Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

026: Kepiting Matang


"Penganten baru, nggak ada kabar nih woy!" Suara Karin melalui panggilan video, tak hanya bertelepon berdua, tetapi juga dengan Dinda juga.

"Kabar apaan? Ngabarin kalau masih jadi kembang perawan inikah?" sahut Nara yang sibuk memotong-motong wortel untuk makan malam.

Gadis itu sudah pindah ke apartemen Danish, entah hanya perasaannya saja atau memang setiap malam Danish selalu menghindar. Pria itu sering pulang larut, padahal masih cuti di kantor. Nara tidak tahu ke mana suaminya itu setiap malam. Karena Danish pulangnya malam, sudah pasti Nara sudah pelor karena capek menunggu.

"Buset, cuti lima hari kalian ngapain aja, anjir!"

Nara hanya terdiam, ia tahu mungkin Danish tidak kunjung memberinya malam pertama karena masih belum mencintainya. Gadis itu hanya mengendikkan bahu.

"Kalian, kan, dijodohin. Kayaknya wajar deh kalau dia masih belum siap." Karin menambahi.

"Dinda dulu sama suaminya juga ta'aruf, malah nggak kenal sebelumnya. Tapi, di-gas tuh habis akad. Ya, kan, Din?"

"Pekara ranjang itu rahasia suami istri, Nara. Jadi, lebih baik buat disimpen sendiri. Kalau bisa dibicarakan baik-baik sama pasangan kita. Kehidupan rumah tangga itu yang paling penting adalah saling menjaga komunikasi." Nasihat Dinda, apa yang diharapkan Nara dari Dinda, sudah pasti sahabatnya satu itu memberi tausyiah.

"Ajaklah, 'Mas, kuy'."

"Ih, maluuu..."

"Dih, dih, dih, waktu ngejar-ngejar aja kagak ada tuh lu malu-malu, sekarang udah nikah malah malu. Kebalik, jubaedah!" Beberapa detik kemudian, "Apa jangan-jangan ... pelukismu agung siapa gerangan~" Karin malah menyanyi.

"Gay maksud lu suami gue?"

"Bisa jadi, cowok zaman sekarang. Body doang hot jeletot, tapi sukanya terong sama terong."

"Astagfirullahalazim! Nggak boleh suuzon!" tegur Dinda.

Pisau di tangan Nara diletakkan di atas telenan, omongan Karin meskipun terkesan tidak masuk akal, tetapi tidak menuntut kemungkinan. Setelah gagal dengan cinta pertamanya yang beda agama, bisa jadi Danish memutar haluan menyukai sesama jenis. Dan pernikahan mereka sebagai tameng atau pengelabuhan saja.

Sebab, sampai sekarang Nara masih tidak menyangka bahwa mereka sudah menikah dengan waktu yang amat singkat. Seperti mimpi.

"Nara, jangan ikutan suuzon. Nggak mungkin itu. Lebih baik dibicarain deh, baik-baik, barangkali emang masih belum siap karena kalian dijodohkan," lanjut Dinda yang menangkap raut kekhawatiran di wajah Nara.

"Gimana kalau gue perkosa aja?" Nara setengah tertawa untuk mengusir kekhawatiran.

Kalimat Nara mengundang gelak tawa Karin yang menggelegar, "Nah, gitu dong!" jeda tiga detik, "Emang kalian nggak pernah ngobrol apa? Tidurnya seranjang nggak?"

"Hm. Dia belum pulang, aku udah tidur. Aku bangun, dia udah tidur. Paginya dia subuhan di masjid, habis itu dia lari pagi. Gue masak, habis itu nyarap bareng. Habis nyarap, dia masuk ke ruang kerjanya. Keluar pas salat doang, habis itu ngobrol seadanya. Habis asar, ilang deh sampe tengah malem," cerocos Nara sembari kembali meraih pisaunya, memotong-motong sayur untuk dijadikan sop daging.

"Parah, fix ini mah belok. Kalau nggak, dia belum move on dari mantannya."

Kalimat terakhir Karin membuat Nara mencebik, terasa menyelekit di hati mengingat Danish masih belum selesai dengan masa lalunya. Padahal pria itu janji akan memberikan cinta setelah mereka menikah, tetapi sejauh ini tidak ada usahanya menghadirkan cinta di antara mereka.

"Jangan berpikir yang enggak-enggak. Balik lagi sama kunci hubungan rumah tangga langgeng itu adalah komunikasi, Nara. Jadi, saran aku lebih baik kamu open discuss sama suami kamu, hm?"

"Iya, Din, makasih, ya, sarannya."

Tak lama panggilan mereka berakhir. Meski dengan pikiran yang mengambang dan penuh dengan menerka-nerka, Nara menyelesaikan masakan makan malamnya. Tinggal berdua dengan papi sejak kecil membentuk kemandirian Nara soal perdapuran, ia sudah bisa memasak saat berumur tujuh tahun dan sering mencoba-coba untuk membuat kue.

Seperti sekarang, karena jenuh sendirian, usai membuat makan malam ia mencoba membuat kue bolu dengan isian strawberry. Selesai mencetak, ia memasukkan itu ke dalam oven. Sembari menunggu, benak Nara berputar-putar mengenai nasib dirinya. Ia berpikir setelah menikah adalah sebuah akhir yang bahagia, nyatanya masih menggantung. Sikap Danish benar-benar ambigu.

"Allahu Akbar! Bolu gueee!" pekiknya saat melupakan bolunya di dalam oven. Ia membuka pintu oven dan buru-buru mengeluarkannya.

Kue itu tergradasi kegosongan yang sempurna. Nara mengembuskan napas panjang sembari melempar sarung tangan, kesal.

"AAAA! Kenapa, sih, nyebelin semua?!" omelnya kesal.

***

"Lo nggak bisa selamanya ngehindar, gue paham lo belum cinta, gue juga paham lo khawatir soal ancaman bokap lo. Tapi, Bro, lebih cepat lebih baik. Semakin cepat kamu menghamilinya, semakin cepat kamu mengkudeta. Dengan power Pendopo Agung, kamu bisa melindungi Nara nantinya."

Kalimat Marvin berputar-putar di benak Danish. Apa yang dikatakan Marvin ada benarnya juga. Semakin cepat Danish menduduki kursi di Thunder Holdings dan mengambil alih Pendopo Agung, ia akan mudah memperketat perlindungan untuk Nara.

Pria itu mengembuskan napas panjang, ia pikir akan mudah, ternyata benar-benar berat. Apalagi ia menyadari bahwa Nara gadis yang baik, lucu, dan juga kesayangan ayahnya. Terlalu jahat jika Danish menarik Nara dalam peperangan antara dirinya dengan sang ayah.

"Apa aku jujur aja, ya?" monolognya di dalam mobil, rodanya sudah berhenti sejak tadi di basement apartemen. Namun, tak kunjung turun. "Tapi, aaargh!" kesalnya sendiri sembari mengacak-acak rambut.

Tak lama Danish keluar dari mobil tepat pukul sepuluh malam. Naik lift dengan harapan Nara sudah tidur seperti malam-malam sebelumnya. Masa cuti mereka sudah habis, besok keduanya akan kembali ke kantor.

Selama lima hari ini Danish menahan diri mati-matian, meski belum ada rasa cinta yang hadir, tetapi nalurinya sebagai pria yang berstatus suami Nara terus bergejolak. Apalagi Nara sering memakai piyama yang terbuka, tampak menggemaskan dan menggoda.

"Assalamualaikum?" Danish membuka pintu sembari mengucap salam pelan.

Lampu terlihat mati, pria itu mengembuskan napas lega. Itu artinya Nara sudah tidur.

Usai melepas sepatu dan meletakkan tas di ruang kerja, Danish bergegas mandi. Berbebat handuk dengan dada telanjang, pria itu keluar dari kamar mandi. Kemudian berjalan menuju dapur untuk minum.

Glek, glek, glek, air dalam gelas diminum dengan tenang. Brupp! Tegukan terakhir termuntahkan seketika saat ujung matanya melihat Nara berdiri di depan pintu kamar, gadis itu memakai kemeja putih yang menutup hingga setengah pahanya, memakai kaca mata dan memegang laptop. Rambutnya yang panjang tergerai, sedikit berantakan.

"Nara?" Danish meletakan gelas di meja, "Kebangun?"

Nara menggeleng, "Aku belum tidur. Kamu baru pulang, Kak?"

Gadis itu berjalan ke arah Danish. Pria itu baru sadar hanya berbebat handuk dengan dada yang polos telanjang, pelan-pelan ia menutupi dadanya dengan satu tangan. Matanya memperhatikan Nara dari ujung kaki ke ujung kepalan, glek, ia menelan ludah. Kesan kekanak-kanakkannya lenyap, Nara menjelma menjadi perempuan dewasa karena penampilannya tersebut.

Piyama bermotif polkadot saja tampak menggoda, apalagi ini?!

"Hm. Kenapa belum tidur?"

"Besok, kan, udah masuk kantor. Ada laporan yang harus aku kerjain." Nara meletakkan laptop di meja makan, "Kamu udah makan belum?"

Gadis itu menarik karet yang melingkar di tangannya, kemudian pelan mengikat rambut. Danish menahan napas menyaksikan sebuah pemandangan yang semakin menggelojakkan hawa panas dalam dirinya. Dulu Isabel juga pernah seperti ini, kenapa dulu Danish tidak merasa semendebarkan ini?

"Kak?"

"Hm?" Pria itu tersadar dari lamunan.

"Udah makan belum?"

"U—udah." Danish mendadak gugup.

Nara mengangguk-angguk, ia berjalan menghidupkan lampu dapur. Membuka kulkas mengambil yogurt dan menyesapnya sembari menyalakan kompor memasak air.

Menatap Nara dari belakang, pikiran Danish semakin tidak keruan. Bukankah ia seharusnya pergi dari sini sekarang juga jika tidak ingin tergoda? Kenapa ia malah terpaku di tempat?

Nara membuka lemari pantry mengambil ramen instan, rasanya BM setelah bertempur dengan banyak data yang harus direkap. Ia membutuhkan amunisi kuah ramen untuk menyelesaikan laporan yang sedikit lagi selesai.

"Hah? Di mana, ya? Kayaknya masih ada." Ia mendongak, mencari-cari. "Ah, itu." Ramen tersebut berada jauh dari jangkauan tangannya, ia harus berjinjit-jinjit untuk meraih.

Tiba-tiba sebuah tangan menjulur ke atas, Nara spontan berbalik dan wajahnya hampir menyentuh dada polos Danish. Gadis itu menahan napas dengan mata membulat seperkian detik. Yogurt di tangannya jatuh begitu saja.

Danish menunduk menatap Nara setelah meraih ramen dari lemari pantry. Mata keduanya bersitatap. Manik Danish bergerak dari mata kiri Nara lalu ke mata kanan, selanjutnya jatuh ke bibir merah istrinya.

Detik-detik yang tak pernah Nara duga dan cukup membuatnya gugup luar biasa. Isi kepalanya menebak, apa selanjutnya?

"Aku tolong buatin juga, ya," ucap Danish sembari menarik jarak, mengambil yogurt yang tergeletak di lantai lalu memberikannya pada Nara.

Setelah itu Danish berbalik badan dan berjalan ke arah kamar untuk mengganti pakaian meninggalkan Nara dengan degup jantung yang terasa ingin meledak.

Pipinya jelas seperti kepiting matang setengah gosong detik ini. Ia merabanya, terasa panas sekali. Mengibas-ngibas kecil sembari mencoba menetralkan jantung. Jika bukan karena air dalam panci sudah mengepul uap, mungkin ia akan berdiri saja di sana terpaku karena kejadian sekian detik tadi.

***

250+ komen fast update 🔥
spoiler next part "First Kiss" 💋

btw, kayaknya aku update malem banget deh selama Ramadhan, soalnya soalnya soalnya ...

oke, sampai jumpa next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro