Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

018 : Khitbah

Setelah papi dan paman Danish bertemu, mereka sepakat untuk mengadakan lamaran dua minggu setelah pertemuan di meja perjodohan. Papi merasa jika itu terlalu cepat, tetapi pihak Danish memberi keyakinan bahwa lebih cepat lebih baik. Keputusan papi untuk setuju tanggal lamaran didukung oleh Marida yang akan mengatur acaranya, bahkan sampai acara pernikahannya pun. 

Di hari Minggu, hari yang ditunggu-tunggu. Nara bersiap di rumahnya bersama Dinda. Pertama kali Dinda diberitahu soal perjodohan itu ia bersyukur karena Nara mengikuti jejaknya yang tak pacaran dan langsung ke jenjang serius. Namun, berbeda dengan Karin, saat Nara jujur padanya, sahabatnya itu marah dan tak bicara selama dua hari. 

Pernikahan yang seharusnya dilakukan seumur hidup harus dipikirkan secara matang-matang, tidak ujug-ujug dilaksanakan tanpa pertimbangan. Hanya karena calon suaminya adalah pria yang selama ini dikejar-kejar, Karin menanggap Nara terlalu gegabah.

Namun, gadis itu tetap saja datang membantu keperluan di dapur menyiapkan hidangan makan malam. 

Dibalut kebaya modern berwarna pink dengan bawahan berwarna abu perak, Nara duduk di depan cermin kamarnya. Dinda memoles merapikan hijab satin berwarna senada dengan kebaya dan polesan make up gadis itu. Jari-jari kukunya pun dihias cantik dengan kutek warna soft pink, tampak seperti boneka barbie yang dibalut hijab.

"Lo waktu lamaran juga deg-degan gini, nggak, sih, Din?"

Sejak menyadari hari ini tiba, sejak pagi jantung Nara terus berdebar. Pria yang beberapa bulan lalu dikejar-kejar, didoakan untuk menjadi jodohnya, hari ini pria itu akan datang melamar bersama keluarganya.

Hari ini mereka akan saling bertukar cincin dan juga menentukan tanggal pernikahan.

"Karena aku dulu taaruf, nggak tahu gimana calon suamiku sebelumnya, jadi kayaknya deg-degannya lebih parah dari kamu, deh. Kebayang, nggak, gimana rasanya kita mau nikah sama orang yang sebelumnya ngobrol bareng aja nggak pernah."

Nara menghela napas panjang, jantungnya berdentum semakin keras.

"Takut pingsan nanti pasti tuker cincin."

Dinda tertawa, "Nggaklah, palingan cuma gemeteran."

"Aduuh, jadi tambah deg-degan." Nara mencoba mengatur napasnya, ia menatap jari manisnya yang masih kosong dan itu malah semakin membuatnya berdebar.

"Gimana kalau pas malam pertama, ya, Din? Lamaran aja segini deg-degannya."

"Kalau itu, aku pingsan, sih."

"Heee???" Nara menoleh dengan wajah terkejut yang disambut tawa kembali oleh Dinda.

"Jangan mikir jauh-jauh, nikah aja dulu." Dinda selesai memasang hijab pada Nara, sesaat ia berdecak kagum. Wajah bulat dan kecil Nara terlihat begitu cantik dan anggun. "Udah selesai, nih. Masyaallah, cantik banget."

Nara menatap pantulan dirinya di cermin, kemudian mengambil ponsel untuk mengirim gambar ke Karin yang masih ada di rumah sakit. Tak lama dari itu papi masuk ke kamar Nara, memberitahu bahwa rombongan keluarga Danish sudah datang.

Dinda turun lebih dulu untuk persiapan menyambut bersama beberapa saudara Nara yang jauh-jauh didatangkan dari Madiun. Papi sengaja menguras kantong lebih agar lamaran putri satu-satunya meriah bersama saudara yang lain, mengingat tidak ada mama yang mendampinginya.

Papi tidak mau Nara merasa berkecil hati dan nelangsa.

Melihat Nara cantik dengan kebayanya siap untuk menerima lamaran, papi berkaca-kaca. Meskipun ini masih lamaran, hati ayah mana yang siap jika melihat putrinya telah tumbuh dewasa dan akan segera menjadi istri orang?

Papi mengusap air matanya karena sedih dan juga senang.

"Jangan nangis dulu, kan Nara masih lamaran." Nara turut berkaca-kaca, "Pi, nanti make up Nara luntur kalau Nara nangis, Papi jangan nangis dong."

Papi mengangguk-angguk, berusaha keras untuk tersenyum lebar.

"Ya, udah, ayo ke bawah." Papi mengulurkan tangan ke anak gadisnya, "Siap, Nak?"

Nara menghalau air matanya agar tidak tumpah, perasaannya benar-benar campur aduk. Ia meraih tangan papi, kemudian keduanya berjalan bersama menuruni tangga menuju ruang tamu yang sudah duduk menunggu, Danish dan keluarganya.

Danish datang bersama paman, beberapa saudara dari mamanya, serta Marvin dan mamanya. Ia merahasiakan lamaran ini dari orang-orang Pendopo Agung.

Melihat Nara berjalan menuruni tangga, pria itu sempat menatap hampir tak berkedip sebelum akhirnya duduk tegak dengan pikiran mengambang dan tatapan datar. Hatinya masih tertinggal di mantan kekasih yang kini sudah menjadi istri orang, ia tidak yakin bisa mencintai Nara setelah nanti mereka menikah. Namun, demi nyawa sang ibu, Danish harus menghadapinya.

Nara duduk di samping papi, berhadapan dengan Danish dan keluarganya. Pria itu mengenakan batik berwarna hitam dengan ukiran merah muda, Marida tahu Nara begitu menyukai warna itu jadi ia memilih warna tersebut untuk baju Danish saat melamar.

Batik dan kebaya yang dikenakan keduanya tampak serasi.

Mendadak rasanya jadi panas dingin, benar apa yang dikatakan Dinda kalau tangannya mendadak gemetaran. Jantung tak berhenti berdentum-dentum tak keruan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Paman Danish membuka salam yang kemudian dibalas oleh semua orang, "Perkenalkan, Pak Ali. Saya Sawiji, adik dari ibunya Mas Danish yang akan menjadi perwakilan keluarga Mas Danish untuk melamar putri Anda, Nara. Ibunya Mas Danish berhalangan hadir karena masalah kesehatan, sementara ayahnya kebetulan berada di luar negeri dan menyerahkan kepada saya untuk acara hari ini."

Papi mengambil jeda napas untuk menenangkan emosional dalam dirinya, menjaga Nara selama hampir 26 tahun seorang diri, tidak mudah untuk menghadapi hari ini. Nara seperti keseluruhan jiwanya.

Melihat papinya bergelut dengan emosional yang seolah tak terbendung, Nara mengeratkan genggaman tangannya di tangan papi. Kemudian tersenyum menenangkan.

"Saya sebagai ayah dari Nara," suara papi terdengar bergetar, "menyambut dan menerima kehadiran Mas Danish dan keluarga untuk meminang putri saya. Saya menghargai niat baik dan keseriusan Mas Danish. Namun, untuk jawabannya saya serahkan kepada putri saya. Apa pun jawabannya, menjadi jawaban saya juga."

Semua orang kini tertuju pada Nara.

"Bismillah," ucapnya membuka jawaban, ia menatap Danish yang sejak tadi berekspresi datar, "Saya terima pinangan Mas Danish sebagai calon suami saya."

"Alhamdulillah," seru semua orang, kecuali Danish. 

Di depan dekor pertunangan bernuansa putih itu Nara dan Danish saling bertukar cincin. Marida memasangkan cincin emas perak bermata pink safire ke jari manis Nara, kemudian adik papi perwakilan almarhum mama Nara memasangkan cincin serupa tanpa permata ke jari manis Danish.

"Dokumentasi!" seru Marvin mengarah mata kamera ke Nara dan Danish.

"Selamat, lo bakal dinikahi pria yang lo kejar-kejar. Seneng, kan, lo?" ujar Karin setengah berbisik selagi mereka berpose di depan kamera.

Nara tertawa kecil, "Nggak ada yang lebih membahagiakan selain menikahi crush."

Danish yang mendengar itu hanya menghela napas panjang dalam diam. Demi Tuhan, Danish berat melamar gadis ini karena tidak ada setitik rasa cinta padanya. Nara memang gadis yang cantik dan baik, tetapi hati Danish tak mudah tertarik. Apalagi mereka baru bertemu beberapa bulan saja. 

***

"Lagi sakit gigi apa gimana?" celetuk Nara setelah memperhatikan Danish sedari tadi nyaris tak ada senyum di wajah pria itu. 

Mereka duduk di ruang keluarga, sementara para tetua sedang menentukan tanggal pernikahan. 

"Ingat, Nara, siapa pun selain keluarga dan sahabat-sahabatmu, tidak perlu ada yang tahu rencana pernikahan kita."

"Iya, iya, buset deh."

Ada lengang sebentar di antara mereka. Menyisakan suara obrolan serius para tetua dan juga suara debat kecil dari Marvin dan Karin di ruang makan. Marvin terus membuntuti Karin dan membuat gadis itu sebal bukan main.

"Kenapa tiba-tiba kita dijodohkan, ya?" ujar Nara sambil menatap layar telivisi yang tidak menyala. 

Danish bergeming, tentu saja itu karena menjadi batu loncatan Danish untuk mengkudeta sang ayah dan menyelamatkan ibunya dari cengkeram kejam ayahnya. Namun, pria itu tak mungkin mengatakan alasan yang membuat perjodohan ini ada. 

"Kenapa kamu  mau dijodohin, Kak?"

"Aku emang nggak minat pacaran lagi."

"Lagi? Jadi, udah pernah pacaran sebelumnya?" Spontan Nara batin sanggahan di kursi.

"Hm."

"Berapa lama pacarannya? Udah ngapain aja? Siapa namanya? Cantik?" berondong Nara dengan nada selidik.

"Udah nggak penting, jadi nggak perlu dijawab."

"Tapi buat aku penting!"

"Kenapa penting?" Danish menoleh. 

Nara menatap cemburu, perasaannya mendadak panas mengetahui Danish sudah pernah pacaran. Tapi, kalau dipikir-pikir, aneh kalau Danish yang ganteng dan populer itu tidak pacaran. 

"Udah ngapain aja?" tanya ulang Nara, "Itu penting, ya! Soalnya aku ini tipe gadis yang menjaga untuk yang halal. Ya, meskipun ilmu agamaku minus, tapi kalau soal menjaga kehormatan aku tahu itu penting."

Danish tidak langsung menjawab. 

"Gandengan tangan?"

"Emangnya ada, ya, pacaran nggak gadengan tangan?"

Nara memberengut kesal, "Pelukan?"

"Hm."

Dadanya kian memanas, bahunya naik turun menahan api cemburu. "Ciuman?"

Ada lengang beberapa detik, kemudian Danish menjawab, "Hm."

"Iiih!" Nara meraih remote di meja melemparkannya pada Danish, "Nyebelin!"

"Akh!" rintih Danish kesakitan saat remote TV itu terpantul di lengannya. Ia memincing tajam ke Nara, "Sakit, tahu."

Mata gadis itu mengembun, baru saja dilamar beberapa menit yang lalu tetapi hatinya sudah terbakar cemburu saat tahu calon suaminya sudah dicuri ciuman pertamanya oleh gadis lain. 

"Pernah—nginep bareng?" Air matanya mengalir tanpa bisa dicegah, hatinya terasa sakit. 

Danish menangkap bulir air mata mengalir di pipi Nara, sambil mengusap-usap lengannya yang sakit setelah terhantam remote Danish menyadari kalau cinta Nara padanya benar-benar tulus. Danish jadi tidak enak hati karena sudah jujur sejauh mana ia pacaran dengan mantannya dulu.

"Danish? Nara?" panggil Marida dari ruang tamu. 

Danish mencabut tissue di meja, kemudian mengulurkan tissue itu kepada Nara. 

"Nggak usah nangis. Aku juga paham kalau yang menjaga pasti dapat jodoh yang sama-sama menjaga. Hapus, gih, air matanya."

Nara mendongak, meminta jawaban yang jelas kepada Danish. Tak berniat menerima tissue itu sebelum Danish menjawab dengan jelas atas pertanyaan terakhirnya barusan. 

"Ck," decak Danish kesal, "Aku nggak pernah nginep bareng. Udah, puas?"

"Nggak percaya."

"Demi Allah, aku juga tahu kalau itu salah sebelum menikah," jawab Danish, jeda tiga detik, "ini ambil, udah dipanggil, tuh."

Nara meraih tissue itu sebelum menyusul Danish yang berjalan lebih dulu ke ruang tamu. 

Nara tersenyum kecil sembari mengusap air matanya. 

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro