Chapter 2
Ilsa menenggelamkan wajahnya di bantal, meredam teriakan kencangnya di sana sambil meremas kedua ujung bantal. Kakinya bergerak-gerak seolah memukul kasur yang empuk.
"Sialan! Dasar kutu!"
Dina Wiyatko-sahabat baik Ilsa yang kebetulan datang sepulang jam kerja langsung geleng-geleng kepala. Mendengar cerita heboh sahabatnya di telepon mengenai mantan suaminya, berhasil mengumpulkan rasa tidak sabar agar menemui Ilsa.
"Bumi lagi gonjang-ganjing nih karena lo akhirnya ketemu sama Jevan. After nine years, and after so many things you've been through alone," komen Dina.
Ilsa tambah menenggelamkan wajah ke bantal. Pukulan kecil bertubi-tubi mendarat sempurna di kasur. Andai kasurnya bisa bicara, pasti akan bilang kalau pukulan Ilsa sangat menyakitkan.
"Lupain rasa benci lo, Il. Sembilan tahun itu udah lama banget."
Ilsa mulai menarik diri, menoleh ke belakang, dan melempar tatapan setajam silet. Dengan kekesalan yang menjalar di tubuhnya, Ilsa melempar bantal ke arah Dina. Sialnya, Dina cepat tanggap sehingga lemparan itu berhasil ditangkap dengan baik.
"Lupain? Dia selingkuh! Mana bisa gue lupain gitu aja. Gila lo!" omel Ilsa dengan meninggikan nada bicaranya dua oktaf.
Satu alis Dina terangkat sempurna. "Ya, terus? Intinya lo kan udah cerai sama dia. Apalagi yang bikin lo keki?"
"Dia belum pernah minta maaf. Sekalipun nggak pernah! Apa dia nggak mikirin perasaan gue waktu dia selingkuh?"
"Gue paham perasaan lo. Tenang dulu. Lo bisa darah tinggi kalau ngomel mulu." Dina berusaha menenangkan tapi usahanya pasti sia-sia karena dia tahu wataknya Ilsa. "Tapi, kenapa nggak coba lo ceplosin aja? Bilang ke Jevan kalo dia harus minta maaf. Itu kan hutangnya dia," saran Dina dengan nada pelan.
"Males banget! Kayak pengemis maaf."
Dina mendesah kasar. "Kalau gitu jangan ngamuk-ngamuk kayak Hulk. Anggap aja Jevan orang asing."
"Gimana bisa? Tiap lihat mukanya dia tuh rasanya mau gue gebuk! Kalau perlu gue gebuk sekalian pakai sarung tinju!" Ilsa makin gemes. Tangannya spontan mengepal siap meninju wajah mantan suaminya itu.
Dalam khayalannya, dia berhasil meninju wajah Jevan sampai laki-laki itu jatuh tak berdaya. Bunyi 'ting' di ring tinju, dan kata-kata K.O menjadi akhir dari kemenangan telaknya. Ilsa langsung tersenyum puas.
"Dasar anak edan!" Dina melempar bantal sampai mengenai kepala Ilsa. "Lo pasti lagi ngebayangin gebukin Jevan dalam pikiran nggak waras lo itu kan?"
Ilsa yang tersadar dari khayalannya langsung nyengir. Dina paling tahu hobinya membayangkan banyak hal dalam pikiran rumitnya.
"Habisnya gue emosi. Sebel banget!"
Pintu yang terbuka berhasil membiarkan orang lain masuk. Ada suara yang terdengar ketika sosok yang datang bersandar pada pintu. "Sebel sama siapa sih?"
"Ow ow... ada batmannya Ilsa," goda Dina.
"Siapa sih yang bikin pacar aku ngedumel nggak jelas gini? Cemberut gitu. Tapi makin imut sih," ucap lelaki itu sambil duduk di pinggir tempat tidur. Jari-jari besarnya mencubit pipi Ilsa dengan gemasnya.
Lelaki itu Perdana Wirawan yang notabene adalah pacar Ilsa yang sudah menemaninya selama empat tahun.
"Nothing. Aku cuma kesel kamu nggak jemput aku." Ilsa berbohong. Kemudian memeluk Perdana dengan erat. "I miss you, Pineapple."
"Maaf ya kerjaan di rumah sakit lagi banyak banget," bisik Perdana. Setelah menarik diri, Perdana mengecup singkat kening Ilsa. "I miss you too, Apple."
"Eh, eh, kalian tuh sadar nggak sih gue masih di sini?" usik Dina iri.
"Eh iya, sori ya, Din." Perdana menarik tubuhnya dan membiarkan Ilsa memeluk lengannya dengan manja. "Tapi kalau begini aja boleh, kan?"
Dina memutar bola matanya. "Gue balik deh. Bisa-bisa kena virus iri, dengki, dan mau santet lo berdua kalau kelewat mesra." Lalu, Dina melambaikan tangan. "See you, guys!"
Sepeninggal Dina, keduanya kembali berpelukan selama beberapa saat. Selesai dengan adegan peluk-pelukan yang biasa dilakukan saat bertemu, Perdana menggenggam kedua tangan Ilsa.
"So, gimana hari ini? Ada kasus menarik apa yang bisa aku simak?" tanya Perdana.
"Nothing. But, aku dapat kasus baru. Soal penipuan," jawab Ilsa.
"Again? Kayaknya ini karena kamu udah expert banget di bidang itu. Penipuan kali ini kayak gimana? Would you tell me?"
"Nanti setelah kamu ceritain tentang permasalahan di rumah sakit. Ada masalah rumit apa yang kamu tangani hari ini?"
"Hm... gimana ya, kayaknya kalau nggak ada hadiah susah nih mau cerita," goda Perdana sambil mengusap dagunya.
"Bilang aja kamu mau dicium," cibir Ilsa.
Perdana tertawa kecil. Kemudian Ilsa mendaratkan kecupan kilat di bibir pacarnya. Seusai kecupan itu, Perdana mengambil inisiatif lebih besar dengan mencium mesra bibir Ilsa.
Kedatangan Perdana ke rumah Ilsa adalah kegiatan rutin sepulang kerja. Menurut Perdana mengobrol di telepon rasanya beda dengan ketemu langsung. Itulah kenapa Perdana bela-belain datang kalau ada waktu untuk mendengarkan hari yang dilalui Ilsa.
Setelah ciuman selesai, keduanya menempelkan kening masing-masing dan tersenyum lebar.
"I love you, Ilsa."
"Me too, P."
* * *
Mochaccino dan donat bertabur gula perpaduan yang pas untuk Jevan saat mengunjungi coffee shop. Tepat pada jam makan siang seperti sekarang, Jevan menemui Haikal dan Andra yang tak lain adalah sahabatnya.
"Gue nggak habis pikir Ilsa bisa sebenci itu sama lo. Ada apa sih di antara kalian? Selama sembilan tahun ini gue nggak pernah tahu alasan kalian cerai."
Percakapan mereka diawali pertanyaan Haikal yang blak-blak-an setelah membaca cerita Jevan di chat room whatsapp semalam.
"Padahal lo berdua maksa banget mau nikah. Gue pikir Ilsa bunting karena nikahnya tiba-tiba. Ternyata emang lo berdua udah ngebet," timpal Andra sedikit terkekeh.
Jevan kembali mengingat masa-masa bahagianya bersama Ilsa. Tepat di hari ulang tahun mereka berdua yang memiliki tanggal, bulan, dan tahun lahir yang sama, mereka meminta izin orangtua untuk menikah. Pada saat itu umur mereka baru menginjak tujuh belas tahun menjelang delapan belas tahun. Orangtua mereka sempat menentang karena menurut mereka pernikahan di usia muda masih tidak stabil. Namun, dengan tekad yang kuat keduanya mendapat restu. Mereka menikah dan lantas menetap di Amsterdam karena Ilsa diterima di Universitas bergengsi di sana. Keduanya bertahan selama satu tahun lebih sebelum akhirnya kata 'pisah' menjadi kenangan pahit di hidup mereka. Dan sekarang mereka bertemu lagi saat umur telah menginjak 28 tahun.
"Bayangin aja, nikah umur delapan belas tahun, maaan! Gue sih masih gonta-ganti pacar tapi Jevan setia banget sampai bersedia nikahin Ilsa yang dipacarin dia dari kelas satu SMA," tambah Haikal sambil terkekeh.
"Tapi nih ya, lo jujur deh. Kenapa sih kalian cerai?" tanya Andra. Nadanya berubah serius. Begitu juga raut wajahnya. Lalu diikuti oleh tatapan yang sama dari Haikal.
Ada hembusan napas kasar yang keluar dari mulutnya. "Ilsa ngira gue selingkuh," jawab Jevan akhirnya.
"Hah? Gimana? Coba lo jelasin sedetail-detailnya deh. Gue rada nggak paham," tanya Andra lagi.
"Waktu gue balik ngampus, gue diajak hangout sama temen-temen. Gue adu kuat minum sama salah satu temen gue sampai akhirnya gue mabuk. Terus Marie nganterin gue balik. Di situ gue dituduh selingkuh sama Ilsa. Gue nggak ingat apa yang kita ributin sampai gue dengar dia minta cerai. Keesokan paginya, dia udah hilang. Bawa semua baju, dan kopernya. Gue benar-benar nggak tahu kenapa bisa begitu," cerita Jevan. Wajah dan suaranya berubah sedih.
"Lo nggak jelasin ke Ilsa?"
"Gue berusaha. Tapi dia nggak mau. Tiba-tiba ada surat panggilan ke pengadilan karena dia ngajuin cerai. Dibawa mediasi pun, dia nolak. Dia kekeuh untuk cerai. Gue berusaha ngajak dia bicara untuk jelasin tapi dia nolak terus. Jadi apa lagi yang bisa gue lakukan?"
"Ilsa tuh egoisnya selangit. Keras kepalanya juga sekeras batu. Bahkan batu aja bisa keropos kena air, kalau Ilsa mah boro-boro. Gila ya, lo bisa bertahan sama dia. Salut gue, Bro!" Andra menepuk pundak sahabatnya bangga. "Berarti ini juga alasan lo nolak tiap diajak minum wine biar segelas doang. Trauma ya?"
Jevan mengangguk.
"Eh, bentar. Ini Marie yang ada di pikiran gue bukan sih? Maksudnya Marie yang gue kenal," sela Haikal.
"Iya, ini Marie yang lo kenal. Marie yang pernah liburan bareng kita. Marie yang nggak pernah naksir laki-laki. Marie sampai ngerasa bersalah dan bilang mau jelasin tapi gue bilang bisa urus sendiri," jelas Jevan.
"Kenyataannya lo nggak bisa urus sendiri," ledek Andra menertawakan.
"Faaak! Ternyata Ilsa cemburuin orang yang salah. Masa lesbi gitu dicemburuin. Heran deh, egonya digedein," sambung Haikal geleng-geleng tak percaya.
"Namanya juga Ilsa Fiorella. Manusia egois sejagat raya yang berhasil naklukin Jevan yang bucinnya selangit," timpal Andra tambah meledek.
"Eh, eh. Bahas Ilsa, itu bukannya Ilsa? Apa mata gue yang salah?" Haikal menyenggol bahu Andra yang bersampingan dengannya dan menepuk lengan Jevan yang duduk di depannya. "Itu bener mantan istri, lo kan? Sama siapa tuh?"
Jevan menoleh ke belakang, memandangi wajah yang terlihat dari samping. Dia pikir Haikal salah lihat, ternyata tidak. Perempuan itu memang Ilsa.
"Itu pacarnya ya? Instagram gue diblokir sama Ilsa setelah cerai sama lo jadi nggak tahu perkembangan hidupnya," tanya Haikal.
Jevan diam tak menjawab. Dia tidak tahu. Yang dia tahu, Ilsa kelihatan bahagia saat bersama lelaki yang tak pernah absen mengusap kepalanya. Lalu dia kembali melihat Haikal sebelum rasa cemburu datang.
"Bener itu pacarnya Ilsa! Doi dokter bedah termuda di Indonesia!" pekik Haikal.
"Tahu dari mana lo?" tanya Andra.
"Gue nanya Chika temen SMA kita sekaligus sahabatnya Ilsa. Warbiasaaaaa, Ilsa gebetnya nggak tanggung-tanggung. Mana udah empat tahun mereka pacaran," jawab Haikal sekaligus membeberkan info lainnya termasuk menunjukkan hasil screenshoot foto-foto Ilsa bersama pacarnya yang dikirimkan Chika.
"Lo gercep amat sih. Padahal yang mantan suaminya kan Jevan. Udah kayak wartawan gosip aja lo," ujar Andra sembari mengambil ponsel Haikal, lalu menunjukkan pada Jevan. "Tuh saingan lo. Paket komplit. Selera Ilsa udah bukan lo lagi."
Jevan mengamati foto yang ditunjukkan Andra. Melihat pacarnya Ilsa tampak meletakkan keningnya di pundak Ilsa, dan Ilsa tersenyum--membuat dadanya sesak. Lebih hancur lagi ketika membaca caption-nya.
@ilsafiorella: No matter how much i fall, you always be there for me. You are so perfect to me. I love you so much, P. Happy 4 years together. Forever. Always. Love, yours♥
"Ilsa manis ya sama pacarnya. Masih mau nungguin Ilsa, Bro?" Haikal memanas-manasi. "Kalau gue jadi Ilsa sih mending sama dokter bedah itu. Much better dan gentle banget kelihatannya. Tuh lihat aja. Ilsa dirangkul mulu pundaknya."
"Eh, bahas Ilsa. Orangnya jalan ke sini," sela Andra.
Jevan berusaha tenang meskipun kepalanya ingin menoleh. Begitu mendengar Andra menyapa, barulah Jevan melirik.
"Eh, Ilsa. Ketemu di sini ternyata. Apa kabar nih?" sapa Andra penuh basa-basi.
"Oh, Andra. Baik kok," balas Ilsa agak jutek namun tetap memaksakan senyum. Selagi melihat Andra, diam-diam Ilsa menyadari keberadaan Jevan hanya dengan melihat arloji Rolex yang dipakai mantan suaminya kemarin.
"Hai, Ilsa." Haikal ikut-ikutan menyapa.
Ilsa menyapa balik. Lalu tangannya memeluk lengan Perdana di sampingnya. "Guys kenalin, ini Perdana. Pacar gue."
Andra dan Haikal melempar tatap. Mereka tidak masalah menyambut uluran tangan Perdana. Yang mereka khawatirkan malah Jevan yang jelas-jelas masih memendam rasa untuk Ilsa. Namun, mereka tidak menduga ketika Jevan bersedia berjabatan tangan dengan Perdana.
"Ini mantan suami yang ke berapa, Il?" tanya Jevan jahil.
Ilsa memelototi Jevan. Dia masih berusaha sabar meskipun tangannya gatal ingin memukul wajah itu. "Apaan sih lo. Bisa aja bercandanya," balas Ilsa pura-pura santai dan tertawa kecil.
"Doain aja saya sama Ilsa ke pelaminan. Supaya saya jadi suami pertama dan terakhirnya," kata Perdana sambil tersenyum sambil sesekali melempar tatapan penuh cinta pada Ilsa.
Tidak hanya Jevan yang mengerti, tetapi Haikal dan Andra. Kalimat Perdana sudah membuktikan kalau Ilsa belum memberitahu soal pernikahan terdahulunya.
"Eh iya, aku ke kamar mandi sebentar ya. Kamu duduk bareng mereka aja dulu. Oke?" Ilsa memberi kode melalui mata pada Jevan untuk mengikutinya. Ada hal yang perlu dia bicarakan dengan mantan suami sialannya itu.
Ilsa sudah melenggang pergi. Beberapa menit kemudian Ilsa melihat Jevan menghampirinya di persimpangan menuju kamar mandi. Jevan belum mengatakan apa-apa tapi Ilsa sudah melotot sambil berkacak pinggang.
"Lo ya, kenapa sih gue harus ketemu lo lagi dan lo lagi?" Ilsa meninggikan suaranya beberapa oktaf sampai orang-orang yang berseliweran melihat ke arah mereka. "Lo nguntit gue ya?"
"Il, dunia ini luas. Ngapain aku nguntit kamu? Apa untungnya?" balas Jevan santai.
"Siapa tahu lo mau ngerusak hari baik gue. Contohnya barusan. Apa sih maksud lo ngomong kayak gitu di depan Perdana?"
"Ada yang salah? Kamu harusnya bilang sama dia kalau kamu pernah nikah. Kamu nggak kasihan sama dia udah dibohongin sama kamu selama empat tahun ini?" balas Jevan tak kalah kesal.
"Itu bukan urusan lo!"
"Ayolah, Ilsa. Hubungan itu dibangun atas keterbukaan. Kalau kamu aja nggak terbuka, gimana ke depannya?"
"Shut your mouth! Ini bukan tentang kita lagi. Jadi jangan bicara seolah-olah lo tahu tentang hubungan! Pernikahan kita aja gagal!"
Jevan memelankan suaranya. "Itu karena kamu nggak mau denger penjelasan aku."
"Lo makan tuh penjelasan. Gue nggak butuh penjelasan abal-abal. Kebanyakan alasan tahu nggak!" Ilsa makin menunjukkan kobaran api di sorot matanya. "Pokoknya jangan ikut campur urusan gue. Lo udah bukan siapa-siapa!"
Jevan mendesah kasar, mengusap wajahnya, dan memandangi kepergian Ilsa. Lalu dia kembali ke tempatnya. Tak ada lagi Ilsa dan pacarnya.
"Kantor lo deket kantornya Ilsa sih, jadi sial deh tuh ketemu segala," ucap Haikal pada Andra.
Andra mengangkat bahunya. "Mana gue tahu dia bakal ke sini."
Keduanya tak lagi bicara dan melihat Jevan yang diam. Air mukanya berubah drastis.
"Jev, are you okay?" tanya Andra memastikan.
"Yeah... I'm okay," jawab Jevan sambil memaksakan senyum.
Ya, okay yang sebaliknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro