001 : Black Cat
Dari sekian pelamar yang memakai setelan hitam putih, sepatu fantovel resmi, rapi membawa map yang berisi dokumen pelamaran, hanya gadis mungil itu yang berbeda.
Ia memakai setelan rok panjang bercorak bunga yang dilapisi outer oversize berwarna krem, flat shoes berwarna merah gelap, rambutnya dikucir kuda dengan hiasan pita yang senada dengan warna sepatunya.
Sedari tadi ia menyumpal telinganya dengan earphone, mendengarkan lagu-lagu sambil mengunyah permen karet. Sesekali meniup dan meletuskan permen karet di bibirnya yang bulat. Bagi orang lain itu akan terlihat aneh, tetapi bagi siapa pun yang mengenal Nara, tidak heran dengan sikap tenang gadis itu.
Sidang skripsi yang banyak dihadapi teman-temannya dengan panas dingin, lain bagi gadis 25 tahun itu. Sepuluh menit sebelum masuk ruang sidang, ia masih menyempatkan membaca bab terbaru dari webtoon kesukaannya.
Semua mata tertuju pada gadis itu, tidak ada wajah tegang, tidak ada kegugupan menjelang tes terakhir dari seleksi masuk magang perusahaan PT. Nawasena di wajah Nara. Berbeda dengan pelamar lainnya yang mandi keringat tegang, sibuk merapal doa dan menyusun kalimat untuk persiapan wawancara.
Jemari Nara yang dihias kutek warna-warni itu menggulir layar ponsel, membaca episode terbaru dari serial webtoon yang sudah ditunggu-tunggu. Pria yang duduk tiga deret di samping kanan Nara berbisik pada wanita di sampingnya.
"Ini adalah lamaran ke-limaku bareng dia. Lihat caranya menunggu giliran wawancara, masih tetap sama. Aku yakin kali ini pasti dia ditolak lagi."
"Naraina Danisha!"
"Ya! Saya!" Nara langsung berdiri, melepas earphone, memasukkan ponsel ke dalam tas, membuang permen karet ke tong sampah dan merapikan bajunya sejenak sebelum berjalan masuk ke ruangan wawancara.
Lima belas menit setelah masuk, Nara keluar dengan embusan napas panjang. Ia bisa menebak kalau wawancara kali ini pasti gagal lagi. Mengapa sulit sekali untuk mencari kerja? Rasanya ingin cepat menikah dan menjadi beban suami saja, pikir gadis itu.
Keluar dari gedung dengan langkah gontai seolah energinya tersedot inti bumi, Nara berdiri di depan lobi sembari menatap lalu lalang orang-orang yang bekerja di sekitar gedung ini. Memakai kemeja, celana kain kulot dengan lanyard menggantung di leher. Sungguh, itu adalah impian Nara.
Semenjak lulus kuliah beberapa bulan yang lalu, Nara belum juga diterima magang di perusahaan mana pun. Ia ingin sekali segera bekerja untuk membantu papi. Setidaknya untuk hadiah ulang tahun pria yang sudah menemani tumbuh sejak lahir ke dunia.
Gadis pemilik wajah bulat itu sekali lagi mengembuskan napas panjang.
"Nara, semangat!!!" pekiknya menyemangati dirinya sendiri, ia mengeluarkan lolipop dari tasnya, kemudian berjalan pulang mengendari scoppy pink kesayangan.
Di tengah perjalanan pulang, panggilan masuk ke ponselnya. Ia segera melipir ke pinggir jalan. Melihat siapa yang menelpon, Nara buru-buru mengusap panel hijau. Sebelum itu, ia mengubah wajah muramnya menjadi ceria, bagai mendung yang mendadak terik panas.
"Di sini Naraina, di situ siapa, ya?"
"Di sini papi, di situ Naraina di mana?"
"Di sini Naraina baru saja pulang dari interview. Mohon maaf, Paduka. Sepertinya prajurit Anda gugur lagi di medan perang."
"Tidak apa-apa, Prajurit. Segeralah pulang, papi baru saja memasak kari kepiting."
"Siap, Paduka. Bebanmu akan segera pulang!"
Setelah sambungan telepon ditutup, pelangi di wajah Nara luntur berganti mendung kembali. Usianya sudah 25 tahun, tetapi masih belum menjadi kebanggan papinya. Nara menelan banyak kekecewaan pada dirinya sendiri, merasa tertinggal jauh dari teman-temannya.
Gadis itu menggeleng mencoba membuyarkan mendung di wajahnya.
"Nolak Naraina itu kayak nolak sendok emas! Bukan aku yang nggak mampu lolos interview mereka, tapi mereka yang nggak bisa menilai mana calon karyawan terbaik. Cih," gerutunya mencoba menenangkan diri untuk tidak patah semangat.
Starter motor baru saja dihidupkan, gas sudah mau ditarik. Tiba-tiba niatnya untuk melaju dari pinggir jalan terurungkan saat mendengar meongan kucing seperti meminta tolong.
"Hm? Kucing?" Kepalanya menoleh ke depan, samping, belakang, ke seluruh penjuru tempat itu. "Wah! Kucing!" pekiknya buru-buru turun dari motor setelah menemukan sumber suara.
Terlihat seekor kucing berwarna hitam tengah terjebak di atas pohon mangga. Tanpa ragu, Nara langsung memanjat pohon tersebut dengan lincah. Ia memang terbiasa memanjat pohon dari kecil karena di rumahnya punya pohon mangga.
"Ya ampun, ya ampun, kamu nggak bisa turun, ya? Aduuuh, kasihan. Kita turun, ya?"
Satu pijak yang keliru, tubuh Nara terbanting ke tanah dengan keras. Tangannya yang mencoba melindungi kucing itu terkilir, menjerit gadis itu kesakitan. Ia menangis bukan hanya karena tangannya yang terkilir, tetapi mengapa kesialan seolah keroyokan datang pada hari ini.
"Papiiiii!" jeritnya mengadu, kesal dan sedih.
Memang bukan suatu hari yang indah, tetapi bisa jadi awal dari suatu yang indah.
***
Gereja di depannya tampak meriah dihiasi pernak-pernik bunga pernikahan, latar tempat itu pun banyak berderet ucapan selamat. Orang-orang masuk ke dalam tempat ibadah itu untuk menyaksikan sumpah janji dua orang yang saling mencintai.
Tak ketinggalan, pria itu. Memakai setelan jas hitam sesuai dengan dress code undangan, ia datang membawa sebuket bunga warna kuning sebagai bentuk dari dukungan dari pernikahan mantan kekasih yang kini sudah menjadi sahabatnya.
Danish Narayan, pria 30 tahun itu sudah berdiri di latar gereja lebih dari sepuluh menit. Hatinya sedang berdebat dengan logika dan iman, menginjakkan kaki di tempat ibadah agama lain, bukankah sebuah larangan?
Namun, permintaan Isabel untuk Danish menyaksikan pernikahan dengan pria pilihan berputar dalam kepala Danish. Pria itu sudah berjanji akan menempatkan diri di belakang sang mantan, bukti bahwa mereka masih bersahabat meski jalinan kasih sudah berakhir.
"Woi," seruan kecil Marvin, sahabatnya mengalihkan perhatian Danish dari deretan ucapan selamat yang menuliskan nama sang mantan dengan pria lain. "Yuk, masuk."
Danish mengangguk, meskipun begitu kakinya tak jua beranjak. Terlalu sungkan untuk bertemu kembali dengan keluarga besar Isabel, di mana penyebab hubungan mereka kandas juga karena restu yang hilang sejak Danish jujur mengenai keluarganya.
Danish berasal dari keluarga yang terpandang, ibunya wanita karir yang sukses membangun bisnis kerajaan yang diwarisi dari sang kakek. Namun, semua keadaan berubah saat akhir semester kuliah Danish, fakta terkuak membuat pria itu hengkang dari rumah, tak peduli lagi dengan warisan dan harta dari keluarganya.
Keluarga Isabel yang juga dari keluarga terpandang menutup sebelah mata karena hengkangnya Danish dari rumah. Tak mau putrinya terus melanjutkan hubungan dengan pria yang tak punya jaminan masa depan.
Suara meongan kucing terdengar nyaring dari kejauhan, Danish yang hendak melangkah menuju teras gereja itu urung. Melihat-lihat sekitar karena suara kucing itu terdengar seperti meminta tolong. Satu persatu Danish melangkah menjauhi gereja untuk mencari sumber suara kucing tersebut.
Danish memang penyuka kucing, ia memiliki satu kucing di apartemennya. Rasa sepi acapkali terbunuh karena tingkah lucu kucingnya, itu mengapa Danish merasa sayang dengan makhluk berbulu itu.
Dari kolong-kolong tiap mobil yang terparkir hingga selokan, Danish terus mencari, Sampai akhirnya ujung mata Danish menangkap kucing domestic berwarna hitam sedang tersangkut di antara celah pohon di samping tembok pagar gereja.
"Di situ rupanya kamu."
Tanpa keraguan Danish memanjat tembok pagar, kemudian melompat ke arah pohon di mana kucing itu tersangkut. Dengan hati-hati ia menyelamatkan kucing tersebut.
"Nah, kamu sudah aman," ujarnya sambil mengusap-usap kepala kucing yang ditolongnya. "Oke, kita turun, ya?"
Percaya diri turun dengan sepatu fantovelnya yang baru disikat licin, baru pijakan pertama Danish langsung terjun bebas sejauh dua meter dengan pendaratan salah dan mengakibatkan kaki kanannya terpelintir, disertai suara gubrakan tubuhnya menghantam paving karena berusaha mungkin untuk melindung kucing yang sedang digendong.
Pria itu memekik kesakitan.
Mungkin kucing itu adalah penyelamatnya dari rasa cemburu, sakit, sungkan bahkan dari rasa malu berdiri di belakang sang mantan yang masih amat dicintai.
Meski kakinya retak, Danish sangat berterima kasih kepada kucing tersebut. Mungkin jika tidak ada kucing itu, Danish pasti akan menyaksikan sumpah janji perempuan yang menempati hatinya bersama pria lain di altar gereja detik ini.
***
T
o be continued...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro