013 : Hitam dan Abu-abu
"Slurrrppp!"
Danish yang sedang konsentrasi mengulang materi untuk rapat sebentar lagi mulai terganggu dengan suara barusan. Karena tak mau meributkan hal sepele, pria itu lebih memilih fokus kembali pada tablet di tangannya.
"Sluurrrppp!"
Meski nyaris teralihkan, fokus Danish tetap berporos pada tablet. Ada satu materi yang benar-benar harus dipahami, ia tidak mau salah bicara dan merusak segala rencana. Masa depan perusahaan berada di tangannya.
"Sluuurrppp! Ahh..."
Kini, buyar sudah konsentrasinya. Ia memicingkan mata ke sumber suara, terlihat seperti daging yang ingin sekali dicabik-cabik, dikunyah, lalu ditelan habis agar lenyap dalam pandangannya pada detik ini.
"Bisa berhenti nggak?"
Nara yang sedang mengunyah bola-bola kenyal yang baru saja disesap melalui sedotan itu mendongak, "Apanya?"
"Ck," decak Danish kesal, memahami materi jauh lebih penting daripada berdebat dengan gadis di depannya ini. Pria itu hanya meredam kesal dengan menghela napas panjang, kemudian mencoba kembali untuk fokus pada tabletnya.
Keduanya sedang duduk di salah satu restauran menunggu seseorang.
"Pak?"
"Hm?" jawab Danish tanpa mengalihkan mata dari grafik naik turun pada layar tablet.
"Isabel Adeline beneran teman kuliah Pak Danish?"
"Hm."
"Tahu, nggak, sih? Kalau—"
"Nggak mau tahu," sela Danish tidak mau mendengarkan cerita Nara.
"Dengerin dulu," protes gadis itu menatap Danish dengan sebal, "Aku pernah bilang, kan, kalau dia role model-ku. Aku banyak belajar life style darinya. Dan ada salah satu videonya yang membahas kesehatan mental."
Mata Danish mungkin masih terpaku pada layar tablet, tetapi tidak dengan telinga dan fokusnya. Isabelle Adeline masih menduduki peringkat pertama pencuri perhatian Danish. Hanya mendengar nama itu, konsentrasi yang sedang berputar di kepala mendadak buyar.
"Aku masih inget kata-katanya," lanjut Nara, jeda sekian detik sejenak. "Kesembuhan mental sejatinya itu berasal dari diri sendiri, sekeras apa pun upaya orang lain untuk mengubah keadaan tetap saja akan jalan di tempat. Mulailah dari diri sendiri, jika perubahan besar sulit dijalankan, mulai dengan perubahan kecil, seperti meromantisasi apa pun yang kita miliki. Membereskan kamar, membuatnya rapi, membuang barang tidak perlu akan mengurangi tingkat setres, pelan-pelan. Tidak perlu tergesa-gesa."
Kini tablet di tangan Danish sedikit goyang, kalimat itu adalah kalimat yang pernah Danish katakan saat Isabel mengalami masa berat waktu kuliah. Pendidikan kedokteran yang tidak diinginkan kerap membuat Isabel terpuruk dan lelah mental, di saat itulah Danish merangkul dan membantunya bangkit. Hingga akhirnya kini Isabel menjadi seorang dokter terkenal.
"Sluurrrpp!" suara itu menarik Danish pada putaran waktu detik ini, meninggalkan keping kenangan yang kehilangan jalan keluar untuk menghilang.
"Nyesel banget waktu itu nggak bilang makasih. Karena video-videonya itu sangat membantuku."
"Diamlah, saya berusaha fokus mempersiapkan rapat sebentar lagi."
Merasa kesal karena curhatannya yang tidak ditanggapi baik, gadis itu membalas dengan menggoda managernya itu. Ia sengaja menyesap sisa boba di gelas, hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu fokus Danish.
"Hello," sapa seseorang yang datang bersama lebih dari lima bodyguard. Orang itu adalah Sabella, istri dari Arshaka Shabiru yang akan berinvestasi dan kerja sama dengan perusahaan Marvin.
Setelah proposal perubahan dan wajah baru Nawasena disetujui Marvin dan ayahnya. Danish melangkah ke tahap selanjutnya, mempresentasikan proposal kepada calon investor. Tak mudah mendapatkan jadwal Arshaka Shabiru, tetapi berkat campur tangan Daniel, jalan begitu mulus hingga depan pintu kesuksesan kerja sama ini.
Karena bidangnya yang sama, yakni pengelolan kedai kopi. Arshaka meminta istrinya yang berinvestasi, tidak mengubah apa pun tentang pengaruh. Malah Sabella jauh lebih berpengaruh dari sang suami karena dikenal ramah dan berhati malaikat.
"Saya Sabella Hasyim." Wanita berhijab anggun dengan aura berkharisma mengulurkan tangan ke arah Nara dan Danish yang sudah menunggunya.
Nara yang menyesap boba di minumannya itu buru-buru menelan tanpa mengunyah. Mulutnya penuh dengan bola-bola kenyal yang berusaha keras ia telan.
Danish lebih dulu berdiri dan menyalami Sabella, "Saya Danish, perwakilan dari Nawasena."
"Saya sudah mendengar perihal Direktur Nawasena yang sedang pemulihan di rumah sakit. Turut sedih, semoga lekas sembuh."
Danish mengangguk, "Terima kasih, Bu Sabella."
Sabella menoleh ke gadis di samping Danish, Sabella tahu kalau itu adalah sepupu Daniel Mark. Wanita itu tersenyum, mengulurkan tangannya.
Nara menjabat tangan Sabella, wajahnya memerah karena boba di tenggorokan masih menyangkut. "Saya... uhuk!"
Nara tersedak, satu tangannya menahan boba agar tak keluar dari mulutnya. Namun, sayangnya satu boba keluar dari lubang hidung gadis itu.
"Kau baik-baik saja?" Sabella mencabut tissu dan langsung menyumpal hidung Nara yang mengeluarkan air.
"Ck, ck, ck." Danish hanya menggelengkan kepala menyaksikan kekonyolan di depannya detik ini, sementara Nara berusaha mati-matian untuk tidak menangis karena menahan malu.
***
Rapat berakhir sekitar pukul delapan malam, tidak hanya membahas mengenai wajah baru kedai, tetapi Sabella banyak mengusulkan mengenai promosi dan menu yang mungkin bisa menjadi nilai plus untuk menarik konsumen Gen Z. Kerja sama bisa memperluas tidak hanya soal kedai, tetapi juga dalam program lainnya.
Meski malu setelah kejadian boba keluar dari hidung, tak menyurutkan rasa percaya diri Nara untuk memperkenalkan konsepnya kepada Sabella. Meski detik ini gadis itu banyak diam karena first impression-nya di hadapan Sabella konyol sekali.
Sambil menatap luar kaca mobil yang dikendarai menuju arah pulang, Nara menghela napas panjang tak terhitung jari, benar-benar menyesali kekonyolannya.
Danish yang fokus menyetir, mati-mati menahan tawa saat rapat. Detik ini malah teringat kembali bagaimana bola kenyal berwarna hitam kecokelatan keluar dari hidung Nara.
"Pppfft!" Danish menggigit bibirnya menahan tawa.
"Jangan ketawa!" protes gadis di sampingnya itu dengan picingan mata tidak terima.
Namun ingatan Danish terlalu menempel, bola kenyal hitam kecokelatan itu terasa mengocok perutnya detik ini. Ia sudah menahan tawa sejak tadi, untuk saat ini benar-benar tidak bisa ditahan.
"Hahahahaha!" tawanya puas sekali.
"Jangan ketawaa!!!" teriak Nara sembari menghujami bahu Danish dengan pukulan tangannya. "Nggak lucu!"
Namun, pria itu tetap tertawa. Seolah tawa itu membalas atas segala kesebalannya terhadap Nara selama ini.
Sepanjang jalan, sesekali Danish tertawa lagi karena teringat kejadian konyol itu. Sementara giliran Nara sekarang yang menghela napas panjang sembari terdiam, rasa malunya karena kejadian itu sudah sampai di ubun-ubun. Apalagi sekarang ditertawai oleh pria yang ia suka. Sakitnya boba keluar dari hidung tak seberapa dibanding malunya.
Di tengah perjalanan mengantarkan Nara ke rumahnya, ponsel Danish berdering. Panggilan masuk dari pamannya. Mobil melipir sebentar.
"Assalamualaikum, Paman?"
"Walaikumussalam." Jeda beberapa detik, "Paman berhasil menemukannya."
Mata Danish melebar, seketika jantungnya berdetak dengan kencang.
"Apa isinya?"
"Kamu bisa mengalahkan ayahmu."
Penantian bertahun-tahun akhirnya bertemu hasil yang diharapkan. "Paman di mana? Aku ke sana." Usai panggilan berakhir, Danish menoleh ke Nara, "Sorry, kayaknya aku nggak bisa anter kamu pulang, kamu bisa pulang sendiri, kan?"
"Ha? Yang bener aje!" protes Nara.
Danish keluar dari mobil, ia mencegat taksi.
"Aku ada urusan penting, kamu pulang naik taksi." Danish menarik Nara keluar dari mobilnya.
"Tapi, Pak-" Nara tak bisa melawan, ia keluar dari mobil Danish. Gadis itu menggerutu dan mengentakkan kaki kesal menatap mobil Danish melaju kencang meninggalkannya. "Sialaaaan!"
***
Danish sampai di kediaman sang paman. Pamannya itu sudah menunggu di ruang tamu, dengan satu map usang berlogo perusahaan lama sebelum pembaharuan. Ilustrasi petir yang di bawahnya bertuliskan La Froude Company. Sebelum sekarang berganti menjadi Thunder Holding, sebuah perusahaan pemilik saham terbesar dari beberapa jaringan restauran ternama.
Dengan bahu naik turun dan detak jantung berdentum layaknya gemeruh guntur. Danish berdiri menatap pamannya, tak sabar ingin mendengar kabar dari apa yang sedang diupayakan bertahun-tahun.
"Baca pasal tujuh A." Pamannya itu membuka map usang itu, menunjuk pasal tujuh perjanjian pranikah antara Roro Ajeng Djayantaka, ibu Danish dengan Candra Padmadim, ayah Danish.
Danish meraih map itu, kemudian membaca pasal yang disebutkan pamannya.
"Hanya keturunan dari Djayantaka yang mewarisi seluruh harta, aset properti, perusahaan La Frodue Company dan anak-anak perusahaan, serta pendopo agung dan seisi-isinya. Segala gubahan nama dan nomer, tidak mempengaruhi hak waris."
Danish akhirnya punya jalan untuk menyelamatkan ibunya.
"Baca syarat pasal tujuh A, pasal tujuh B. Syarat untuk mengambil alih semua warisan."
Bola mata Danish mengarah pada pasal di bawahnya.
"Cucu Djayantaka atau anak dari Roro Ajeng Djayantaka resmi memiliki hak waris setelah memiliki keturunan. Jika Roro Ajeng Djayantaka tidak memiliki keturunan atau keturunan meninggal muda, semua hak waris akan jatuh ke anak kedua Djayantaka, Lanang Sawiji Djayantaka."
"Jadi, aku harus menikah dan punya anak, Paman?"
Paman, adik dari Roro Ajeng Djayantaka itu mengangguk. Sawiji memang sudah kehilangan hak waris yang disebutkan setelah kakaknya, Roro Ajeng memiliki keturunan. Pada dasarnya, Sawiji memang tidak punya ambisi pada harta keluarga, ia fokus mendekatkan diri ke Tuhan setelah istri dan anak-anaknya tewas dalam kecelakaan tunggal dua puluh tahun silam.
"Ini surat salinan, yang asli masih di Pendopo Agung. Disembunyikan oleh ayahmu. Paman mendapatkan ini dari sahabat ibumu dulu." Paman berdiri meraih kruk-nya, sedikit pincang mendekat ke Danish.
"Sepertinya ibumu punya firasat buruk tentang ayahmu, dia menyalin surat perjanjian pranikah itu dan mengirim surat salinan itu ke sahabatnya yang saat itu tinggal di Edinburgh."
"Siapa sahabat ibu? Paman tahu?"
Paman mengangguk, "Marida."
"Mamanya Marvin?" Danish terkejut telak mendengar nama itu.
Paman kembali mengangguk.
Seperti halnya Nara, Danish juga memiliki kisah biru dengan langit yang abu-abu menggantung di atas kepalanya. Luka dan trauma juga bermuara dalam hati pria itu semenjak sang ibu menjadi gila dan tak mengenalinya.
***
"Buset, pagi bener lu ke sini? Mau numpang nyarap lu?" komentar Marvin saat melihat Danish yang berada di rumahnya pagi-pagi.
"Tante ada?"
"Ada di dapur, masuk."
Danish mengikuti langkah Marvin masuk ke dalam rumah, pria itu baru saja melek dan masih memakai piyama. Berbeda dengan Danish yang sudah rapi dan wangi, ia sengaja bangun lebih awal untuk mampir ke rumah Marvin.
"Gue mau mandi dulu." Marvin menaiki tangga, "Entar ada meeting, kan, sama Shabiru Mode?"
"Hm. Aku udah minta Jian buat siapin kantor. Emangnya kamu udah membaik? Bukannya dokter nyuruh kamu istirahat dulu?"
Marvin menggeleng, "Sehat wal afiat nih gue. Siapa yang mau ngelewatin meeting sama Shabiru Mode, siapa tahu gue direkrut jadi modelnya." Marvin naik ke lantai atas sembari tertawa.
"Cih," decih Danish tersenyum kecut, narsisnya Marvin memang tidak pernah berubah.
Danish berjalan ke arah dapur.
Ia pernah tinggal di rumah ini sejak pertama kali diusir dari Pendopo Agung, rumah keluarga besarnya. Pantas jika mama Marvin seperti menganggap Danish seperti anak sendiri, karena memang Marida, mamanya Marvin bersahabat dengan mamanya saat kuliah.
Rasa penasaran itu menggelayut semalaman di benak Danish hingga membuatnya sulit terlelap. Pagi ini ia tidak ingin membuang waktu untuk segera tahu seperti apa mamanya dulu saat muda, sebelum menjadi gila dan tak mengenalinya.
Sependek seingat Danish, mamanya orang yang tegas, ia lebih berpengaruh di perusahaan maupun di rumah. Banyak peraturan dibuat dan dislipiner, sangat detail dan cermat. Namun, di mata Danish kecil, mamanya tak sekadar itu.
Mamanya paling ditakuti, dalam ingatan Danish ia dituntut untuk menjadi yang terbaik, dalam sehari ia mengikuti lebih dari dua bimbingan belajar. Danish harus terbentuk menjadi anak tegas, displin, cerdas dan kuat.
Danish kecil sangat membenci mamanya, karena merasa masa kecilnya dirampas. Sulit untuk memiliki teman karena mamanya menyetir Danish untuk berteman dengan siapa.
Saat umur 10 tahun, setelah Danish berhasil mendapatkan juara pararel. Mamanya mengajak Danish berlibur, ia baru tahu alasan di balik sikap mamanya selama ini. Di luar rumah atau di luar kantor, mamanya menjelma menjadi mama yang segenap sayang habis untuk putranya.
Mereka menghabiskan satu Minggu penuh cerita, satu Minggu terakhir sebelum kecelakaan merenggut segalanya. Saat sadar dari koma, Danish mendapati sang mama sudah tidak mengenalinya lagi, mamanya seperti orang gila dan berakhir dikurung di rumah belakang Pendopo Agung.
"Eh, Danish, tumben ke sini pagi-pagi?" Marida langsung mencuci tangan, suatu kebiasaan Danish mencium punggung tangannya saat bertemu.
"Lagi masak, Tan?" tanya Danish sembari salim.
"Tante mana bisa masak? Yang masak Si Mbok, Tante cuma bantu-bantu," kekeh wanita usia akhir 50 tahunan itu, "Ada apa? Pamanmu udah bilang, ya?"
Danish mengangguk. "Itu yang pengin Danish tanya, Tan."
"Iya, iya. Sambil nunggu sarapan jadi, mau minum ngopi dulu?"
"Boleh, Tan."
"Ya, udah, tunggu di ruang tengah, ya. Tante bikinin kopi dulu. Kalau kopi mah bisa Tante," kekehnya lagi sembari berjalan ke alat pembuat kopi.
Danish menurut dan berjalan ke ruang tengah. Sembari duduk menunggu Tante Marida, Danish menatap dinding di ruang tengah. Foto wisudanya masih terpajang di sana, di antara deretan foto keluarga besar Marvin.
Persahabatannya dengan Marvin ternyata dulu sempat diatur oleh mamanya, tetapi kecelakaan menunda pertemuan mereka saat kecil. Secara kebetulan mereka dipertemukan saat SMA, Danish benar-benar tidak tahu kalau mamanya Marvin dulu sahabatan dengan mamanya. Marida tidak pernah cerita.
"Tante memang sengaja nggak mau cerita karena takut kamu pergi dari rumah ini," jawaban tanpa pertanyaan itu terucap dari Marida, seolah tahu daftar pertama isi pertanyaan di kepala Danish.
"Kenapa berpikir seperti itu, Tan?"
Marida menyesap kopinya sebentar, kemudian menghela napas panjang. "Dulu itu Roro sering curhat sama Tante kalau hubungannya sama kamu itu kurang akur. Kamu banyak memberontak dan pernah berencana kabur dari rumah, kan?"
Danish meneguk ludah rasa malu, "Sebelum tahu alasan mama bersikap seperti itu ke Danish, Tan. Dulu memang seperti nggak masuk di akal, seorang ibu terus menekan dan menyetir anaknya. Tapi, setelah dewasa, Danish memahami sikapnya. Apalagi saat tahu..." kalimatnya sukar dilanjut.
Marida mengangguk paham. Ada sekat beberapa detik di antara mereka, Marida membiarkan Danish untuk menyelam pada masa lalu yang sebentar lagi akan diungkit perlahan olehnya.
"Aku, Roro sama Yatfiya dulu satu geng pertemanan." Marida tersenyum mengenang.
Zaman dulu masih kental geng-gengan dan mereka bertiga terkenal dengan sebutan geng sendok emas.
Marida putri dari keluarga bisnis kontruksi yang membuat cluster, Yatfiya putri dari keluarga kerajaan bisnis waralaba raksasa produksi makanan instan, sementara Roro putri dari keluarga bisnis holding yang menguasai restoran-restoran mewah di dalam maupun di luar negeri.
"Roro memang orangnya keras, tegas, dan sangat disiplin, beda sama Tante yang orangnya lebih santai."
Danish mengangguk setuju.
Marida terdiam untuk beberapa saat, seperti penyesalan merayap di hatinya. "Seandainya dulu kami tidak bertengkar hebat, mungkin saat dia mulai merasa kalau suaminya tidak dapat dipercaya, dia bisa datang kepadaku. Mungkin dia tidak akan berakhir seperti ini."
"Bukan salah Tante," sahut Danish.
Marida menghela napas panjang, seolah rasa penyesalan turut terembus di setiap helaannya.
"Kata pamanmu gimana? Bener kalau kamu harus menikah dan punya anak buat mengambil alih Pendopo Agung?"
Danish mengiyakan.
"Sudah ada calon?"
Setelah putus dengan Isabel, Danish belum membuka hati, itu sebabnya ia tidak dekat dengan siapa pun. Rasa cintanya untuk Isabel masih belum habis.
"Jangan lama-lama, Danish. Mamamu harus segera keluar dari sana. Sudah denger, kan, kalau istri kedua papamu sedang hamil? Tante takut nyawa Roro terancam kalau anak itu lahir."
Jantung Danish berdentum, meski semasa kecil membenci, tentu tak rela jika wanita yang melahirkannya akan berakhir tragis.
"Kalau kamu nggak punya calon, Tante bisa ngenalin kamu sama seseorang. Dia putri mendiang sahabat kami, orang yang menemukan dokumen itu."
"Jadi bukan Tante yang menemukan dokumen itu?"
Marida menggeleng, "Suami Yatfiya, kami bertemu saat reuni beberapa waktu lalu. Roro memang lebih dekat dengan Yatfiya, dia mengirim dokumen itu ke Yatfiya waktu masih di Edinburgh. Sayang, Yatfiya meninggal saat melahirkan, itu yang membuat Tante dan ibumu bertengkar hebat. Kita tidak bisa menyelamatkan sahabat kita."
Danish dapat menangkap sorot penyesalan di mata Marida.
"Bagaimana?"
"Atur saja, Tan."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro