Hello, Ex - Boss - 6
Akhirnya update lagi ya😭😭🥰
Komen kalian sangat berarti supaya aku rajin update🥰🥰
•
•
Sinar menikmati sarapan bersama keluarga Soetomo. Hari ini merupakan hari terbaik di sepanjang masa, karena lagi-lagi Sinar bisa merasakan kehangatan dan ramah tamah keluarga bosnya.
"Makan yang banyak, Sinar. Siapa tau ada bayi di dalam perut," canda Amanda usil.
Sinar tersedak telur yang baru saja dikunyah. Dia berusaha menelan telurnya mati-matian setelah meneguk air putih yang disodorkan Cakrawala. Dan akhirnya terbatuk-batuk karena tidak tahan dengan ukuran telur yang menyangkut di kerongkongan.
"Mama, nih, bercandanya bikin kaget aja," sambung Cakrawala.
"Gimana mau hamil kalo suaminya masih godain istri orang?" Sambara nyeletuk dengan sinisnya.
"Jangan mulai, Sambara." Bawika memperingatkan.
"Semalam aku lihat dengan mata kepalaku sendiri Kak Cakra makan puding berduaan dengan Erine. Biar apa, sih, berduaan gitu? Apa nggak cukup kehadiran aku sama Sinar?" Suara Sambara semakin terdengar jelas dan meninggi.
Sinar baru tahu mengenai kejadian itu. Dia bingung harus bereaksi seperti apa mengingat dia adalah istri palsu Cakrawala. Berkat penuturan Sambara, suasana berubah mendidih seperti air rebusan yang baru matang.
"Lo diem aja karena nggak bisa ngelak, kan?" Sambara berdecih. "Kok, bisa mesra sama istri orang? Nggak kasihan sama istri lo?"
Ugh! Sinar benci muncul sebagai istri Cakrawala. Kenapa pula dia mau diseret-seret ke dalam drama keluarga bosnya? Dan lagi, bosnya kenapa masih dekat-dekat Erine coba? Kalau mau deketin jangkrik kek, yang jelas-jelas tidak akan dicemburuin siapa-siapa.
"Cukup, Sambara," pinta Erine.
"Kenapa? Kamu malu? Padahal semalam ngobrol sama Kak Cakra, kamu ketawa dan senyam-senyum. Nggak ada malu-malunya, tuh." Sambara tambah mangkel.
Cakrawala meletakkan alat makannya, lalu bangun dari tempat duduknya. Tanpa permisi, dia menarik tangan Sinar sampai bangun dari tempatnya. Sinar yang kebingungan cuma bisa menurut.
"Saya duluan, ya, Papa dan Mama. Saya sama Sinar harus berangkat kerja," pamit Cakrawala.
Cara klasik terbaik adalah menghindar. Sinar harusnya menasihati bosnya kalau menghindar takkan menyelesaikan apa pun.
"Lo bisanya cuma kabur kayak biasa. Takut Sinar tau kalo lo masih cinta sama istri gue?" sembur Sambara.
Alih-alih pergi, Cakrawala menghampiri Sambara dan tanpa permisi langsung melayangkan tinju di wajah adiknya. Kontan, Sambara jatuh dari tempatnya. Sakitnya double. Tak cuma sekali pukulan, Cakrawala memukul Sambara sekali lagi agar mulut adiknya diam. Sebelum pukulan-pukulan lainnya muncul, Bawika dan Angkara menarik Cakrawala, sedangkan Aldari dan Panca menahan Sambara agar tidak membalas.
"Cakra! Cukup!" seru Pandu.
Cakrawala melihat sang ayah sekilas sebelum kembali melihat sang adik. "Ini cuma peringatan. Lain kali gue bisa bikin lo babak belur. Berhenti bahas gue sama Erine. Kalo lo cinta sama dia, jangan nyakitin, bukan selalu nuduh yang nggak-nggak."
Setelahnya Cakrawala pergi meninggalkan ruang tamu, tak peduli sang ayah memasang wajah marah. Cakrawala membawa Sinar bersamanya. Dia mendengar Sinar berpamitan kilat sebelum sepenuhnya pergi bersamanya.
Tiba di dalam mobil Cakrawala langsung meninggalkan pekarangan rumah. Sinar tidak bicara apa-apa selain memperhatikan Cakrawala yang sedang marah besar. Sinar mengeluarkan cokelat potongan kecil yang terbungkus kertas cokelat dari dalam tas, lalu menyodorkan ke Cakrawala.
"Mau coklat, Pak? Biar adem hatinya."
Cakrawala tidak menanggapi, hanya menatap jalan sambil meremas kemudi dengan cukup kuat.
"Yowes kalo nggak mau. Jawab gitu kalo nolak. Jangan mendadak bisu, Pak. Saya makan aja, deh, ya."
Baru akan dilahap, Cakrawala lebih dulu merampas cokelat dan melahapnya. Sinar mau menoyor. Gemas sama kelakuan Cakrawala yang mirip bocah.
"Buset, dah! Gini amat punya bos," dengusnya kesal. "Lagian Pak Sambara nggak salah, eh, main digebukin aja. Bapak salah udah––"
"Diam. Saya nggak butuh ceramah kamu," potong Cakrawala.
"Ya, udin. Saya nggak ceramah. Judes amat." Sinar memajukan bibirnya mengejek gaya bicara Cakrawala barusan. Sialnya, dia tertangkap basah meledek sehingga pas melihat Cakrawala, laki-laki itu sedang memasang wajah penuh emosi. Entah kesal diledek atau kemarahan masih belum reda soal Sambara.
Dengan terpaksa Sinar melihat jalanan. Hujan mendadak turun. Tetesan air hujan tertinggal di kaca jendela, membuat Sinar sigap menyentuh kaca jendela dengan jari-jarinya.
"Move on nggak perlu diburu-buruin, kok. Justru yang dipikirin, tuh, cara jaga jarak sama orang yang mau kita move on-nin. Percuma move on kalo nggak jaga jarak. Pasti bakal sia-sia. Lagian siapa yang nggak pernah bego soal cinta sampai rela lama nggak move on? Nggak ada. Dan hakikatnya move on perlu setelah hubungan kandas atau perasaan nggak berbalas." Sinar mengoceh entah untuk siapa. Dia tidak mau terkesan ceramah karena takut disemprot Cakrawala.
"Upik abu macem diri ini aja pernah gagal move on bertahun-tahun. Nggak dosa masih nyimpen rasa, yang dosa masih deket-deket. Itu rada bego, sih," lanjut Sinar.
"Kamu ngatain saya bego?"
Sinar menoleh. "Bapak merasa? Saya, kan, lagi nggak ngobrol sama Bapak. Ini lagi ngomong sendiri belajar halu. Jangan kegeeran, Pak."
"Bukannya kamu ngomong gitu merujuk untuk saya?"
"Nggak merujuk siapa-siapa, kok. Saya ngomong sendiri buat yang mau dengar dan merasa aja." Sinar menatap lagi jalan di luar sana, membiarkan hujan memenuhi suasana sunyi. Dia tidak mau menoleh, biarlah Cakrawala jengkel disindir habis-habisan olehnya.
"Kata Winna Effendi; kamu bisa bertemu orang yang kelihatannya tepat, tapi akhirnya tidak demikian. Kalian putus, kamu kehilangan, dan tidak bisa merasakan hal yang sama lagi. Tapi mungkin kamu harus berhenti bertanya kenapa. Mungkin kamu sebaiknya hanya menerima dan melepaskanya saja." Sinar kembali bersuara. Melancarkan kembali sisipan ceramah yang mungkin dapat membuka bosnya berpikir mengenai move on. "Menurut saya, ini tepat. Saya pernah mencintai seseorang sebegitu besar, tapi akhirnya saya sadar kalo kami nggak ditakdirkan untuk bersama. Bukan takdirnya, sih, sebenarnya yang memegang peran, tapi kami berdua emang merasa cukup. Dilanjutkan bersama nggak akan menemukan titik cerah."
Cakrawala mulai tergugah. Matanya melirik sekilas. "Kamu pernah gagal move on? Berapa lama?"
"Tiga belas tahun. Bapak nggak selama itu, kan?"
"Tiga belas tahun? Kenapa masih mengharapkan dia? Kenapa nggak move on? Itu lumayan lama."
Sinar menoleh dan menjawab, "Mudahnya saya berharap dia bisa melihat saya, tapi ujungnya nggak dilihat-lihat. Ya, udah, saya move on. Itu pun sebenarnya saya sadar harus move on, tapi mau usaha terus. Bedanya dia single, jadi nggak ada hati yang terluka kalo saya nungguin. Pas dia punya pacar pun, saya nggak ganggu. Intinya, saya nggak deketin kalo dia punya pasangan. Saya cuma usaha kalo dia single aja."
Sebenarnya Sinar bohong soal cerita ini. Dia tidak pernah gagal move on selama itu. Aslinya, cerita yang dia sampaikan merupakan cerita milik sahabatnya. Dipinjam dan diakui sebagai ceritanya tidak masalah, bukan? Yang penting bosnya berhenti dan mulai move on agar dia pun hidup tenang tanpa perlu diseret-seret ke dalam jurang drama.
Cakrawala diam lagi. Detik selanjutnya embusan napas lolos begitu saja. Sinar melirik melalui ekor matanya.
"Mungkin nanti saya akan coba," kata Cakrawala akhirnya.
"Nggak perlu buru-buru, Pak. Yang terpenting jaga jarak. Itu penting banget."
"Iya, iya. Lama-lama kamu kayak tukang ceramah. Perlu saya bayar berapa?"
Sinar mendelik tajam. Bibirnya mengerucut sebal. "Idih ... songong banget. Nggak usah. Saya ikhlas dunia akhirat ceramahin Bapak. Free selamanya, nih, siraman ceramah."
Suara tawa lolos dari mulut Cakrawala. Gaya bicara heboh nan ceriwis versi Sinar berhasil mengikis kekesalan akan ucapan yang dilontarkan Sambara sebelumnya. Tawa perlahan hilang dan digantikan dengan senyum tipis penuh syukur karena ada yang secerewet Sinar.
👔👔👔
Biasanya kalau gajian ada perasaan senang atau hati yang berbunga-bunga. Tapi tidak dengan Sinar. Setiap kali gajian, Sinar harus mencari cara untuk mengosongkan uang di dompet dan rekening. Bukan tanpa sebab melainkan untuk menghindari kakaknya yang senang mabuk-mabukan dan berjudi.
Selama ini Sinar bekerja di dua tempat agar bisa memberikan uang jajan untuk adiknya yang berkuliah di London. Adiknya mendapatkan beasiswa penuh dan mengambil kerja part time di sana, tapi Sinar tidak mau adiknya kehabisan uang sehingga rutin memberikan uang tiap kali gajian. Namun, bukan cuma adiknya yang perlu uang, ada juga keluarganya yang lain. Sinar memberikan uang untuk orangtuanya yang senang merongrong.
Sejak kecil Sinar sudah mandiri mencari uang untuk menghidupi adiknya setelah orangtuanya berhenti mengurus mereka pada umur sepuluh tahun. Sinar sendiri tidak pernah merasakan yang namanya bangku kuliah. Jadi, dia mati-matian mengumpulkan uang agar adiknya bisa hidup nyaman saat berkuliah di luar negeri.
Hal yang Cakrawala ketahui adalah kebohongan akan pendidikan terakhirnya. Sinar disuruh berbohong oleh Asia agar mengaku-ngaku sarjana supaya bisa diterima kerja, karena persyaratannya adalah minimal sarjana. Juga, agar orang-orang tidak membencinya karena tahu dia hanya lulusan SMA, satu-satunya yang diterima dan tidak memenuhi syarat. Masalah ijazah yang diminta, Asia selalu back up dengan mengatakan akan memberikan nanti dan hal itu tidak pernah terjadi. Asia mungkin merasa kasihan padanya karena dia harus menghidupi banyak orang termasuk adiknya.
Selain itu, Sinar punya kakak yang tidak pernah memperdulikannya. Uang Sinar selalu menjadi incaran kakaknya makanya dia harus lebih pintar menyembunyikan uang. Setiap kali Sinar menyimpan di kartu debit, uangnya ludes dipakai kakaknya, yang ada saja cara untuk memerasnya. Kali ini Sinar tidak mau memberikan lagi. Dia butuh uangnya untuk dirinya sendiri.
Tepat setelah Sinar masuk ke dalam gang rumah, dia menemukan kakaknya, Revino, berdiri di depan pintu. Sinar takut bercampur panik. Namun, dia berusaha tenang. Sialnya, dia membawa dompet pulang. Seharusnya dia tinggalkan di loker kantor yang jauh lebih aman dari jangkauan kakaknya.
"Hei, adikku. Baru pulang?" sapa Revino dengan senyum tengil.
"Mau ngapain Kak Revi ke sini?" tanyanya jutek.
"Mau minta duit. Bukannya hari ini lo gajian?" tagih Revino seraya menengadahkan tangannya.
"Bukannya udah aku kasih minggu lalu? Aku udah nggak punya uang," tolak Sinar.
"Bohong! Lo baru dapat uang, kan?!" Suara Revino meninggi, berhasil membuat para tetangga menoleh. Tatapan tajam Revino menghunus siapa pun yang menatapnya. "Apa lo lihat-lihat? Nggak pernah denger orang teriak? Goblok!"
Sebelum timbul masalah baru, Sinar menarik kakaknya masuk ke dalam rumah. Rumah kontrakan yang hanya ada satu kamar dan kamar mandi kecil menjadi tempat tinggal Sinar sejak kecil.
"Mana duitnya? Buruan! Gue mau main judi!" Revino berusaha merampas tas yang dipegang Sinar, tapi gagal. Kesal karena gagal, dia menarik kerah kemeja kemeja yang dipakai adiknya. "MANA DUITNYA, ANJING?!"
Sinar menggeleng takut. "Nggak ada, Kak. Aku udah transfer uangnya buat Tira."
"Bohong! Sini tas lo!"
Sinar meremas kuat-kuat tali tas tenteng miliknya dan menyembunyikan di balik punggung.
"Si anjing ini, ya! Berani ngelawan gue!"
Ketika Revino berusaha menarik tas, Sinar buru-buru mendekap tasnya. Ukuran tasnya tidak besar sehingga dengan mudahnya dipeluk seerat mungkin. Namun, usahanya tidak lantas membuat Revino menyerah. Revino menamparnya dan berulang kali menarik-narik kerah baju Sinar. Karena kesal gagal terus-terusan Revino melayangkan tinju di wajah Sinar hingga jatuh tersungkur. Sinar tidak mau menyerahkan tasnya begitu saja dan tetap memeluk tas tidak peduli Revino menendang perutnya berulang kali.
"Kasih gue tasnya! Berengsek banget lo, ya!" omel Revino semakin geram.
Sinar butuh uangnya untuk makan. Kalau dia menyerahkan tas, semua uangnya akan dirampas kakaknya. Sinar tidak peduli babak belur asalkan uangnya utuh.
"Anjing! Adik tolol!"
Revino murka dan langsung menendang perut Sinar berulang kali dengan keras. Tak cuma menendang, Revino menarik Sinar dan memukuli wajahnya sampai babak belur. Karena pukulan yang terus dilancarkan, pelukan Sinar pada tas mulai berkurang. Tenaganya ikut terkuras. Dan akhirnya Sinar kalah dari kakaknya yang selalu menggunakan kekerasan padanya. Tasnya pun terampas dengan mudahnya. Revino mengambil dompet, mengeluarkan beberapa ratus ribu, dan kartu debit Sinar.
"Pin lo masih sama, kan?" tanya Revino. Adiknya tak menjawab. Dengan kasarnya dia menendang kaki Sinar. "Berapa pin lo? Jawab, Sialan!"
Sinar diam tak berdaya. Ketika kakaknya kembali menendang perutnya, dia menjawab dengan pelan. "Masih."
"Gitu, dong. Bikin emosi aja."
Revino melempar dompet dan tas ke arah Sinar setelah memiliki yang dia butuhkan. Kemudian, dia membuka pintu. Saat pintu dibuka, sudah ada dua orang berdiri di depan pintu. Revino meludah di depan dua orang itu.
"Apa lo lihat-lihat?" tantang Revino, yang kemudian meninggalkan rumah tanpa takut akan tatapan dua orang itu.
"Ya, ampun ... Sinar!" Seorang wanita paruh baya berlari masuk dan memastikan keadaan Sinar. Begitu pula dengan wanita lainnya.
Dua orang wanita itu merupakan tetangga Sinar yang sering memantau jika sewaktu-waktu Revino berulah. Ternyata Revino memang berulah dan mengulang kegilaan yang sama setiap akhir bulan. Mereka berdua tidak berani membela saat Revino sedang menggila.
Bukan tanpa sebab, karena dulu Revi pernah masuk penjara karena membunuh orang. Tak cuma sekali, tapi dua kali. Hal itulah yang menjadi ketakutan tetangga Sinar yang lain jika berani melawan Revino, mereka takut dibunuh.
Akhirnya Sinar dibawa pergi ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Mungkin tak terhitung seberapa banyak Revino menyiksa Sinar atau memukulinya. Sama seperti halnya entah sudah seberapa banyak uang milik Sinar yang dirampas paksa oleh Revino.
👔👔👔
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗😘😘
Sinar nih bukan gak bisa ngelawan ya. Kalo ketemu orang kayak Revi yang gak takut mati, pasti susah lawannya. Dipukul pun bakal dipukul balik. Jadi, nyuruh Sinar mukul balik sama aja gali kuburannya sendiri😔 dan orang kayak Revi nih ada di muka bumi ini😔
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro