009: Rest Area
Lagu Love Lee diputar saat Nara dan Danish memasuki restauran Jepang, aroma daging panggang langsung menyambut mereka. Mengepul asap dari tiap-tiap meja, di samping tatanan meja, ada sederet rak berisi makanan yang bebas dipilih oleh pelanggan. Di sana beberapa orang sedang memutari rak.
"Untuk berapa orang, Kak?" tanya staf restauran.
"Dua, Mbak," jawab Danish.
"Sama pasangan, ya, Kak? Kami ada paket couple, untuk klaim diskon pelanggan harus bersedia difoto dan mengunggah fotonya di sosial media."
"Nggak, Mbak. Kita bukan—"
"Kita ambil paket couple, Kak!" potong Nara.
"Nggak mau!"
"Pak Danish belum tahu, ya? Di circle-ku, aku punya julukan. Julukanku..." Nara mendekat berbisik, "Cheetah."
Danish mengerutkan keningnya, menatapnya tidak paham.
Nara menarik jarak dari Danish, "Selain gesit, cheetah juga pinter manjat. Rawrrr!" katanya dengan tangan seperti mencakar ke arah Danish, sedetik kemudian ia berjalan masuk ke area makan mengikuti salah satu staf untuk ke mejanya.
Danish semakin mengerutkan kening, sembari bergeleng-geleng ia melangkah menyusul, "Abstrak."
Kembali dari mengambil air minum, Danish dikejutkan dengan sederet piring berisi bermacam-macam daging dan setumpuk selada di atas meja mereka. Dua panci kuah penuh dengan jamur, mi, sosis, dan kerang.
"Heh, kamu gila, ya, makan sebanyak ini?" kata Danish sembari mendaratkan bokongnya di kursi berseberangan dengan Nara.
"Jangan khawatir." Nara mulai memanggang daging di atas grill pan, "Cheetah akan melahap semua makanan di sini."
"Kalau nggak habis, kamu yang bayar denda."
"Nggak percayaan, sih? Kecil-kecil gini makannya banyak, ya. Lagian ke sini nggak makan banyak itu sayang uangnya."
Bersamaan mereka membolak-balikkan daging di atas grill pan, salah satu staf datang membawa kamera polaroid.
"Sesuai paket yang diambil Kakak, Paket Couple. Kami akan mengambil foto, ya, Kak?"
"Em!" Nara tampak bersemangat, ia berpose sambil menenteng supit. Sementara Danish menutup setengah wajahnya dengan tangan.
"Wajah cowoknya nggak keliatan, Kak."
Nara menoleh dan menarik tangan Danish untuk menyingkir dari wajahnya. Pria itu menolak untuk menurut. Ia tidak mau ada gosip yang aneh-aneh.
"Aku nggak mau kehilangan diskon, ya?"
"Lagian aku yang bayar, bukan kamu," protes Danish.
Memakai senjatanya, bibir mencebik dengan mata kucing memelas, Nara sukses membuat Danish mengalah. Pria itu akhirnya mau, tentu saja dengan wajah tanpa ekspresi. Berbanding terbalik dengan Nara yang penuh dengan ekspresi menggemaskan.
"Kami beri dua, ya, Kak. Silakan diunggah d i sosial media dan tandai akun restauran kami sebelum durasi makan habis. Kami tunggu, terima kasih," kata staf sebelum meninggalkan meja mereka.
Nara langsung membuka ponselnya, meletakkan satu polaroid di samping tumpukan selada. Dari sudut sana, sini, cekrak, cekrek, mengambil gambar seestetik mungkin.
"Dagingmu mulai gosong, cepet makan," ujar Danish yang membolak-balikkan daging di pan.
"Oke, sudah!" Nara berhasil mengunggah foto itu di akun sosial medianya. Kemudian mengulurkan salah satu dari polaroid ke Danish, "Giliran kamu."
"Aku nggak punya sosial media."
"Haaa?" Nara menutup bibirnya yang melongo terkejut dengan satu tangan, "Aku nggak tahu kalau kamu seprimitif itu. Ck, ck, ck, ambil aja, tempel di dinding kamarmu."
"Buat ngusir tikus?" Danish menolak menerima polaroid itu, "simpen aja sendiri."
"Ih, cantik cantik gini bukan buat nakut-nakutin tikus, ya, tapi buat dinikahin," gerutu Nara kesal.
"Nggak usah banyak omong, cepet makan."
Akhirnya Nara menyimpan dua polaroid itu di dalam tasnya, kemudian mengambil sumpit untuk melahap daging matang yang sudah dipindahkan Danish dari grill pan ke piring.
Nara tidak berbohong soalnya porsi makannya, Danish baru melahap satu daging, Nara sudah ketiga kalinya. Daging yang matang dimasukkan bertumpuk di satu lembar daun selada, kemudian dimakan dalam satu lahap. Pipinya terlihat seperti ikan buntal, mengunyah-ngunyah bagai mesin penggiling padi.
"Itu yang di mulutmu ditelan dulu baru ngunyah lagi, haish..." tegur Danish tidak tahan, ia tak habis pikir bagaimana mulut sekecil itu bisa melahap makanan sebesar dan sebanyak itu.
"Cheetah apaan, babi hutan lebih cocok jadi julukanmu."
Tiba-tiba Nara mencebik di tengah mulutnya yang masih banyak makanan, gadis itu merengek mau menangis.
"Apa, apa, apa lagi?"
"Aku jadi keinget upil babi, mmm..."
"Aku beri tahu satu hal," sela Danish mencegah suara tangisan Nara, ia mencoba tetap tenang, kalau pria itu ikut panik malah semakin kacau, "Cuma babi yang tahu upilnya sendiri. Emangnya kamu tahu upil babi itu kayak gimana? Nggak, kan? Jadi yang ngatain kamu upil babi, berarti dia?"
"Babi."
"Betul. Sekarang diem, tenang, ... habisin makanannya."
Nara mengangguk, kemudian mencomot daging di atas grill pan, kembali mengunyah dengan tenang. Sementara Danish mengembuskan napas lega dengan pelan, hampir saja menjadi pusat perhatian orang serestauran kalau sampai gadis di depannya itu menangis seperti beberapa waktu lalu.
"Danish?" panggil seseorang yang baru saja masuk ke restauran.
Danish dan Nara kompak menoleh. Mereka berdua tampak terkejut, Nara langsung menelan daging yang baru dikunyahnya, sementara Danish menelan air saliva sembari mempertahankan wajah datarnya.
"Isabelle Adeline, kan?"
Perempuan itu mengangguk sambil tersenyum ramah.
"Ya ampun, ya ampun." Nara buru-buru mencabut tisu untuk membersihkan bibir dan tangannya begitu melihat tokoh publik yang sering Nara tonton video-videonya di youtube. "Cantik banget aslinya."
"Makasih." Isabel menoleh ke Danish, pria itu tak menatapnya balik, ia justru menatap Nara dengan pandangan tanpa ekspresi.
"Pak Danish, aku pernah bilang, kan, kalau nge-fans sama Isabelle Adeline!" Nara terlihat heboh kegirangan. Beberapa detik kemudian Nara baru menyadari, "Oh, my, my! Kalian saling kenal?"tebak Nara.
"Iya, kami—"
"Temen kuliah," sahut Danish sembari mendongak menatap Isabel, mantan yang masih ada di hatinya sampai detik ini. "Selamat atas pernikahannya, Isabel. Maaf, nggak bisa dateng."
Isabel tak membalas ucapan selamat dari Danish, tatapan dan kalimat tersebut terasa menyakiti hati. Terlebih semua pesannya tak pernah dibaca dan dibalas oleh Danish. Perempuan itu hanya tersenyum tipis.
"Kalian...?"
Nara berdiri dan mengulurkan tangan ke arah Isabel, "Saya Nara, pemagang baru di kantornya Pak Danish."
Raut tegang Isabel mencair setelah mendengar bahwa gadis yang sedang makan bersama mantan kekasihnya itu adalah seorang pemagang, bukan siapa-siapa Danish.
"Oh, lagi perjalanan dinas, ya?"
"Hm," jawab Danish, "Nara, dagingmu mulai gosong, cepet makan."
Danish mengambil daging di atas grill pan, kemudian meletakkan di piring Nara. Isabel melihat perhatian itu, perhatian yang dulu suka Danish lakukan padanya.
Danish terlihat tak ingin terlibat lebih banyak waktu dengan Isabel di sini, terlebih lagi mata suami perempuan itu sedang membusurnya di sudut restauran.
"Suamimu udah nunggu, Bel. Selamat makan," usirnya halus dengan nada dingin, tanpa menatap Isabel.
"Hm. Enjoy. Aku permisi dulu. Bye, Nara."
Nara melambaikan tangan dengan senyuman lebar. Sepergi Isabel, tiba-tiba Danish berdiri, "Udah masuk magrib, aku mau ke masjid terdekat."
"Masyaallah, calon idaman. Okay, jangan lama-lama, aku habisin sendiri nanti, ya kalau kelamaan."
Danish beranjak keluar dari restauran tak mengubris ancaman Nara, lagipula perutnya mendadak kenyang. Selezat-lezatnya daging di atas grill pan tak membuatnya berselera lagi.
Keluar dari masjid, Danish tak langsung masuk ke restauran. Ia bersandar di kap mobil, menyalakan pemantik dan membakar ujung rokok. Ada desah panjang saat kepulan asap keluar dari sela-sela bibirnya, seolah turut mengeluarkan sesak dalam dada.
Isabel, nama itu masih menjadi penghuni tetap hatinya meski pemilik nama sudah dimiliki pria lain. Tidak ada perpisahan baik-baik, meski saling tersenyum saat memutuskan untuk berpisah saat itu.
Pria itu masih terjebak pada masa lalu, sebab Isabel adalah orang pertama yang melukis warna di hidupnya yang gelap, yang membuatnya mengukir senyum di hidup yang penuh tangis dan luka. Mana mungkin bisa langsung melupakannya meski dua tahun lalu hubungan berakhir, tak segampang itu.
Ponselnya berdering. Marvin menelpon.
"Hm?"
"Masih di Bogor? Gue tadi lihat postingan Nara di Instagram."
"Hm," jawabnya di sela isapan panjang rokok di sela jarinya. "Tuan Krab bener-bener ngehabisin dia, jadi aku tebus mengajaknya makan."
"Good, sekalian ngomong soal Daniel Mark."
"Jangan sekarang."
"Nggak ada waktu lagi, Danish. Lu mau bokap gue kena serangan jantung? Pokoknya gue tunggu hasilnya, lu harus ngomong malam ini. Titik."
Marvin memutus sambungan telepon sepihak, membuat Danish kembali menyebat rokok dengan isapan panjang, mengembuskan kencang dari sela bibirnya. Pria itu benar-benar merasa tertekan dan frustasi. Ia takut tidak berhasil membujuk Nara jika bicara sekarang, Danish menganggapnya terlalu cepat.
***
"Oke, musik!" ujar Nara sembari mencolokkan kabel USB di tape mobil.
Sepanjang perjalanan pulang, telinga Danish bising dengan suara nyanyian Nara. Dari lagu barat, Korea, Jepang, sampai India. Dari genre pop, rock, jazz dan dangdutan. Tidak ada waktu untuk memikirkan kegalauannya yang baru saja bertemu dengan mantan kekasih, Danish sibuk menghela napas panjang sembari fokus menyetir.
"Abstrak, bener-bener abstrak," gerutu Danish sambil geleng-geleng kepala.
Mobil melipir di rest area, baru saja roda berhenti gadis itu buru-buru keluar dari mobil. Ia terbirit menuju toilet.
"Udah abstrak, nyusahin mulu," cibir Danish. Pria itu heran, pernyataan suka Nara selama ini itu serius atau tidak. Pasalnya, gadis itu bukannya jaim, malah bertingkah tidak tahu malu di depannya.
Di tengah menunggu Nara yang sedang menyelesaikan urusan di toilet, ponsel Danish diteror spam oleh Marvin. Sahabatnya itu mendesak Danish untuk bicara soal Daniel Mark kepada Nara malam ini. Marvin tidak punya banyak waktu, suntikan dana harus segera didapatkan sebelum pailit.
Danish keluar dari mobil, berjalan menuju minimarket rest area lalu duduk di sana menunggu Nara sembari menyiapkan kalimat yang tepat untuk melancarkan rencananya, meminta Nara untuk melobi Daniel Mark agar mau berinvestasi di perusahaan Marvin.
Gadis yang ditunggu akhirnya selesai dengan urusannya, Danish melambai untuk menghampirinya di kursi beranda minimarket.
Pria itu menyiapkan tiga yogurt squeeze, kinder joy, dan lollipop untuk Nara. Danish masih mengingat tiga makanan itu kesukaan gadis itu, Nara hampir setiap hari menitip papinya tiga camilan itu saat dirawat di rumah sakit.
"Wah, tahu aja kalau aku lagi butuh makanan manis." Nara mendarat di kursi seberang, tersekat meja dengan kursi Danish. Nara mengambil yogurt lalu menyeruputnya.
"Nara?"
"Hm?" Nara menoleh sambil terus menyeruput yogurtnya.
Danish bergeming sejenak, ia benar-benar merasa ragu. Namun, ponsel di saku celana yang terus bergetar itu semakin mendesaknya.
"Aku sama Marvin..."
"Iya?"
"Sebenarnya kita..."
"Kenapa?" Nara melepas ujung tutup yogurtnya dari bibir.
Danish menghela napas panjang, menoleh ke Nara dengan nekat, "Perusahaan Marvin berisiko pailit kalau dalam dua bulan ini tidak mendapatkan suntikan dana investor. Kita udah berusaha mencari kerja sama sana sini, tapi nihil."
"Terus?"
Ada jeda sekian detik, bibir Danish seolah pahit ingin melontarkan kalimat selanjutnya, "Kita butuh bantuanmu."
"Bantuanku?" Nara mengerutkan kening tidak mengerti. "Apa yang bisa aku bantu?" tanya gadis itu dengan wajah antusias, matanya melembar semangat.
"Itu... kita mau minta bantuan kamu buat ngelobi Daniel Mark." Terdengar nada ragu-ragu dengan tatapan ragu-ragu.
Mendengar nama itu, raut antusias dan mata semangat Nara perlahan mengendur, pelan-pelan lenyap dari wajahnya. Danish menelan saliva, keputusannya kali ini sepertinya benar-benar salah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro