Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

024 : Hari Pernikahan

Dekorasi dengan tema rustic wedding telah sempurna di belakang hotel. Rustic theme dipilih atas kesepakatan Nara dan Danish yang sama-sama menyukai kealamian dan apa adanya. Kali ini Nara menyampingkan egonya yang mencintai warna merah muda, dekorasi alami yang menonjolkan warna putih, cokelat dan hijau menjadi pilihan.

Para tamu undangan satu persatu datang dan duduk di kursi yang dihadapkan pada pelaminan, di depan pelaminan ada meja yang akan digunakan untuk mengikrarkan akad. Tidak lebih dari 40 undangan, teman dekat dan saudara saja yang menyaksikan pernikahan Nara dan Danish.

Beberapa menit sebelum acara dimulai, Danish berangkat dari rumah Marida telah sampai di hotel. Saudara Nara yang diamanahi menyambut seserahan mengatur penyabutan. Sementara di kamar hotel, papi duduk di tepi ranjang sudah berpakaian rapi, termenung sembari menatap jarum jam yang terus berputar menuju angka sembilan pagi.

"Dek, hari ini putri kita akan menikah. Tolong kuatkan aku untuk melepaskannya," lirih papi menahan perasaan emosional yang setiap detik semakin campur aduk. Sungguh berat hati seorang ayah untuk melepas putri satu-satunya menikah.

"Papi?" panggil Nara dari arah pintu.

Perlahan papi membalikkan badan, spontan berdiri saat melihat putrinya telah cantik dengan kebaya klasik jawa berwarna putih tulang yang dilengkapi ornamen bros sungsun keemas an di tengah dada, kepalanya dibalut hijab yang tak meninggalkan sanggul dan cundhuk mentul serta centhung berwarna perak. Meski tanpa paes, riasan Nara mempertahankan nilai adat kejawaan dengan menambahkan citak pada dahi dan ronce melati pada sanggul yang diulur ke depan berhias bunga mawar merah asli.

"Anakku..." Papi langsung menangis tidak percaya, merinding seluruh tubuhnya melihat sang putri telah siap diakad oleh pria pilihannya.

"Papi, jangan nangis. Nanti make up Nara luntur," pinta Nara melihat reaksi papi yang sangat menyentuh dan mengharukan, mengibas-ngibas matanya yang turut panas.

Papi menarik napas panjang, mengusap air mata dengan sapu tangan. Papi mencoba menegarkan diri demi hari bahagia sang putri. Kakaknya, budhe dari Nara menepuk-nepuk bahu papi untuk tetap tegar. Pernikahan akan segera dilangsungkan, para tamu sudah hadir, begitu juga Danish yang sudah duduk tegak di meja akad.

"Anak papi cantik, cantik sekali."

Nara mengangguk sembari tersenyum haru.

"Papi menemui calon suamimu, ya. Menikahkanmu dengannya."

Nara kembali mengangguk, kini sembari menahan air mata. Kemudian gadis itu meraih tangan kanan papi, mengecupnya dengan lama sebelum mereka berpelukan. Tak lama papi keluar dari kamar dan turun ke tempat acara. Meninggalkan Nara bersama Marida dan Dinda di dalam kamar, menunggu ijab kabul.

Memakai beskap berwarna putih tulang, berblangkon cokelat yang senada warnanya dengan jarik yang dipakai, Danish duduk tegak menghadap papi yang baru saja tiba. Sepanjang penghulu memulai acara ijab kabul, papi menatap Danish dengan tatapan saksama. Di depannya adalah pria yang akan menjadi suami putrinya, yang akan menggantikan posisi papi sebagai pelindung dan pengayom sang putri.

Rasa takut dan khawatir sewajarnya muncul dalam hati seorang ayah, akankah pria ini benar melindungi sang putri seperti ia melindunginya? Akankah pria ini mampu mengupayakan kebahagiaan sang putri seperti ia yang selalu mengupayakannya? Akahkah pria ini akan menjadi ayah yang baik untuk cucu-cucunya?

Danish menatap balik papi dengan tatapan tegas dan percaya diri, seolah menjawab segala pertanyaan di benak papi.

Saat penghulu meminta ijab kabul dilaksanakan, ada jeda sekian detik untuk papi mengulurkan tangan menjabat tangan Danish. Perasaan emosionalnya kembali menguasai, seperti ada rasa tak rela yang amat dalam. Namun, papi berusaha untuk tegar meski mengucap ijab dengan suara gemetar.

"Bismillahirohmanirrohim, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Danish Narayan Padmadim bin Candra Padmadim dengan putri kandung saya bernama Naraina Danisha binti Ali Shah dengan emas kawin logam mulia seberat 25 gr dan uang tunai sebesar 25 juta rupiah beserta seperangkat alat salat dibayar tunai!"

Entakkan tangan papi bersambung dengan kalimat kabul Danish yang lugas dan tegas.

"Saya terima nikah dan kawinnya putri Anda Naraina Danisha binti Ali Shah dengan emas kawin tersebut dibayar tunai!"

Kalimat syukur berseru di setiap bibir tamu undangan yang menyaksikan. Ucap syukur juga terpanjatkan di dalam kamar hotel dari pengantin perempuan dan yang mendampinginya.

Papi menjemput Nara dari kamar dan diantarkan ke pelaminan, berjalan di tengah-tengah kursi tamu undangan dengan air mata haru menggandeng sang putri untuk diserahkan kepada Danish sebagai suaminya.

Danish berdiri di depan pelaminan, tersenyum menatap Nara yang berjalan ke arahnya. Cinta itu memang belum hadir, tetapi kini gadis yang berjalan mendekat padanya itu sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ada perasaan yang muncul untuk selalu menjaganya, meski entah bagaimana nanti cara mencintainya.

"Hai," sapa Nara setibanya di depan Danish.

"Cantik sekali," puji Danish.

Perasaan Nara melambung, bercampur antara haru dan bahagia karena telah menyatu dalam ikatan.

"Mas Danish, jaga dan lindungi putri saya," ucap papi sebelum melepaskan genggaman tangan Nara untuk diantarkan pada genggaman tangan Danish. "Kalau seandainya kamu sudah tidak mencintainya, tolong pulangkan dia dengan baik seperti kamu memintanya kepadaku dengan baik. Jangan pernah menyakiti, berkata kasar atau memukulnya. Saya besarkan putri saya dengan segenap jiwa dan bertaruh nyawa, tolong upayakan selalu kebahagiaannya."

"Saya akan menjaganya, Om."

"Seandainya dia yang salah, tolong tegur dengan lembut. Bimbing dan arahkan dia ke jalan yang benar. Saya serahkan sepenuhnya tanggung jawab saya selama 26 tahun kepada Anda untuk ditanggung jawab sampai maut memisahkan."

"Terima kasih, Papi," ucap Danish sembari meralat panggilannya kepada ayah mertua.

Papi mengantarkan tangan Nara untuk disambut tangan Danish, menuntunnya melangkah menuju pelaminan. Duduk berdua di depan belasan undangan yang secara bergantian mengucapkan selamat.

***

Alunan saxophone mengantarkan Nara yang sudah berganti gaun dengan tulle brokat panjang berwarna putih bersama Danish yang juga sudah berganti dengan tuxedo putih berdasi kupu-kupu hitam masuk ke tempat resepsi, masih di tempat yang sama. Kini tak hanya teman terdekat dan saudara, tetapi juga teman kantor dan kenalan baik juga hadir di acara resepsi.

"Shall we?" tawar Danish sembari mengulurkan tangan setelah sampai di tengah-tengah undangan.

Nara menerima tawaran untuk berdansa bersama. Semua perhatian berpusat pada keduanya, terlihat rona bahagia dan pelupuk gembira terlukis secara kentara. Tawa dan senyum suka cita merayakan hari paling berkesan. Meski hanya bergerak kecil karena Nara tidak bisa berdansa.

Semua ikut merayakan.

Diiringi alunan musik klasik dan kilatan kamera membekukan kenangan. Malam resepsi berjalan lancar sejauh itu, sampai di sesi lempar buket. Tiba-tiba saja Karin hadir mengenakan kursi roda diantar Marvin yang entah sejak kapan pria itu tahu dengan keadaan Karin. Kehadiran Karin melengkapkan kebahagiaan Nara malam ini.

"Buat lo." Dengan khusus Nara memberikan buket bunga itu kepada Karin.

"Lo tahu, kan, gue nggak akan buka hati lagi? Buket ini nggak pantes buat gue."

"Siapa bilang?" sahut Marvin.

"Iya, siapa bilang?" imbuh Nara dengan menatap protes, sahabatnya itu selalu berkecil hati soal ini. Ia memang pernah hancur, tetapi ia masih punya kesempatan untuk bertemu dengan pria yang baik. Sebab di dunia ini, banyak pria yang tak seberengsek mantan pacarnya.

"Lo pantes buat nerima buket ini. Pekara lo buka hati atau nggak, who knows?'

Karin tertawa, "Oke, oke, gue terima. Tapi, yakin deh buket ini nggak ada pengaruh apa pun buat gue."

"Gue, kan, udah bilang, who knows?" imbuh Marvin.

Karin mengerutkan kening menatap Marvin yang saat ini juga menatapnya dengan lurus, jika bukan karena suara kembang api entah apa yang terjadi. Karin banyak diam sejak itu, mengetahui ada pria yang sedang jatuh cinta kepadanya. Padahal Karin tak lagi mau membuka hati.

"Makasih, ya, Kar. Lu udah nyempetin datang ke sini, padahal nggak usah maksa," kata Nara sebelum Karin meninggalkan acara, ia tidak boleh lama-lama meninggalkan rumah karena kondisinya yang belum pulih total. Berbahaya juga karena sampai detik ini Beni belum ditangkap.

"Nggak apa-apa, kondisi gue lagi baik, kok. Cuman, maaf nggak bisa lama. Gue musti balik."

"Hati-hati." Nara melambaikan tangan kecil, "Kak Marvin, titip Karin, ya."

"Gue bukan barang, nggak perlu dititipin," protes Karin.

Kalimat itu hanya dibalas anggukan oleh Marvin, sebelum mendorong kursi roda gadis itu meninggalkan tempat acara. Selepas kepergian mereka, Nara kembali berbaur dengan para tamu undangan, mengucapkan terima kasih atas kedatangannya.

Di salah satu meja duduk papi dan Marida menatap Nara dan Danish bergandengan tangan menyapa satu persatu tamu mereka yang kebanyakan teman kantor dan kenalan baik.

"Akhirnya," ujar Marida. "Aku menepati janji pada Yatfiya."

"Aku juga, Mar," jawab papi dengan sunggingan senyum.

"Percaya sama Danish, Mas Ali. Aku sudah mengenalnya lebih dari sepuluh tahun. Dia itu anak yang nggak neko-neko, nggak kayak anakku itu, si Marvin. Mugkin karena dulu Roro mendidiknya terlalu keras, luarnya aja terlihat dingin. Tapi, aslinya orangnya perhatian."

"Begitu, ya?"

"Hm. Aku pernah sakit gigi tengah malem, obat sakit gigiku habis. Aku pikir dia mau keluyuran tengah malem, ternyata nyari Apotek 24 jam buat beli obat. Dia, kan, dulu sempet tinggal di rumah. Waktu pindah ke apartemen, dia juga masih perhatian. Kalau ke rumah suka ngecek kotak obat, pernah nemenin suamiku di rumah sakit semalaman nggak tidur. Dia itu udah kayak anakku sendiri," cerita Marida menyanjung Danish di depan mertua pria itu.

"Semoga anakku nggak terlalu nyusahin. Dia sering membuat masalah gara-gara kucing."

"Membuat masalah gimana?"

"Dia pernah pasang bendara kuning di depan rumah, orang-orang pada melayat. Padahal yang mati kucingnya."

Marida tertawa. Namun, tawanya itu lenyap ketika melihat siapa yang datang.

"Candra?" Marida sampai berdiri dari posisi duduknya.

"Siapa, Mar?" Papi turut berdiri.

"Besanmu," jawab Marida dengan nada memendam amarah.

"Loh, katanya dia ada di luar negeri?"

Marida menyimpan sakit hati atas segala perbuatan Candra yang pernah dilakukan kepada Roro maupun Danish, bahkan kemarin saat Danish meminta restu dengan baik ke Pendopo Agung, Candra mengatakan tidak sudi untuk datang agar Danish dipermalukan karena orang tuanya tidak hadir. Namun, detik ini Candra dan istri keduanya yang sedang hamil itu datang.

Senyuman Danish yang sedang asyik mengobrol dengan temannya itu meredup saat matanya menangkap kehadiran ayah dan ibu tirinya.

"Itu ayahmu, Kak?" tanya Nara, karena ia mengenali perempuan yang menggandeng tangan Candra.

"Hm. Kamu diem aja. Biar aku yang ngomong."

"Iya." Nara semakin mengeratkan lingkaran tangannya di lengan Danish. Jantungnya mendadak berdentum keras, aura ayah Danish terlihat menakutkan. Terlihat seperti diktator.

Garis wajah Danish dan ayahnya sekilas mirip, saat muda Candra juga tampan dan gagah seperti Danish. Bahkan di usianya setengah abad lebih masih terlihat bugar, meski ada uban di samping kanan kiri belakang telinganya. Tatapannya lebih tajam dari Danish, rahangnya sama-sama tegas. Suaranya berat dan khas. Satu-satunya yang membedakan antara Danish dan Candra adalah sifat mereka. Danish cenderung mirip sang ibu yang tsundere, terlihat cuek tetapi masih memiliki rasa empati.

Candra menyapa papi, menjabat tangannya dengan pandangan meremehkan. Sepertinya ayahnya itu datang untuk mempermalukannya. Setelah menyapa papi, Candra dan Sarah, istri keduanya berjalan ke arah Danish dan Nara.

Candra mengulurkan tangan ke Nara, "Inikah menantuku?"

Nara melirik Danish, semakin mengeratkan lingkaran tangan di lengan suaminya itu.

"Ini mertuamu, mana sopan santunmu?" sahut Sarah.

"Kamu juga tidak punya sopan santun, siapa yang mengundangmu ke sini?" timpal Danish menatap ke Sarah.

"Danish—" Sarah merasa tidak terima, tetapi kalimatnya itu segera dikontrol oleh Candra.

"Bagaimanapun juga aku adalah orang tuamu. Sudah sepantasnya datang di hari pernikahanmu, kan? Maaf soal kalimatku kemarin, hanya ego seorang ayah yang bertemu kembali dengan putra yang kabur delapan tahun yang lalu."

Danish menatap tajam ke arah ayahnya, bencinya termuntahkan di kepala dan dada.

"Aku hanya ingin mengucapkan selamat. Memberi restu kepada putra dan juga..." Candra melihat ke arah Nara, "Menantuku yang cantik ini. Kamu sangat cantik, ya? Putraku pintar cari istri."

"Te—terima kasih," balas Nara.

"Maaf, mertuamu ini tidak bisa lama-lama. Hadiahnya akan segera menyusul," ucap Candra dengan tatapan dan sunggingan senyum yang membungkus sebuah niat buruk mengatasnamakan sebuah hadiah.

Candra kembali mengulurkan tangan ke arah Nara, "Selamat datang di Keluarga Padmadim."

Nara yang tidak tahu maksud di balik tatapan dan kalimat Candra itu mulai berpikir tidak apa-apa menghormatinya sebagai mertua. Gadis itu perlahan mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Candra.

Namun, Danish segera menepis pelan tangan Nara, ia yang menjabat tangan ayahnya.

"Djayantaka," ucap pria itu. "Keluarga Djayantaka."

Candra tersenyum miring mendengar nama keluarga itu. Ia menarik tangan putranya dan berbisik pelan, "Istrimu tidak akan pernah melahirkan seorang anak, aku pastikan tidak akan ada keturunan Djayantaka."

Urat rahang Danish terlihat mengeras, tatapannya menajam ke arah Candra. Ancaman itu seperti menabuh genderang perang antara Danish dan sang ayah.

"Kalau ada waktu silakan datang ke Pendopo Agung, kamu sangat diterima," ucap Candra kepada Nara sebelum meninggalkan tempat itu.

Seperginya Candra dan istri keduanya yang seperti perhatian mencolok, papi mendekati Nara dan Danish. Keduanya langsung menutupi ketegangan barusan dengan senyuman.

"Maafkan papa saya, Pi."

"Semua baik-baik aja, kan?" tanya papi.

Danish mengangguk, disusul Nara yang juga mengangguk.

"Ya, udah kalau semua baik-baik aja. Marida tadi sudah menjelaskan soal kemarin."

Meski khawatir, papi turut menutupi kekhawatirannya dengan mencairkan suasana. Ia tidak mau hal ini merusak hari bahagia putrinya.

Acara selesai sekitar pukul sembilan malam, semua saudara kembali ke rumah papi. Meninggalkan Nara dan Danish di hotel, sebelum besok mereka pindah ke apartemen milik Danish.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro