Hello, Ex - Boss - 7
Update lagi❤❤
Terima kasih untuk komen dan vote kalian❤🤗
#Playlist: The Shires - I See Stars
•
•
Pukul sepuluh malam Cakrawala pergi ke rumah sakit Harapan Cinta. Sosok yang dia jenguk adalah Sinar. Perempuan itu terbaring lemah dengan wajah lebam dan tubuh penuh luka. Sinar sudah tidur sejak dia datang. Asia memaki-maki saat menghubunginya sampai membuat dia bingung sendiri dengan apa yang terjadi, karena Asia langsung mengumpatinya dengan banyak kalimat penuh kekesalan. Cakrawala paham sekarang kenapa Asia mengomel.
Beberapa menit berdiri memandangi Sinar, dia menoleh ke arah pintu, yang mana bertepatan dengan hadirnya Asia. Dia belum bertemu dengan Asia sejak datang dan sekarang sepupunya memanggil-manggilnya dengan ulapan tangan. Cakrawala mengikuti permintaan Asia. Belum juga bertanya Sinar kenapa, dia lebih dulu mendengar ocehan Asia untuk kesekian kalinya.
"Lo gimana, sih, jadi suaminya? Masa nggak anterin dia pulang ke rumah? Lo sibuk apa, sih? Apa ketemu Erine sampai nggak tau Sinar dipukulin kakaknya? Suami macam apa lo?!"
Satu alis Cakrawala terangkat sempurna. "Dipukulin kakaknya?"
"Iya. Tunggu sebentar." Asia memicingkan mata. "Kata Bawika, lo nikah sama Sinar dua bulan yang lalu. Kapan? Karena yang gue tau dua bulan lalu, dia babak belur karena dipukulin kakaknya. Kalo kalian nikah, gue nggak pernah lihat lo muncul pas dia dirawat di rumah sakit. Secuek-cueknya suami, kalo istrinya sakit pasti akan ngejenguk."
Dari sekian banyak orang yang dibohongi, Asia tidak mudah ditipu. Alasannya, ya ... karena Asia sahabat baiknya Sinar, yang apa pun pasti diketahui perempuan itu. Kalau Asia sudah menuturkan kecurigaan, maka dia tidak bisa mengelak.
"Jangan bilang lo nyuruh Sinar pura-pura jadi istri lo?" tebak Asia sekenanya.
"Itu lo tau," aku Cakrawala.
"Si berengsek!" Asia spontan memukul dada Cakrawala sampai sepupunya mundur gara-gara tindakannya. "Duh, Tuhan ... lo nggak bisa apa nggak bikin hidup Sinar tenteram? Keluarganya udah bikin pusing, lo lagi nambah beban di hidupnya," lanjutnya mengomel.
"Kita skip dulu bagian ini. Kenapa Sinar dipukulin kakaknya? Lo bilang dua bulan lalu dia juga dipukulin." Cakrawala berusaha mengalihkan pembicaraan dengan hal yang lebih penting. Dia penasaran. Kenapa kakaknya Sinar tega memukul seorang perempuan.
"Pinter lo, ya, menghindar." Asia berdecak sambil mendelik tajam. Berusaha meredam kekesalan, dia menghela napas. "Kakaknya Sinar namanya Revino. Tuh, orang senang main judi, mabuk-mabukan, dan main perempuan. Pokoknya nggak ada sisi positifnya. Revino punya kebiasaan minta uang sama Sinar karena dia pengangguran. Sinar sumber uangnya. Kalo nggak dikasih uang, Sinar dipukulin dan ujung-ujungnya uang dirampas paksa. Dua bulan lalu Sinar nolak ngasih uang karena uangnya pas-pas-an. Dia butuh uangnya. Akhirnya dipukulin, tapi nggak sampai masuk rumah sakit. Dan sekarang terjadi lagi."
"Orang tuanya Sinar nggak marahin kakaknya?"
"Cak, keluarga Sinar bukan keluarga harmonis kayak keluarga kita. Orangtuanya bercerai dari dia umur lima tahun. Dari umur sepuluh tahun, dia udah cari uang sendiri untuk menghidupi diri dia sama adiknya. Belum lagi ngasih uang untuk kakaknya yang nggak punya otak. Orang tuanya nggak peduli. Malah orang tuanya nggak kalah toxic. Mereka udah punya keluarga masing-masing, tapi Sinar masih dirongrong seolah-olah Sinar kepala keluarga. Padahal Sinar perlu kasih jajan adiknya yang kuliah di luar negeri. Kasihan, deh. Hidupnya nelangsa banget. Makanya Sabtu dan Minggu dia masih kerja di luar, nggak ada istirahatnya."
Penjelasan Asia cukup menjabarkan bahwa senyum dan candaan demi candaan yang dilontarkan Sinar tak sebaik hidup. Sinar punya masalah sendiri yang bahkan jauh lebih menyedihkan dari sekadar rasa galaunya akan Erine. Ternyata ada yang jauh lebih menyedihkan dari sebatas cinta tidak berbalas.
"Nggak coba lapor polisi?" tanya Cakrawala.
"Setiap kali Sinar ngancam mau lapor polisi, Revino ngancam balik dengan bilang akan bunuh adik mereka. Sinar nggak mau adiknya diapa-apain makanya diem aja. Parahnya lagi, Revino pernah masuk penjara lebih dari sekali. Dua di antaranya karena ngebunuh orang. Makanya Sinar nggak mau lapor polisi karena dia tau kakaknya senekat dan segila itu," jawab Asia.
"Sekali pun orang tuanya nggak peduli? Beneran nggak belain Sinar?"
"Iya. Asal lo tau, ya, tiap Sinar nolak kasih uang, orang tuanya malah belain Revino. Udah, deh, lo nggak usah harapin orang tuanya Sinar. Nggak pernah baik mereka juga sama Sinar. Nyusahin hidupnya Sinar doang. Ini juga alasan gue kasih dia pekerjaan karena dia butuh uang untuk adiknya. Tapi parasit-parasit di hidupnya nggak berkurang."
Cakrawala mengerti sekarang alasan Asia selalu menolong Sinar mendapatkan pekerjaan. Semua menjadi masuk akal. Mendengar cerita hidup Sinar membuat dia penasaran seperti apa wujud se-berengsek Revino.
"Lo tau tempat kakaknya main judi?"
Asia mengedikkan bahu. "Gue nggak nanya-nanya. Kenapa? Lo mau cari kakaknya?"
"Nanya aja."
"Sinar, kan, udah bantuin lo jadi istri palsu. Gantian sekarang lo tolong dia dari kakaknya."
"Lihat nanti. Gue sibuk." Cakrawala melirik arloji yang dipakai. Kemudian, dia menepuk pundak Asia. "Titip Sinar, ya. Gue mau balik. Ngantuk."
"Hah?! Tidur? Lo nggak mau gitu balas budi temenin Sinar atau ngapain, kek?" pekik Asia tak percaya.
Cakrawala berbalik badan, lalu melenggang pergi. Setelah beberapa langkah, tangannya terangkat melambai sebagai tanda pamit kepada Asia.
"Besok aja. Gue mau istirahat. Dadah."
Di belakang sana, Asia misuh-misuh sambil nyumpahin Cakrawala. Yang disumpahin tidak mau ambil pusing dan tetap meninggalkan rumah sakit.
Cakrawala pergi bukan untuk pulang dan tidur melainkan mencari tahu tentang Revino melalui teman-temannya yang punya informan terbaik. Sinar sudah berbaik hati membantunya, jadi dia ingin melakukan hal yang sama.
👔👔👔
Hal pertama yang Sinar lihat saat terbangun adalah sosok Cakrawala di sampingnya. Matanya membelalak. Bagaimana bisa ada bosnya di sini? Sinar ingin berbalik badan agar memunggungi sosok itu, sayangnya, tubuhnya terasa remuk dan sakit. Mau tidak mau Sinar tetap dengan posisi yang sama. Sinar memandangi wajah rupawan Cakrawala saat tertidur. Meskipun tidur hanya dengan bersandar di kursi yang tidak empuk, Cakrawala tampak menikmati tidurnya.
"Mukanya emang nggak secakep Sambara atau saudara yang lain, sih, tapi kalo dilihat berulang kali, cakepnya nggak kalah dari yang lain. Sayang aja nyebelin minta dijorokin ke sumur. Kalo nggak, udah gue puji-puji muka cakepnya," ucap Sinar pelan. Di kala tubuh lagi sakit-sakitnya, dia masih sempat berkomentar.
"Iya, tau, saya cakep," sahut Cakrawala.
Sinar terbelalak. "Eh?!"
Cakrawala membuka kelopak mata, menangkap Sinar sedang melotot. Perempuan itu terkaget-kaget. Sejak semalam, dia tidak bisa tidur dan berujung begadang semalam suntuk menjaga Sinar. Dia mencoba tidur dengan memejamkan mata, sayangnya, tidak bisa. Cakrawala datang ke rumah sakit setelah Asia pulang.
"Gimana perasaan kamu? Badan kamu ada yang sakit nggak?" tanya Cakrawala.
"Sakit apa, Pak? Saya baik-baik aja." Sinar nyengir selebar-lebarnya.
"Baik-baik aja setelah dipukulin? Mana mungkin. Muka kamu aja lebam semua. Matanya bengkak, bibirnya juga. Badan kamu penuh luka. Apa iya tidur semalaman bikin badan kamu nggak langsung nyeri-nyeri?"
"Kata siapa saya dipukulin? Saya kecelakaan tau, Pak. Nyungsep dari motor."
Cakrawala bangun dari tempat duduknya dan kemudian mendekati Sinar. Punggung tangannya bergerak menyentuh kening Sinar untuk memastikan perempuan itu tidak demam.
"Sebagai suami palsu kamu, saya tau kamu dipukulin. Saya pastikan kakak kamu dapat ganjarannya. Kamu istirahat aja. Nanti biar saya bilang sama Rahmi kalo kamu sakit." Cakrawala mengusap kepala Sinar, mengakhiri obrolan singkat mereka. "Asia yang cerita. Saya tau semuanya. Saya mau ke kantor dulu. Istirahat yang banyak."
Sinar ingin menyumpal mulut Asia. Kenapa pula dibeberkan kepada bosnya? Mau bikin dia kelihatan menyedihkan apa, ya?
"Nggak usah, Pak. Kakak saya baik, kok. Ini bukan ulah kakak saya. Tadi, kan, udah bilang, saya kecelakaan. Asia suka ngarang tau, Pak," elak Sinar.
Sebisa mungkin Sinar menutupi keburukan kakaknya. Sinar tidak mau ada orang yang tahu mengenai sisi kelam kakaknya. Bahkan, Asia tahu dari tetangganya, bukan darinya. Sinar tidak ingin orang lain tahu tentang drama keluarganya yang tiada habisnya.
"Saya pikir adik saya orang paling berengsek sedunia. Ternyata ada yang lebih gila lagi. Saya nggak pernah membaguskan adik saya, tapi kamu yang udah dipukulin, masih sempat membaguskan nama kakak sendiri."
"Ya, karena kakak saya baik. Dia nggak ..." Sinar menggantung kata-katanya sesaat melihat seorang suster datang membawa makanan dan obat. Setelah sang suster memberi tahu obat-obat yang perlu diminum dan pamit, barulah dia melanjutkan, "Entah apa yang diceritain sama Asia, kakak saya baik."
Ketimbang meladeni dan tidak mendapat jawaban jujur, Cakrawala memilih menyiapkan makanan Sinar. Setelah plastik wrap yang menyelimuti piring dibuka, Cakrawala duduk di pinggir ranjang dengan tangan memegang sendok.
"Biar saya suapin kamu. Anggap ini kompensasi udah bantuin saya," ucap Cakrawala.
"Nggak usah, Pak. Saya bisa––aduh!" Sinar meringis saat tubuh bergerak berusaha meraih sendok di tangan Cakrawala.
"Makanya jangan ngeyel. Saya suapin."
Sinar mengangguk pasrah. Cakrawala mulai menyuapi dengan hati-hati. Cakrawala juga sigap menyodorkan minum setelah makanan habis tak tersisa. Sinar yang disuapi merasa bentar lagi bakal datang hujan badai. Cakrawala yang cuek dan jutek berubah menjadi sosok yang perhatian dan baik.
"Makasih, Pak," ucap Sinar.
"Nanti obatnya kamu minum, ya. Saya mau pulang dulu."
"Nggak ngantor, Pak?"
"Ngantor, tapi mandi dulu di rumah."
"Oke, Pak. Hati-hati di jalan."
Cakrawala bangkit dari tempatnya. Baru akan pulang, dia melihat pintu kamar dibuka secara lebar. Ayah dan ibu tirinya datang. Tak perlu menebak-nebak siapa yang ember karena dia yakin Asia yang memberi tahu orang tuanya.
"Astaga, Nak! Kenapa sampai begini?" Amanda berlari dengan cepat dan kemudian duduk di bibir ranjang sambil menggenggam tangan Sinar. "Kata Asia, kamu dipukulin orang. Siapa yang pukulin kamu, Nak? Kok, tega banget, sih?"
"Ah, cuma preman, kok, Ma. Aku baik-baik aja," elak Sinar sambil tersenyum berusaha menunjukkan dia baik-baik saja.
"Kalo babak belur gini udah nggak baik-baik aja Sinar. Preman mana yang berani mukulin kamu? Bilang aja sama Papa. Biar Papa penjarain," sambung Pandu.
"Sinar nggak kenal, Pa. Nggak apa-apa, Sinar masih baik-baik aja, kok. Untung aja ada orang baik yang nolong," balas Sinar.
Pandu mendesah kasar, lalu melirik sang putra. "Kamu gimana, sih, Cakra? Masa istri kamu sampai dipukulin preman gitu? Istri sendiri bukan dijagain. Lihat Sinar. Dia babak belur separah itu."
"Bukan salah Cakra, Pa. Akunya yang minta nggak diantar," sela Sinar, yang kebetulan mendengar teguran itu.
"Lain kali antar Sinar biarpun dia nolak. Kasihan, dong, sampai dipukulin preman. Jangan peduliin istri orang terus, pedulikan juga istri kamu." Pandu memelototi putranya dengan tegas.
"Iya, Pa."
Pandu mendekati Sinar dan menunjukkan kekhawatiran yang sama dengan istrinya. Baik Pandu maupun Amanda sama-sama memperhatikan dan mendoakan agar Sinar segera sembuh.
"Pa, Ma, saya titip Sinar. Saya mau kerja dulu," pamit Cakrawala.
Kalimat barusan menciptakan tatapan tajam dari Pandu. "Kerja? Kamu, kan, bisa izin dulu. Apa kerja lebih penting dari nemenin istri kamu? Harusnya kamu jagain dia, bukan pergi. Keterlaluan banget kamu, Cakra," omel Pandu.
"Saya nggak bisa tinggal pekerjaan. Berhubung ada Papa sama Mama, saya titip Sinar. Saya nggak sampai sore, kok. Selesai jam makan siang, saya izin pulang. Untuk sementara, saya titip istri saya."
Pandu berdecak kasar. "Awas kamu nggak balik habis jam makan siang. Papa akan samper kamu ke kantor. Lihat aja."
"Iya, Pa, saya pasti balik cepat."
"Hati-hati, Nak," kata Amanda.
"Iya, Ma. Saya permisi."
Tepat setelah Cakrawala berbalik badan, dia mendengar ibunya memanggil.
"Cakra? Kamu nggak kelupaan sesuatu?"
Dengan cepat Cakrawala berbalik badan, melihat sang ibu memberi kode melalui lirikan mata saat menunjuk Sinar. Oh, benar juga. Dia sedang berpura-pura menjadi suami Sinar jadi harus pamit dengan mesra di depan orang tua. Paham dengan maksud ibunya, Cakrawala mendekati ranjang. Ibunya memberi ruang dengan berdiri. Tanpa izin, Cakrawala duduk di pinggir ranjang dan mengecup kening Sinar.
"Saya pamit, ya. Saya akan pulang lebih cepat. Jangan lupa minum obatnya. Cepat sembuh, Sayang." Kecupan lain pun mendarat di pipi Sinar sebagai tanda akhir dari pamitnya.
Sinar yang dikecup-kecup langsung kaget. Untung saja mukanya sedang lebam, jadi ekspresinya bisa disembunyikan dengan baik. Dia pun membalas dengan senyuman.
"Iya, Sayang. Cepat kembali. Jangan lupa makan yang banyak," balas Sinar.
Cakrawala mengangguk pelan, yang kemudian segera bangun. Cakrawala bergegas meninggalkan kamar Sinar seusai berpamitan. Baru juga berdiri di luar pintu kamar, ponselnya berdering kencang. Dengan mudahnya Cakrawala mengambil ponsel dan lantas melihat nama Erine muncul sebagai id-caller.
Selama beberapa detik Cakrawala menimbang-nimbang untuk menjawab atau tidak. Kata-kata Sinar waktu di mobil muncul bagaikan lagu yang diputar berulang kali. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan Cakrawala untuk menolak panggilan tersebut.
Cakrawala menghubungi nomor Blue untuk membahas hal lain dan untuk menghindari telepon lainnya dari Erine.
👔👔👔
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗😘❤
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro