Chapter 3
Hal pertama yang Ilsa lihat setelah tiba di parkiran adalah mobil mantan suaminya yang dikendarai kemarin. Sialnya, dia malah parkir bersebelahan dengan mobil Jevan. Andai dia ingat lebih awal, dia akan cari parkiran lain. Parahnya lagi, Jevan baru turun dari mobil sepertinya.
"Pagi, Bu Ilsa," sapa Jevan dengan senyum ramah seperti biasa.
Ilsa mengabaikan panggilan itu.
"Il, jangan jutek-jutek dong sama Jevan. Kasihan dia dijutekin lo sepagi ini," sela suara lain.
Berbeda dengan reaksi Ilsa waktu Jevan menyapanya, kali ini ekspresi Ilsa berubah cerah seperti baru mendapat lotre dan tersenyum lebar. Yang lebih mengejutkan ketika Ilsa berlari menghampiri si pemilik suara. "JEVON!" Lalu, berakhir memeluknya.
Jevin yang kebetulan ikut-ikutan mengantar langsung menyenggol bahu Jevan. "Mantan istri lo kenapa sih? Kalau sama gue sewot mulu, sama lo benci banget, tapi sama Jevon ramahnya ampunan. Pilkas banget. Mau gue selengkat aja tuh tadi pas dia lari," bisik Jevin.
Jevan tidak tahu kenapa ada perbedaan yang cukup signifikan. Akan tetapi, mungkin dia dapat menyimpulkan kalau Ilsa merasa berterima kasih kepada Jevon. Kalau bukan karena bantuan laki-laki itu, mereka tidak akan menikah. Juga, Ilsa sudah menganggap Jevon kakaknya sendiri karena Jevon paling dewasa.
"Il, lo nggak mau peluk yang ini juga? Kasihan tuh Jevan lihatin doang. Ngiler dia," seru Jevin jahil.
Kalimat itu mengakhiri pelukan keduanya, Ilsa menarik diri dan melempar tatapan tajam ke arah Jevin.
"Lo mau gue pukul ya?"
Jevin menggeleng takut, dan bersembunyi di balik tubuh Jevan.
"Darah tinggi lo kalau marah mulu," ujar Jevin, masih sempat-sempatnya meladeni.
Ilsa berdecak. Lengan kemejanya digulung sebatas siku, dan bertolak pinggang dengan gagahnya. "Sini lo! Banyak mulut. Emang bikin emosi ya!"
Niat hati cuma bercanda, tetapi Ilsa meladeni Jevin yang mati-matian ngumpet di belakang tubuh Jevan. Ketika Ilsa hampir menarik kerah kemeja Jevin, laki-laki itu malah mendorong tubuh Jevan ke depan hingga akhirnya Ilsa terdorong dan tersandung sepatu heels-nya sendiri. Ilsa pasti jatuh kalau Jevan tidak menahan lengannya. Keduanya saling memandang untuk beberapa saat sebelum Jevon berdeham keras.
"Aduh, gue kayak lagi liat telenovela," ledek Jevin makin menjadi.
Ilsa hendak mengejar Jevin yang sudah berpindah posisi ke sebelah Jevon, tetapi sapaan yang cukup keras menggagalkan niatnya.
"Pagi, Mbak Ilsa."
Jevan menarik tangannya dari lengan Ilsa. Sementar Ilsa segera berbalik badan dan maju selangkah mendapati sapaan itu.
"Eh, Gustav!"
"Baru dateng, Mbak? Kebetulan banget saya mau kasih oleh-oleh dari Aussie. Mami saya baru pulang dari sana."
"Oh, ya? Buat saya?"
"Nggak, Mbak. Buat Hayra." Gustav nyengir tanpa merasa bersalah.
Jevan dan Jevon menahan tawa. Sementara Jevin menaikkan satu alisnya. Ilsa, hampir saja meninju wajah Gustav kalau tidak ingat sedang puasa mukul orang.
"Eh, ngapain lo ngasih buat Hayra?" serobot Jevin sewot.
Gustav menatap Jevin, menyipitkan matanya lebih tajam. "Loh, Pak Jevan ada tiga? Yang mana nih yang asli?"
Ilsa menunjuk Jevin. "Itu namanya Jevin. Dia adiknya Jevan." Ilsa menyipitkan mata curiga kepada Jevin. "Lo kok kenal Hayra sih, Jev?"
"Lho, Mbak Ilsa udah kenal sama adiknya Pak Jevan? Kok ngomongnya akrab gitu?" Gustav menatap bingung. "Apa jangan-jangan udah saling kenal ya?"
Mampus! Ilsa mati kutu. Kenapa dia harus nanya di depan Gustav? Dia kan bisa nanya nanti. Kenapa mulutnya.... errrrr! Bego banget sih! Batinnya kesal.
Jevon mengambil alih situasi yang mulai canggung. Dia berkata, "Jevin ini calon tunangan Hayra. Dia baru aja kenalan sama Bu Ilsa. Kalau saya sendiri udah pernah kenalan sama Bu Ilsa waktu ambil kelas brevet pajak dulu."
Ilsa agak terkejut saat mengetahui Hayra—salah satu pegawai magang—calon tunangan Jevin. Apa mungkin Hayra yang memberitahu lawfirm ini agar dirinya bertemu dengan Jevan? Oke, Ilsa menginginkan jawaban jelas. Dia berharap setelah ini Hayra bisa memberinya penjelasan dan semoga saja jawabannya tidak seperti yang dibayangkan.
"Oh, gitu." Gustav manggut-manggut percaya, kemudian pandangannya beralih pada Jevin yang melototinya seolah ingin membunuh. "Eh, ini oleh-olehnya buat Mbak Ilsa aja. Maaf ya Pak Jevin, saya nggak jadi kasih oleh-olehnya kok," kata Gustav, yang kemudian segera pergi setelah memberikan paper bag pada Ilsa.
"Gileeee, laku juga pacar lo. Lagian lo tengil kayak ulat keket sih. Bisa diserobot yang lain kalau lo masih kayak badut," canda Jevon meledek.
"Sialan lo!" sahut Jevin dibarengi pukulan ringan pada bahu kakaknya.
Ilsa geleng-geleng kepala. "Heran, kok bisa sih Hayra mau sama lo?"
"Ya sama aja kayak Jevan. Kok bisa sih dia sama lo? Eh, tapi gue lupa. Kalian kan udah cerai," balas Jevin tak kalah sengit.
Ilsa kesal mendengarnya. Dengan gerakan cepat Ilsa melepas heels-nya dan melempar ke arah Jevin sampai ujung heels-nya itu nyaris mengenai kepala Jevin kalau tidak merunduk.
"Gelo maneh!" teriak Jevin. Mulailah bahasa Sundanya keluar.
"Lo yang gelo!" balas Ilsa tak mau kalah.
Jevan dan Jevon geleng-geleng kepala. Dari zaman dulu waktu pernikahan berjalan sampai sekarang, Ilsa dan Jevin paling sering main ledek-ledekan dan berdebat. Tetapi, bukan ledekan yang berujung pertengkaran serius, hanya debat jahil yang berujung pada emosi sesaat.
"Lo kayak anak SD aja. Udah ah, kasihan Ilsa. Mending kita masuk ke dalam cari Hayra sekalian sebelum disenyumin laki-laki lain. Nggak mau kan Hayra digodain laki-laki lain?" Jevon membujuk adiknya. Ajakannya berhasil karena Jevin langsung bersemangat melenggang pergi dan melupakan perdebatannya dengan Ilsa.
Ilsa berjalan menuju tempat Jevon berdiri sebelumnya. Baru beberapa langkah, dia meringis sakit. Jevan yang masih berada di sana langsung menoleh.
"Kenapa, Il?"
"Nggak pa-pa."
"Yakin?"
"Iya. Nggak usah berisik."
Ilsa mencoba melangkah kembali namun rasa sakit kembali menjalar. Sepertinya akibat tersandung tadi kakinya terkilir. "Kenapa sih kaki ini berulah? Bego banget!" dumelnya bermonolog sendiri.
"Kayaknya kaki kamu sakit. Coba aku liat."
Jevan Berjongkok, menyentuh bagian pergelangan kaki Ilsa dan perempuan itu meringis sambil menendang kecil. Untung saja tendangan itu tidak sampai mengenai wajahnya.
"Sakit kan? Keliatannya terkilir. Aku pijat ya? Bentar aja biar urat-uratnya nggak kaku," ucap Jevan sembari berdiri kembali.
"Nggak usah. Gue bisa sendiri," tolak Ilsa mentah-mentah. Dengan sok tahu, Ilsa melangkah namun kali ini sakitnya semakin menjadi.
"Mau sampai kapan sih kamu bersikap kayak gini, Il? Kalau kamu benci banget sama aku nggak pa-pa tapi jangan nolak bantuan aku. Toh, aku nawarin bantuan supaya kaki kamu nggak terlalu sakit."
Ilsa diam sesaat. Setelah penuh pertimbangan Ilsa akhirnya mengangguk setuju, membiarkan Jevan memijat kakinya.
"Kita ke mobil. Tenang aja, aku nggak akan apa-apain kamu kok," kata Jevan. Lalu tangannya meraih pundak Ilsa dan merangkulnya. "Maaf ya. Semoga kamu ngerti kenapa dirangkul."
Ilsa diam tak menjawab. Setelah duduk, Ilsa mengedarkan pandangannya melihat seisi mobil Jevan yang rapi. Mantan suaminya masih sama, tidak ada kotoran sedikit pun. Pandangan Ilsa kemudian terpaku pada foto polaroid yang digantung. Foto itu adalah foto dirinya ketika mencium pipi Jevan tepat di hari pernikahan mereka. Jadi, Jevan masih menyimpannya dan memajangnya sepanjang waktu?
"Lo masih simpan foto itu?" tanya Ilsa iseng.
Jevan yang sibuk mencari minyak kayu putih di dalam kotak P3K yang diambilnya langsung mengerti maksud Ilsa. Pandangannya beralih pada foto yang menggantung dan tangannya sigap menutupi, nyaris menurunkan jika Ilsa tidak menahan tangannya.
"Nggak usah dilepas. Itu hak lo mau pajang foto kita atau nggak."
Jevan tetap menurunkan fotonya. Dia juga merasa tidak enak jika ada yang menyadari foto yang menggantung di mobilnya adalah foto mereka, Ilsa bisa memakinya. "Nggak pa-pa, emang mau aku turunin. Nanti bisa timbulin gosip."
"Good deh kalau gitu." Ilsa melirik kotak berwarna pink yang dijadikan kotak obat-obatan. "Lo masih simpan kotak itu juga? Gue pikir udah dibuang. Warnanya udah agak pudar."
Jevan ketahuan lagi masih menyimpan barang berbau Ilsa. Kotak ini diberikan Ilsa sewaktu mereka pacaran. Katanya supaya Jevan ingat Ilsa yang menyukai warna pink. Astaga, Jevan benar-benar malu!
"Masih bisa digunain jadi kenapa harus dibuang?" Jevan kemudian berhasil menemukan minyak kayu putih. "Maaf ya. Ini pasti bakal sakit sedikit tapi tolong tahan sebentar," lanjutnya.
Sebelum Jevan mengurut pergelangan kaki Ilsa, dia menutupi paha Ilsa yang mengenakan rok dengan jaket jins miliknya. Setelah itu, Jevan menaikkan satu kaki Ilsa yang sakit ke atas pahanya dan mulai mengurut pergelangan kaki Ilsa perlahan. "Kalau sakit bilang ya, supaya aku bisa lebih pelan lagi."
Ilsa diam mengamati Jevan yang mengurut pergelangan kakinya. Jevan masih selembut dan sebaik dulu. Tindakan yang dilakukan Jevan membuatnya teringat akan masa-masa dulu. Tetapi dia tidak ingin mengenang masa itu dan memilih melarikan pandangan pada seisi mobil yang sunyi.
"Hening banget. Dengerin lagu dong," pinta Ilsa dengan nada memaksa.
Jevan menyalakan lagu sesuai keinginan Ilsa. Sialnya, lagu yang diputar adalah lagu-lagu hasil pilihan Ilsa dulu.
"Lagunya Atomic Kitten ya? Yang Cradle?" tebak Ilsa begitu lagu dinyalakan. Jevan mengangguk.
"Apa jangan-jangan ini kumpulan lagu yang gue kasih ke lo dulu?" tebak Ilsa lagi. Jevan kembali mengangguk.
"Gue nggak ngerti kenapa lo masih simpan semua hal tentang kita. Aneh—"
Jevan menyela sebelum Ilsa menyelesaikan kata-katanya. "Bukan aneh, tapi karena aku masih cinta sama kamu, Il. Perasaan aku belum berubah. Masih untuk kamu."
* * *
Note:
Brevet pajak merupakan tingkatan kursus atau pelatihan pajak dengan pembahasan dasar sampai dengan ketentuan perpajakan (pajak penghasilan) Orang Pribadi (OP).
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro