Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

005: Tidak Terlalu Sial

Danish bukan manusia agamis karena lahir dan besar pada keluarga yang berpusat pada putaran roda dunia. Namun, sejak keluar dari rumahnya, sejak putus dengan Isabel, Danish mulai mengenal hubungannya dengan Tuhan.

Ia mulai belajar kewajiban dan mempelajari ilmu keagamaan.

Kaki yang cidera tidak menghambatnya untuk melakukan salat. Setelah mengucap salam ke kanan, kemudian lanjut ke kiri, di saat itu ia bertemu dengan tatapan aneh dari pasien sebelah.

"Alhamdulillah, kamu muslim?"

Danish berdecih kecil, "Kamu pikir aku tadi ngapain?"

"Wajahmu Khonghucu-able." Tunjuk Nara pada wajah oriental milik Danish. "Mix? Mualaf?"

"Jawaban dari pertanyaanmu itu termasuk privasi, kamu tahu?"

"Privasi hanya untuk orang asing, bukannya kita calon jodoh, ya?"

Danish melirik dengan embusan napas panjang. Pusing menghadapi cewek gila dengan imajinasi kehaluannya itu. Namun, tetap saja, Danish patut berterima kasih untuk kejadian semalam. Entah disengaja atau tidak, Nara cukup membantu Danish mengatasi serangan paniknya.

"Soal semalam... terima kasih."

Nara yang mengunyah permen yupinya mengerutkan kening, merasa bingung dengan ucapan terima kasih Danish yang ujug-ujug.

"Buat?"

"Pokoknya terima kasih."

"Orang ganteng emang suka gitu, ya? Aneh. Tiba-tiba aja bilang makasih."

Danish bergerutu kecil bahwa yang aneh itu Nara sendiri.

"Mau?" tawar gadis itu padanya.

Danish menggeleng, ia lebih memilih meraih buku di atas nakas dan mulai membaca. Pria itu memang punya kegemaran membaca buku, seperti novel-novel misteri. Sampai detik ini tidak menyangka, hari yang seharusnya dihabiskan untuk berduka atas pernikahan mantan tercinta, berganti dengan pusing tujuh keliling menghadapi gadis aneh seperti Nara.

"O! Buku itu pernah kubaca!" ujar Nara saat melihat buku yang sedang dibaca Danish, "Okido Tan, kan?"

"Oh, ya?" kata Danish dengan nada terkesan tak peduli dengan itu. Ia lanjut membaca novelnya.

"Hm. Yang bunuh itu anaknya sendiri karena sakit hati ayahnya nikah lagi, ibu tirinya jahat, kan?" cerocosnya tanpa sadar membeberkan plot twist novel tersebut.

Danish baru membaca 50 halaman dari 270 halaman, segunung rasa penasaran terhadap tersangka di novel tersebut langsung meletus buyar. Pria itu menoleh dengan lirikan tajam.

Dengan tidak merasa bersalahnya, Nara tersenyum dan berkata, "Kalau yang Great Revenge itu tersangkanya—"

Brak! Danish meletakkan bukunya di nakas dengan keras, kemudian menarik tirai menyekat pandangan dari makhluk menyebalkan itu.

"Tersangkanya ibunya sendiri." Enteng Nara melanjutkan itu sembari mengunyah permen kenyal gula-gulanya.

Danish membuka tirai dengan wajah memerah menahan kesal yang membara di ubun-ubun. Melihat Nara yang sedang tersenyum masih dengan santai melahap satu permennya, semakin membuat pria itu naik pitam, ibarat teko di atas kompor sudah mengepulkan asap dan dengingan kencang.

Danish harus mengakui, kalau bertemu dengan Nara adalah sebuah kesialan.

"Hallo, guys!" Muncul Marvin masuk ke dalam kamar.

"Haiii!" balas Nara, mereka sudah berkenalan kemarin.

Mereka mendadak langsung akrab karena Marvin menyukai otomotif dan sering touring, sama seperti Karin yang keluarganya mempunyai toko spare part dan bengkel mobil. Karin juga sering ikut touring motor dan bergabung di salah satu komunitas permotoran.

"Yogurt?" Marvin membawakan tiga produk susu berfermentasi dengan rasa buah kesukaan Nara.

"Thank you..." Dengan berbinar senang Nara menerimanya.

"Nih, titipan lu, Nish." Marvin mengulurkan novel Great Revenge, yang baru saja dibocorkan plot twist-nya oleh Nara.

"Nggak usah, bawa pulang aja," kata Danish sembari merebahkan punggungnya, mengatur asap panas emosinya yang mengepul kepada Nara.

"Kenapa? Gue udah usahain beli ini di tengah kerjaan gue yang sibuk, ya, Danish. Nggak ngehargai usaha gue, sih?"

"Kamu tanya aja sama tuh manusia."

Nara hanya tertawa, "Oh, ya, Kak. Karin nanti mau ke sini."

"Oh, ya?" Rasa penasaran kenapa Danish menolak buku yang baru saja dibawakannya, berganti dengan antusias Marvin ingin bertemu dengan Karin.

Tujuan Marvin datang ke rumah sakit sepertinya bukan untuk menjenguk Danish, tetapi menjenguk Nara. Danish merasa dikacangi saat Marvin asyik mengobrol dengan Nara membahas permotoran, touring dan Karin.

"Karin itu kelietannya aja judes, tapi aslinya care banget, kok."

"Sama kalau gitu."

"Kamu? Nggak, kok. Kamu nggak kelietan judes."

"Sama kayak itu maksudnya," tunjuk Marvin dengan arah bola matanya.

Merasa disinggung, Danish melirik. Nara dan Marvin kompak menatapnya, kemudian Marvin berbisik sesuatu kepada Nara dan membuat gadis itu tertawa kecil. Danish berdecih kesal.

"Kalau lagi ngomongin orang, jangan di depan orangnya," gerutu Danish, "Vin, kamu sebenarnya ngejenguk aku apa dia, sih? Temenmu itu aku atau dia?"

Tidak menghiraukan gerutuan Danish, Nara berbalik berbisik di telinga Marvin. Semakin membuat Danish melirik dengan dengusan kesal.

Ketukan terdengar dari arah pintu, muncul seorang pria yang Marvin dan Danish kenal, tetapi pria itu datang bukan untuk menjenguk Danish. Pria itu tidak mengenal mereka. Pria itu menjenguk gadis menyebalkan yang sudah membuat Danish merasa sial.

"Daniel Mark..." lirik Marvin mengerjap-ngerjap tak percaya siapa yang ia lihat. Marvin melirik Danish, sahabatnya itu juga melirik Marvin dengan tatapan yang sama.

Sementara Nara melambai-lambaikan tangan dengan wajah ceria,"Mas Daaaan!"

Daniel Mark adalah orang berpengaruh dalam pasar warabala, keluarganya memegang 50% dari beberapa saham bisnis waralaba di dalam dan luar negeri. Marvin dan Danish tentu mengenal sosok itu, selain terkenal dengan kerajaan bisnis keluarganya, Daniel Mark juga terkenal bersahabat dengan pengusaha muda Arshaka Shabiru. Mereka dua kombo yang siapa pun akan takluk jika berhadapan dengan mereka.

Perusahaan keluarga Marvin juga berkembang di pasar waralaba, tetapi masih tergolong mikro. Cabangnya hanya di beberapa kota. Berbeda dengan warabala Keluarga Daniel yang sudah menggurita hampir ke seluruh Indonesia dan beberapa negara tetangga. Mendapat sokongan dana dan pengaruhnya mungkin bisa menjadikan perusahaan Marvin berkembang di waralaba makro.

"Kenalin, ini sepupu aku, Mas Daniel." Nara mengenalkannya pada Danish dan Marvin.

Mungkin pertemuannya dengan Nara, gadis bawel nan menyebalkan itu tak sepenuhnya sebuah kesialan bagi Danish. Mungkin bisa jadi peluang untuk membalas budi keluarga Marvin yang selama ini sudah banyak membantunya.

"Jadi, ..." Daniel mengulurkan tangannya ke arah Danish dan Marvin, "Yang mana calon jodoh sepupuku?"

*** 

"Lu harus bantu gue, Nish."

Danish menggeleng, "Nggak, nggak. Nggak bisa aku, Vin."

"Danish ..." Marvin menggelayut di lengan Danish, mereka berdiri di lorong rumah sakit.

"Lu lupa gimana frustasinya gue nyari investor buat pertahanin perusahaan papa. Gue sampai ancurin harga diri gue buat dapetin dana pengembang, tapi mereka semua tambah nginjek-nginjek gue. Gue nggak mau diremehin lagi, Danish."

Marvin sama frustasinya dengan raut Danish, keadaan perusahaan keluarga Marvin memang nyaris pailit. Utang sudah membengkak, investor banyak yang menarik dana mereka. Banyak gerai yang sudah tutup karena kekurangan dana untuk pengembangan produk.

"Gue sujud nih di kaki lu! Gue cium, ya, kaki lu?"

Danish menarik bahu Marvin yang sudah menekuk lutut untuk bersujud di kakinya, "Apaan, sih?"

"Please, Nish. Kalau sampai perusahaan papa bener-bener bangkrut, mati gue, fix mati gue. Lu mau gue mati?"

"Aku musti gimana?"

"Gue denger dia lagi cari magang, kita rekrut aja di Tim Pengembang, gimana?"

"Di timku? Nggak ah! Bisa gila aku ketemu dia setiap hari. Di sini tiga hari aja udah mau gila."

"Tujuannya itu, biar dia mau magang di tempat kita. Karena ada lu, Danish. Kita langsung aja angkat jadi asisten lu aja, gimana?"

"Sinting kamu, ya, Vin? Nggak, nggak!" tolak Danish, benar-benar hilang kewarasannya sampai Nara jadi asistennya.

Marvin langsung menjatuhkan lututnya di depan Danish, menangkupkan dua tangan memohon-mohon.

"Danish, pleaaaseeeee... gue bakal ngelakuin apa aja buat lu sumpah! Kalau gue nanti naik jabatan jadi Dirut, gue angkat lu jadi Direktur. Sumpah Demi Allah, gue langsung tobat nih! Gue mau ikut lu tiap hari ke Masjid. Gue bakal putusin Loly, lu nggak setuju, kan, gue pacaran sama Loly, gue bakal putusin. Apalagi? No skip salat jumat? Siap, Nish. Pleaseeee... bantu gue," mohon Marvin dengan semohon-mohonnya seolah akan dieksekusi mati detik itu juga.

Baiknya Marvin sama sekali tidak mengungkit seluruh kebaikan keluarganya yang pernah menampung Danish saat diusir dari rumah. Diberi tempat tinggal dan makanan secara gratis, bahkan mama Marvin sudah menganggap Danish seperti anak kandungnya.

Mungkin detik ini hal itu yang membuat Danish sedikit luluh, di samping ia juga memikirkan bagaimana membantu perusahaan keluarga Marvin yang diambang limit. Mungkin memang ini saatnya ia membalas semua kebaikan Marvin dan keluarganya.

Meski mengorbankan kesehatan jiwa karena harus berhadapan dengan Nara, gadis menyebalkan itu.

"Berhenti ke klub? Berhenti minum?" tawar Danish.

Raut memelas Marvin sekejap menghilang, klub itu seperti rumah pelarian dari pusingnya kerjaan, rasanya tidak rela jika itu turut menjadi syarat agar Danish membantunya. "Ya... ya, pelan-pelan... hehe," cengir Marvin.

Danish menggeleng. "Kalau gitu aku nggak mau bantu.

Marvin memiliki masalah dengan jantungnya, kebiasaan minum akan semakin memperparah kondisi jantung pria 30 tahun itu. Satu habbit Marvin yang Danish tidak suka.

"Sial, IYA, IYA, Gue berhenti minum! Gue berhenti ke klub. Oke, oke. Tapi, lu harus bantu gue, ya?"

Danish menghela napas sejenak. Mungkin nanti keputusan ini akan disesalinya setengah mati, tetapi menyelamatkan perusahaan keluarga Marvin adalah yang paling utama. Selama ini Danish bingung bagaimana cara membalas seluruh kebaikan Marvin dan keluarganya, Danish bukan lagi siapa-siapa setelah diusir dari rumah.

Untuk itu... "Oke, aku bantu kamu."

"Bro!" Marvin langsung berdiri dan menempelkan dua tangannya di pipi Danish, "I love you so much!"

"Lepasin, merinding tahu."

Marvin terkekeh seraya melepaskan dua tanganya di pipi Danish, "Mau makan apa? Gue beliin sekarang juga."

"Nggak usah, aku mau balik ke kamar."

Marvin membantu memapah Danish untuk berjalan kembali ke kamar perawatannya.

"Alasan aja, kan, mau mutusin Loly. Bilang aja kalau kepincut temennya Nara."

Marvin tertawa, "Tahu aja."

"Bajingan memang kamu."

"Loly diajak motoron keluar ngeluh panas, masuk angin, ini itu. Haduu, pusing gue. Karin cocok keknya sama gue."

***

"Santai aja, Kar. Lagian jam besuknya dah habis, kok. Hm. Oke... hati-hati, ya?" Nara bicara dengan Karin melalui telepon, temannya itu tidak jadi datang karena sebuah insiden.

"Ehem..." deham Danish menarik perhatian Nara, gadis itu menoleh. "Kamu... bener sepupunya Daniel Mark?"

Nara mengangguk, "Kenapa? Nggak percaya, ya? Banyak orang nggak percaya, sih, karena aku orang biasa, sementara Daniel Mark konglomerat."

"Nggak, bukan gitu." Danish memutar otak bagaimana caranya ia merekrut Nara ke perusahaan Marvin.

Demi apa pun, Danish benar-benar tidak mau merekrut gadis ini. Sebuah keputusan buruk jika gadis menyebalkan dan penganggu itu harus masuk ke tim-nya dan bertemu setiap hari. Danish berperang antara batin dan logikanya.

"Anu—"

"Bentar!" Nara menyela kalimat Danish, matanya berfokus pada layar ponsel. Ada sebuah notifikasi pesan dari perusahaan Nawasena.

Melihat jelas bahwa ia ditolak lagi, gadis itu menghela napas panjang. Amat panjang sampai-sampai semua oksigen kosong di paru-parunya.

"Ke—ehem—kenapa?"

"Itu... aku ditolak lagi. Ck, nyebelin banget. Susah bener, sih, cari kerja."
"Ngelamar di mana memangnya?"

"Itu... PT. Nawasena."

Danish menahan napas sejenak, berusaha menyembunyikan rasa terkejutnya. Sial, gerutunya dalam hati. Buru-buru ia mengambil ponsel, kemudian memberitahu Marvin soal itu.

"Haah..." desah Nara. Ulang tahun papi sebentar lagi, ia benar-benar ingin menghadiahi papi dengan kabar baik diterimanya kerja di sebuah perusahaan. "Padahal aku punya konsep bagus buat mewarnai perusahaan itu. Tahu, nggak, Nawasena?"

Danish mengangguk pelan, selaras dengan pertanyaannya, "Mewarnai?"

Nara mengangguk, "Kantor, seragam, kedai, semua terlihat kuno. Seperti nggak punya inovasi terbaru. Kamu tahu, kan? Tone warna yang dipilih perusahaan itu suram sekali. Logonya pun kuno, ketinggalan zaman, nggak aestetik dan nggak menarik. Konsep kedainya juga begitu, sudah tahun 2024, tapi kedai Nawasewa seperti stagnan di tahun 2010. Not old but gold, tapi bener bener old and boring."

"Setahuku itu konsepnya vintage."

"Kalau mungkin yang dimaksud memakai konsep vintage, bisa dibilang hasil konsepnya gatot. Gagal total. Tidak ada ciri khas vintage yang ditonjolkan, sama saja seperti kebanyakan, boring!"

Danish pernah mengusulkan perubahan, tapi konsepnya dinilai kurang matang dan ditolak Presdir. Lagipula, tidak ada dana lebih untuk melakukan peremajaan perusahaan besar-besaran.

"Kenapa Kedai Kopi Cinderella terkenal? Karena owner-nya mempunyai ciri khas dalam pemilihan konsep, garden cafe dengan bunga-bunga asli, sesuai dengan nama kedainya. Cinderella. That's not just a cool, that's a briliant."

Danish setuju, perusahaan Marvin memang tidak punya ciri khas yang ditonjolkan. Karena itu perusahaan tidak bisa bersaing dan mengalami penurunan penjualan. Banyak mitra kedai yang tidak melanjutkan kerja sama karena sepi pelanggan.

"Seperti Danfood Group yang memilih nama gerainya dengan nama Skynoodle, lebih bagus kalau Nawasena juga memakai nama lain buat kedainya. Biar lebih kekinian buat menjangkau pasar anak-anak muda. Zaman sekarang tuh, nggak cukup menjual kualitas makanan atau minuman, tapi juga menjual tempat."

"Idemu lumayan. Memangnya pas interview, nggak kamu sampaiin?"

Nara menghela napas panjang, "Bodolah. Move on! Coba lagi nanti."

Bersamaan dengan itu ponsel Nara kembali bergetar, sebuah notifikasi pesan masuk. Dengan enggan ia melirik notifikasi tersebut.

"Hm?" Keningnya berkerut. Ia mengerjap-ngerjap memperjelas pandangannya.

"Ke...napa?"

Nara menyorongkan layar ponselnya kepada Danish, "AKU DITERIMA!"

"O—oh, ya? Selamat."

"Waaah, emang aneh banget nih perusahaan. Tadi ditolak, sekarang diterima!" Nara melompat dari ranjangnya, semburat rona bahagia berseri di wajahnya. Buru-buru ia menelpon papi.

"Papi! Nara diterima!"

Danish tahu itu akan menjadi keputusan buruk untuk dirinya, tetapi keputusan baik untuk perusahaan. Meski nanti akan pusing tujuh keliling, Danish merasa cukup lega. Dengan adanya Nara di perusahaannya, kemungkinan melobi Daniel Mark akan lebih mudah.

Nara melompat-lompat kecil, seolah tangannya yang sakit sudah mati rasa.

Brak! Tak sengaja kakinya menendang standard infus yang berdiri di samping bed Danish.

"AAAAKH!" pekik Danish ketika besi itu mengenai kakinya yang sakit.

"Ups," ujar kecil Nara. Melipir kakinya menuju pintu, "Nurse! Kakinya pasien sebelah ketiban besi infus lagi!"

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro