020: Nasihat
Di sebuah kamar yang serba merah muda, di atas ranjang berselimut putih dan di antara kucing-kucing yang berlarian ke sana kemari memainkan tisu bekas yang berantakan di lantai. Nara menenggelamkan diri.
Ketukan pintu dari papi terhiraukan sejak pulang dari apartemen Danish kemarin, gadis itu mogok makan meski dibujuk dengan segala macam makanan kesukaannya.
"Narak!" Karin masuk ke kamar, kemudian menarik selimut Nara. "Makaaaan!"
"Nggak..." tolaknya dengan nada lemas, ia meringkuk di atas kasur dengan mata sembab.
"Lu kenapa sih? Papi sampai minta gue bujuk lu makan."
Nara membatu, semakin mengerutkan diri seperti siput yang bersembunyi dalam cangkang.
"Makaaaan!" Karin menarik lengan Nara, menyeretnya untuk turun dari ranjang. "Ayo makaaaan!"
Nara menendang-nendang kakinya menolak untuk beranjak, layaknya anak kecil tantrum yang menolak untuk makan. Bajunya masih sama dengan baju kemarin, make up masih tersisa di wajahnya, bercampur dengan air mata. Meleleh eyeliner-nya membentuk aliram hitam menyeramkan di mata dan pipi.
"Astaga, Narak. Lu nggak mandi dari kemarin?"
Nara tak menggubris, ia kembali meringkuk di atas ranjang.
"Lu kenapa sih?!" frustasi Karin mendengkus dengan napas sebal.
Pada akhirnya yang membuat Nara mau bangkit dari ranjang adalah kucing-kucingnya. Ia harus memberi makan dan memandikannya. Memutuskan memelihara binatang memiliki sebuah tanggung jawab untuk terus merawat dengan layak, bagaimanapun keadaan si pemilik.
"A!" Karin menyodorkan sumpit yang mencapit sepotong chicken katsu.
Sambil mengusap-usap satu persatu kucingnya dengan handuk seusai mandi, Nara melahap dan mengunyah chicken katsu tersebut. Wajahnya masih muram, tatapannya sedu seolah kapan saja siap menangis.
"Masih nggak mau cerita kenapa?"
Nara bergeming, mengunyah katsu itu tanpa ada niatan menjawab.
"Pasti soal Pak Danish, kan?"
Tiba-tiba bibir Nara mencebik, mulai terdengar rengekan tangis. Ia sudah mencoba untuk berhenti menangis, tetapi sakit di hatinya terasa tak tertahankan. Apalagi saat mengetahui fakta bahwa Isabelle Adeline adalah mantan pacar Danish. Gadis itu merasa insecure yang membuat hatinya kian hancur.
Karin mendesah panjang, "Makanya apa gue bilang? Jangan ngejar cowok! Semakin lu nunjukin lu cinta sama dia, dia bakal seenaknya sama lu. Cuma karena lu cinta sama dia, lu gampang dimanfaatin, lu juga gampang disakitin, apalagi ditinggalin."
Nara menyedot ingusnya, kembali mengunyah katsudi mulutnya. Ia menyalakan hairdyer kemudian mengeringkan bulu-bulukucingnya.
"Jadi, diapain lu sama dia? Yakin lu mau nikah sama dia? Belum-belum udah dibikin nangis kayak gini?" tanya Karin usai memandikan kucing-kucing Nara.
Mereka duduk di teras menatap langit yang mendung. Cuaca mendukung untuk memperparah kegalauan Nara. Ia mengambil cuti di hari ini dan berniat ke kantor, apalagi bertemu dengan Danish. Ia masih tidak siap jika menghadapi kenyataan bahwa kemarin Danish dan Isabel ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
"Lu waktu diselingkuhin sama Beni dulu kenapa bisa balik lagi ke Beni, Kar?"
"Kenapa jadi bahas cowok berengsek itu?" Jeda beberapa detik, Karin baru menyadarinya. "Lu diselingkuhin sama Pak Danish? Iya?"
Nara mengangkat bahunya, tidak tahu. Gadis itu benar-benar tidak tahu apakah memang diselingkuhi atau tidak. Semua tampak abu-abu dengan benak yang menerka-nerka. Kian diterka, kian rumit tak kunjung bertemu jawaban.
Nara menjelaskan detail kejadian kemarin kepada Karin, sembari menangis sesegukan atas rasa kecewa melihat calon suaminya berduaan dengan mantan pacarnya di apartemen, telanjang dada pula.
"Lu udah dengerin penjelasan Pak Danish?" respon Karin setelah mendengar penuturan sahabatnya itu.
Nara menggeleng. "Dia aja kemarin nggak ngejar gue, gue dibiarin aja tuh pulang sendiri. Nggak ada effortnya buat jelasin meskipun gue udah nolak denger penjelasannya. Lu paham, kan? Kita cewek bukan nggak sepenuhnya nolak denger penjelasan pasangan kita, tapi juga mau tahu se-effort apa dia buat perjuangin kita biar nggak salah paham."
Karin mengangguk-angguk kecil. "Kalau menurutku, sih, Ra. Lu dengerin aja penjelasan Pak Danish. Siapa tahu nggak ada apa-apa. Tapi, anjirlah, kaget gue mantannya Isabelle Adeline. Lu dari kuliah, kan, sering nontonin videonya di Ytube. Lucu banget dunia, kek daun kelor luasnya."
Nara menghela napas panjang, embusan kegalauannya benar-benar terasa. Kalau mengikuti logika memang tidak masuk akal kalau tidak ada apa-apa di antara Danish dan Isabel kemarin. Semua jelas di mata Nara.
"Dengerin aja dulu nanti penjelasannya. Kalian itu udah tunangan, harus diomongin baik-baik. Siapa tahu ini ujian sebelum nikah. Kayak Dinda dulu, ngeliet calon suaminya jalan sama cewek lain. Udah mau batalin, eh, ternyata yang dilihat itu adik suaminya yang lagi jalan sama istrinya," nasihat Karin.
Lagi, lagi, Nara hanya menghela napas panjang atas segala respons dari nasihat sahabatnya itu.
***
"Isabel... dia siapanya Kak Danish?" tanya Nara melalui sambungan telepon dengan Marvin.
Marvin seolah enggan untuk mengungkapkan identitas hubungan antara Danish dan Isabel, takut jika itu semakin membuat Nara terluka. Bagaimanapun Nara adalah orang yang berjasa di perusahaan.
"Bukan cuma temen kuliah, kan?" Waktu itu di Kedai Shabu-shabu saat Danish dan Nara ketemu dengan Isabel, Danish memperkenalkan Isabel sebagai teman kuliahnya.
"Mantan, ya? Isabel mantannya Kak Danish?"
Ada jeda beberapa detik sebelum jawaban Marvin di dengar oleh Nara, beberapa detik itu membentuk sebuah permohonan bahwa apa yang dipikirkan bukanlah jawaban yang dilontarkan. Nara benar-benar tidak mau mendengar bahwa pernah ada hubungan istimewa antara Danish dan Isabel.
"Mereka pernah pacaran dulu, sekitar tiga tahun yang lalu."
Nara menggigit bibir, merasakan nyeri di dada. Ternyata jawaban yang tak diinginkan, benar didengar oleh telinganya.
"Berapa lama mereka pacaran? Sejak kuliah?"
"Sekitar empat tahun."
"Karena apa mereka putus?"
"Beda agama. Gue denger juga, sih, karena keluarga Isabel nggak ngerestuin."
Nara mengembuskan napas panjang. Hidungnya memerah, begitu juga dengan matanya menahan air mata. Hubungan selama itu pasti tidak mudah melupakan begitu saja. Apalagi penyebab mereka putus bukan karena hal fatal. Mereka pasti putus dengan baik-baik. Meski sudah putus pun, mereka pasti masih saling mencintai.
Sepanjang hari itu Nara banyak melamun. Bagaimana jika sebenarnya memang benar Danish belum melupakan sang mantan?
Rasanya tak sanggup jika harus bersaing dengan masa lalu yang pernah menang di hati Danish.
Malam ini Nara kembali menenggelamkan diri di antara bantal, menangis.
"Nara, papi boleh masuk?"
"Boleh, tapi Nara mau tetep gini aja," jawabnya di bawah bantal.
Papi berjalan mendekat, duduk di tepian ranjang. Ia mengusap punggung putrinya. "Kamu kenapa, Nak? Cerita sama papi kayak biasanya gitu loh. Ada masalah kamu sama Mas Danish?"
Nara tidak mau menjawab, ia tidak ingin papi tahu dan turut kecewa. Nara tidak mau papi terluka mendengar bahwa calon suami putrinya tertangkap basah sedang berduaan dengan mantannya di apartemen.
"Kalau Nara nggak yakin buat ngelanjutin perjodohan ini, papi nggak masalah, kok, Nak, kalau kamu mau batalin. Papi cuma pengin kamu bahagia, kalau kamu nggak bahagia, papi juga nggak akan maksa. Kebahagiaan kamu nomer satu."
Nara masih bergeming.
"Kamu harus menikah dengan orang yang tepat. Jadi, kalau kamu udah mulai ragu, nggak apa-apa bilang sama papi, biar papi yang urus semuanya. Hm?"
"Nanti ya, Pi, Nara ceritanya kalau udah siap."
"Iya, Sayang." Papi memahami, "Makan malam bareng, yuk, tadi Papi bikin semur ayam."
"Hm, bentar lagi Nara turun."
"Oke, papi tunggu." Papi beranjak dari kamar Nara. Namun, tak lama ia kembali lagi, "Nara, ada tamu."
"Siapa?"
"Mas Danish. Cepet turun, gih, temuin."
Nara melempar bantal dari atas kepala, gadis itu bangkit dari posisi tengkurapnya. "HAH? SIAPA?"
***
"Maaf berkunjungnya terlalu larut malam, Om."
Setelah memberi Nara satu hari untuk menenangkan diri dan hatinya, Danish langsung berkunjung ke rumah Nara untuk menjelaskan apa yang terjadi kemarin di apartemen.
"Ada sesuatu yang terjadi?"
Danish mengangguk, "Ada hal yang perlu saya jelaskan kepada putri Anda."
Ada lengang sebentar, "Om kasih tips. Nara itu memang keras kepala, dia mudah salam paham karena traumanya di masa lalu. Karena itu, apa pun yang menurut Mas Danish Nara belum tahu, kasih tahu. Apa pun itu. Jelaskan pelan-pelan. Dia pasti bisa mikir dan menilai."
Danish mengangguk, "Baik, Om. Terima kasih tipsnya."
"Pelan-pelan, perempuan kalau didesak malah makin benci."
Danish kembali mengangguk menerima nasihat calon mertuanya itu.
"Papiiii!" panggil Nara sembari terdengar derap langkahnya menuruni tangga, "Beni udah keluar dari penjara, dia baru aja nemuin Karin."
Papi langsung berdiri lalu berlari ke dapur untuk mencari kunci mobil, sementara Nara dengan wajah panik mencoba menghubungi seseorang.
Danish berdiri, bingung dengan apa yang terjadi. "Nara, ada apa?" tanyanya.
"Papi, buruaaan!" teriak Nara, gadis itu menggigit jari kirinya sambil terus menghubungi nomer seseorang.
"Papi lupa naroh kunci mobil di mana." Papi menggeledah ruang tamu.
"Pakai mobil saya saja, Om," tawar Danish meski tidak tahu apa yang terjadi.
Papi berhenti menggeledah, mencoba mempertimbangkan, "Kalau begitu, ayo."
"Tapi, Pi—" Nara ragu mengajak Danish.
"Nggak ada waktu lagi, ayo." Papi menyambar jaket di gantungan, kemudian berjalan keluar diikuti Danish dan Nara.
Setelah mengunci rumah, Nara berlari menyusul masuk ke dalam mobil. Duduk di jok belakang, sementara papi duduk di depan.
"Ke mana, Om?"
"Ke Pasar Minggu. Cepet, Mas. Agak ngebut gapapa."
"Baik, Om."
TDanish melajukan mobilnya mengantarkan papi dan Nara ke suatu tempat. Roda mobilnya mengebut dengan sesekali melirik spion belakang, melihat Nara yang terselimuti rasa panik dan rasa takut. Dalam batin Danish berujar, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro