011: Serangan Jantung
Usai memarkir motor Benelli miliknya, Karin melihat motor scoopy pink yang lupa dicabut kunci motornya. Gadis itu geleng-geleng kepala sembari mencabut kunci motor tersebut. Tidak kapok motornya hampir digondol maling, Nara tetap saja ceroboh.
Selain mencabut kunci motor sahabatnya itu, Karin juga mengecek ban, kedalaman rem, dan speedometer. "Disuruh ganti oli kagak didengerin nih bocah, hm," gerutunya.
Keluar dari lantai parkir motor, berjalan turun menuju lift di lantai bawahnya. Namun, tiba-tiba sebuah motor sport melaju dengan kencang hampir menabraknya.
"Woi!" Karin tidak terima, gadis itu urung turun dan kembali naik ke parkiran.
Seorang pria baru saja turun dari motor sport hitam yang tadi hampir membuat Karin celaka. Pria itu terlihat buru-buru melepas helm dan tergesa berjalan.
"Woi, lu tadi hampir nabrak gue, tahu!" labrak Karin.
"Sorry, gue buru-buru." Pria itu mencabut kartu namanya, kemudian diberikan ke Karin seakan tidak menanggapi enteng. Pria itu seperti dikejar oleh sesuatu. Ia berlalu dari hadapan Karin berjalan turun ke lantai bawahnya menuju lift.
"Dasar!" Karin tidak terima, gadis itu menyusulnya.
Di depan pintu lift, Karin menarik tangan pria itu. "Gue liet lu lagi buru-buru, tapi nggak beradap kalau lu cuma kasih kartu nama. Lu hampir buat orang lain celaka."
Pria di depannya itu mendesah panjang, ia melepas masker wajahnya.
"Eh, lu, kan yang waktu itu?" tunjuk Karin pada pria itu.
Bukan hanya Karin, pria itu juga turut terkejut sejenak.
Ya, itu bukan pertemuan pertama mereka. Sebetulnya mereka bertemu pertama kali di pinggir jalan, saat Karin akan berkunjung ke rumah sakit dan bannya kempes. Sementara Marvin baru saja pulang dari rumah sakit dan tak sengaja motornya mengenai genangan air dan menciprat ke arah Karin. Gara-gara itu Karin urung menghadiri wawancara di perusahaan otomotif impiannya.
"Cewek Knalpot?"
Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka, muncul Nara yang berniat kembali ke parkiran setelah ingat kunci motornya lupa dicabut.
"Wah, akhirnya kalian berdua ketemu juga!" seru gadis itu. "Karin, ini Pak Marvin yang waktu itu minta nomer lu buat gabung di klub motor. Pak, ini Karin, temen saya."
Tiba-tiba Karin menjambak rambut Marvin, "Gara-gara lu waktu itu gue gagal interview!"
"Heiiii!" Nara mencoba melepaskan tangan Karin dari rambut atasannya.
Biasanya Marvin akan melawan, tetapi detik ini pria itu terlihat pasrah dijambak rambutnya. Bahkan kalau pun mati rasanya ia akan menerima dengan senang hati. Hidupnya terlalu ruwet karena mengemban perusahaan yang bukan kapasitasnya, tuntutan untuk menjalankan roda perusahaan didesak oleh kesehatan ayahnya yang kian memburuk.
"Bunuh gue sekalian, gue rela mati," ujar putus asa Marvin.
Mendengar itu Karin dan Nara bersitatap, kemudian Karin melepaskan cengkeram tangannya di rambut Marvin.
"Pak, kamu baik-baik aja?" tanya Nara sembari menyentuh pundak Marvin.
Pria itu menggeleng, kemudian berjalan ke arah lift. Karin dan Nara bersitatap sejenak sebelum menyusul masuk ke lift.
Lift baru saja naik menuju lobi utama, tiba-tiba Marvin menekuk lutut di depan Nara sambil menelangkupkan tangan memohon.
"Nara, please bantu perusahaan gue! Cuma lu yang bisa bantu gue, Ra."
Terkejut dengan sikap Marvin, buru-buru Nara turut menjatuhkan lututnya. Bagaimanapun juga Marvin adalah atasannya dan lebih tua darinya.
"Pak, tolong berdiri. Nggak enak kalau sampai dilihat sama karyawan lain." Nara mendongak ke Karin, sahabatnya itu juga sama-sama terkejut.
"Please, bantu gue, Ra. Tolong bantu selametin perusahaan gue, selametin nyawa papa. Kalau perusahaan pailit, gue nggak tahu nasib bokap gue, dia sekarang lagi dirawat di rumah sakit. Please, Ra, gue mau nurutin apa pun mau lu, apa pun, Ra. Bantu gue, please."
"Berdiri dulu."
"Nggak. Gue mau sujud di kaki lu, Nara. Seputus asa ini gue."
"Iya, aku mau nyampein sesuatu tentang itu. Tapi, Bapak berdiri dulu."
Marvin mendongak menatap Nara, "Nyampein sesuatu?"
Nara mengangguk. "Aku kemarin baru ketemu Mas Daniel."
Perlahan Marvin berdiri, wajahnya membentuk kecemasan yang dibaluti harapan.
Sudut bibir Nara perlahan menyabit membentuk senyuman, "Dia mau membantu kita."
"Serius?" Marvin spontan langsung mencengkeram kuat dua bahu Nara. "Kamu nggak bercanda, kan? Benar, kan? Jangan boong!"
Nara mengangguk-angguk di tengah guncangan tangan Marvin di bahunya.
"Technically, bukan dia, sih, yang bantu invest."
"Terus siapa?" tanya Marvin, jantungnya berdetak kencang. "Siapa, Nara?" desaknya.
"Arshaka Shabiru."
"Konglomerat itu?" sahut Karin terkejut, karena tahu siapa orang yang disebut Nara barusan.
Nara mengangguk, "Mas Danile, kan, sahabatan sama Arshaka." Jeda beberapa detik, "Jadi, dia nanti bantu ngelobi Arshaka Shabiru buat bantu kita, tapi sebelum itu Mas Dan ngasih kita beberapa PR untuk beberapa hal yang harus diperbaiki di perusahaan kita. Jadi, kasarannya, Mas Dan ngasih jalan, kita yang tetap harus berusaha biar pihak Arshaka membuka pintu dan bantu kita," tutur Nara.
Lift yang baru berhenti di lantai lobi itu hening sesaat.
Pegangan tangan Marvin di bahu Nara perlahan mengendur, sedetik kemudian pria itu ambruk ke arah Karin. Karin yang tak siap, sama-sama ambruk untuk memegangi tubuh Marvin yang tak sadarkan diri.
"Lah, dia kenapa?" Nara panik.
Bersamaan pintu terbuka dan kebetulan Danish berdiri di sana. Melihat Marvin ambruk, dengan tenang mengangkat tubuh Marvin memindahkannya ke lantai lift, membuka dasi dan melakukan resusitasi jantung. Ini bukan pertama kalinya, jadi Danish tahu harus bagaimana.
"Serangan jantung?" tebak Karin, ia pun langsung turut membantu dengan memberikan napas buatan.
"Serangan jantung?! Kok bisa?!" Nara semakin panik.
"Nara, panggil ambulan! Cepat!" teriak Karin.
Setengah panik Nara memanggil bantuan yang kemudian tak lama datang membawa Marvin ke rumah sakit terdekat. Semua terjadi begitu cepat, di mobil Karin yang membawa dirinya ke rumah sakit untuk menyusul Marvin, Nara terbengong-bengong gemetar seluruh tubuhnya.
Pikirannya kian semerawut, apa yang baru saja dikatakannya sampai-sampai membuat orang terkena serangan jantung dan nyaris meregang nyawa? Nara gemetar ketakutan.
Marvin memang lemah jantung sejak kecil, pernah operasi beberapa kali. Namun, gaya hidupnya yang hura-hura dan tak teratur menjaga kesehatan kian membuat jantungnya melemah. Ia tidak bisa bekerja berat, tidak boleh terlalu kelelahan, apalagi mendengar kabar mengejutkan seperti tadi.
Siapa yang tidak terkejut jika perusahannya bisa dibantu oleh orang paling berpengaruh seperti Arshaka Shabiru. Pengusaha seterkenal aktor film yang kekayaannya tak ternilai, pengaruhnya mampu memagnet investor lain untuk turut berinvestasi.
Perusahaan Marvin pasti terselamatkan.
***
"Bisa-bisanya ikut komunitas anak motor kalau punya jantung selemah itu? Di klakson tronton apa nggak modar di tempat?" cibir Karin sambil menatap Marvin yang sedang berbaring di atas ranjang rumah sakit.
"Gue denger ya, lo ngomong," sahut Marvin masih dengan mata tertutup. Ia sudah bangun sejak tadi, tetapi enggan membuka mata karena terlalu malu pingsan di depan perempuan yang diincar.
"Udah bangun lo ternyata?"
Marvin perlahan membuka mata, melihat Karin di sampingnya duduk melipat dua tangan di dada. Benar-benar sesuai ekspetasinya selama ini, kalau Karin adalah tipe-tipe alpha women yang sulit didekati pria. Tak sadar pria itu tersenyum.
"Ngapain senyum-senyum? Udah nyusahin, bukannya minta maaf."
"Nyusahin?" Marvin bangkit dari pembaringan, berposisi setengah duduk. Banyak kabel warna-warni yang menempel di dadanya yang tertutup baju rumah sakit. Setelah melihat sekitar, kini baru sadar kalau di ruangan itu hanya ada dirinya dan Karin. "Danish ke mana? Lu sendirian aja di sini dari tadi?"
"Temen lu sama temen gue balik ke kantor. Ada rapat penting katanya."
"Rapat apa?"
"Ya, mana gue tahu."
"Terus ngapain lu di sini?"
Karin menghela napas panjang sembari melepas lipatan tangan di dada, gadis itu berdiri. "Nggak ada yang tahu lu mau ko'id tadi, temen lu juga nggak ngabarin keluarga lu karena bokap lu juga lagi drop. Jadi, terpaksa gue yang harus nemenin lu. Tanggung jawab lu kalau sampai gue dipecat tempat kerja gue."
Marvin langsung mengangguk, "Boleh, lu bisa kerja di tempat gue."
Karin tertawa mencibir mencangklong tas di pundak, "Di perusahaan lu yang mau bangkrut itu? Hell, nah! Gue cabut, kalau butuh apa-apa nggak usah nyusahin temen gue! Awas lu!"
Marvin terbatuk-batuk tidak percaya kalau gadis itu benar-benar frontal sekali.
Sebelum keluar dari pintu ruang perawatan, Karin sejenak membalikkan badan kembali ke arah Marvin, "Nggak usah spam-in gue lagi, gue alergi cowok caper."
Semenghilang Karin di balik pintu ruang perawatannya, Marvin tersenyum sambil memegangi dadanya yang berdebar, "Sial, tipe gue banget tuh. Aduh, jantung please, calm down."
Jantungnya semakin berdebar sampai monitor memberi sinyal darurat detaknya melewati batas normal. Karin yang belum jauh itu, mendengar bunyi monitor jantung Marvin. Buru-buru putar balik dan langsung membuka pintu ruang perawatan Marvin.
Paniknya sia-sia saat melihat Marvin menyengir sambil memegangi dada.
"Kok, balik? Ada yang ketinggalan?"
"Astaga, gue pikir lu serangan jantung lagi."
Marvin mengangguk, "Serangan cinta mah ini."
Karin mengerutkan bibirnya merasa jijik, sedetik sebelum menutup pintu dengan keras. Sekujur tubuhnya merinding, kesialan apa bisa bertemu dengan cowok modelan Marvin.
"Nurse, nggak usah capek-capek," ujar Karin saat melihat dua perawat berlari ke arah kamar perawatan Marvin, "Itu bukan jantungnya yang sakit, tapi kepalanya. Pindahin aja langsung ke rumah sakit jiwa."
"Oi, gue denger ya!" seru Marvin dari dalam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro