Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

017: Terserah


"Jadi, gimana, Danish?" tanya Marida setelah pulang dari restauran. 

Danish memang sebal dengan Nara karena kelakuan gadis itu  selama ini, tetapi Nara mungkin pilihan yang tepat untuk menjadi istrinya.

Nara bukan dari keluarga antek-antek ayahnya, bukan perempuan gila harta, bukan dari kalangan pembisnis atau selebriti, penting lagi adalah Nara punya kekerabatan dengan Daniel Mark, satu-satunya perusahaan raksasa yang berada di atas perusahaan ayahnya.

Selain itu juga, Nara punya cinta untuk pria itu. Cinta Nara tulus, tanpa melihat latar belakang Danish. Meski sedikit naif, tetapi cinta Nara murni dan apa adanya.

Danish masih bergeming menatap lantai rumah Marvin dengan benak yang dipenuhi dengan segala pertimbangan. Gadis menyebalkan itu, yang selama beberapa minggu ini membuatnya pusing tujuh keliling akan menjadi istrinya? Entah bagaimana membayangkan 24 jam bersama dengan gadis itu. 

"Kalau Tante sendiri, sih, cukup setuju, ya, Nish. Setuju banget malah. Tante juga kenal sama orang tuanya, kenal asal-usulnya. Pokoknya dia itu pilihan yang tepat. Selain itu juga dia manis banget, cantik dan yang penting menutup aurat. Nggak kayak tuh, cari pacar yang modelan ani-ani," kata Marida diakhiri sindiran untuk sang putra yang duduk di sebelah Danish. 

"Udah kandas, Ma."

"Alhamdulillah!" ucap Marida kencang sekali, "Cari itu kayak Nara, udah keliatan nyenengin, manis, anaknya menutup aurat juga. Ya, masa Mamamu yang sering pengajian ini dapet menantu yang suka umbar aurat? Ya, malulah."

Kalimat mamanya hanya dijawab dengan dengusan sebal dari Marvin. 

"Gimana, Nish?" tanya Marvin kembali ke permasalahan sahabatnya itu, "Kalau gue setuju, sih. Kaget dikit lo dijodohin sama Nara." Marvin tertawa. 

Danish menghela napas panjang sejenak, "Nggak ada pilihan lain, kan, Tan?"

"Kalau kamu punya pilihan sendiri, ya, monggo. Tapi, Tante berharap kamu mau ngelanjutin perjodohan ini. Tante setuju banget kamu nikah sama Nara."

Helaan napas panjang kembali terembus di hidung pria 30 tahun itu. Tak lama kemudian, ia mengangguk. 

"Tapi lu suka, nggak?"

Danish menoleh ke Marvin tanpa ekspresi. "Perkara perasaan bisa dibiasakan setelah menikah, kan?"

"Gue tahu cinta lu masih nyantol di Isabel," cibir Marvin.

 Danish mengalihkan tatapannya kembali ke lantai rumah Marvin, tidak menyanggah pun tidak mengelak, sepertinya memang benar cintanya masih di orang yang sama.

"Ah, iya, sayang banget, ya. Padahal kalian udah lama pacarannya," sahut Marida sembari berdiri, "udahlah, memang nggak berjodoh. Tante mau ngabarin pamanmu buat atur tanggal lamaran."

"Iya, Tan."

"Good luck, Bro," sahut Marvin, jeda tiga detik pria itu tertawa terbahak-bahak meledek Danish yang selama ini benci setengah mati kepada Nara, tiba-tiba benang takdir malah menjodohkan mereka dalam pernikahan. 

Danish melempar bantal sofa ke Marvin, "Berisik!"

***

"Tunggu, tolong tahan!!!" pekik Nara berlari ke arah pintu lift yang sedang menutup.

Seseorang mencegah pintu dan Nara berhasil masuk.

"Makasih," ucap Nara sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, detik itu matanya baru menangkap kalau di dalam lift tersebut ada seseorang yang semalam tak bisa membuatnya tidur nyenyak.

Pria itu juga menatapnya, kemudian mengalihkan pandangan ke sembarang arah. 

Sejak semalam jantung Nara tidak berhenti berdetak kencang kala mengingat dirinya akan dijodohkan dengan pria yang selama ini dikejar-kejar. Jodoh memang semisteri itu, tidak tertebak dan sangat penuh kejutan. 

Dari banyaknya kemalangan, bukankah Nara pantas mendapatkan anugerah ini? Menikah dengan pria yang dicinta. 

Lift melaju naik ke atas, satu persatu orang turun di lantainya masing-masing. Hingga akhirnya menyisakan Danish dan Nara saja di dalam lift. Tentu suasana canggung merayap mengikat keduanya. Berdiri bagai dua orang asing yang masing-masing bergelut dengan pikirannya sendiri.

Nara melirik angka yang terus berganti seiring lift melaju naik, masih kurang tiga lantai lagi. 

"Jangan sampai orang-orang kantor tahu soal perjodohan kita sebelum kita resmi menikah," ujar Danish tiba-tiba. 

Nara menoleh, "Hm?"

"Aku nggak mau kabar ini menganggu fokus mereka di tengah persiapan wajah baru Nawasena." Danish menoleh menatap datar ke Nara, "Tolong kerja samanya."

Nara tidak menjawab, gadis itu sibuk mengamati tatapan Danish padanya. 

"Kamu denger, nggak, sih?"

"Dengeer, sejak kapan budeg?"

Danish kembali menatap ke depan. Untuk membuka bidak catur peperangan dengan sang ayah ternyata membuatnya banyak  menahan, termasuk menikah dengan gadis yang belum ia cintai.

"Jadi, beneran kita dijodohin?"

Danish bergeming, malas menanggapi sesuatu yang sudah jelas. 

"Amazing, ya, jalur langit?" Terdengar helaan napas panjang dari pria di sampingnya itu, Nara mendekat satu langkah sejajar dengan posisi Danish. "Apa aku bilang, kalau Allah bilang kamu jodohku, pasti gimana pun juga akhirnya jadi jodohku, wle!" ledeknya. 

"Bisa nggak, sih, kamu nggak nyebelin?" Danish menoleh dengan tatapan sebal.

"Kenapa? Takut jatuh cinta sama aku, ya? Soalnya yang nyebelin tuh yang paling sering  ngangenin, kan?" goda Nara sambil tersenyum yang tampak semakin menyebalkan di mata Danish.

Pintu lift terbuka, sebelum keluar Danish kembali menoleh ke Nara, "Tolong kerja samanya. Jangan buat kegaduhan di kantor."

"Siap, Calon Suami!"

"Sssp!" Terdengar isapan kecil udara di sela bibir Danish disertai tatapan tajam pria itu isyarat teguran.

Nara mengangguk-angguk, dua jarinya membentuk gerakan menutup 'resleting' di bibirnya. Kemudian membuat tanda OK di sana. 

Danish menghela napas panjang sembari keluar dari lift, dibuntuti beberapa langkah oleh kaki Nara. 

Kantor sudah mulai sibuk untuk wajah baru Nawasena. Hari ini lantai 17 atau lantai Divisi Utama akan dikosongkan untuk dicat ulang. Semua karyawan berjibaku dengan kardus-kardus untuk memindahkan sementara ke lantai 16. Meski menyewa pelayanan pindah kantor, karyawan tetap membantu.

Danish meeting di luar dengan Marvin, kembali ke kantor saat hampir jam makan siang. Sepanjang meeting Danish benar-benar khawatir jika Nara tidak bisa diandalkan untuk menjaga rahasia.

Ini bukan soal menjaga ketenangan di kantor, tetapi juga mencegah ayahnya tahu mengenai rencana pernikahannya. Jika tahu, ayahnya itu tidak akan membiarkan rencana Danish berjalan dengan lancar. Ia akan melakukan segala cara untuk menjegal sang putra mengkudeta.

Saat kembali ke kantor, Danish melihat Nara sedang tertawa dan bergurau dengan karyawan lain setelah baru saja selesai membersihkan lantai 17. Dari balik dinding pembatas bening antara ruangannya dan ruangan karyawan, Danish terus memperhatikan segala tingkah gadis itu.

Jam makan siang tiba, semua karyawan ke kantin kantor.

"Narak!" Karin memanggil dari salah satu meja, melambai agar Nara duduk bersamanya.

Nara melambai sambil mengangguk. Setelah mengambil pesanan, ia duduk semeja dengan Karin. Tak lama Jian menyusul dan duduk di sebelah Nara.

"Gue boleh join, kan?" tanya Jian.

"Boleh, Kak. Silakan." Nara memperbolehkan.

Karin memainkan matanya, bertanya soal Jian dan dibalas gelengan kecil Nara bahwa Jian bukan siapa-siapa. Tatapan Nara terinterupsi saat melihat Danish berjalan membawa nampan dan duduk tak jauh dari tempatnya, merasa aneh karena biasanya pria itu makan siang di luar, jarang ke kantin.

"Kak Jian, kenalin ini Karin—"

"Sahabat lo, kan?" sambung Jian.

Nara dan Karin bersitatap dengan ekspresi terkejut.

"Kok tahu, Kak?"

Sambil menuang kecap ke dalam baksonya, Jian menjawab, "Foto di meja kerja lo, dia, kan? Sama satu lagi cewek pake jilbab."

"O—oh, iya." Nara tertawa baru mengingat, selain foto papi juga ada foto Karin dan Dinda yang diambil bertiga saat mereka wisuda sarjana.

"Dia lebih cantik, ya, sekarang?" tanya Jian kepada Karin sambil melirik Nara.

Karin hanya mengangguk. "Dia lagi kesurupan jin soleha, bentar lagi juga pasti dibuka."

"Ih, nggak, ya. Gue dah mantep, tahu, mau hijaban terus. Bukannya di-support, ish! Teman laknat."

"Emangnya nggak panas?"

"Panasan di neraka," jawab Nara sembari menuang caos ke atas katsunya.

"Nah, nah, kan. Udah bukan jin soleha lagi ini, sih. Jin ustadzah."

"Ish!" Nara mencolokkan garpu ke arah Karin.

Jian terkekeh, "Udah lama kalian sahabatan?"

"Lumayan. Kalau sama Karin mulai waktu awal-awal masuk kuliah, kalau yang pakai hijab itu namanya Dinda, dia temen dari kecil. Rumah kita deketen."

"Rumah lo di mana emang?"

"Di Jagakarsa."

"Tiap hari motoran?"

Nara mengangguk. "Kadang kalau males, naik kereta, sih."

"Nggak ada cowok emang? Yang anter jemput lo gitu?"

Karin yang melumat chicken katsu-nya itu mengangguk-angguk, menatap Nara dan Jian secara bergantian. Bibir gadis itu tersenyum tipis, seolah bisa membaca situasi.

Nara menggeleng. Ia melahap potongan katsunya, kemudian menatap balik Karin yang tersenyum sendirian. Nara menaikkan alisnya, isyarat bertanya.

"Lo suka, ya, sama sahabat gue?" tembak Karin.

"Karin!" protes Nara ke Karin yang ujug-ujug menembak pertanyaan seprivasi itu ke orang yang baru ditemui. Pipi Nara memerah menahan malu, merasa tidak enak kepada Jian yang notabene seniornya.

Jian tersenyum, tidak menggeleng juga tidak mengangguk.

"Nggak usah diladenin, Kak. Dia emang suka kebanyakan main oli, omongannya jadi licin." Nara memelotot ke arah Karin.

Nara menangkap tatapan Danish ke arahnya. Sambil mengunyah, pria itu menatapnya datar. Nara benar-benar merasa aneh, mulai berpikir bahwa Danish sengaja makan di kantin karena ingin mengintainya jaga mulut soal perjodohan mereka. 

Bener-bener, ya, tuh, manusia, nggak percayaan amat,  batin Nara merasa sebal.

"Gue jomlo, kok. Ngejar-ngejar Pak Manager juga nggak digubris, jadi kalau mau maju, monggo." Sebenarnya ia malu mengatakan itu kepada Jian, tetap sikap Danish memantik reaksinya. 

Karin tertawa, "Tuh, Mas, udah dikasih lampu ijo. Gaspol nggak, sih?"

"Siap, siap." Jian tersenyum sembari mengangguk-angguk. 

Makan siang usai, mereka kembali ke kantor masing-masing untuk melanjutkan pekerjaan. Nara dan Jian berada di lantai 16 untuk menata kardus-kardus yang masih berantakan, menyiapkan ruangan untuk tim mereka bekerja selama pengerjaan cat ulang di lantainya selesai. 

"Nara, kasih ini ke Manager, minta dia tanda tangan. Gue mau ke Tim Riset follow up menu baru." Sofie menyerahkan  dokumen kepada Nara untuk diserahkan kepada Danish. 

"Siap, Mbak." Nara senang hati menerimanya, tak lama ia langsung melesat ke lantai 17.

 Ruangan Danish tidak perlu dicat ulang karena sejak awal menjadi ruangan yang 'paling waras' di antara segala sudut perusahaan ini. 

Setelah mengetok pintu, Nara masuk. 

"Tanda tangan, Pak." Nara meletakkan dokumen di atas meja Danish. 

Bukannya membuka dokumen itu, Danish menajamkan pandangan ke Nara bahkan sejak gadis itu masuk ke ruangannya. Merasa ditatap horor oleh pria itu, Nara mengerutkan kening, heran. 

"Kenapa ngeliatnya gitu? Tanda tangan nggak, nih?"

Danish menghela napas sejenak, kemudian membuka dokumen itu. Menandatanganinya, kemudian menyerahkan kembali ke Nara. 

"Kenapa kamu ngakunya ke orang-orang jomlo? Aku cuman minta kamu buat nggak ngebocorin perjodohan kita, bukan nyuruh kamu pengumuman mengaku jomlo."

Nara semakin mengerutkan keningnya, mengerjap-ngerjap tak paham. 

"Pak, saya sudah amanah buat ngerahasiaiin perjodohan kita, sampai sahabat-sahabat saya pun nggak tahu. Biar orang nggak curiga, kan, lebih baik saya ngakunya jomlo."

"Terserah." Pria itu mengalihkan tatapan ke layar laptop. 

"Terus maunya Pak Danish gimana coba bilang?"

"Silakan keluar kalau tidak ada kepentingan lain."

Nara menatap sebal, "Aneh banget, nih, manusia emang, haish!" Nara menyambar dokumen di meja kemudian putar balik keluar dari ruangan Danish. 

Danish merebahkan punggungnya di sanggahan kursi hidroliknya sepergi Nara, napasnya berembus panjang sambil menatap pintu. Ia tidak suka dengan tatapan Jian yang jelas menyukai Nara. Bukan cemburu, hanya tidak suka dengan interaksi mereka. Apalagi Nara mengaku kalau jomlo, padahal jelas kalau Nara dijodohkan dengannya. 

"Emangnya nggak punya alibi lain, apa?" gerutu pria itu.  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro