Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Come As You Are

Jangan tanya banyak hal.

Ini, itu, apa, hah? Oh sungguh buruk penulisanku ini, beruntung seorang teman mau menuliskan beberapa tambahan.

Boring? Sudah aku laksanakan kerjaan itu dari tahun 86 lalu. Tumbuh sebagai anak kedua memang banyak hal-hal tak terlupakan sebagai kenangan terindah, tapi tidak dengan kehidupan musikku.

Lupakan banyak hal, sekarang biarkan remaja yang telah tua ini menceritakan sebuah hal-hal umum untuk kalian ketahui soal beberapa hal. Satu untuk beberapa kelompok kecil, sisanya kau bayangkan saja kisah ini.

Semua bermula dari belantika dunia underground tak banyak orang ingin membeli kaset atau piringan hitam album pada pemusik independen. Meski diakui secara masal, banyak dari mereka berhasil meraih banyak peringkat meski hanya bermodalkan album budget rendah sekalipun.

Banyak rilisan independen telah aku koleksi, tapi satu hal terindah.

Album pengguncang dunia, ya...ini bukan tentang kemegahan Appetide For... apalah itu! Bukan! Ini adalah mahakarya yang keluar setelah itu.

Dan inilah hal yang akan aku bicarakan sekarang.

...

Siang mentari telah menyinari kios-kios penjual. Sungguh banyak hal terlihat dari sudut pandang ku di beberapa sudut jalanan sana.

Ramai seperti biasa, trotoar penuh banyak orang-orang bertopi, berkacamata, berpakaian sedikit minim tapi tidak dengan beberapa penganut agama Yahudi ortodoks dan beberapa muslim. Baik, tak ku usik hal itu, toh sudah sering aku berinteraksi dengan mereka.

Di bawah bayangan teduh atap bangunan toko musik yang tengah aku kunjungi ini. Ya...aku hanya ingin membeli album bagus tapi...eh, kurasa tidak ada album eksperimental di tempat ini.

Keluar tanpa berucap apapun untuk si kasir perempuan penuh tato di kedua lengan itu. Bukannya aku tak ingin berinteraksi, akan tetapi...ya, memang sedang bad mood sahaja.

Berjalan kaki memacu keras menuju toko musik di sebrang perempatan jalan raya sana. Menanti di samping lampu lalulintas, bersama para manusia-manusia lain. Tiga detik kemudian lampu berubah menjadi hijau, kami semua berjalan menyebrang.

Beberapa memecah ke arah kanan dan kiri, beberapa ada yang kebingungan sana-sini, sementara beberapa melakukan hal-hal...ah sudahlah, mereka anak-anak punk.

Aku sendiri pergi ke kanan, sedikit berjalan sejauh 6 meter, hingga satu palang berbentuk bulat bertuliskan...eh tunggu dulu! Ini bukan kisah promosi! Jadi aku samarkan nama jadi Record Listrik.

Masuk melalui pintu kaca. Telah disodorkan padaku aroma semerbak daun mint memasuki hidung, tak banyak terpenuhi sebenar, tapi ini jauh lebih fresh dari ekspektasi awal.

Album-album penuh ekspresi seperti Sonic Youth, Sound Garden, Paramore, dan...hei! Tunggu dulu!

"Nirvana? Bleach? Album macam apa ini?" monolog kecilku atas album hitam yang terpampang di pojok kanan depan toko. Tak terlalu terlihat, bahkan terkesan bukan album yang diinginkan. Kasihan...padahal ini tampak begitu berbeda.

Ya bahasa lainnya... aneh sih.

Tapi baiklah, aku beli album aneh ini.

...

Sampai di rumah, Scatty, kucing peliharaanku tiba-tiba melakukan aksi-aksi gila, beberapa kenangan terburuk muncul sebagai perasaan nostalgia berat.

Singkatnya aku kini berada di dalam kamar mandi, duduk di kloset sambil menghisap batang rokok yang kesepuluh. Menjadikan hari ini, sebagai hari konsumsi rokok terbanyak dariku, sementara di ruang tengah sana, musik terakhir dari list album baru saja selesai.

Baiklah album ini penuh dengan nuansa negatif, penuh akan kesuraman, atau singkat padat jelas yaitu terlalu pekat serta berlumpur.

Jhonny si penulis pernah menuliskan musik semacam ini di memoarnya. The Pixies kata dia si paling tahu soal budaya pop anak muda. Kemarin saja, kembali dijejali lagi oleh sebuah pengertian baru, dan kini ada pengertian baru lagi.

Baiklah lagu itu sudah selesai, aku lantas keluar dari pengurungan diri dan bergegas menuju tempat paling jujur untuk membahas hal-hal semacam ini.

Dihampiri lagi gagang telepon yang sudah menganggur selama dua bulan lalu, sepuluh tombol ditekan, membentuk kombinasi angka panggilan hingga tersambung kepada salah seorang di sebrang sana.

"Ya? Ada apa?" tanya seseorang di sebrang telepon sana.

"Aku baru saja berkreasi menuju masa laluku. Ada album penuh lumpur, kasar, bahkan tampak bertekstur keras,"

"Oh ya? Apa itu?"

"Bleach dari band Nirvana,"

"Hahaha! Jadi kau sudah terkena pengaruhnya ya? Datanglah ke Seattle, kai akan merasakan hal lebih di sana,"

"Apa untungnya aku pergi ke kota kecil itu?"

"Jangan banyak tanya lagi. Seattle sudah jauh lebih berwarna bagiku, banyak hal-hal menarik untuk kau kulik di tempat ini, bahkan aku juga yakin, semua hal yang sempat kau impikan berada di tempat ini. Datanglah, jangan sungkan-sungkan kawan."

Percakapan berlanjut ke arah-arah sedikit sentimentil, mengejek sedikit masa lalu beserta pencarian arti kekasih, kemudian berakhir pada satu ajakan lagi.

"Datanglah ke Seattle kawan, semua lagu harapanmu pasti akan meledak dari kota ini,"

Telepon ditutup begitu saja, meninggalkanku kembali dalam muara ajakan.

Ya...ajakan itu, aku akan ke Seattle.

Lalu melihat sendiri, bagaimana kota kecil ini bisa memenuhi harapan.

Ya paling tidak, mereka memiliki beragam karakter.

...

"Baiklah apa yang akan kita dapatkan di sini?" tanyaku mengejek pria berambut gimbal di sebelah kananku.

Dalam beberapa flashback singkat sebelum pertanyaan satire itu, aku akhirnya datang ke Seattle sesuai ajakan dari si Jhonny.

Dia adalah kelahiran asli dari kota ini, besar bahkan tumbuh bersama berbagai macam genre-genre aneh dari musik di wilayah ini, meskipun begitu, Jhonny lebih memilih corak musik blues dan sedikit lagu punk.

Dalam kerumunan orang-orang di sebuah tempat di hotel, kami berdiri selama setengah jam hanya untuk melihat tiga orang remaja berpakaian seadanya tengah menata alias check sound mendadak di atas panggung.

Kata si Jhonny. Merekalah Nirvana.

"Hey, kau bilang jika mereka menakjubkan, tapi mana? Mereka bahkan tampak asal-asalan dalam mengatur sound gitar dan bass mereka," cibirku dalam bisikan ke Jhonny.

"Memang inilah hal baru itu,"

"Hal baru? Kau yakin? Mereka sedikit meragukan. Memangnya kau sebut lagu mereka itu apa?"

"Ku panggil musik mereka dengan. Grunge,"

Baiklah nama baru lagi, lalu setelahnya apa?

Tentu sahaja...rasa takjub.

...

Dua hari atau bahkan lebih sudah berlalu begitu saja, meninggalkan kesan mendalam begitu sahaja.

Benar kata Jhonny, mereka melebihi ekspektasi awal ku, mereka memainkan sebuah lagu berstruktur aneh, bertekstur kasar bak kulit hewan bersisik, dengan suara vokal menderu lagi suram bagaikan pembawa kehancuran dan pemberontakan.

Dalam diam aku lamat-lamat mendengarkan radio di kamar depan rumah, baru saja aku berniat untuk menulis esai tentang band aneh itu, sebuah seruan kecil dari radio sontak menghentikan diri untuk mengecek ulang kata-kata si penyiar.

Smells Like Teen Spirit milik band Nirvana akan diputar?!

Ya, itulah kata awal aku mendengar.

Intro lagu, riff-riff gitar, dan suara vokal dari Kurt si pirang membuatku tak lagi henti-hentinya bertanya mengapa?

Seolah-olah tak dapat aku terima kenyataan bahwa mereka bisa melebihi ekspektasi! Tak sampai disitu, setelah lagu itu terhenti, pengumuman seputar album mereka yang sudah bisa dibeli membuat diri ini segera bangkit dari tempat duduk demi mencari jaket kulit kemudian pergi menuju toko musik itu lagi.

Dalam perjalanan penuh gelisah itu, semakin aku bayangkan lagi bagaimana isi dari album gila itu, sampai-sampai tak sadar pula diriku kalau sudah sampai di depan toko yang kini sudah dipadati oleh beberapa kerumunan kecil manusia.

Merangsek lah diri ini menembus barikade manusia, hingga akhirnya sampai di salah satu rak di mana album itu berada.

Sebuah kaset dengan sampul foto berupa seorang anak kecil yang sedang menyelam di dalam kolam renang tanpa memakai busana apapun. Jujur ini menarik, segera aku ambil dan membayarnya ke kasir.

Sisa dari kejadian itu, tentu saja kisah biasa ketika perjalan pulang. Tapi baiklah, singkat cerita ketika sampai di rumah aku langsung saja memasang kaset tersebut ke tempatnya, dan sensasinya benar-benar diluar dari hal perkiraan awal.

Smells Like Teen Spirit menggoyangkan semangat sedemikian rupa, Come As You Are secara tak sengaja menciptakan sarana jati diri yang begitu kokoh nan kuat ala para remaja-remaja pemberontak, lalu...ah sudahlah! Ini memang album pop dari mereka, karena memang sedikit menjauh dari yang pertama.

Tapi, ini jauh dari perkiraan.

Duduk di sebuah kursi kayu di ruang tengah yang remang lagi diterangi cahaya mentari dari jendela kaca ruang depan, jam menunjukkan pukul sebelas, dalam diam bersama kebisingan musik dari Nirvana, secara tak sengaja dari kejadian inilah.

Aku resmi, menjadi fans mereka.

...

Hari-hari berlalu.

Jhonny sekali lagi membuktikan kemampuan feeling-nya dalam tanah dunia musik.

Nevermind album kedua dari Nirvana berhasil terjual jutaan dalam waktu singkat, dan perlahan bersama kawan-kawan mereka yang lain, ranah musik berubah.

Para rocker berambut panjang, bergaya tampan tapi sedikit urakan dengan lagu-lagu bernuansa pesta sepanjang malam, kini telah bergeser begitu saja dari singgasana mereka.

Digantikan oleh musik yang lebih sederhana, suram, serta minimalis.

Aku tak akan bohong jika kini banyak sekali anak-anak muda berjiwa pemberontak di mana-mana.

Gaya mereka dalam berpakaian, cara berbicara, hingga hal-hal lainnya.

Menjauh dari itu semua, bagiku kini dunia benar-benar sudah berbeda dari pandanganku.
Dunia begitu suram hanya dalam beberapa jengkal waktu saja, bahkan tiap menit dalam hidup juga berubah begitu cepat.

Kini, di ruang tengah seperti biasa aku tonton televisi yang sedang menayangkan acara unplugged dari Nirvana, band paling ku kagumi itu, ditemani satu botol whiskey, serta beberapa wadah rokok di samping kanan kursi.

Dalam acara ini, tak dapat lagi aku bendung rasa kantuk yang begitu parah, tapi penampilan mereka secara keseluruhan tidak bisa dilewatkan begitu saja, maka aku paksa saja mata ini untuk bisa terjaga hingga akhirnya tumbang juga.

Suara dentingan jam lalu membangun ku dari tidur, bersamaan dengan tv yang sudah tersisa guratan-guratan statis. Melihat situasi yang begitu kacau balau, maka aku putuskan lagi satu hal revolusioner. Yaitu....

Tidur.

...

"Kau yakin, kau tidak merasa ada perubahan signifikan?" tanya Jhonny dari meja kerjanya.

"Tidak kawan...aku masih waras," jawabku asal-asalan di kursi sofa ujung ruangan.

Jhonny mendengus kesal, lalu ia kembali menyahut.

"Kau yakin? Kau minum alkohol, sesuatu hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya, bahkan kau juga mulai sering merokok dalam jumlah besar kawan, apa kau baru saja mengalami revolusi kehidupan?"

Sejenak aku berpikir, kemudian menjawabnya dengan nada jenaka.

"Revolusi? Kau pikir kehidupanku politik apa?"

"Hahaha, bukan itu kawan. Maksudku, apa kau merasakan jika kehidupanmu mulai berubah? Aku tahu ada sesuatu hal di dalam dirimu yang berubah begitu cepat, hingga tidak kau deteksi sendiri,"

"Oh ya? Kuharap itu bukan libidoku saja,"

Hening, kami berdua lantas sibuk sejenak bersama pekerjaan kami, Jhonny sibuk dalam tulisan, sementara aku hanya tiduran di atas kursi sofa nan empuk, hingga ia bertanya lagi kepadaku.

"Kurt Cobain, menurutmu, dia itu seperti apa?"

"Unik, berkarisma alami tanpa perahan industri, dan tanpa basa-basi. Ia adalah contoh corong anak muda sebenarnya,"

"Oh ya? Tapi kurasa itu pernyataan yang cukup arogan."

Mendengar hal tersebut, seketika pula aku naik pitam. Segara aku bentak ia.

"Apa katamu!? Aku tidak arogan! Memang itulah adanya Jhonny winie!"

"Oh ya? Tapi sayang bung, gitaris yang kau kagumi itu tak lebih dari pecandu yang tak lulus sekolah! Terima saja hal itu kawan!" jawabnya semakin keras.

Baiklah, dia yang memulai maka aku akan lebih keras lagi.

"Oh ya! Maka jelaskan pula bagaimana si Jimi itu bisa bermain gitar yang bahkan dia tak mengerti tentang scale gitar!"

Pertengkaran kami berlanjut dalam adu argumen mulut, entah berjalan berapa lama perdebatan itu tak aku hitung lagi lamanya.

Satu hal yang berhasil melerai kami oalah siaran berita mendadak dari suara radio yang berbunyi, jika Kurt Cobain ditemukan telah meninggal dunia.

...

Tahun 1994 sebentar lagi berakhir, waktu itu natal juga telah tiba.

Sementara orang-orang berlalu-lalang mencari kehangatan natal, aku sendiri hanya berdiri di depan sebuah batu nisa megah seseorang.

Seseorang yang bernama Kurt Cobain.

Sedih, kecewa, marah, rindu, hingga hal-hal lainnya. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya di blantika musik nanti.

Banyak sekali perubahan sepeninggalnya, meski belum genap satu tahun ia meninggal. Para band-band grunge tak terdengar eksistensinya, sementara para remaja-remaja pemberontak mulai terdiam di kurungan rumah mereka masing-masing.

Sementara aku sendiri, hanya bisa merenungkan segala kejadian di masa lalu.

Arogan? Barangkali iya, sifat utama para fans garis keras yang sayangnya tidak disukai oleh Kurt sendiri, sifat yang bahkan di cap buruk oleh orang yang aku kagumi!

Selesai dengan makam aku lantas pergi, mencoba kembali menjernihkan pikiran, meninggalkan segala hal-hal di masa lalu.

Dan akhirnya setidaknya berhasil.

Hari demi hari berlalu begitu sahaja, aku seketika kembali atau bahkan berubah menjadi lebih positif lagi.

Sikap arogansi atas penghambaan kepada musik-musik band asal Seattle itu kini berubah menjadi lebih dinamis.

Hingga akhirnya dalam beberapa minggu saja aku telah melalui hal-hal masa lalu, dan bahkan menemukan jati diriku sendiri.

Meski aku akui kadangkala masa lalu itu selalu menjadi nostalgia, akan tetapi kedewasaan berpikir sekarang saja kembali membuka mata ini untuk lagi melihat ke segala aspek.

Dari yang teratas hingga yang terkecil.

Karena pada akhirnya, seperti frasa pada salah satu lagu yang berbunyi.

"Come As You Are"
.
.
.
.
End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro