010: Jalan Keluar
Nara menyibak selimut dari wajahnya, kemudian duduk dengan embusan panjang. Menatap lampu warna-warni yang menari di dinding dan langit-langit kamarnya, ia menoleh ke sisi kanan saat mendengar dengkuran halus salah satu kucingnya.
"Kapten, aku harus gimana?" tanyanya pada kucing Himalaya berwarna putih kecokelatan itu.
Tadi malam saat di rest area, Nara menyadari satu hal mengenai Danish. Ia hanya dimanfaatkan oleh pria itu. Seharusnya Nara memahami mengapa ia dengan mudah masuk ke sebuah perusahaan setelah ditolak.
Harusnya ia bisa paham mengapa dirinya yang tak punya pengalaman magang di perusahaan itu bisa ditempatkan di Tim Pengembang Inti. Harusnya gadis itu memahami bahwa semua kebaikan Danish punya maksud lain.
"Jadi, kalian nerima aku magang di sana, karena Daniel Mark?" tanya Nara semalam beberapa menit setelah Danish mengutarakan permintaannya untuk meminta bantuan Nara soal Daniel Mark.
"Maaf, Nara."
"Terus, kalau aku nggak bisa bantu. Kalian pecat aku?"
Danish menggeleng, "Selain karena Daniel Mark, kami juga mempertimbangkan idemu soal perusahaan." Daniel mengambil jeda napas sejenak, "Begini, biar aku jelasin."
Nara mendengarkan alasan krusial mengapa mereka butuh bantuan Daniel Mark. Ayah Marvin yang sedang rawat jalan dan perusahaan yang akan pailit, mendasari Danish nekat untuk mengutarakan hal itu.
"Mereka seperti keluarga bagiku. Aku bisa bertahan hidup karena mereka. Aku punya utang budi kepada keluarga Marvin, terutama kepada Om Lambang, ayahnya Marvin. Kalau bukan dia, aku nggak akan ada di dunia detik ini."
Nara mengerutkan kening, tidak memahami maksud Danish.
"Jadi, aku minta tolong sama kamu."
"Aku nggak bisa," jawabnya gadis itu. "Aku nggak akan bisa menghianati papi. Aku tidak mau menyakiti hatinya."
Diungkapkan sedikit latar belakang masalah antara keluarganya dan Keluarga Daniel Mark. Danish pun mengangguk, memahami.
Marah? Kecewa? Atau ...benci sadar telah dimanfaatkan?
Raut wajah bengap setelah bangun tidur itu membisu sejak tadi. Hanya beberapa kali embusan napas panjang dan kedip yang pelan. Namun tiba-tiba, sudut bibirnya tertarik, terlihat perlahan deretan giginya disertai apple cheeks-nya yang mengembang maksimal.
"WAAAAAAH!" teriaknya seperti baru saja memenangkan pertandingan sengit. "UWAAAAH!" pekiknya lagi diakhiri tawa yang puas. Mengagetkan kucing-kucingnya yang sedang tidur di sekitar ranjang, bahkan Kapten kucing yang tidur di ranjang melompat dan kabur.
Bukankah itu kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan Danish? Sebab, Danish membutuhkan dirinya. Nara tertawa puas.
Pintu kamarnya didobrak, muncul papi memakai piyama dengan wajah yang dilapisi sheetmask gambar panda. Di tangannya membawa kemoceng bulu ayam.
"Siapa? Siapa? Mana malingnya?!"
Melihat wajah sang papi, tak pelak membuat Nara kembali memekik sambil berteriak pocong. Kali ini berteriak kaget dan ketakutan. Papi turut kaget melihat putrinya berteriak, papi langsung meloncat ke atas ranjang Nara.
"Pocong? Mana pocongnya?!"
"Ih, Papi!" Nara menabok lengan papinya. "Ngapain sih, pakai masker kayak gitu? Copot, nggak?" Nara mencoba meraih sheetmask di wajah papi, jantungan rasanya terkejut melihat itu.
"Eh, jangan-jangan! Ini baru Papi pasang!" Papi menghindar, "Nanti siang ada reuni SMA, Papi meminimalisir keburikan karena terpapar sinar matahari di proyek. Ada rival Papi nanti datang, jadi Papi harus prepare, mempertahankan julukan Papi waktu SMA."
Nara mengerutkan kening, "Julukan apaan?"
"Singa Afrika."
Nara tertawa, "Bilang aja Papi mau kencan, kan? Ciee pacaran niyeee..." godanya sambil mencubit perut buncit papinya.
"Kencan apa itu?" Papi turun dari ranjang, berjalan ke arah gorden.
"Bilang aja, sih, biar Nara bantu, Pi. Kalau soal outfit, Nara jagonya."
Papi membuka gorden setinggi dua meter, silau matahari yang sudah meninggi sejak satu jam yang lalu masuk ke dalam kamar Nara yang serba pink, pemilik kamar spontan menyipitkan pandangan ditabrak sinar matahari.
"Pacaran di kamus Papi itu nggak ada. Nikahin mamamu, mana ada papi pacarin dulu."
Nara hanya meliukkan bibirnya, mencibir. Bagi Nara, mana ada pernikahan tanpa pacaran dulu.
"Kalau nggak percaya, lihat aja di grub alumni. Papi mau reuni nanti di kafe legenda dekat sekolahan Papi dulu. Mau ikut?"
Nara menggeleng, bergidik mengeri ikut reuni bapak-bapak.
"Kamu tadi kenapa teriak-teriak?"
Bibir kecil Nara sudah mau melontarkan alasannya berteriak beberapa menit lalu. Namun, mendadak bibir itu terkunci. Sepintas ide yang muncul di benaknya tiba-tiba terbelenggu oleh kehadiran sang papi detik ini.
Bagaimana ia bisa membantu Danish, kalau papi tidak pernah mengizinkan Nara berhubungan dengan keluarga almarhum mamanya? Kedekatannya dengan Daniel Mark saja tidak pernah diketahui sang papi. Jangankan berurusan dengan keluarga mamanya, bertanya saja papi melengos.
Bencinya papi pada keluarga sang mama mungkin lebih besar dari gunung, lebih luas dari lautan dan lebih tinggi dari langit. Tidak tahu alasan pasti mengapa bencinya papi sedalam itu, tetapi melalui tatapannya saja dapat dibaca bahwa semua itu berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Entah kejadian yang mana.
Daniel pun tak pernah cerita, lebih tepatnya pria itu tak tahu pasti. Daniel besar di Malang kemudian pindah ke Australia. Perintah kakeknya untuk mencari cucu keponakan mempertemukan Daniel dengan Nara yang masih SMP kala itu.
Daniel diusir mentah-mentah oleh papi, diperingatkan dengan urat yang mengular di leher, dengan mata yang melotot merah, telunjuk mengacung seperti pistol. Meminta Daniel untuk tidak mendekati dan bertemu dengan putrinya lagi.
Sekejap detik ini Nara baru mengingat kejadian itu. Kejadian yang membuat gadis itu demam tinggi setelah melihat kemarahan sang papi yang sebelumnya tak pernah ia lihat.
Sejak itu Nara tak pernah berani untuk bertanya, tentang masa lalu papi dan keluarga mamanya.
"Itu, sekarang tanggal kembar, Pi! Ada sale diskon up 70% brand lokal di Grand Mal! Hari ini Nara mau berubah jadi CHETAAAAH!" alibinya, kebetulan hari ini memang ada sale besar-besaran di salah satu mal besar di Jakarta Pusat.
"Papi juga berubah jadi SINGA AFRIKAAAA!" Papi menirukan sang putri, mengangkat dua kepal tangannya ke atas. Ikut bersemangat.
Nara melompat dari ranjang, kemudian disusul papi keluar dari kamarnya. Mereka bersiap-siap untuk berubah wujud hari ini. Satu menjadi cheetah pemburu diskon, sementara satu berubah menjadi singa Afrika, si raja hutan.
***
Setelah memarkir motor, Nara masuk ke sebuah kafe. Memesan kopi dan roti, kemudian duduk menunggu seseorang yang sudah janjian bertemu dengannya hari ini.
Sambil menikmati kopi, sesekali gadis itu menarik napas panjang, mengembuskannya dengan berat. Antara dua pilihan yang sama-sama membebani dirinya. Ia tidak mau melukai papi dengan berurusan dengan Daniel Mark, tetapi di sisi lain ia juga ingin mendapatkan hati Danish. Selain itu juga, ada nyawa papa Marvin yang dipertaruhkan.
Gadis itu tidak menyangka bahwa ia bisa menggenggam beban seberat itu. Dimanfaatkan memang menyakitkan, tetapi bagaimana sudut pandang itu melihat.
Bagi Nara, ia bukan dimanfaatkan demi keuntungan uang semata. Namun, juga karena sebuah nyawa. Demi sebuah perusahaan yang di dalamnya bergantung ratusan orang mencari nafkah untuk keluarganya.
Sekali lagi, Nara menyeruput kopinya. Ia benar-benar bingung.
Papi jelas tidak mengizinkan Nara berurusan dengan keluarga mamanya. Trauma Nara melihat papinya marah hebat membuat gadis itu kini semakin galau.
Sesuatu yang dingin ditempel di dahi. Nara terkejut menatap yogurt squeeze kesukaannya di depan mata. Sedetik kemudian si pemberi yogurt itu duduk di hadapannya.
"Kenapa itu muka? Lupa diseterika?" tanya si pemberi yogurt.
Wajah terkejut Nara berangsur lenyap, berganti dengan raut manja. Seolah bertemu dengan seseorang yang mampu mengusir gundah gulananya.
"Kirain nggak bisa dateng."
"Nggak bisa lama, aku ada flight ke Sidney dua jam lagi," jawabnya sambil memutar tutup yogurt, kemudian mengulurkan yogurt itu ke Nara.
Nara meraihnya sembari mengoceh, "Ini alasanmu tambah kaya, hari Minggu aja masih kerja."
Daniel hanya tersenyum.
Nara menyesap sebentar menikmati makanan kesukaan yang mampu mengurangi rasa stress. Nara meletakkan yogurt di meja setelah puas, kemudian duduk tegak mengutarakan niatnya hari ini mengajak Daniel bertemu di tengah sibuknya pria itu dengan kerjaan di luar negeri.
Dengan nada merengek menjelaskan poin demi poin apa yang sedang ia hadapi, mengenai kegalauannya dan kebingungan dalam masalah ini. Nara seperti seorang adik yang mencurahkan segala masalahnya pada sang kakak.
Sementara Daniel hanya tersenyum tipis sembari mendengar setiap nada rengekan Nara.
"Aku musti gimana, Mas Dan?"
Daniel menarik punggungnya dari sanggahan kursi, kemudian mendekat ke gadis itu.
"Lemme help you."
"Udah aku bilang, aku nggak mau menyakiti hati papi. Kalau sampai papi tahu, aku nggak tahu gimana nanti. Mas Dan masih inget, kan, aku sampai demam karena kejadian waktu itu."
Daniel mengangguk-angguk, "You love him?"
Nara langsung mengangguk tanpa keraguan, "So much."
"And he loves you?"
"Mmm... sekarang belum sih, tapi aku yakin one day pasti dia bakalan cinta sama aku. Yakin seratus persen."
Daniel tertawa kecil, mengacak-acak poni Nara dengan gemas. Tidak dulu atau pun sekarang, Daniel seperti melihat gadis yang dicintainya saat berhadapan dengan Nara. Gadis yang memiliki tatapan percaya diri yang membuat Daniel urung untuk mengakhiri hidupnya.
Hatinya menghangat, menatap Nara seperti ia melihat Judy saat remaja. Ah, pria itu kini begitu merindukan sang istri yang hilang bagai ditelan bumi. Matanya berair, mendung tak pernah terusir dari sana. Yang akan banjir tiap kali hatinya bergetar setengah mati karena merindukan sang istri.
Suara petikan jari Nara membuyarkan lamunan Daniel. Pria itu langsung tersenyum, mengubah posisinya menjadi tegak dan serius.
"Aku punya satu jalan."
"Oh, ya?" Nara tersentak dengan antusias. "Apa? Apa?"
"Aku hanya memberikan jalan, kalau untuk membuka pintu itu dari usaha kalian."
"Iya, apa cepet bilang!"
"Imbalannya?"
"Ck," decak Nara kesal, ia berpikir sebentar kemudian berujar, "Aku traktir Bakso Malang, deh. Porsi kuli, sama bawa pulang satu bungkus."
Daniel tergelak, bisa-bisanya. Jangankan bakso Malang, membeli seluruh bakso di Malang pun Daniel mampu.
"Memangnya kamu nggak marah dimanfaatin?"
Nara menggeleng, "Karena aku dimanfaatin, aku jadi punya tempat magang. Aku jadi bisa hadiahi papi lanyard kerja, aku jadi deket sama orang yang kusuka!"
Daniel hanya terkekeh.
"Oke, dengarkan baik-baik." Daniel mulai memberi interuksi satu jalan yang bisa Nara coba untuk membantu pria yang disukainya tanpa menyakiti hati sang papi.
Nara menumpukan dua tangan di atas meja, mendengar Daniel dengan wajah serius. Kalimat demi kalimat keluar dari bibir Daniel, setiap kalimat itu pun membuat bibir Nara kian detik kian menganga. Tak percaya dengan apa yang sepupunya itu interuksikan.
"Ilermu mau jatuh, tuh."
Nara langsung menarik rahang bawahnya, kemudian berdiri menghampiri Daniel. Gadis itu mengecup punggung tangan sang sepupu, memeluknya sebentar.
"Makasih, ya, Mas Dan! I love you sepertiga belahan bumi!"
"Kok cuma sepertiga?"
"Setengahnya buat papi, sisa sepertiganya buat Kak Danish."
Daniel kembali tergelak, "Namanya Danish?"
Nara mengedipkan satu matanya, tak ada sepuluh detik gadis itu sudah melesat pergi meninggalkan kafe.
Cerita Daniel bisa kalian baca di Fizzo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro