016: Sapu Tangan
Danish menghela napas panjang untuk kesekian kali saat melihat tingkah gadis di depannya itu. Yang biasanya bertingkah layaknya cacing kepanasan, tiba-tiba sekarang bak putri kerajaan. Suaranya dilembut dan dikalemkan, duduknya tegak dianggun-anggunkan. Pada saat makan, mengunyah pelan sungguh menyebalkan di mata Danish.
"Jadi, kalian sudah pernah bertemu, ya, sebelumnya? Kenal di mana?" tanya Tante Marida di tengah menikmati makan malam bersama.
Nara lebih dulu mengusap tepian bibirnya dengan tisu, tentu saja dengan gerakan kalem seolah dirinya bintang besar yang sedang menjaga imej di depan kamera. Danish berdecih dalam hati, mengingat dirinya pernah melihat Nara makan bagai rakun kelaparan, semua dilahap dalam satu suap.
Pencitraan, gerutu pria itu dalam hatinya.
"Jadi, waktu itu Nara sama Kak Danish dirawat di ruang sama, Tan." Tawa yang biasa meledak bagai mercon itu sekarang berganti menjadi tipis menggemaskan, "Kasusnya sama, habis jatuh dari pohon karena nolongin kucing."
Tante Marida menutup bibirnya dengan tangan kiri, terkejut. Kemudian tepuk tangan kecil menoleh ke arah papi, "Kayaknya mereka udah ditakdirin berjodoh, nggak, sih, Mas Ali?"
"I—i—ya," jawab papi terbata dengan senyum tanggung.
Selain Danish yang muak melihat tingkah gadis itu, papi juga sedari tadi mengerutkan kening keheranan. Beberapa waktu lalu putrinya itu menolak dengan tegas perjodohan ini, tetapi sekarang seolah terlihat putrinya itu sedang mengambil hati Marida.
"Kesambet apa tuh bocah?" batin papi sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tante Marida langsung jatuh cinta ke Nara, seandainya bisa ia ingin menjodohkannya dengan Marvin. Namun, sepertinya dengan Danish lebih tepat. Bedugal biang kerok seperti Marvin tidak pantas menjadi suami gadis selembut Nara, pikir Tante Marida.
"Nak Danish, kerja di mana?" tanya papi.
"Saya manager eksekutif di Perusahaan Nawasena, Om, perusahaan keluarganya Tante Marida."
"Kalau soal sandang pangan papan, Mas Ali nggak usah khawatir. Tahu, sendiri, kan, keluarga Roro gimana? Yang punya Thunder Holdings," imbuh Tante Marida.
"Hm?" Nara baru mendengar itu. "Oh, ya, Tan?"
"Hm." Tante Marida mengangguk, "Dia itu mandiri, nggak mau bergantung sama harta keluarganya. Jadi, dia kerja di perusahaan suami Tante sejak kuliah. Dia jadi anak magang sampai akhirnya diangkat jadi manager eksekutif."
Papi mengangguk, merasa bahwa pilihannya tepat jika menjodohkan Nara dengan Danish.
"Mama kamu apa kabar?" tanya papi.
Ada jeda sekian detik Danish tak segera menjawab pertanyaan papi. Ia rumit menjelaskan keadaan mamanya sekarang, takut jika itu mempengaruhi rencana perjodohan yang amat dibutuhkannya itu.
"Baik, Om," jawab singkat Danish.
"Kesehatan Roro kurang baik, Mas Ali. Dia dirawat jalan di Pendopo Agung, tapi Mas Ali nggak usah khawatir, semua baik-baik aja," kata Marida mencoba menutupi keadaan yang sebenarnya.
Papi mengangguk-angguk, "Titip salam, ya, buat mama kamu." Dijawab anggukan kepala oleh Danish, "Dia dulu yang paling berani di antara kalian bertiga, ya?" lanjut papi mengenang.
Marida tertawa, "Bener, siapa pun yang bikin masalah sama kami, Roro maju paling depan. Yatfiya tuh yang sering banget terlibat masalah sama senior."
"Mama?" sahut Nara, berbinar matanya mendengar itu, "ceritain dong, Tan, gimana mama waktu masih muda."
Marida dan papi sambung menyambung bercerita kenangan mereka di masa sekolah. Yatfiya sikapnya persis seperti Nara yang ceria, ekstrovert dan berempati tinggi. Nara terharu akhirnya bisa mendengar cerita tentang mamanya bukan dari papi saja, ada orang lain yang mengenang mamanya dalam ingatan.
Tanpa sadar mata Nara memanas, bulir bening mengalir ke pipinya.
"Eh, Nara, Sayang? Kok, nangis?" Marida turut mengembun matanya melihat putri Yatfiya yang tak pernah mengenal ibunya sendiri sejak lahir.
"Nggak apa-apa, Tan. Nara cuma terharu aja, selama ini cuma dengar dari papi, sekarang denger cerita mama dari sahabat mama." Nara mengusap air matanya sambil tertawa kecil, "Maaf, ya, Tan, jadi ngerusak suasana."
Sapu tangan terulur ke arahnya, Nara menoleh ke empu sapu tangan dan mengerjap sesaat menatapnya.
"Pakai ini," ucap Danish.
Nara menerima sapu tangan itu, "Makasih, Kak."
Marida dan papi saling melirik, keduanya mengangguk mengiyakan untuk perjodohan mereka.
***
Kata papi di dunia ini tidak ada yang kebetulan, semua sudah dirancang untuk terjadi. Bahkan batu di gunung bisa sampai ke laut melalui cara yang sudah digariskan takdirnya.
Mungkin Nara dan Danish juga seperti itu, seperti batu di gunung yang mampu sampai ke laut. Bukan kebetulan mereka bertemu di rumah sakit, bukan kebetulan Nara bekerja di perusahaan yang sama dengan Danish, bukan kebetulan pula beberapa waktu lalu mereka bertemu di meja perjodohan.
Memang sudah seperti benang takdir mengikat mereka untuk saling mendekat di satu titik temu.
Kalau ditanya perasaannya Nara sekarang, entah bagaimana menjelaskannya. Sepulang dari restauran, gadis itu berjingkrak tiada henti seakan-akan ingin merobohkan rumahnya.
"Bayangin, aku udah capek-capek ngejar, eh tahu-tahunya dia yang dijodohin sama aku. Gimana nggak sebel, Pan. Kamu juga sebel, kan, dengernya?" kata Nara mengobrol dengan kucing persianya setelah lelah berjingkrak di kamar.
Terasa aneh melihat Danish yang biasa dingin dan menolaknya, tiba-tiba diam saja saat di meja perjodohan. Terasa ambigu mendengar kemauan besar Danish ingin melanjutkan perjodohan. Seperti puzzle yang kehilangan satu kepingnya, terasa ada yang mengganjal.
"Bodolah, yang penting aku nikah sama Kak Danish! Hahaha!" tawa puas gadis itu berguling-guling kembali di atas kasurnya.
Papi yang sedang berdiri di depan pintu itu kembali mengerutkan kening, kemudian ia masuk, "Jadi, mau nih dijodohin sama Cu Pat Kai?" seloroh papi yang beberapa waktu lalu mendengar doa putrinya sebelum masuk restauran.
Nara menoleh dan tertawa, kemudian ia melompat dan memeluk papinya. Mendaratkan kecupan di dua pipi sang papi.
"Jadi, gimana?" tanya papi memastikan.
"Mauuuuuuu!" pekik gadis itu, melolong seperti serigala di bulan purnama.
"Sini duduk." Papi menggiring Nara untuk duduk di tepian ranjang. "Kenapa tiba-tiba mau? Nggak inget nolaknya tadi sore kayak gimana?"
"Gini, duh ..." Nara menarik napas terlebih dahulu, jantungnya seperti mau meledak. "Jadi, Pii..."
"Iya, gimana?"
"Cowok yang Nara suka di kantor itu ... dia, Pi. Kak Danish."
"Owalah, jadi gitu, toh? Walah, rejeki iku. Jodoh pancen ndak ke mana." Papi tertawa yang disusul tawa dari putrinya.
Papi benar-benar bersyukur, semuanya tampak dipermudah. Tiba-tiba mata papi memanas, mengingat perjuangannya dulu untuk bersama dengan mama Nara sangat teramat terjal.
Setelah diusir dari keluarga konglomerat, mama Nara menjalani kehidupan serba kekurangan. Namun, ia tidak pernah menyesal karena menikah dengan orang yang tepat, yakni papi Nara. Papi Nara dulu seorang atlet nasional, menikah dengan mama Nara ia memutuskan untuk keluar dari Pelatnas. Zaman dulu profesi atlet masih dipandang sebelah mata, tidak punya penghasilan tetap. Kurang menjamin untuk menunjang kehidupan.
Papi selalu mengusahakan memenuhi kebutuhan mama Nara, dari menjadi satpam, jualan ini itu, sopir angkot, sampai akhirnya memanfaatkan fisiknya yang kuat untuk menjadi kuli bangunan yang dibayar harian.
Dari kuli bangunan, papi terus meningkatkan kemampuannya menjadi tukang bangunan. Hingga keterampilannya dalam membangun rumah, menjadikan papi mandor di sebuah perusahaan kontruksi pembangunan gedung-gedung bertingkat.
Mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Jakarta Selatan, di dalam perumahan yang asri dan tenang.
Meski sewa pertahun cukup mahal, papi memilih perumahan itu karena menginginkan sang putri tinggal di lingkungan yang aman. Rumahnya tidak terlalu besar, tetapi papi menyulap menjadi hunian yang benar-benar nyaman. Tembok dan pagarnya kombinasi putih dan cokelat, penuh bunga dan tanaman.
Papi juga membuat taman bermain untuk Nara dan kucing-kucingnya di halaman depan, di tengah-tengah tanaman dan bunga-bunga. Di sana kadang Nara terbiasa membaca buku, bersantai, atau sekadar melamun.
Sebelum itu mereka sering berpindah-pindah kontrakan karena menyesuaikan lokasi proyek.
Duka mendalam setelah mendengar putusan dokter bahwa istri tercinta meninggal akibat pendarahan hebat usai melahirkan, papi menangis tersedu-sedu sambil berjalan ke arah ruang bayi. Ia mengazani sang putri dengan derai air mata, dengan suara deru tangis tak tertahankan.
Mata bening Nara bayi yang menatapnya kala itu menjadi satu-satunya sumber kekuatan papi untuk terus melanjutkan hidup.
Ia tak jarang membawa Nara kecil ke lokasi proyek. Karena sering terkena debu bangunan, ketika berusia 10 tahun Nara mengidap pneumonia. Sejak itu papi mencari uang tambahan di luar kerjanya sebagai kuli bangunan, untuk mencari baby sitter.
Orang tua papi di Jawa Timur, papi sempat pernah menitipkan Nara di sana. Namun, Nara rewel sampai demam tinggi karena jauh dengan papinya. Sejak itu, papi tidak pernah meninggalkan Nara.
"Pi, kalau Nara nanti nikah, Nara tetep di rumah ini, ya?" ucap Nara sambil memeluk papinya di atas kasur.
Papi tersenyum, "Anak perempuan kalau sudah menikah, harus ikut suaminya, Nduk."
"Tapi, Nara nggak mau ninggalin Papi. Nara nggak mau Papi kesepian. Pi, kenapa Papi nggak nikah lagi, sih? Kalau Papi punya istri, kan, Nara jadi nggak khawatir ninggalin Papi."
Papi mengusap kepala putrinya yang menjadikan perutnya sebagai bantal, mata papi melirik foto usang pernikahan sederhananya dengan ibu Nara di dinding.
"Cinta Papi sudah habis di mama kamu. Papi nggak mau dan nggak pernah punya niat buat mencari pengganti mama kamu," jawab papi.
"Nanti kalau kamu nikah, Papi akan seneng kalau kamu ikut sama suami kamu. Papi akan bahagia kalau kamu jadi istri yang baik. Papi nggak akan merasa kesepian, karena bayangan mama kamu selalu menemani papi. Bahkan, sudah sejak dulu seperti itu."
Nara bangkit dari perut papinya, kemudian memeluk sang papi, "Semoga suami Nara kayak papi. Selain Papi adalah pasangan yang setia, Papi juga ayah yang hebat. I love you, Pi."
"I love you too, Nduk." Kecup sang papi di pucuk kepala putrinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro