008 : Puk Puk
"Sorry, Vin, beneran sorry."
Marvin bergeleng-geleng, tidak paham ke mana Danish si profesional dan perfeksionis beberapa waktu lalu saat rapat. Meski terbilang lancar, kepercayaan diri Marvin yang semula seratus persen yakin Pak Haris akan berinvestasi di perusahaannya menjadi turun sekian persen, anjlok.
"Bisa-bisanya lu nyebut onta di tengah rapat. Lagi di Arab pikiran lu?"
"Sorry."
Mereka baru saja pulang dari beberapa rapat penting dengan calon investor, dari pagi hingga menjelang sore. Marvin sudah berjanji akan berusaha keras untuk mempertahankan perusahaan ayahnya. Meski harus merelakan acara komunitas permotoran yang kebetulan diadakan hari ini.
"Nggak bisa gini terus." Marvin menghentikan langkah setelah keluar lift lantai kantornya. Pria itu menepuk pundak Danish dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya, raut pasrah yang kesabarannya kian menipis.
"Kita harus segera ngomong sama Nara, Nish."
Danish menghela napas panjang ketika mendengar nama itu disebut, seperti ada trauma yang menggelayut di wajahnya.
"Penjualan bulan ini anjlok banget, Danish. Bulan depan kita harus dapat suntikan dana, udah mau jatuh tempo, nggak bisa nunggakin gaji karyawan lagi. Lu ngerti sendiri kesehatan bokap gue lagi nggak bagus, kalau sampai dia denger perusahaan pailit, gue nggak tahu apa yang bakalan terjadi." Kini wajah Marvin benar-benar serius.
"Tapi, dia baru seminggu magangnya, Vin. Kita bakalan ketahuan kalau mau manfaatin dia buat nge-lobi Daniel Mark. Jujur, aku nggak bisa nebak isi pikirannya. Dia terlalu abstrak."
Marvin mendesah panjang penuh keputusasaan. Ditatapnya pintu kantor dengan tatapan menerawang. Memang kesalahannya dari awal yang tak pernah serius untuk mempertahankan apa yang sudah dititipkan sang ayah ke dirinya.
Menjalankan roda perusahaan memang tidak mudah. Bertahun-tahun sejak kecil hidup dengan mudah dan foya-foya, kini terpaksa duduk di kursi Direktur dengan tumpukan berkas untuk menggerakan roda perusahaan agar tetap berjalan. Marvin merasa tertekan.
"Ya, udah, nanti aku coba ngomong sama Nara," putus Danish, merasa kasihan pada sahabatnya itu.
Wajah putus asa Marvin sekejap hilang, "Bener, ya, Nish?"
"Tapi aku nggak yakin gimana hasilnya. Soalnya ini nggak sesuai rencana kita, terlalu dini buat narik Nara ke urusan ini."
Marvin menepuk bahu Danish, "Gue seratus persen yakin dia bakalan bantu kita. Gue percayain ke lu, Danish. Lu adalah tuas perusahaan yang mendorong roda tetap berjalan!"
"Ck," decak Danish sambil menyingkirkan tangan Marvin dari bahunya, "Tuas perusahaan palamu. Nggak usah berlebihan 'ngejual' aku ke dia, aku juga punya batas privasi. Hm?"
Marvin terkekeh kecil, "Siap, siap. Jangan khawatir."
Marvin dan Danish berjalan masuk ke kantor.
"Mobil lu gimana?"
"Dibawa ke bengkel temennya Nara."
"Karin?"
Danish hanya mengangkat bahunya sembari mendorong pintu ruangan Divisi Utama. Melihat tidak ada Nara di ruangan, Danish mengerutkan kening sejenak. Ia melirik jam yang melingkar di tangan kirinya, pukul tiga sore. Satu jam sebelum jam kantor berakhir.
Jangan-jangan setelah mengantarnya tadi pagi, gadis itu belum datang ke kantor.
"Nara ke mana?" tanyanya pada karyawan yang ada di ruangan.
"Hm, Nara nggak ada?" Marvin muncul dari belakang Danish, masuk ke ruangan Tim Pengembang. "Jian, Nara ke mana?"
Jian berdiri dari tempat duduknya. Jian dan Marvin dulu satu sekolah, meski seumuran, Jian tetap bersikap hormat kepada Marvin. Padahal Marvin melarangnya untuk bersikap sangat formal sekali.
"Saya dan Boby baru saja pulang dari survei lapangan ke kedai di GI, Pak. Saat saya datang, Nara sudah tidak ada di tempat."
"Kamu datangnya jam berapa?" tanya Danish.
"Jam satu, Pak. Setelah makan siang."
"Sofie mana?" Marvin juga tidak melihat Sofie, asisten manager Divisi Utama.
"Aku nyuruh dia buat kunjungan acak ke kedai Nawasena di Sentul. Soalnya sebulan terakhir masuk tiga laporan dari pelanggan, pelayanan dan kualitas tidak menyenangkan."
"Hm, Tuan Krab?"
Kedai yang berada di Sentul dikelola oleh pemilik yang memiliki julukan Tuan Krab. Selain pelit, Pak Wibis juga otoriter, suka memerintah bawahannya dengan kasar dan pedas. Katanya, Pak Wibis adalah mantan koki restauran di Kapal Pesiar. Sikapnya kerap menekan bawahan untuk melakukan tugas dengan benar dan tepat tanpa kesalahan. Pak Wibis juga kerap melayangkan protes ke kantor pusat atas beberapa hal seperti kelambatan pengiriman produk, tanggap laporan yang dianggapnya kurang cepat.
Veve mengangkat tangan ragu-ragu, "Pak, anu—"
"Iya, kenapa?" sahut Marvin.
"Mbak—Mbak Sofie menyuruh Nara untuk kunjungan ke kedai di Sentul."
"Mampus!" umpat Marvin spontan. "Nish, gawat, Nish."
Bersamaan dengan itu Sofie dan Wina baru saja tiba di kantor, mereka masuk sambil tertawa, sepertinya mereka baru saja membeli kopi. Ada kopi di tangan masing-masing. Tawa mereka sekejap lenyap ketika melihat situasi di dalam ruangan Tim Pengembang, terlebih lagi menyadari kalau Nara belum juga datang dari Sentul.
"Sofie—" Marvin baru saja mau menegur Sofie, terpotong oleh suara Danish.
"Kamu apa-apaan nyuruh Nara ke Sentul? Bukannya itu tugasmu?"
Wajah Sofie langsung memucat, mengerjap gugup. "Saya—" Sebenarnya ia tidak punya alasan darurat, Sofie hanya tidak suka dengan pemagang baru itu.
"Sofie—" Marvin mencoba mengimbuhi, tetapi lagi lagi kalimatnya terpotong oleh suara Danish yang lebih tinggi.
"Dia masih magang! Dia nggak tahu apa-apa! Kalau sampai kenapa-napa, kamu mau tanggung jawab? Senior bukannya membimbing malah menjerumuskan. Kamu tahu, kan, Pak Wibis itu orangnya seperti apa?"
"Ma—maaf, Pak."
"Vin, pinjem kunci mobilmu."
"Kunci mobil? Wait, wait." Marvin merogoh sakunya, kemudian mengulurkan benda itu ke tangan Danish. "Lu mau jemput dia?"
"Hm." Danish menyambar kunci mobil itu kemudian keluar dari ruangan.
***
Beberapa jam yang lalu, setelah turun dari Stasiun Bogor, Nara menaiki angkutan umum ke arah Taman Budaya Sentul. Lokasi salah satu cabang kedai Nawasena berada di dekat Taman Budaya Sentul, di antara kafe-kafe dan tempat nongkrong yang hits.
Perintah tugas yang mendadak, Sentul yang berhawa sejuk itu membuat Nara bergidik merasa dingin. Ia memakai dress selutut yang tipis, tentu saja membuat bibir kecilnya berdesis berulang kali.
Menemukan Kedai Nawasena setelah berjalan kaki untuk mencarinya, membuat gadis itu melega. Ia ingin sekali menyedu minuman hangat dengan segera, begitu masuk ia langsung bertemu manager kedai.
"Siapa kamu?" tanya manager kedai, pria itu setengah baya wajahnya garang dan rambutnya botak.
Dengan senyuman mengembang manis, Nara menjawab, "Halo, perkenalkan saya Nara dari kantor pusat, saya diperintahkan untuk melakukan kunjungan—" kalimatnya terpotong ketika celemek plastik berwarna hijau itu dilempar ke wajah gadis itu.
"Cuci gelas di belakang!"
"Pak—tapi saya dari kantor—" Nara merasa bingung.
"Iya saya tahu! Kantor yang isinya manusia-manusia kurang ajar, yang seenaknya memerintah ini itu tanpa tahu keadaan lapangan seperti apa. Kalau kau ingin melakukan kunjungan, tidak ada duduk manis sambil melihat saya dan karyawan saya bekerja. Kau pikir kau bos?" cercanya dengan nada tinggi.
Nara menggigit bibir, menggeleng pelan.
"Pergi ke belakang, cuci semua gelas!" bentaknya menciutkan nyali Nara. Gadis itu mengangguk menurut. "Kunjungan seenaknya, tidak punya sopan santun!"
Dari jam sembilan pagi sampai sekarang, hampir magrib. Nara berkutat dengan gelas-gelas kotor, jari-jarinya keriput kedinginan karena gelas kotor terus berdatangan. Dari lima karyawan di sana, hanya satu yang terlihat peduli. Ia memberi Nara roti diam-diam untuk dimakan, membantu Nara untuk menata gelas sampai akhirnya ketahuan dan dimarahi habis-habisan.
Tak jarang manager kedai, Pak Wibis datang dan mengomel karena gelas kurang bersih, cara mencuci Nara yang salah, bahkan pekara keran yang sebentar dibiarkan mengalir, Pak Wibis mengoceh tentang pemborosan air. Air minum yang diteguk Nara dicatat di tagihan, gelas yang tak sengaja pecah juga masuk tagihan, makan siang pun masuk tagihan.
Nara membuka ponsel sebentar saja, Pak Wibis marah besar dan membuat Nara menangis diam-diam sambil mencuci piring dan gelas.
Sementara Danish, setelah keluar dari Tol Sentul Selatan, mobil yang dikendarainya melaju kencang hingga sampai di depan Kedai Nawasena di Sentul. Begitu roda berhenti, Danish langsung keluar dan berjalan dengan langkah besar ke dalam kedai.
Pak Wibis yang sedang duduk di belakang counter kasir itu langsung berdiri, terkejut dengan kedatangan Manager Eksekutif Nawasena, satu-satunya orang yang tidak pernah dibentak dan dikritik oleh Pak Wibis.
"Di mana Nara?"
Pak Wibis tersenyum miring, "Ada apa sampai Manager Eksekutif turun gunung?"
Danish tak menghiraukan celotehan Pak Wibis, pria itu membuka pintu counter dan masuk ke bagian dapur. Ia mendesah panjang melihat Nara mengusap pipi dengan lengan sambil mencuci gelas-gelas.
"Nara?"
Begitu suara tersebut didengar, gadis itu langsung menoleh. Ia menggigit bibir dan matanya semakin berkaca-kaca, seolah malaikat surga datang untuk menariknya dari neraka.
Danish berjalan ke arah Nara, ia melepas celemek plastik yang menempel di badan Nara kemudian menariknya keluar dari dapur.
"Kamu tunggu di luar," perintahnya dan Nara mengangguk.
Nara keluar dari kedai, berdiri menunggu Danish di depan. Dengan tubuh sedikit menggigil karena kedinginan, kulit tangannya memucat dan mengeriput. Seumur-umur, ia tidak pernah melakukan pekerjaan seberat itu. Papi selalu mengupayakan anak gadisnya tidak merasakan susah sedikit pun.
Namun memang di dunia kerja, tak dapat menghindari hal-hal seperti itu. Sebab, karakteristik manusia berbeda-beda dan juga tak dapat memungkiri kerasnya atasan kadang membuat mental lebih kuat, atau justru membuat down. Tergantung bagaimana menyikapinya.
Sekitar sepuluh menit, Danish keluar. Menghampiri Nara yang duduk memeluk lutut di teras kedai. Pria itu menghela napas panjang sejenak, menurut penuturan salah satu karyawan di kedai itu, Pak Wibis benar-benar 'menghabisi' Nara. Danish takut kalau hal itu akan membuat Nara tak mau membantu Marvin untuk melobi Daniel Mark. Pria itu memutar otak, mencari cara bagaimana mengurangi kemungkinan kemarahan Nara.
"Ayo pulang," kata Danish sembari melewati Nara.
Nara mendongak, kemudian berdiri dan mengikuti langkah Danish ke parkiran mobil. Danish membuka pintu, tetapi urung masuk. Ia kembali menutup pintu mobil dan menghampiri Nara.
"Kamu—" kalimat pria itu terpotong ketika melihat pipi dan pucuk hidung Nara yang memerah. Tangannya gemetar karena kedinginan. "Ck," decak kesal Danish. Bukan kesal kepada Nara, tetapi kesal kepada dirinya yang tak bisa tidak peduli melihat gadis menyebalkan itu tampak menderita.
Danish membuka jasnya, kemudian menanggalkan jas itu di bahu Nara.
"Tadi pagi aja kamu teriak ke orang-orang seperti nggak punya takut sedikit pun, sekarang lihat dirimu. Mau-mau aja nyuci dari pagi sampai sore, harusnya bentak balik kayak kamu bentak aku tadi pagi," omel Danish.
Bibir Nara mencebik, "Orangnya mirip papi, aku nggak tega bentak balik. Huaaaaa!" pecah sudah tangis gadis itu.
"Nggak usah nangis."
"HUAAAA!" tangisan Nara semakin keras. Seperti meluapkan tangis yang sudah ditahannya sejak pagi. "Papiiii...."
"Ck," decak Danish, kembali mendesah napas dengan panjang. Sebagai atasan, Danish juga merasa bersalah, Nara pemagang baru yang tidak tahu apa-apa. Pria itu benar-benar kesal kepada Sofie, menambahi pekerjaannya saja.
"Cup, cup, cup, udah diem." Danish menepuk-nepuk kecil kepala Nara, mencoba menenangkan. "Aku udah marahin balik tadi orangnya."
Nara melirik Danish, "Bener?"
"Hm."
Srooot! Nara menarik ingus di hidungnya. Tiba-tiba gadis itu kembali menangis keras mengingat kalimat kasar yang dilontarkan Pak Wibis padanya, "Orangnya ngatain aku kayak upil babi gara-gara mecahin gelas. Huaaaa!"
"Tuan Krab bener-bener..." kesal Danish. "Udah, diem. Kalau nggak mau diem, aku tinggal, ya."
"HUAAAA!" tangis Nara semakin keras.
"Mas, adiknya kenapa, Mas?" tanya salah seorang pejalan kaki.
"Aku bukan adiknya, ya! Aku calon istrinya!" sahut Nara tidak terima dikira adik Danish.
Danish kehabisan kesabaran, ia menyeret Nara untuk masuk ke dalam mobil. Setelah itu Danish melajukan mobil keluar dari halaman kedai, dengan isakan tangis Nara yang tak kunjung berhenti.
"Bisa diem nggak?"
Gadis itu mencoba untuk diam, tersengal-sengal bahunya menahan tangisan yang masih belum sepenuhnya berhenti.
"Udah makan?" tanya Danish.
Nara menggeleng.
"Mau makan apa?"
Nara berpikir sembari mencabut tisu dan ... Srooot! Ia mengeluarkan ingus dari hidungnya sebentar.
Danish hanya menghela napas panjang, kesabarannya benar-benar diuji.
Nara mengatur napas, mencoba meredakan segala amarah dan sedih yang sempat menguasai batinnya.
"Sebelum masuk tol, mau makan apa?"
"Daging panggang!" tunjuk Nara pada restauran Jepang yang baru saja dilewati. "Mau makan ituuu!"
"Yang lain."
Nara mencebik ingin menangis lagi.
"Iya, iya, iya! Nggak usah nangis!"
Tidak ada lagi respons Danish selain menghela napas dengan panjang. Pasrah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro