mamanya tidak sakit, ia bisa bertanya padanya soal ini. Danish berpikir untuk tanya ke Marida, mamanya Marvin. Namun, ini sudah hampir tengah malam, rasanya tak sopan menganggu waktu istirahatnya.
Danish membuka kulkas, seingatnya ia punya jahe. Setelah menemukan apa yang ia cari, ia langsung membuatnya menjadi minuman wedang jahe. Kemudian ia membawa minuman itu ke kamar.
"Ra, minum dulu biar anget badannya."
Tanpa membuka mata, Nara bangkit perlahan. Pelan-pelan Danish membantunya minum. Setelah habis hampir setengah gelas, Nara kembali berbaring. Meringkuk kedinginan.
"Dihabisin biar nggak dingin."
"Nggak, mual rasanya."
Danish menghela napas panjang, ia benar-benar merasa bersalah karena membuat Nara begini. Seharusnya ia tidak termakan perasaan yang tidak jelas, tidak membawa masalah rumah ke kantor. Sehingga tidak akan mungkin membuat Nara seperti ini.
"Mau makan? Pengin apa?"
"Nggak... mau tidur aja."
"Oh, ya, udah."
Danish beranjak dari sana, keluar dari kamar. Seingatnya ia belum salat isya, ia pun pergi ke ruangan kerjanya untuk salat di sana. Sekitar tiga puluh menit, tepat tengah malam ia kembali ke kamar untuk memeriksa Nara.
"Masih kedinginan?"
"Hm..."
"Kalau lagi haid emang selalu kedinginan kayak gini?"
"Hm..."
Nara juga tidak mengerti, sejak pertama kali haid ia selalu merasa kedinginan. Tidak ada medis yang menjelaskan apa yang membuat rasa dingin itu, tetapi menurut psikolog bisa jadi itu bentuk dari gangguan psikosomatis. Gangguan psikosomatis adalah keluhan secara fisik yang disebabkan oleh pikiran.
Tidak adanya sosok ibu dalam hidup, kemungkinan besar menjadi penyebab gangguan psikosomatis itu terjadi pada Nara. Ia harus menghadapi dan belajar sendiri hal-hal baru yang terjadi pada dirinya, terutama soal hal alami yang terjadi pada perempuan.
Danish memutari ranjang berdiri di sisi seberang. Pria itu masih berdiri di sana untuk beberapa detik sebelum akhirnya memutuskan untuk naik ke ranjang dan menyibak selimut.
"Aku... izin peluk, biar berkurang rasa dinginnya."
Tidak adanya jawaban menjadi jawaban bagi Danish. Perlahan ia berbaring di sisi Nara yang meringkuk, di bawah selimut yang sama. Pelan-pelan merengkuh dari belakang. Tangan kirinya menelusup di bawah kepala Nara, menjadi bantal untuk gadis itu. Sementara tangan kanannya melingkar merengkuh Nara.
Danish menahan napas sejenak. Berusaha keras menetralkan detak jantungnya sendiri. Jarak hidungnya dan tengkuk leher Nara hanya berjarak beberapa senti saja. Danish menelan ludah, kemudian turut memejam tak ingin membiarkan sesuatu menjalar tanpa terkendali yang akan membuatnya menyesal.
"Aku minta maaf, Ra," lirihnya, tetapi istrinya itu sudah terlelap. Hangat tubuh Danish mengurangi rasa dinginnya. "Maaf buat segalanya. Maaf belum bisa jujur."
***
Azan subuh membangunkan Danish, kala kelopak matanya terbuka ia menyadari posisi mereka berubah. Nara memeluk menghadap dirinya, sementara tangan Danish mendekap kepala Nara di dadanya.
Pria itu menggigit bibir sembari menahan napas sejenak. Pelan-pelan ia menarik diri dari pelukan. Tangan kirinya sedikit kram karena dijadikan bantal Nara semalaman. Sebelum beranjak dari ranjang, Danish kembali berbaring menatap Nara yang terlelap.
"Aku minta maaf," ucapnya lirih sembari menyikap rambut yang menutupi wajah Nara. "Maaf, sudah membentakmu. Aku ..." kalimatnya tergantung, seperti sulit dijabarkan.
Rasa bersalah yang bergelombang dengan perasaan baru membuat bibir Danish sulit menjelaskan. Gelombang itu seperti buih-buih ombak yang kerap hilang timbul, dalam satu waktu amat terasa di hati, tetapi lenyap sekejap berganti perasaan gengsi.
Aku yang kemarin menolaknya mentah-mentah, tidak mungkin secepat ini jatuh cinta, kan?
Danish tenggelam dalam risau yang membuatnya terombang-ambing seperti kapal kehabisan bensin di tengah lautan. Perlahan pria itu menyentuh bibir Nara, bergerak pelan dari sudut ke sudut. Kemudian berhenti di tengah, jatuh ke dagunya.
Ciuman waktu itu sebagian besar dikuasai nafsu, tetapi detik ini apa? Ada keinginan menyentuh seperti pelunasan rasa yang terbendung tak jelas. Ingin sekali diperjelas di bibir itu.
"Haish," desisnya kecil kala menelusup ingatan tentang ayah dan bidak catur peperangannya. Ia melepas jarinya dari dagu Nara, kemudian beranjak dari ranjang. Sebentar, ia kembali mendekat untuk membetulkan selimut agar sempurna menghangatkan Nara yang sudah tak lagi meringkuk kedinginan.
Usai dari masjid, Danish menyiapkan sarapan. Entah mengapa seperti memiliki tanggung jawab yang kemarin belum sepenuhnya hadir dalam dirinya.
Makanan terhidang di meja makan, melihat Nara masih nyenyak tidur ia tak tega membangunkan. Hari ini Danish akan mengizinkannya cuti. Ia meninggalkan catatan di atas nakas dan pergi ke kantor setelahnya itu.
Hei, aku udah masak. Jangan lupa makan biar lekas sehat. Aku ajuin cuti, jadi nggak usah ke kantor. Jangan lupa wedang jahe sama obatnya diminum. -Danish.
Saat Nara bangun, tak hanya sarapan yang telah terhidang. Semua pekerjaan rumah juga sudah beres. Rumah tampak bersih tertata, baju-baju yang baru dicuci tergantung di balkon. Kandang-kandang kucingnya juga sudah dibersihkan. Wedang jahe masih mengepulkan asap dengan obat yang sudah disediakan di meja.
Nara berpikir, "Dia ngelakuin ini semua karena rasa bersalah atau rasa tanggung jawab?"
Pukul empat sore, Danish sampai di rumah. Ia mendapati Nara duduk di depan TV bersama kucing-kucingnya. Samar-samar ia mendengar Nara terisak.
"Kenapa?" Danish mendekat. "Masih sakit? Kita ke IGD lagi, ya."
"Nggaaaak. Itu ... aku pengin makan yang pedes-pedes."
Ulasan di internet semalam Danish juga membaca kalau biasanya perempuan menstruasi itu mengalami lonjokan hormon, mendadak biasanya ingin mengonsumsi makanan tertentu.
"Mau makan apa? Aku beliin."
"Kamu baru pulang. Emangnya nggak capek?"
"Tadi kenapa nggak telepon?" Danish meletakkan tas dan melepas jasnya di kursi.
"Takut mau telepon kamu. Tantruman soalnya," cibirnya.
Danish tak membalas cibiran Nara, kenyataannya memang begitu. "Pengin makan apa?"
"Bener?"
"Hm. Apa aja aku beliin."
"Oke." Nara menarik ingus sebentar, mengusap air mata di pipinya. "Seblak level lima, yogurt squezze."
"Udah itu aja?"
"Kinder Joy, Silverqueen, udang keju Gacoan, donat Jco, Haus Choco Cheese Crunchy, Crazy Chicken Wings, sama kolak manis. Udah, itu aja." Nara tersenyum tipis, mengerjap-ngerjap matanya seperti mata kucing.
Sementara Danish melongo sebentar, sebelum akhirnya mengangguk menyanggupi.
"Oke." Pria itu berjalan ke arah pintu.
"Kaaaak! Ketinggalan satu."
Danish menoleh, "Apa?"
"Mmm... keberatan, nggak?"
"Apa? Bilang aja."
"Pembalut satu bungkus yang ada sayapnya, ukuran 29 cm." Nara menyengir. "Oh, ya, yang ada cooling-cooling-nya."
Danish mendengus kecil, "Udah?"
"Udah. Hati-hati, ya. Nggak usah buru-buru, aku pasti sabar menunggu."
"Hm." Danish membuka pintu.
"I love youuu!"
Kalimat itu terdengar menggelitik jantung Danish sekarang, berbeda dengan dua bulan yang lalu yang terdengar menjijikan. Sial, pria itu tersenyum kecil detik ini di atas rasa sebalnya.
Dari minimarket untuk membeli Kinder Joy, cokelat, yogurt dan pembalut, Danish mengantre hampir setengah jam di Gacoan hanya untuk sebungkus Udang keju. Setelah itu antre seblak dan sempat hampir ribut dengan emak-emak karena menyela antrean. Sementara ia mengantre kolak manis, ia memesan gofood untuk membeli Haus, Crazy Chicken dan Donat J.co.
Mampir di masjid sebentar untuk salat magrib, setelahnya itu melesat pulang.
"Ini beneran dihabisin semua?" Danish meletakkan semua pesanan Nara di meja.
"Hm. Kamu lupa? Julukannku itu Cheetah."
Danish hanya berdecih, ia berniat untuk pergi mandi karena seluruh badannya terasa lengket karena keringat.
"Kaak, minta tolong ambilin sendok dong. Aku mau jalan ke dapur, masih sakit nih."
Danish urung ke kamar mandi, melipir ke dapur. Mengambilkan sendok Nara.
"Garpunya mana?"
"Tadi nggak bilang."
"Mmm..." Nara mencebik.
"Iya, iya. Ini aku ambilin. Apa lagi?"
"Piring plastik."
Danish kembali ke dapur mengambilkan sendok dan piring. Baru aja menarik handle pintu kamar mandi, Nara sudah memanggil.
"Remot mana, ya?"
"Kak, hapeku cas-in, dong."
"Kak, pedeees, ambilin maduuu."
"Kak, ambilin tisu."
"Kok, yogurtnya rasa ini? Aku, kan, biasa makan yang blueberry, beliin lagi dong," katanya sambil mencebik.
Ibarat gunung, Danish sudah mengeluarkan lavanya. Namun, ia telan kembali lava itu ke dalam perut. Masih dengan keringat kantor beserta keringat lelah ke sana kemari menuruti semua keinginan sang istri, Danish kembali ke minimarket dekat apartemen untuk mencari yogurt rasa blueberry.
Setelah mendapatkannya, ia langsung pulang. Nara tidak ada di ruang TV, samar-samar ia mendengar gadis itu ada di kamar mandi sedang bertelepon. Terdengar tawa yang puas dari dalam sana.
"Hahaha, rasain deh, gue kerjain balik tuh. Emang enak?" ujar Nara sembari membuka pintu kamar mandi. Sedetik kemudian ia baru menyadari kalau Danish sudah datang. Mendengar ucapannya barusan.
Danish tersenyum miring dengan kekehan kecil, kontradiksi dengan tatapannya yang bersorot kesal, merasa ditipu dan dikerjai.
"Ups," ujar Nara, sedetik kemudian ia berlari saat kaki Danish mengejarnya. "Papiiiii!" teriaknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro