Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 5

Ilsa mendengar pacarnya tertawa dari seberang telepon. Dia menceritakan soal kekesalannya karena diajak bertemu klien pada jam makan malam. Ya, klien sialan sedunia yang notabene mantan suaminya itu berhasil merusak rencananya pergi dengan Perdana sepulang kerja.

"Kok kamu ketawa sih? Di mana letak lucunya?" dumel Ilsa.

Perdana kembali tertawa sebelum akhirnya berhasil mengusai diri dan menjawab, "Aku yakin kamu lagi manyun, bete, dan ekspresi kamu pasti gemesin banget. Aduh... minta dipeluk banget kalau bayangin kamu cemberut."

Ilsa yang tadinya akan mengumpat kasar langsung mengurungkan niatnya dan mengubahnya jadi senyum malu. Meskipun tak bersamanya, Perdana tidak pernah gagal meredam emosinya. Perdana selalu tahu cara mengubah wajah bete dengan kalimat menenangkan.

"Perdana, kamu nih..."

"Aku lucu? Iya, aku lucu. Banyak pasien yang bilang aku lucu," sela Perdana lebih dulu.

"Eh? Pasien yang mana tuh? Gatel banget! Minta diusapin obat anti gatal ya?"

Perdana kembali tertawa. Beberapa detik kemudian menjawab, "Nenek-nenek, Sayang. Kamu tega mau gituin nenek-nenek? Hehehe..."

"Ah, kamu nih! Aku pikir anak ABG."

"Kalau anak ABG udah pasti aku bilang sama mereka kalau pacarku lebih cantik. Mana galak-galak gemesin gitu."

"Dasar bucin!"

Perdana tak berhenti tertawa. "Hahaha... ya emang. Aku bucin banget sama Ilsa Fiorella. Because she's an amazing woman."

Kalau gini caranya, Ilsa bisa mati gara-gara diabetes instan akibat kalimat manis Perdana. Tiba-tiba muncul kata-kata di kepalanya. Coba aja Jevan kayak gini. Lalu Ilsa tersadar. Eh, ngapain gue bawa-bawa si kampret itu! Amit-amit!

Tepat saat dirinya membayangkan kata-kata ajaib itu, Ilsa melihat Jevan sudah duduk menunggu di dalam. Sialnya, bayangan akan candle light dinner dengan Jevan waktu di Amsterdam muncul. Ah, ngapain sih nih kepala muter-muter kenangan sialan itu?

"Monyet banget sih!" gerutunya kesal.

"Kamu ngatain aku monyet?" tegur Perdana.

Ilsa lupa kalau dia masih teleponan dengan Perdana. Astagaaaaa! Bego! Rasanya dia ingin menampar bibirnya. "Bukan, Sayang. Maaf, bukan. Itu tadi ada anak ABG nginjek kaki aku. Maaf ya. Bukan kamu. Serius deh."

Perdana terkekeh kecil. "Iya, Sayang. Ya udah, kamu udah sampai belum? Udah ketemu klien kamu?"

"Ah, udah nih. Nanti aku telepon lagi ya. See you, Baby."

Sambungan telepon terputus setelah mereka melempar ciuman berandai-andai kalau mereka sedang berduaan. Setelah itu, Ilsa menghampiri Jevan. Dilihatnya baik-baik wajah Jevan, laki-laki itu masih setampan dulu. Entah perasaannya saja atau Jevan semakin menawan.

"Hei, Il."

Ilsa tersentak mendengar sapaan itu. Dengan cepat dia duduk di depan Jevan. Tak lupa memasang wajah super jutek supaya Jevan tidak mengajaknya bicara terkecuali soal kasus yang dia tangani.

"Maaf ya ngajak kamu ketemuan di jam makan malam. Nggak keberatan, kan?" tanya Jevan sambil menampilkan senyum.

"Keberatan banget. Lo pikir gue nggak punya kehidupan lain selain urus kasus nggak penting lo itu? Gara-gara lo minta ketemu sekarang, gue batal jalan sama Perdana!" jawab Ilsa sewot dengan nada yang menyiratkan emosi terdalam.

"Maaf deh. Ini terakhir kali aku ngajak kamu ketemu malam ini." Jevan menatap Ilsa, sementara perempuan itu melihat buku menu di atas meja. "Kamu mau pesen apa?"

"Lo aja yang pilih. Gue males lihatnya. Banyak banget menunya."

Jevan tetap mempertahankan senyum melihat Ilsa masih galak. Dia sudah memilah makanan yang akan dipesannya sambil menunggu Ilsa. Kemudian, dia memanggil pelayan dan memesankan dua pesanan makanan dan minuman yang sama. Setelah pelayan itu mencatat dan pergi, Jevan kembali melihat Ilsa yang tengah mengedarkan pandangannya.

"Il..."

"Apaan?"

"Gimana menurut kamu soal kasusnya? Ada kemungkinan dia akan mengembalikan uang aku?"

"Kalau teman lo sama sekali nggak punya itikad baik merespons somasi yang kita layangkan, ya berarti dia nggak berniat mengembalikan uang lo."

"Misalkan suatu saat aku ingin mencabut kasusnya bisa, kan?"

Ilsa memelototi tajam mantan suaminya. Ibaratnya, silet yang tajamnya luar biasa bisa kalah sama tatapannya.

"Lo maunya apa sih? Jangan plin-plan dong! Lo kan udah tahu resikonya kalau dia nggak bersedia membayar utang lo, ya kita harus urus sampai tuntas. Biarpun dia teman lo, tapi uang yang lo kasih ke dia itu gede banget. Itu uang, Jevan. Bukan daun!"

"Iya, aku minta maaf. Bukan apa-apa, aku nggak tega."

Ilsa berdecak kasar. "Ini yang gue nggak suka dari lo. Kelewat baik. Dia aja tega nggak mengembalikan uang lo sampai batas waktu yang dia janjikan. Jangan terlalu baik jadi orang."

Jevan menarik kedua sudut bibirnya, menatap Ilsa yang memasang wajah marah, dan menikmati ocehan itu.

"Kamu masih kayak dulu, Il. Suka banget marah-marah karena kata kamu, aku terlalu baik sama orang."

Awalnya Ilsa kesal, ingin mengguyur Jevan pakai air putih di atas meja, tetapi ketika Jevan mengingatkannya soal kebisaannya, dia jadi merasa aneh. Buru-buru dia mengalihkan pandangan, menjauhi kontak mata dengan Jevan yang selalu menunjukkan senyum mematikannya.

Beruntungnya pesanan mereka datang. Ilsa bisa mengalihkan kalimat Jevan dengan fokus makan.

"Selamat makan, Il."

"Iya. Nggak usah nawarin juga gue mau makan."

Ilsa lebih dulu menyantap makanannya. Setelah makanan menyapa lidah, Ilsa buru-buru menarik makanan Jevan.

"Jangan dimakan. Ini ada rasa kacang."

"Tadi kayaknya aku udah bilang untuk nggak dipakai kacangnya."

Ilsa mengambil makanan Jevan, mencicipi pesanan yang sama dan ternyata rasa kacang ada di pesanan Jevan. Dengan cepat, Ilsa memanggil pelayan setempat.

"Ya, Bu? Ada yang bisa dibantu?" tanya pelayan itu dengan sopan.

"Kamu gimana sih? Bukannya tadi udah dibilang yang satu jangan pakai kacang? Kenapa dua-duanya dikasih kacang? Emang nggak dicatat? Udah tahu suami saya alergi kacang. Kalau suami saya mati gara-gara kelalaian kamu gimana?"

Jevan kaget mendengar Ilsa menyebutnya suaminya. Dulu Ilsa sering marah-marah sama pelayan restoran karena lupa untuk tidak memasukkan kacang dalam makanan yang dipesan. Entah itu bumbu, atau kacang matang. Jevan alergi kacang. Kalau makan makanan yang ada kacangnya sedikit saja, dia bisa sesak napas dan fatalnya meninggal. Dia tidak tahu setelah sembilan tahun berlalu, Ilsa masih hafal dengan alerginya.

"Il, nggak pa-pa. Aku belum makan kok," ucap Jevan berusaha menenangkan.

Ilsa baru sadar sama kata-kata yang keluar dari mulutnya. Kenapa dia menyebut Jevan suaminya? Mereka kan sudah pisah! Aduh, mulut gila!

Selagi Ilsa memikirkan kata-katanya, Jevan menyuruh pelayannya pergi dan mengatakan tidak apa-apa.

"Jadi, aku masih suami kamu?"

Ilsa membersihkan kerongkongannya dengan air putih. Sialan! Jevan pasti kesenangan dia bilang begitu. "Nggak, itu salah nyebut. Harusnya bilang pembantu tapi kejauhan."

"Aku senang meskipun aku tahu itu cuma refleks. Aku juga berharap masih di status itu, tapi sayangnya—"

"Jevan?"

Baik Jevan maupun Ilsa menoleh pada sosok yang menginterupsi pembicaraan mereka.

Seketika itu mata Ilsa menyalang seperti kobaran api. Bagaimana tidak kalau yang dilihatnya ada sosok perempuan yang membuat pernikahannya hancur berantakan!

"Marie? What are you doing here?"

"Aku mau makan bareng sama pacarku nih," jawab Marie sambil tersenyum. Dia bisa bicara bahasa Indonesia meskipun logatnya masih logat luar. Tentu Jevan yang mengajarinya bahasa Indonesia. "Oh, ada Ilsa. Ini bener Ilsa, kan?"

Ilsa diam tak menjawab, tetap memasang wajah jutek. Mungkin Marie sendiri sadar kalau dia menunjukkan tatapan tidak suka.

"Iya, ini Ilsa. Kamu masih inget aja. Aku pikir kamu udah lupa sama wajahnya Ilsa," sahut Jevan. Dia melirik Ilsa yang tampak tak bersahabat. "Il, ini Marie. Kamu masih inget, kan?"

"Iya, inget. Pelakor."

Marie agak bingung mendengar kata-kata terakhir Ilsa. Tetapi, dia tidak peduli. "Jadi kalian udah bersama lagi?"

"Nggak. Ini gara-gara lu, Maemunah."

Jevan melirik Ilsa, dan telinganya belum tuli untuk mendengar jawaban paling menggelikan itu. Jevan menahan tawa, lalu pandangannya kembali melihat Marie.

"Nggak, Ilsa jadi pengacaraku."

"Ah, soal yang itu. Aku ingat kamu cerita kemarin. Ya udah ya, aku mau samper pacarku dulu. Dia duduk di sana tuh," ucap Marie sembari menunjuk sosok perempuan yang terduduk di bangku sendiri, dan jaraknya hanya beberapa meja dari tempat mereka.

Kehadiran Marie bukan semata-mata kebetulan. Jevan meminta Marie mengikuti semua instruksinya supaya dia bisa menjelaskan yang sempat tertunda selama sembilan tahun ini. Dan perempuan yang dibawa Marie memang pacarnya. Keduanya sedang berlibur ke Jakarta jadi Jevan berkesempatan meminta bantuannya. Ya, seharusnya memang dari dulu dia meminta bantuan Marie.

Ilsa melirik dari ekor matanya. Dia terkejut melihat Marie menunjuk perempuan sebagai pacarnya. Takut salah melihat, Ilsa meneleng sedikit setelah Marie beranjak pergi. Yang dilihat matanya tak salah. Marie menggenggam tangan perempuan yang tak kalah cantik darinya.

"Marie nggak suka sama laki-laki dari dulu. Kamu tahu maksud aku," jelas Jevan setelah melihat perubahan ekspresi Ilsa.

Ilsa melihat Jevan dengan tatapan tidak percaya. "Bohong. Buktinya dia nganter lo pulang waktu itu. Mana rangkul lo segala."

"Il, nganter pulang bukan berarti aku selingkuh. Marie nggak pernah tertarik sama laki-laki. Semua teman aku yang laki-laki pada mabuk dan mereka nggak mungkin nganter aku. Kalau kamu nggak percaya, ya udah. Tapi aku nggak selingkuh. Ini yang mau aku jelasin ke kamu, tapi kamu ngotot minta cerai," jelas Jevan panjang lebar.

Ilsa diam membisu. Ada rasa sesak muncul di dadanya. Benarkah yang dikatakan Jevan?

"Coba dulu kamu kasih kesempatan ke aku, mungkin kita nggak akan begini. Aku nggak mungkin mengkhianati kamu. Kenapa? Karena aku sayang banget sama kamu, Il."

Ilsa bangun dari tempat duduknya. Dia tidak bisa mempercayai Jevan. "Bohong. Gue nggak percaya."

"Kamu tahu kenapa kita pisah? Itu karena keegoisan kamu." Jevan mulai kesal. "Aku mau jelasin, tapi kamu nolak. Kamu kekeuh sama keinginan kamu tanpa mikirin perasaan aku. Selama sembilan tahun ini, aku nggak pernah pacaran sama yang lain karena nggak bisa lupain kamu gitu aja. Aku dihantui perasaan nyesel karena nggak bisa jelasin ke kamu. Giliran aku udah jelasin, kamu bilang bohong. Apa nggak bisa sedikit aja kamu hilangin ego kamu, Il?"

"Gue nggak mau lihat lo lagi." Ilsa bergegas pergi. Hatinya percaya, tetapi egonya menolak.

Jadi selama ini, Jevan tidak selingkuh darinya? Mereka pisah karena keegoisannya? Tidak mungkin. Ilsa berusaha mengusir pertanyaan-pertanyaan di kepalanya, tetapi hatinya terlanjur mempercayai Jevan.

Ya, Tuhan...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro