Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Ilsa mengalihkan pandangan ketika Jevan tak henti-hentinya memperlihatkan keseriusan dari matanya. Alih-alih ingin menghindar, wajah yang menempel di jendela mobil mengagetkan Ilsa.

"Astaga! Dedemit!" pekik Ilsa kaget.

Jevin menempelkan wajahnya, membuat hidung mancung itu terlihat seperti hidung babi, dan bibirnya menempel pada kaca jendela. Ilsa tidak paham lagi kenapa ada manusia kayak Jevin di dunia ini.

"Cieeee mangtap mangtap di mobil," ledek Jevin dengan suaranya yang cukup keras, nyaring, dan mengganggu.

Sontak, Jevan membuka kaca jendela hingga membuat Jevin mundur dua langkah. Soalnya Jevin takut dipukul Ilsa.

"Ngapain sih? Bikin kotor jendela mobil aja," tanya Jevan kesal. Baru juga mobilnya dicuci kemarin, sekarang malah dikotorin adiknya. "Udah ketemu Hayra belum?"

"Mau gangguin lo berdua. Gue sama Jevon nungguin kayak jomblo lumutan. Eh, ternyata lo berdua malah mesra-mesraan di mobil," jawab Jevin kembali meledek. "Hayra lagi sibuk jadi nggak bisa ketemu."

"Sibuk ngapain? Pergi ke pengadilan Jaksel? Godain jaksa di sana berarti," balas Ilsa dengan senyum penuh arti.

"Nggak mungkin Hayra godain jaksa. Bukan tipe dia."

"Lo nggak akan tahu sifat asli pacar lo kalau belum nikah sama dia," ucap Ilsa menyindir. Dunia pun pasti tahu siapa yang sedang disindir olehnya.

"Lo nyindir Jevan nih?"

"Yang merasa aja." Ilsa menarik kakinya, dan merapikan roknya yang sempat terangkat lalu mengembalikan jaketnya pada Jevan. "Thank you. Gue bisa jalan sendiri sekarang."

Setelah Ilsa turun dari mobil, dia segera melangkah meski terpincang-pincang. Baik Jevin maupun Jevan berusaha menawarkan jasa mereka membantu tetapi Ilsa menolak. Ketika Jevon yang menolong, Ilsa tidak keberatan.

"Gue nggak ngerti lagi kenapa mantan bini lo modelannya begitu. Lo masih cinta lagi. Hebat banget," gumam Jevin berbisik.

"Soalnya dia spesial. Nggak ada yang kayak Ilsa." Jevan senyam-senyum meskipun Ilsa sudah semakin jauh.

Jevin yang berada di sebelahnya langsung melongo. "Gila, gila, dikasih apa sih sama Ilsa sampai sebegininya? Mengherankan banget." Lalu Jevin mendaratkan telapak tangannya pada kening Jevan, dan kakaknya baik-baik saja. Ya, hanya sedikit gila karena cinta.

* * *

Tidak seperti kemarin yang direpotkan oleh kehadiran Jevin dan Jevon, hari ini Jevan datang sendirian ke kantor. Wajahnya harap-harap cemas memandangi Ilsa yang berfokus dengan berkas-berkas yang diberikan olehnya.

Berdasarkan kronologi yang ditulis, Jevan meminjamkan uang kepada temannya saat berada di Jakarta—tepatnya tiga bulan yang lalu. Kepulangan Jevan baru sekali ini setelah sebelumnya sempat pulang bertahun-tahun lalu ketika mengurus perceraian dan akhirnya kembali lagi ke Amsterdam dan menetap di sana. Dari informasi yang diketahui, Jevan kembali ke Indonesia dalam rangka urusan bisnis dengan temannya yang lain yang berada di Jakarta. Melalui celotehan Jevin kemarin, dia mengetahui Jevan memiliki usaha restoran di Amsterdam yang menjual makanan Indonesia. Dia tidak akan kaget karena ayahnya Jevan pengusaha restoran yang menjual masakan Sunda. Ada banyak restoran yang telah dihasilkan ayahnya Jevan di seluruh Indonesia. Tak salah jika jiwa bisnis mengalir di dalam diri Jevan. Di samping soal usaha yang dimiliki mantan suaminya, rupanya Jevan tidak lagi melanjutkan kuliah seni yang diambilnya dulu, melainkan pindah mengambil jurusan ekonomi dan sudah menyandang gelar S1-nya.

Pinjaman yang diberikan Jevan bukanlah nominal kecil tetapi sangat besar yakni, satu miliar. Itulah kenapa temannya memberikan jaminan sertifikat rumah jika sewaktu-waktu tidak menjalankan kewajibannya untuk membayar hutang. Temannya Jevan mengatakan akan membayar hutang pada bulan berikutnya tapi hingga dua bulan berlalu hanya sebatas janji semata dan tidak ada pembicaraan lagi selama dua minggu belakang.

Menurut Miko hawa kantor sudah sepanas ayam kalkun yang baru matang dari oven. Miko merasakan sendiri atmosfer perang dari sorot mata Ilsa, dan sikapnya yang rada kejam. Jevan yang pembawannya lebih tenang tidak terlihat terusik meskipun Ilsa tampak acuh tak acuh mengurus kasusnya. Miko bersyukur dia mengajak Ilsa dan Jevan ke ruangannya untuk membahas kasus yang diajukan. Jadinya peperangan ini tidak perlu ditonton karyawan lain.

"Kenapa sih lo masih bego aja mau ditipu teman sendiri?"

Pertanyaan sadis nan blak-blakan Ilsa muncul begitu Ilsa selesai memeriksa berkas. Miko yang ada bersama mereka langsung geleng-geleng kepala.

"Dia bilang butuh uang untuk usahanya."

Ilsa berdecak. "Butuh uang kata lo? Dia pinjam uang lo dalam nominal yang besar. Katanya mau ganti di bulan berikutnya setelah pinjam uang tapi nyatanya mana? Dia nggak ganti sampai sekarang. Berarti lo bego. Mau aja dibego-begoin."

Miko menyenggol bahu Ilsa. "Lebih lembut dikit dong, Il."

"Lo pikir gue tukang pijat bisa request lebih lembut? Jangan aneh-aneh deh," balas Ilsa dengan nada sewot.

"Terus gimana menurut Bu Ilsa?"

"Teman lo udah wanprestasi karena nggak bayar kewajibannya seperti yang diajanjikan. Kita layangkan somasi lebih dulu untuk dia," jawab Ilsa."Dan nggak usah panggil gue Bu Ilsa."

Miko mengusap wajahnya kasar. Mencoba sabar dan berusaha menjadi penengah meskipun tidak berhasil. "Il, lebih sopan dong ngomongnya. Ini kantor. Bersikaplah baik seperti lo ngomong sama klien yang lain," bisik Miko.

"Khusus klien yang satu ini nggak bisa," balas Ilsa jutek.

"Nggak pa-pa, Pak Miko. Lalu langkah selanjutnya setelah itu?" tanya Jevan.

"Kita liat respons teman lo. Kalau nggak ada respons, kita layangkan lagi somasi kedua." Ilsa bangun dari tempat duduknya. "Udah ya, gue cuma mau bantu sampai sini. Sisanya biar Robert yang urus kasusnya."

"Eh, Il. Jangan gitu dong. Bukannya udah sepakat lo yang menangani kasus ini?" bujuk Miko.

"Siapa yang bilang? Gue belum tanda tangan surat kuasa," balas Ilsa sambil merapikan blouse-nya. Surat kuasa yang dimaksud adalah surat yang menyatakan bahwa Ilsa menjadi pengacara Jevan dalam kasus yang ditangani. Namun, Ilsa belum menandatanganinya. Menit selanjutnya dia melenggang pergi meninggalkan ruangan dengan pamit seadanya. 

Miko menghela napas pasrah. Sementara Jevan, dia langsung menyusul Ilsa yang sudah meninggalkan ruangan.

Selagi menunggu lift, Ilsa melihat ponselnya. Sang pacar mengabari akan ada operasi dan minta doanya agar berjalan lancar. Dia segera membalas pesan itu namun, tiba-tiba dia merasakan sentuhan pada lengannya.

"Il, apa kamu nggak mau menangani kasus aku?"

Ilsa menepis kasar tangan Jevan yang mampir di lengannya. Ekspresi wajahnya spontan berubah tidak suka. "Nggak. Jangan ganggu gue lagi."

"Aku nggak minta apa-apa sama kamu selain bantukasus ini. Aku nggak yakin sama orang lain karena aku lebih yakin sama kamu. Kalau kamu masih nggak terima karena status kita dulu, anggap aja aku nggak pernah ada di hidup kamu. But, please... help me now," pinta Jevan setengah memohon.

Ilsa berdecak kecil. Matanya mengamati raut wajah Jevan yang menunjukkan kepasrahan bercampur memohon. Entah kenapa ada perasaan tidak tega yang lewat di hatinya. Namun, bibir berkata tak sejalan. "Nggak. Gue tetep nggak akan bantuin lo."

Tak ada yang bisa Jevan lakukan selain menghela napas dan pasrah. Ilsa yang melihat Jevan sepasrah itu agak merasa bersalah.

"Kalau gue bersedia menjadi pengacara lo dalam kasus ini, apa yang gue dapat dari lo?"

Jevan terkejut namun masih mampu menguasai diri. Dia buru-buru menjawab, "Everything. Apa pun itu."

"Apa pun?"

"Iya. Apa pun aku kasih."

Ilsa menarik senyum penuh arti. "Oke, gue bersedia. Setelah kasus ini selesai, jangan pernah muncul lagi di depan gue. Pergi jauh, kalau perlu musnah sekalian."

Senyum di wajah Jevan langsung redup. Dia sudah senang ketika bertemu Ilsa yang sulit dihubungi sejak mereka bercerai, dan teman-teman Ilsa tak ada yang berani memberitahu nomor Ilsa dan alamat baru Ilsa. Jika dia menuruti permintaan Ilsa, ini berarti dia tak bisa lagi mendekati Ilsa walaupun hanya sebagai teman.

"Gimana?"

Jevan diam selama beberapa menit. Setelah berpikir matang-matang akhirnya Jevan menjawab, "Ya. Aku akan melakukan yang kamu minta."

"Pilihan yang bagus."

"Tapi, aku juga punya permintaan."

"Lo nggak berhak minta sesuatu."

"Bukan sebagai Jevan, tapi sebagai klien kamu. Aku punya hak itu."

Ilsa menaikkan satu alisnya. "Ya udah. Apa?"

"Besok aku nggak datang ke sini jadi temui aku di restoran," ucap Jevan, yang kemudian segera memasuki lift. Satu tangannya menahan tombol pintu agar tidak tertutup. Melihat Ilsa tampak kesal, Jevan melanjutkan, "Klien kamu berhak minta ketemu di mana aja, kan? Selama nggak meminta kamu aneh-aneh, aku yakin kamu berhak menuruti permintaan klien kamu. See you tomorrow, Bu Ilsa."

Sial! Ilsa malah kena jebakan Jevan juga. Seharusnya dia tidak setuju membiarkan Jevan menjadi kliennya! Seiring pintu lift yang tertutup Ilsa berteriak, "Dasar monyet!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro