015: Takdir Yang Lucu
S
ambil menatap gerimis yang turun di jendela kantor, Nara mendesah panjang. Sebuah harapan yang tak sesuai dengan kenyataan, Tuhan seolah memberitahunya bahwa sesuatu yang dilakukan demi menarik hati manusia hanya sebuah harapan palsu.
Melihat bagaimana respons Danish tadi pagi, Nara merasa kesal dan juga sedih. Memang cinta sendirian itu melelahkan, hati mudah dikecewakan oleh harapan-harapan yang tak pasti akan menjadi kenyataan. Namun, hal sepele itu tak mungkin membuat hatinya menyerah.
Nara akan terus mencoba meluluhkan Danish, seperti apa yang diupayakan mendiang mamanya untuk menaklukkan hati papi.
"Nara, tolong anter ini ke Tim Humas," titah Sofie memberikan dua tumpuk lembaran yang dibungkus map.
"Baik, Mbak." Nara mengindahkan perintah, ia segera meraih map itu dan keluar dari ruangan.
Sembari menunggu pintu lift terbuka, Nara menghela napas panjang. Kenapa kalau sesuatu yang sulit untuk didapatkan membuat hatinya kian besar keinginan untuk memiliki? Nara bukan pertama kali jatuh cinta, tetapi karena Danish seolah tak mau lagi melihat pria lain.
"Ya Allah, jadikan perempuan lain di mata Kak Danish seperti dugong dan jadikan Kak Danish di mata perempuan lain seperti tokek belang," cicit Nara dengan kesungguhan hati. Kemudian gadis itu tertawa kecil dengan doanya sendiri.
"Aku denger, ya," ujar Danish yang ujug-ujug sudah ada di sebelah Nara, menunggu pintu lift terbuka.
Tawa Nara sekejap lenyap, ia menoleh dengan picingan mata, "Aamiin!"
"Cih," decih Danish, benar-benar sebal dengan gadis satu ini.
Tak lama pintu lift terbuka, hanya ada mereka berdua.
"Kenapa tiba-tiba berhijab?" tanya Danish tiba-tiba, akhirnya di-notice juga, pikir Nara.
"Biar dilirik sama kamu, bukannya kamu suka wanita yang menutup aurat?" Informasi itu Nara dapat dari siapa lagi, kalau bukan Marvin? Marvin benar-benar total 'menjual' sahabatnya.
Danish tersenyum kecut, "Kamu pikir aku bakal tertarik?"
"Buta aja matanya kalau nggak tertarik," sahut Nara sangat percaya diri.
Pria 30 tahun itu menghela napas panjang, kemudian berjalan mendekat ke anak magang baru itu. Tingginya sedagu Danish, pria itu harus menunduk sedikit untuk menatap tajam dua mata Nara.
"Dengar, ya, Naraina. Kalau pun di dunia ini hanya menyisakan kamu sebagai satu-satunya perempuan, aku memilih untuk tidak menikah seumur hidupku."
Danish berharap Nara akan sakit hati dengan kalimatnya dan berbalik membencinya, mengingat bahwa pria itu akan segera dijodohkan dengan perempuan pilihan Tante Marida.
Namun, gadis di depannya itu malah mengangkat dagu.
"Kamu boleh nolak aku sepuasmu, tapi kalau doaku menyala di setiap malamku menyebut namamu. Kalau akhirnya Tuhan menjodohkanmu denganku dunia akhirat, kamu bisa apa? Wle!" katanya diakhiri juluran lidah meledek.
"Cewek gila," decih Danish.
"Hm, aku emang gila." Deretan gigi Nara terpampang jelas, dua matanya ikut tersenyum, "Tergila-gila sama kamu."
Danish memutar matanya, muak. Pria itu berlalu meninggalkan perempuan tak waras itu setelah pintu terbuka di lantai 17.
"Ana Uhibukka Fillah, Calon Imam!" pekik Nara, suaranya menarik banyak perhatian orang di sekitar. Tapi, ia sama sekali tidak peduli. Sementara Danish hanya menghela napas panjang sembari menutupi wajahnya, malu.
***
"Aaaaa.... nggak mau, apaan, sih, Pi?" protes Nara yang baru saja pulang dari kantor. Tiada angin tiada hujan, papi mengajak Nara untuk dikenalkan dengan anak sahabat mendiang mamanya dulu. "Zaman udah modern, tapi ikut perjodohan? Yang bener aje, rugi dong!"
Papi tahu kalau putrinya itu akan menolak permintaannya. "Kenalan aja, nggak harus mau, kok."
"Nggak mauuuuu!" teriak Nara menolak.
"Demi papi?"
"Apaan? Papi sehat wal afiat. Mending papi sana deh, nikah, emang nggak bosen apa 25 tahun jomlo?"
"Kayak yang ngomong nggak aja," cibir papi.
Anak gadisnya itu memincing sebal karena sindiran sang papi.
"Ayolah, Nduk, cuma kenalan aja. Kalau cocok alhamdulillah, kalau nggak, ya, nggak apa-apa. Papi juga nggak akan maksa. Katanya kamu mau ketemu sama sahabat mama dulu?"
Nara yang membanting dirinya di sofa ruang TV itu memberengut kesal sambil melipat tangan di dadanya. Memang benar ia ingin bertemu dengan sahabat mamanya dulu, tapi bukan di meja perjodohan juga.
Ada lengang beberapa menit, Nara mencoba mempertimbangkan, sementara papi menunggu dengan harap besar anaknya itu mau diajak ketemuan dengan sahabat mendiang istrinya. Papi bertemu dengan sahabat istrinya itu saat reuni SMA beberapa waktu lalu. Mereka intens berkabar dan tiba-tiba sahabat istrinya itu meminta untuk dikenalkan dengan Nara.
"Jadi, gimana?"
"Ck," decak Nara kesal, "Iya, deh, iya, demi harga diri papi."
Pria 50 tahun itu melompat ke sofa, memeluk anak gadisnya gembira.
"Tapi, Nara tegesin dari awal. Nara nggak mau dijodohin! Nara udah punya calon sendiri."
"Dih, siapa? Kalau ada, bawa dong menghadap ke papi."
Sial, batin Nara. Masalahnya cintanya aja belum diterima, bagaimana bisa menyuruh Danish untuk menghadap sang papi? Bibir Nara mendadak kicep.
"Boong, ya?" Papi tertawa menggelegar.
"Entar pasti, deh, pokoknya."
***
Selesai membalut rambutnya sempurna dengan pashmina instan berwarna cokelat susu, Nara balik badan memamerkan pada papi. Ya, meskipun tidak berminat dengan perjodohan ini, setidaknya ia tak mau memalukan papi di hadapan sahabat mendiang mamanya.
"Gimana?" tanya dengan senyum manis, polesan tipis make up semakin memperindah wajahnya.
Papi sempat berhenti napas beberapa detik, sosok yang telah lama hilang di pelupuk mata seolah kembali hadir dalam bentuk nyata. Papi tersenyum sambil menahan air mata. "Mirip mamamu sekali."
"Oh, ya?" Nara kembali mengoreksi dirinya di cermin, menatap lamat-lamat dengan senyuman hangat, "Halo, Mama!" sapanya sambil melambaikan tangan ke arah cermin.
Papi mendekat dan berdiri di belakang putrinya. Sama-sama menatap ke pantulan cermin, "Makasih, ya, Nduk. Udah mau menutup aurat. Ini hadiah yang tak ternilai buat papi."
Nara tersenyum, kemudian mengangguk kecil. Mata papi tampak mengembun, pilihan Nara untuk menutup aurat ternyata membuat papi sebahagia itu.
Papi mendekap sang putri, "Maafin papi, ya? Seandainya mama ada di sini..."
"Apaan, sih? Ada nggak adanya mama, papi tetep luar biasa," sanggah Nara dengan nada bergetar ingin menangis. Ia mengusap tangan papi yang melingar di pundaknya, "Papi adalah ayah terbaik, terpaling baik, super baik di dunia ini."
Papi melepaskan pelukan, menyeka air matanya sembari tersenyum. "Makasih, Nak."
"Berangkat nggak, nih?"
"Berangkat!"
Malam ini papi berjanjian dengan sahabat istrinya untuk saling mengenalkan putra-putri mereka, papi sendiri mengenakan kemeja rapi dan rautnya tampak bahagia. Perjodohan ini menjadi angin segar baginya yang sudah lama memikirkan sang putri apabila Tuhan memanggil papi lebih dulu. Jika sudah menikahkan Nara, papi benar-benar ikhlas dan tenang untuk meninggalkan dunia.
"Papi pernah ketemu sama anaknya sahabat mama?" tanya Nara begitu sampai di depan restauran.
Papi menggeleng, "Sempat dikirimi foto. Ganteng puol, sesuai selera Nara." Papi mengacungkan jempol, keyakinannya segenap hati.
Nara memutar bola matanya, jengah. Di hatinya sudah terpatri satu nama, pria lain mau seganteng bagaimanapun rasanya Nara tak berselera.
"Ayo, masuk." Papi melangkah ke pintu utama restauran.
"Ya Allah, jadikan aku di mata anak sahabat mama seperti kera sakti dan jadikan dia di mataku seperti Cu pat kai , aamiin," gumam Nara sebelum menyusul langkah papi.
Restauran tampak begitu ramai, meja-meja penuh terisi. Sebuah restauran bergaya eropa, latar musiknya terdengar lagu klasik. Sepertinya papi memang tidak sembarangan memperkenalkan putrinya dengan seseorang. Pasti bukan orang biasa.
"Orang kaya, ya, Pi?" bisik Nara sembari melihat ke sekeliling.
"Itu mereka, ayo." Papi melambai kecil ke arah meja di sudut ruangan.
Tampak seorang wanita berhijab yang terkesan penampilannya seperti sosialita melambai ke arah papi dan Nara. Di hadapannya duduk tegap seorang pria memakai setelan jas berwarna hitam.
Nara dan papinya berjalan ke sana, sebelum itu Nara menegaskan lagi kalau dirinya hanya berkenalan, tidak mau dijodohkan.
"Mas Ali, selamat datang. Mari, mari, silakan duduk." Teman papi berdiri, menyambut papi dan Nara yang baru saja tiba di mejanya. "Gimana kabarnya? Aduh, seneng banget akhirnya agenda ini terlaksana."
Papi duduk lebih dulu berhadapan di samping pria yang akan dikenalkan dengan Nara, "Alhamdulillah, baik. Ini putriku. Nduk, ini teman papi waktu sekolah, juga sahabat mamamu waktu kuliah, Tante Marida."
"Halo, Tante." Nara mengulurkan tangan untuk menyalami teman papi.
"Masyaallah, mirip banget sama mamanya..." Marida terlihat berlinang air mata terharu, Marida memeluk Nara sebentar, "Haduuh, jadi kangen."
Nara hanya tersenyum. Ia berusaha tetap tenang, meski rasanya hatinya sudah ingin kabur dari sini. Ia bahkan tak mau melirik pria yang akan dikenalkan kepadanya.
"Silakan duduk, Sayang."
"Makasih, Tan." Nara mengangguk, kemudian duduk di kursi samping Tante Marida. Begitu bokongnya mendarat di kursi, bibirnya melongo melihat siapa yang duduk di hadapannya kini. "Kak Danish?"
"Loh, udah saling kenal?" Tante Marida memekik gembira,"Waduh, udah pasti jadi ini!"
Raut Nara tak terdefinisikan, begitu juga dengan hatinya. Ia tidak menyangka bahwa anak sahabat mendiang mamanya adalah Danish yang akan dijodohkan dengannya. Sebuah takdir yang lucu, tidak tertebak dan jelas membuat gadis itu ingin berteriak sekencang-kencangnya berterima kasih pada Sang Maha Pengatur Jodoh.
Sementara di seberang kursinya, Danish membisu dengan helaan napas panjang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro