007 : Tujuh Hari
"Masuk."
Nara muncul dari balik pintu, setelah menutupnya rapat, gadis itu berjalan mendekat ke meja Danish.
"Kalau tidak ada urusan pekerjaan, jangan masuk ke ruangan saya," lontar Danish, jeda sekian detik, "Oh, ya, biasakan menggunakan bahasa formal kalau di kantor."
Nara mengangguk, kemudian meletakkan sesuatu di meja Danish, sekotak kue yang tadi pagi sempat ia pesan di perjalanan berangkat ke kantor.
"Apa ini?"
Nara mengerutkan kening, "Sejak kapan Pak Danish buta? Tidak bisa lihat kalau ini kue?"
"Ck," decak kesal Danish, tentu saja bukan itu maksudnya.
Gadis itu tertawa kecil, "Saya sedang tidak merayu Anda, tapi ini dari hati pemagang yang berharap mencuri perhatian atasannya agar mendapat nilai plus pada saat evaluasi. Terimalah."
Dua bulan sejak berpisah di rumah sakit, mereka tidak pernah bertemu sejak itu. Namun, hampir setiap hari Nara mengirim pesan kepada Danish. Tentu saja pria itu tidak menggubrisnya.
"Saya tidak suka kue."
"Hm? Kata Marvin, Pak Danish suka."
Danish menghela napas panjang sejenak, temannya itu memang habis-habisan 'menjualnya' pada gadis ini.
"Saya tidak suka kue dari kamu," penjelas Danish tanpa bertele.
Wajah menggemaskan Nara sekejap langsung murung, namun tak lama gadis itu mengulum tersenyum, "Jangan terlalu membenci saya. Bisa jadi, nanti Pak Danish menangis karena saya."
Entah mengapa Danish menangkap berbeda raut itu, juga senyum dan tatapan gadis itu pada detik ini. Mendadak Danish merinding, seperti terjebak pada perasaan takut dan juga rasa bersalah.
"Ya, sudah kalau begitu, saya ambil lagi," Nara meraih kotak kuenya di meja Danish.
"Tidak usah, taruh di situ saja."
"Hm? Jadi mau diterima nih?"
"Iya. Keluar sana."
"Yeay!" Nara melompat kecil kesenengan. Ia meletakkan kembali kotak kue itu di meja Danish.
"Hari ini kotak kue yang diterima, besok cinta saya yang diterima!"
Danish mendengkus, "Keluar," ucapnya dengan nada kesal ditahan.
"Selamat menikmati, calon jodoh. Hari ini saya beliin, besok-besok saya bikin sendiri."
"Nara!"
Sebelum kotak kue itu terlempar ke arahnya, Nara langsung mengambil langkah melesat menuju pintu.
"Eh, eh, lupa." Sebelum membuka pintu, gadis itu kembali membalikkan badan.
"Apa lagi!?"
"Lupa bilang ... I love you!" katanya dengan nada berbisik.
Jika pintu itu tidak segera terbuka, atau gadis itu tak segera lenyap dari pandangan Danish. Mungkin kotak kue itu sudah melayang di sana.
"Astagh....firullah..." desis Danish menahan sabar mati-matian.
***
Sesuai dugaan Danish, hari-harinya di kantor akan pusing tujuh keliling. Tak hanya menyebalkan, Nara juga merepotkan. Dalam sehari ia lebih dari 5x mengetuk pintu Danish untuk meminta bantuan remeh-temeh, seremeh membukakan tutup botol minumnya. Atau mengetuk hanya untuk mengatakan, "I love you."
Tiada hari, tanpa masalah.
Senin,
Nara mengetuk pintu, kemudian masuk membawa kopi untuk Danish.
"Saya tidak menyuruhmu membuatkan saya kopi, kenapa membawa kopi ke sini?"
"Saya sedang belajar," jawab Nara.
"Belajar?"
"Belajar jadi istri yang baik, melayani kebutuhan suami tanpa diminta dulu. Saya sudah masuk kandidat calon istri saliha, kan? Kalau nikah sama saya dijamin kebutuhan Anda selalu terpuaskan."
Danish menghela napas panjang, kertas di tangannya dibanting ke meja, "Keluar dari ruangan saya!"
Selasa,
"Naraaaa!" teriak Danish dari ruangannya setelah melihat stiker kucing di meja kerjanya.
Rabu,
Tiba-tiba Nara nongol di samping Danish saat pria itu antre kopi di salah satu kedai Nawasena di dekat kantor. Pria itu terkejut bukan main.
"Ngapain di sini?"
Tak menghiraukan pertanyaan Danish, Nara memesan minuman, "Kak, saya Cappucino Latte with cream, es-nya dikit aja. Sama Coco Donut yang Large, toping Oreo. Calon suami saya yang bayar." Begitu katanya sambil menoleh dan tersenyum ke Danish.
Danish meremas dompet yang baru saja akan diselipkan ke sakunya, pria itu menarik napas panjang sembari berujar kecil, istigfar.
"Kata siapa saya calon suamimu?"
"Kata saya."
Danish mendesah, kesal. "Jangan menyebarkan gossip yang nggak-nggak. Kita nggak ada hubungan apa-apa!"
"Itu bukan gossip, tau. Tapi, itu doa." Nara menengadahkan tangan seperti orang berdoa, "Dari segala macam jalur, yang paling bahaya adalah jalur langit, hati-hati nanti Pak Danish bisa beneran jatuh cinta sama saya."
"NGGAK AKAN!" semprotnya.
Kamis,
Saat Sofie menjelaskan presentasi di rapat mingguan, bukannya memperhatikan di depan, Nara malah menatap Danish sepanjang rapat. Ia menggambar wajah pria itu di kertas, kemudian ditunjukkan diam-diam saat rapat berlangsung kepada Danish.
"Nara, keluar!" usir Danish.
"Loh, kenapa, Pak?" tanya Nara tidak mengerti.
"Kita sedang serius rapat! Kamu jangan main-main, gambar-gambar nggak jelas!"
Semua orang menatap Nara, termasuk Sofie yang jengkel dengan pemagang satu itu.
"Mbak Sofie, kan, sedang menjelaskan bahan promo yang bisa menarik konsumen untuk beli produk kita. Saya punya ide kalau wajah Pak Danish dibikin standing poster di pintu kedai, pasti itu menarik ciwi-ciwi buat mampir. Secara Pak Danish, kan, ganteng, kayak aktor China, Yang Yang. Makanya saya menggambar ini untuk contoh wajah yang menjual."
Semua orang menatap ke Danish, raut mereka sepertinya setuju dengan ide Nara yang di luar prediksi.
"KELUAR!" sergah Danish kepada Nara.
Jumat,
Sepulang salat jumat, tiba-tiba ada kotak makanan di atas meja Danish. Sempat berpikir Isabel yang memberikan makanan ini, karena dulu sewaktu masih sama Isabel, perempuan itu acapkali membelikan makanan Danish setelah pria itu salat jumat. Namun, ketika dibuka, ternyata itu dari bawahannya paling menyebalkan.
Lebih menyebalkan lagi, makanan itu dibentuk seperti babi.
"Maksud kamu apa memberi saya makanan babi, Naraina Danisha?" tanya Danish dengan wajah geram.
"Itu bukan makanan babi, kok, Pak. Itu makanan manusia."
"Maksud saya—" Danish nyaris tidak bisa berkata-kata, "Kenapa bentuknya babi? Nggak ada bentuk yang lain?"
"Coz you're my baby, makanya bentuknya babi. Besok deh saya buatkan bentuk matahari, karena apa? Coz you're my sunshine." Jawaban Nara sukses membuat Danish tidak bisa berkata-kata.
Sabtu, hari ini. Tadi pagi saat membuka mata, Danish sudah mendesah panjang sambil berkata, "Apalagi kelakuannya hari ini?"
"Demi perusahaan, sabar-sabarin, Nish," ucap Marvin setiap kali Danish mengeluh pusingnya menghadapi Nara. "Entar gue siapin anggaran buat lu pergi ke psikiater deh, jangan khawatir."
"Berengsek si Marvin," umpatnya Danish kesal mengingat lontaran kalimat Marvin tempo hari. Danish menoleh ke luar kaca mobil, sedang menunggu lampu merah di perempatan jalan.
Ujung matanya menangkap scoopy berwarna putih merah muda yang ditempeli stiker kucing, helmnya pun juga penuh dengan stiker kucing. Scoopy itu berdiri tepat di samping mobilnya. Stiker kucing itu mengingatkan Danish pada gadis menyebalkan jelmanan kucing garong yang membuatnya hampir kehilangan kewarasan.
"Tunggu, jangan-jangan..."
Baru saja menebak, pengendara motor scoopy itu menoleh ke arahnya.
"Wah!" seru gadis itu melihat siapa di dalam mobil.
Meskipun gadis itu memakai masker yang juga bergambar monyong kucing, tebakan Danish benar kalau itu Nara.
"Hello, Jodoh!" sapa gadis itu sambil melambai-lambaikan tangan. Semua orang langsung menoleh ke arahnya.
Danish menyembunyikan wajah, malunya bukan main. Berharap lampu merah akan segera berganti dengan lampu hijau, ia tidak mau Nara melakukan hal aneh yang akan membuatnya semakin malu.
Nara mengetuk kaca mobil Danish, "Selamat pagi, Pak Danish! Have a nice day!"
Begitu lampu merah berganti hijau, dengan cepat Danish menancap gasnya agar terhindar dari Nara. Mobilnya melaju kencang meninggalkan Nara dan Danish dapat bernapas lega. Namun tak lama, tiba-tiba mobilnya melandai. Semakin melandai dan mengandat. Buru-buru pria itu menepikannya.
Mobilnya mogok, lagi dan lagi.
"Ck," decak Danish keluar dari mobil.
Mobil ini dibeli bekas dan selalu bermasalah, ia masih mengumpulkan uang untuk membeli mobil baru. Body-nya saja terlihat bagus, dalamnya seperti rongsokan.
"Vin, kayaknya aku telat deh. Kamu duluan aja ketemu Pak Haris," kata Danish setelah sekian kali memesan ojek online, tapi tak kunjung mendapatnya. Pagi hari memang sedang sibuk-sibuknya orang berangkat kerja dan sekolah.
"Dan, jangan gila! Gue nanti ngomong apa sama Pak Haris! Lu, kan, yang paham masalah ginian. Mobil lu mogok lagi? Lu, sih, gue kasih mobil nggak mau, malah milih mobil butut itu. Kalau lagi darurat gini, susah, kan?" omel Marvin.
Danish hanya bergeming.
"Gimana ini 10 menit lagi, Danish!" Marvin panik.
Dibanding Marvin, Danish memang lebih paham masalah perusahaan. Pria itu memijat keningnya sebentar, memikirkan cara untuk sampai di sana dalam sepuluh menit.
"Bentar aku cari taksi dulu."
Danish keluar dari mobilnya, bertepatan dengan itu melintas scoopy pink milik Nara. Yang semula melaju dengan kencang, tiba-tiba mengerem mendadak setelah melihat Danish di pinggir jalan.
"Hello, Jodoh! Ngapain di situ?" teriak Nara.
Danish pura-pura tuli.
Nara memundurkan motornya, tibalah ia di depan Danish. "Lagi mogok, ya, Kakak?" katanya dengan cengiran senyum. "Yuk, aku bonceng!"
"Nggak," jawab cuek Danish, masih berusaha untuk mencari taksi yang lewat.
"Kak Marvin bilang kamu sekarang ada meeting penting, kan, di Hotel Royal?"
Danish menoleh dengan kerutan kening, alisnya nyaris menyatu, "Bisa berhenti tanya-tanya soal aku ke Marvin? Aku nggak suka, ya!"
"Aku suka gimana dong?"
"Nara-" Kalimat Danish terpotong, panggilan dari Marvin masuk ke ponselnya, "Hm? ... iya ini masih nyari."
"Kak Marvin! Di sini ada Naraaa!" pekik Nara.
Danish langsung menyumpal mulut Nara dengan tangan kanannya, mendelik melarang gadis itu bersuara.
"Oke, problem solved. Gue tunggu dalam 10 menit di sini," simpul Marvin kemudian langsung memutus sambungan telepon.
Danish menyingkirkan tangannya dari bibir Nara, memincingkan mata kesal pada gadis itu. Sementara Nara menyengir, memperlihatkan sisa cabe di sela gigi yang putih.
"Nggak usah nyengir, cabe tuh di gigimu!" Danish membuka pintu mobil untuk mengambil barang-barangnya.
"Hah? Cabe?" Nara langsung mendekatkan bibirnya ke spion, "Aish, malu-maluin," ucapnya ketika tahu memang ada cabe di sela-sela gigi.
"Mana helmnya?"
Setelah menyingkirkan sisa cabe dari sela giginya, Nara turun dari motor membuka jok dan mengeluarkan helm berwarna pink yang ramai dengan stiker kucing, ada namanya di sana, Narashyshypink.
"Nggak ada yang lain?"
Nara menggeleng, "Mau pake punyaku?"
Helm yang dipakai Nara bogo pink yang juga ramai dengan stiker kucing. Sama saja.
Danish meraih help yang baru saja dikeluarkan Nara dari jok.
"Oh, ya, ini." Gadis itu mengulurkan masker bergambar monyong kucing. "Jakarta lagi full polusi, jadi pake ini."
"Nggak ada yang lain?!"
"Nggak usah banyak protes!?" Nara balik menyemprot membuat Danish terkaget, tak percaya baru saja disemprot oleh pemagang di kantornya. "Cepet naik, udah nggak ada waktu!"
Motor scoopy pink milik Nara melenggang di jalanan, kencang sekali. Danish jantungan setengah mati setiap kali Nara manuver di antara mobil-mobil, ia berpegangan kuat pada besi jok belakang sambil merapal doa, ayat kursi, ayat seribu dinar, doa makan, doa apa saja yang terlintas di pikirannya.
Tepat sepuluh menit, sampai di Hotel Royal.
Danish buru-buru turun dan melepas helm. Ia memberikan helm itu kepada Nara, "Makasih."
"Jangan lupa imbalan. Karena aku udah ngelanggar larangan papi buat nggak kebutan-kebutan, tapi demi kamu, aku rela jadi Marquez. Hm?"
"Ck," decak Danish.
"Daripada imbalannya jadi pacarku? Mau?"
Danish memutar bola matanya sejenak, kemudian mengangguk. "Oke, entar aku traktir makan." Sedetik dari itu Danish langsung berlari ke arah pintu masuk.
"Awkayy! Semangat, Calon suamiiii!" teriak gadis itu membuat Danish menutup wajah dengan tas dan mempercepat langkahnya menuju lift.
Sampai di lantai tiga, tempat meeting Danish langsung menghampiri Marvin yang sudah berhadapan dengan Pak Haris, calon investor.
"Dan, masker apaan sih yang lu pakai?" bisik Marvin saat melihat temannya itu datang memakai masker dengan gambar monyong kucing.
"Oh, ya." Danish buru-buru melepaskannya, menyimpan masker itu di saku jas. "Maaf, saya telat," ucap Danish pada Pak Haris.
"Bisa kita mulai?"
"Bisa, Pak. Baik, mari kita mulai."
Rapat berjalan sesuai dengan harapan, meski tidak tahu nanti bagaimana hasilnya. Ada waktu di tengah-tengah rapat, Danish teringat tingkah Nara saat di jalan tadi. Nara memang gadis yang terus terang, bahkan bukan hanya kepada Danish saja. Sifatnya terbuka dan tegas. Masih ingat bagaimana Nara menegur pengendara ngawur tadi di jalan.
"Woi, Ibuk, ngawur! Sein nganan, belok ngiri. Gitu aja terus besok-besok, sein nganan, belok akhirat, ya! Hati-hati, woi, keluarga nunggu di rumah!" teriaknya pada ibu-ibu yang sein kanan, tetapi belok kiri.
"Yaelah, nggak sabaran! Kebelet boker lu? Sabar woi!" omelnya pada pengendara yang membunyikan klakson padahal lampu baru sedetik berubah hijau.
"Yang naik trotoar, ganti aja motornya pakai onta!" semprotnya kepada pengendara motor yang naik ke trotoar.
Tidak ada takut-takutnya, ternyata sikap Nara memang seperti itu. Selama ia benar, ia tidak segan menegur dan tidak takut untuk terlibat masalah.
"Gimana menurut lu, Dan?" senggol Marvin membuyarkan lamunan pria itu.
"Bagus, Pak, pakai onta aja nggak apa-apa."
"Hah?" kaget Marvin karena jawaban Danish tidak nyambung.
"Hah?" beo Danish menyadari kalimatnya yang ngelindur. "Oh, maaf. Ini data-data persentase konsumen sebulan terakhir, Pak Haris. Silakan dilihat."
"Itu sudah, Danish!" geram Marvin, sahabatnya itu tidak seperti biasanya yang fokus.
"Oh, maaf. Sebentar saya cek dulu." Danish mencoba fokus memperhatikan pola konsep yang ditawarkan oleh investor.
Marvin sempat melongo untuk beberapa detik, tidak mengerti sahabatnya itu sedang berada di mana tadi jiwa dan pikirannya di tengah rapat penting ini.
***
Daily update AU di IG Hellojodoh, ya.
Semoga tetap seru, ya. Jangan lupa dukung cerita ini dengan vote dan komentar 🤍
Bonus buat Miaowers yg udah bersabar nunggu updatetan 🐾
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro