Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

014: Hijab Pertama

"Anakku, lagi ngapain? Pagi-pagi udah di gudang," suara papi menarik perhatian Nara yang sedari tadi tersedot oleh foto-foto di kotak hitam misterius yang ia temukan di gudang.

"Papi, ini mama?" Nara menyorongkan sebuah foto lawas yang diambil dengan latar Kastil Edinburgh, foto perempuan mengenakan hijab putih tersenyum ke arah kamera.

Papi terdiam sejenak. Perlahan ia mendekat ke Nara dan duduk sembari tersenyum, "Iya. Cantik, ya?"

Nara mengangguk-angguk, "Beda sama foto yang nggak pakai kerudung. Cantik banget."

"Tahu, nggak, Nduk? Foto itu dikirim mamamu waktu kuliah di luar negeri, karena foto itu papi nolak semua perempuan sampai mamamu pulang. Padahal kita nggak pernah komunikasi sama sekali selama mamamu kuliah di luar negeri. Setelah mamamu pulang, papi langsung menerima cintanya, kita menikah."

Nara terkekeh, "Pasti dulu lucu waktu mama ngejar-ngejar papi."

Papi mendesah panjang, "Ya, tapi nggak usah ditiru juga," sindirnya.

Nara hanya tertawa sembari menatap foto mamanya dengan mata mengerjap kagum.

Papi dan mamanya dulu bertemu saat SMA, papi yang dingin dan cuek itu terkenal karena menjadi atlet judo kebanggaan sekolah. Mama Nara jatuh cinta, tetapi cintanya selalu ditolak.

"Jadi, yang membuat papi akhirnya luluh karena foto ini?"

Papi menelengkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat. Tidak lama dari itu, papi mengangguk.

"Waktu pertama kali lihat foto itu jantung papi berdebar, berdebar untuk pertama kalinya. Jadi, meski belum yakin jatuh cinta sama mama kamu, papi tetap menunggu kepulangannya. Ternyata mamamu masih cinta papi, ya udah jadilah kamu."

"Cieeee..."

Nara, anak itu benar-benar mirip sang ibu. Di mata papi, istrinya itu tidak pernah meninggal dunia. Namun, terlahir kembali menjadi sang putri. Rindunya kerap terobati hanya dengan melihat senyum Nara.

"Udah jam berapa ini? Nanti telat pergi ke kantor." Papi bangkit dari duduknya, "Papi udah buatin sarapan. Oh, ya, nanti papi pulang agak telat, mau ketemu sama teman lama papi."

"Temen apa demeeeen?" goda Nara, "Berdebar lagikah hati Anda?"

"Cepet sarapan." Papi keluar dari gudang dan menuruni tangga, tak menggubris godaan sang putri.

Nara menyusul ke depan pintu, "Pi, kalau beneran mau nikah lagi nggak apa-apa! Gwencana, gwencanayooo..."

Papi balik badan dan kembali menaiki tangga untuk mengejar putrinya agar berhenti menggoda. Nara langsung berlari ke arah kamar, menutup pintu sambil terus tertawa menggoda sang papi.

Setelah tak ada suara sang papi mengomel depan pintu, Nara membanting tubuhnya di atas kasur. Foto di tangannya itu kembali ditatap. Merasa bahwa foto itu terlihat sangat indah.

"Mama..." lirihnya sembari semburat raut rindu tergambar di wajahnya.

Meski tak pernah merasakan dekap hangat sang ibu, Nara selalu merasa didekap dengan semua cerita yang papi dongengkan setiap malam tentang mamanya. Nara merasa dibersamai dengan tulisan-tulisan sang mama yang sengaja dibuat untuk putrinya.

Rindu yang tercipta tanpa bertemu sebelumnya, terpupuk subur seolah menganggap wanita yang melahirkannya itu selalu berada di sisi.

"Foto ini bikin papi luluh?" Tiba-tiba gadis itu bangkit dari baringan, "Bentar! Bentar!"

Buru-buru ia melompat dari ranjang, kemudian menyambar ponsel di atas nakas. Deringan memanggil terdengar setelah ia mengetuk panggilan telepon. Tak lama sahutan salam terdengar.

"Din, ajarin gue pakai kerudung dong! Habis ini gue ke rumah lo, ya!"

Setelah sambungan telepon terputus, Nara kembali berbaring di atas ranjangnya menatap foto sang mama.

"Mama, makasih udah nunjukin cara meluluhkan hatinya!" pekiknya sembari mengecup panjang foto itu.

***

"Kamu beneran mau pakai hijab, Ra?"

Dinda juga sahabat Nara selain Karin. Mereka bertetangga dan berteman sejak kecil. Kalau dalam persahabatan ada yang paling alim, paling tidak mau neko-neko, yang paling mengajak kebaikan, itu Dinda. 

Nara mengangguk mantap.

"Nggak cocok, ya, Din?"

"Cocok nggak cocok, kan, emang kewajiban perempuan beragama Islam mengenakan hijab. Itu perintah agama." Dinda tersenyum penuh rasa syukur, akhirnya sahabat yang disayanginya itu memutuskan untuk menutup aurat.

Dinda membuka salah satu pintu lemarinya, berjejer kain-kain warna-warni yang tergantung rapi.

"Waaah, lo jualan apa gimana, Din?" takjub Nara melihatnya.

"Terlalu banyak, ya?" tanya Dinda sembari memilah hijab mana yang cocok untuk Nara, kesan pertama seseorang memakai hijab harus terkesan. Harus menyentuh hatinya agar mau terus mengenakannya.

"Bukan terlalu banyak lagi itu mah, ada kalau setoko."

Dinda menarik lebih dari lima belas hijab yang akhir-akhir ini jarang digunakan, sepertinya kedatangan Nara memberinya pertanda bahwa ia harus menghibahkan barang berlebih untuk mengurangi hisab.

"Lo mau gue pakai ini semua? Satu ajalah, Din. Gue buru-buru ke kantor."

Dinda menggeleng, "Bukan. Tapi, kamu bisa mamakainya setiap hari. Aku kasih ini semua ke kamu."

Nara sempat melongo, tidak mengerti dengan sikap sahabatnya.

"Bener katamu, sepertinya secara nggak sadar aku menumpuk ini. Padahal setiap barang yang kita miliki akan dipertanggung jawabkan nanti di akhirat. Jadi, untuk mengurangi hisab, aku kasih ke kamu, Ra. Siapa tahu aku juga kebagian pahala kebaikan saat kamu mengenakan hijab yang aku kasih."

Nara hanya garuk-garuk tengkuknya karena tidak paham apa yang dikatakan Dinda. Ilmu agamanya memang masih kurang, ia tidak tahu soal itu. Namun, Nara tetap mengangguk sembari mengucap terima kasih.

Dinda mulai memilih hijab yang akan dikenakan Nara hari ini ke kantor, karena sedang memakai kemeja berwarna merah muda, Dinda memilih warna putih. "Oke, kita pilih ini aja."

Karena Nara baru memakai hijab, Dinda harus memberi kesan yang bagus agar sahabatnya itu nyaman. Pashmina oval yang berbahan kain adem dan tidak menerawang adalah pilihan yang tepat.

"Bismillah, ya, Ra. Semoga Allah senantiasa menghijabi hatimu dari segala hal buruk dan menjadikanmu hamba yang dirahmati-Nya selalu."

"Amin."

Dinda membentangkan hijab di atas kepala Nara, pelan merapikan lekukan dan mengaitkan dengan peniti kecil di leher gadis itu. Sudut satunya digantung ke belakang, sudut yang lain dibentangkan menutupi dada

Saat kain itu sempurna menghijabi rambut Nara, Dinda berdecak kagum.

Nara mengenakan pashmina berwarna putih, berpadu manis dengan blouse dark pink dan rok panjang berwarna soft pink. Penampilannya legit seperti strawberry mochi. Look childish-nya lenyap, berganti menjadi gadis matang sesuai umurnya.

Nara yang memejam perlahan membuka kelopak matanya saat Dinda mengarahkan cermin kepadanya.

"Wah..."

"Cantik banget, Nara. Masyaallah." Dinda memeluk Nara dari belakang.

Nara hanya terdiam menatap dirinya di pantulan cermin, wajah dan penampilannya sekarang seperti mirip seseorang. Hatinya menghangat kemudian tersenyum tulus.

"Mama..."

***

Kantor hari ini sibuk karena akan menyambut investor utama dalam wajah baru Nawasena. Minggu depan sudah direncanakan mulai renovasi kantor utama dan kedai-kedai Nawasena. Nara juga bersiap presentasi hari ini di depan petinggi Shabiru Mode, hal itu pula yang semakin membuat hatinya berdebar.

Semua orang memuji Nara, dari satpam gedung yang setiap hari Nara sapa, ibu-ibu cleaning service yang setiap hari bertemu di kamar mandi kantor, sampai rekan-rekan kerjanya, Jian dan Veve.

Dari sekian orang yang memujinya di hari pertama memakai kerudung, Nara tidak sabar mendengar pujian dari pria yang ia sukai. Hatinya kian berdebar, tak hentinya melirik pintu utama menanti Danish datang.

"Nara, mana hard file buat rapat pagi ini sama Shabiru Mode?" pinta Sofie, berdiri di depan kubikel Nara.

"Hard file? Buat apa, Mbak?" Nara tidak mengerti kenapa Sofie meminta itu.

"Buat rapat sebentar lagilah, gue udah ditungguin Pak Danish di lantai 16. Cepet sini, petinggi Shabiru Mode udah dateng."

"Hm?" Nara mengeryitkan alis, wajahnya jelas merasa kebingungan. "Bukannya saya, ya, yang presentasi pagi ini?"

Sofie tersenyum meremehkan, "Jangan karena lo yang kasih ide, lo bisa ngelangkahi gue yang tugasnya jadi asisten manager. Lo itu cuma anak magang, nggak usah sok jadi orang penting."

"Pak Danish yang minta lo, Sof?" tanya Jian, setahu Jian memang Nara yang presentasi pagi ini.

"Iyalah, kalau dia nggak minta, mana berani gue inisiatif," jawab Sofie, perempuan itu sudah menata baju dan wajahnya paripurna untuk tugas dadakan yang diminta Danish tadi pagi melalui telepon, "Cepet deh, Ra, mana hard file-nya, gue udah ditunggu."

Nara mengambil hard file yang sudah dicetak di atas mejanya, kemudian berdiri, "Saya yang bawain, Mbak. Sudah tugasnya anak magang, kan?"

"Ya udah." Sofie melenggang keluar kantor utama menuju lantai 16, tempat di mana rapat dengan Shabiru Mode akan diadakan, diikuti Nara di belakangnya membawa hard file presentasi pagi ini.

Sepanjang perjalanan ke ruang rapat, Nara bertanya-tanya, kenapa Danish tiba-tiba meminta Sofie untuk presentasi rapat hari ini? Padahal sebelum-sebelumnya Nara yang diminta. Namun, gadis itu membuang jauh-jauh pikiran buruk, mungkin sudah tugasnya Sofie sebagai asisten managernya Danish.

Pintu ruang rapat dibuka pelan, terdengar suara basa-basi sebelum rapat dimulai antara Marvin dan Sabella, Wakil Presdir Shabiru Mode.

Nara menggigit bibir, ia akan bertemu dengan Danish dengan penampilan yang baru. Pikiran bingung tadi berubah menjadi debar jantungnya tak sabar melihat reaksi Danish.

Meja kaca persegi panjang itu penuh dengan petinggi perusahaan, layar proyektor sudah menyala dan memperlihatkan wajah baru Nawasena yang berganti nama Soonday Corps. Duduk Danish di kursi samping Marvin, menatap meja dengan tatapan kosong, seperti masalah berat menggelayut di pikirannya.

Sofie berjalan ke depan memulai presentasi, sementara Nara membagikan hard file ke masing-masing orang yang mengikuti rapat hari ini.

"Hei, Nara, bukan, ya?" Orang pertama yang melihat penampilang baru Nara adalah Sabella, wanita itu berdiri menghampiri Nara. "Wah, masyaallah, cantik banget."

Semua orang tertuju pada Nara, kecuali Danish yang masih menatap meja dengan tatapan kosong.

Nara tersenyum hangat menyambut pujian Sabella, "Biar seperti Bu Sabella," katanya sembari melirik tipis ke arah Danish duduk, mendapat kecewa karena Danish tak melihat ke arahnya.

Sabella tertawa bersahabat, "Aku suka sekali penampilan barunya. Semoga istiqomah, ya. Wah, benar-benar berbeda dari terakhir kita bertemu. Kalau waktu itu imut, kalau sekarang cantik banget."

Pipi Nara memerah dengan pujian Sabella yang bertubi-tubi, "Terima kasih, Bu Sabella. Kalau begitu saya permisi dulu, rapatnya sudah mau dimulai. Sekali lagi, terima kasih atas pujiannya."

"Loh, tidak ikut rapatnya? Bukannya ini ide kamu?"

"Eee—" Nara bingung, karena ia juga tidak tahu. "Sudah ada Mbak Sofie, Bu. Beliau lebih mengusai presentasi dibanding saya masih magang," alibinya dan terdengar seperti sarkas di telinga Sofie.

"Nara, ikut saja, silakan duduk di bangku yang kosong," kata Marvin.

"Baik, Pak."

Sabella langsung menarik lengan Nara untuk duduk di sampingnya, yang di mana kursi itu berhadapan dengan kursi Danish. Nara mengernyitkan alis menatap Danish yang tak jua mendongak, setumpuk masalah tergambar jelas di wajah pria. Apa yang lagi dipikirin? batin Nara.

"Baik, rapat mari kita mulai." Sofie membuka rapat.

Marvin menyenggol lengan Danish untuk fokus pada rapat karena kesempatan ini penting, selain ada petinggi Shabiru, juga ada beberapa petinggi perusahaan lain yang berencana ikut investasi. Pengaruh Sabella menarik banyak investor untuk turut mendanai wajah baru Nawasena.

Mata kosong Danish berkedip bersamaan dengan helaan napas panjang, mencoba mengusir segala masalah keluarganya sejenak dan mulai fokus untuk rapat hari ini.

Saat mendongak, matanya justru kembali terpaku. Bukan ke meja lagi, tetapi ke gadis yang duduk berseberangan dengannya. Bukan sebuah tatapan kosong lagi, tetapi benar-benar tatapan terpaku.

Nara?

Lup dub, lup dub, lup dub. Jantungnya berdentum keras dan jelas. Semua masalah yang menggelayut di benak mendadak lenyap, terisi perlahan dengan rasa kagum yang menjalar dari mata ke pikiran dan hatinya.

Dan ketika mata gadis itu mengarah kepadanya, kemudian senyuman terbentuk tipis ke arahnya, Danish langsung menarik pandangan ke arah depan. Meneguk ludah dengan kuat, mencoba memusatkan konsentrasi meski buyar beberapa kali.

Nara sedikit kecewa dengan respons Danish yang tampak biasa saja, padahal ia melakukan ini demi menarik perhatian pria itu. Apa yang dibilang Dinda benar, bahwa apa pun yang dilakukan demi manusia akan lebih banyak berpeluang rasa kecewa.

Sepanjang rapat, Nara mencoba mencuri pandang, berharap mata mereka kembali bertemu. Namun, sampai rapat usai, sampai mereka keluar dari ruangan dan bahkan saat di lift menuju kantor utama, Danish sama sekali tidak melihat ke arahnya lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro