Hello, Ex-Boss - 4
Yuhuuu update lagi😍❤
Oh, iya, mau ralat. Bawika tuh kakaknya Cakra ya, Gaes🙈
•
•
"Pak, lain kali kalo mau ngajak dadakan bilang. Saya bau matahari tau! Minimal kalo mau maksa-maksa, beliin saya baju kek buat ganti. Emangnya nggak malu bawa saya dekil gini? Masa sekelas Cakrawala Soetomo bawanya upik abu. Bisa dikira abis mungut saya di pinggir jalan," oceh Sinar penuh kekesalan. Biar dia protes sekalian menyalurkan kemarahan yang meradang gara-gara kelakuan bosnya.
"Begini aja bagus, kok."
Sebenarnya kalau dibilang bagus, Cakrawala bohong. Riasan make up Sinar sangatlah simple. Lipstik sudah agak pudar, bedak tipis, dan rambut yang awut-awutan. Blouse yang dipakai Sinar lumayan lecak. Sinar ada benarnya. Perempuan itu tampak berantakan untuk ukuran istrinya.
"Untung aja saya punya baju ganti lengkap. Saya mau ganti baju dulu biar nggak kelihatan kayak gembel."
"Ya, udah, ganti aja."
Sinar mendelik tajam. "Bapak keluar dari mobil, saya ganti baju di sini. Kalo ganti di dalam nanti ketahuan saya upik abu boleh dipungut."
Cakrawala langsung keluar. Dia berdiri di depan mobil. Saat menoleh ke belakang, dia tidak sengaja melihat Sinar sedang membuka blouse hingga menampilkan bra-nya. Dia lupa kalau kaca mobilnya tidak gelap jadi bisa kelihatan dari depan. Karena tidak mau menistakan mata dengan yang seksi-seksi, dia memalingkan wajah dan melihat ke depan untuk memastikan tidak ada yang datang mendekat sampai Sinar selesai berganti pakaian.
"Sayangku! Gimana, nih? Cantik mirip Barbie nggak?" Pertanyaan yang tiba-tiba terdengar cukup kencang membuat Cakrawala menoleh.
Cakrawala membelalak. Beberapa menit tidak mengganggu, dia melihat perubahan penampilan Sinar yang cukup signifikan. Wajahnya menjadi lebih cerah, lipstiknya dipoles lagi menjadi lebih merah terang, dan pakaiannya cukup sensasional. Iya, dia tidak tahu kalau Sinar cuma mengenakan tank top pink polos dan rok mini di atas lutut. Rambutnya sudah disisir rapi malah dikuncir sampai menampilkan pundak yang terbuka.
"Apa harus tank top banget?" sahut Cakrawala.
"Saya nggak punya baju lagi. Ini tank top sama rok punya Dianka, Pak. Dia nitip. Karena kebawa, saya pakai aja. Lagian bukannya tipe Bapak seksi gini? Cocok, kan?" Sinar kedip-kedip nakal seraya menyentuh dada Cakrawala. Kalau bosnya bisa belajar gila sebagai suami, dia bisa berperan sebagai istri seksi yang penuh rayu.
"Nggak, sih. Seksi tuh kalo ada yang kelihatan nonjol."
Paham maksud Cakrawala, dia spontan menurunkan pandangan melihat dada. Sinar ingin menoyor kepala Cakrawala saja. Kurang ajar. Laki-laki itu meledek dadanya yang rata.
"Ish! Tunggu! Saya bikin nonjol!"
Sinar beranjak masuk ke dalam mobil mengambil sesuatu yang diperlukan untuk menambah isi dada. Kebetulan Sinar punya kaus kaki yang tidak dipakai untuk berjaga-jaga kalau kedinginan. Kesal diledek Cakrawala, dia menyumpal dada dengan kaus kaki sampai terlihat lebih menonjol. Sebisa mungkin Sinar merapikan kaus kakinya agar lebih natural. Setelah selesai Sinar mendekati Cakrawala. Bukan dipuji-puji, Cakrawala malah menertawakan. Mana suara tawanya super ngeselin!
"Pak! Jangan ketawa, dong!" gerutu Sinar.
"Kalo kopong, ya, nggak usah sok-sok diisi. Nanti kalo sumpelannya lepas, tanggung malu sendiri. Saya nggak ikutan." Cakrawala masih menyempilkan tawa. Lucu lihat Sinar yang tiba-tiba muncul dengan tambahan unik.
Sinar mengulang kata-kata Cakrawala dengan gerak bibir yang maju sampai-sampai bosnya tak bisa berhenti tertawa. Puas banget kayaknya nih orang ngetawain dada gue. Sialan. Ngeselin!
"Omong-omong, saya perlu kasih tau kamu beberapa hal." Kali ini Cakrawala mengontrol tawa.
"Apa? Tolong jangan bilang saya perlu hafal silsilah keluarga Soetomo. Mana ada waktu, Say."
"Nggak, kok. Cukup hafal saudara-saudara saya."
"Duh, Tuhan ... mau jadi istri aja repot banget," keluh Sinar terang-terangan. "Siapa aja saudaranya, Pak? Saya cuma tau Bawika. Soalnya dia pernah ke kantor dulu dan cakep banget."
"Kakak saya yang paling pertama namanya Angkara. Setelah Angkara ada Bawika dan Aldari. Mereka berdua kembar. Kak Bawika lahir lebih dulu, baru Kak Aldari. Setelah itu saya, lalu ada Panca dan terakhir Sambara. Kak Bawika dan Panca belum menikah. Kak Aldari mau nikah minggu depan. Kak Angkara udah punya dua anak, udah dua kali cerai. Sambara udah punya istri. Istrinya Sambara yang sempat kamu bahas di kantor, mantan sekretaris saya," jelas Cakrawala.
Sinar manggut-manggut menghafal nama-nama yang disebutkan. Untung namanya tidak sulit dieja jadi dia mudah menyelipkan dalam ingatan.
"Selain info itu, Pak? Ada lagi?"
"Ada. Semoga kamu udah tau kalo saya pernah menikah." Cakrawala melepas jas miliknya, lalu menyampirkan di pundak Sinar agar tidak kedinginan. Melihat ekspresi kaget Sinar, dia menambahkan, "Kamu beneran baru tau saya udah pernah nikah?"
"Pernah denger, sih, Pak. Saya pikir itu cuma isapan jempol semata. Eh, ternyata beneran, toh. Dunes, dong, ya."
"Dunes?"
"Iya, duda ngenes." Sinar nyengir, kemudian diakhiri dengan juluran lidah meledek Cakrawala.
"Kamu bisa nyengir-nyengir sekarang. Kalo udah di dalam, kamu pasti diem. Keluarga saya isinya orang-orang super nyebelin. Siapin mental kamu aja dicecar sana-sini." Cakrawala menakut-nakuti. Ucapannya tidak sepenuhnya benar. Hanya ayahnya yang pasti bakal mencecar kalau tahu ada kejanggalan.
"Serius, nih, Pak?" Sinar berubah panik.
"Iya." Cakrawala menahan tawa. Kepanikan Sinar cukup menggelitik perut. Mau menertawakan takut ketahuan dia bohong. Dia pendam tawanya untuk nanti. "Oh, iya, kalo ditanya bilang kita menikah di New York dua bulan yang lalu. Bilang aja ketemu pas kamu lagi liburan di sana setahun yang lalu. Jangan lupa."
Sinar berdecak dan kemudian protes. "Duh, Pak. Kenapa nggak bilang ketemu di Bali? Kalo bilang ketemu di Bali, saya bisa kasih tau tempat pertemuan kita dengan tempat yang pernah saya kunjungi. Kalo di New York, saya nggak tau. Mana bisa bohong soalnya belum pernah ke sana sama sekali."
"Pokoknya inget itu aja. Sisanya biar saya yang jawab. Paham?"
"Ya, udah." Sinar mengangguk. Ketika Cakrawala hendak menggamit tangannya, dia bersuara lagi. "Pak, Pak, bentar. Emang nanti nggak ditanyain surat nikah? Saya nggak tau nikah di luar negeri suratnya macam mana, belum pernah ketemu temen yang nikah di luar negeri."
"Nggak akan ditanyain. Tenang aja. Kalo pun ditanyain, saya akan cari alasan biar nggak nunjukkin bukti pernikahan. Kamu nggak usah khawatir. Kamu cuma tinggal berpura-pura jadi istri yang saya cintai."
Sinar menghela napas. Bicara tentu mudah, bukan? Tidak ada yang tahu bagaimana reaksi keluarga Cakrawala nanti.
"Satu lagi. Kalo nanti ada Asia, bilang sama dia alasan kamu nggak cerita karena kamu mau bikin surprise. Gitu. Pokoknya Asia nggak boleh tau kamu jadi istri palsu saya." Cakrawala mengingatkan.
"Iya, Pak, iya. Ribet banget, deh, hidup."
"Ayo, kita masuk ke dalam." Cakrawala menggamit tangan Sinar dan menggenggam tangannya dengan erat. "Jangan dilepas jasnya. Baju kamu terlalu seksi nanti diperhatiin Kak Aldari. Kakak saya yang satu itu genitnya ampunan."
Sinar mengiyakan, tidak banyak protes. Dia sudah lelah protes sejak tadi dan ingin mengatur siasat dulu supaya tidak ketahuan bohong. Aktingnya harus mumpuni biar tidak kelihatan palsunya.
"Pak, boleh saya nanya nggak?" tanya Sinar.
"Apa?"
"Mantan istri Bapak namanya siapa? Nikahnya berapa lama? Takut dibahas-bahas pas ngobrol. Keluarga, kan, suka gitu. Kadang bahas hal yang nggak perlu."
"Hexia Handoyo. Empat tahun."
"Wait, wait." Sinar mengingat nama yang rasanya tidak asing. Begitu ingat, dia menjentikkan jari. "Hexia penulis terkenal itu, Pak? Yang mukanya cakep minta ampun? Hexia yang novelnya selalu best seller?!"
"Iya."
"Duh, moga aja saya nggak dibanding-bandingin sama si Hexia. Kalo cakepnya kayak bidadari gitu agak susah dilupain," cerocos Sinar.
"Nanti saya omelin kalo dibandingin. Pokoknya hari ini cukup jadi istri yang baik dan cinta sama saya. Jangan ngedumel, ngeyel, atau protes." Cakrawala mengingatkan lagi.
"Iya, iya. Banyak bener aturannya mau jadi istri palsu doangan," gerutu Sinar. Kalau tidak mengoceh, bukan Sinar namanya.
Semoga setelah ini, Sinar tidak ditanya aneh-aneh. Jangan juga sampai ketahuan bohong. Ya, semoga juga Tuhan memaafkan dan dosanya tidak bertambah karena sudah membohongi orang tua.
👔👔👔
Beberapa menit setelah masuk ke dalam rumah, suasana cukup tenang, tapi juga tegang. Sinar diam mengamati tatapan keluarga Soetomo. Untungnya, tidak ada Asia atau sepupu Cakrawala. Hanya ada kakak-kakaknya Cakrawala dan orang tuanya termasuk ibu tiri Cakrawala yang super cantik. Sinar pernah bertemu dengan ibu tirinya Cakrawala waktu di kantor dulu dan cantiknya tidak perlu diragukan persis seperti bidadari baru turun dari langit. Ada pula adik kecil Cakrawala dari ibu tirinya.
"Kenapa kamu nikah nggak bilang-bilang? Main asal nikah aja. Apa kata orang tua Sinar?" Pandu mengomel. Rahangnya mengeras menunjukkan kekesalan.
"Mas, jangan bahas di meja makan. Kita mau makan, lho!" sela Amanda Tatiana Shelby Soetomo, ibu tiri Cakrawala yang cantiknya super.
"Kamu keterlaluan, ya, Cakra. Kalo mau nikah tuh, kabarin. Jangan main asal diem-diem nikah di luar negeri. Apa kamu nggak anggap Papa sampai nikah diem-diem gitu?" Lagi, Pandu mengomel, mengabaikan bujukan istrinya.
"Cukup, Mas. Bahas nanti aja." Amanda mengusap lengan suaminya, menatap memohon hingga berhasil melunakkan sang suami.
"Saya, kan, udah besar jadi mau menikah diam-diam bukannya itu tanggung jawab saya? Terima atau nggak, saya udah terlanjur menikah. Saya sama Sinar sepakat untuk menikah secara resmi, nggak perlu dirayakan besar-besaran," ucap Cakrawala.
"Apa kamu bilang?!" Pandu memelotot tajam. "Ini bukan cuma tentang memberi tahu Papa aja. Tapi menghargai Sinar sebagai perempuan yang kamu nikahi. Apa kamu yakin dia setuju nikah sederhana? Gimana tanggepan orang tuanya pas tau dia cuma nikah resmi tanpa dirayain? Papa nggak pernah ngajarin kamu seperti itu. Hargailah Sinar seperti dulu kamu menikahi Hexia."
Sinar serba bingung. Mau membela juga ucapan Pandu ada benarnya. Kalau bukan pura-pura, dia akan berpikir kalau tindakan Cakrawala cukup egois karena tidak bilang sama keluarga. Dia bisa memahami. Wajar saja Pandu marah. Aduh, si tukang drama ini bikin darah tinggi orang tua sendiri aja.
"Mas, udah. Jangan dibahas lagi," bujuk Amanda untuk kesekian kalinya.
"Iya, Pa. Lebih baik kita makan. Ini buatan chef Pilar. Dia kirim makanan untuk merayakan pertemuan kita sama istrinya Cakra," sela Angkara berusaha membujuk sang ayah.
"Setelah ini kita bicara berdua, Cakra," kata Pandu.
"Iya, Pa."
Sinar masih diam, sedikit melirik raut wajah keluarga Cakrawala. Dia takut sekaligus ngeri.
"Nak, maaf soal obrolan tadi. Silahkan dimakan." Pandu mempersilakan dengan ramah. Senyum manisnya mulai terlihat.
"Makasih, Om. Maaf saya baru datang hari ini. Tolong jangan marahi Cakra lagi. Ini sepenuhnya salah saya juga nggak berusaha menghubungi kalian. Sekali lagi maaf," balas Sinar. Suaranya dibuat serendah dan selembut mungkin biar terkesan ayu kemayu. Aslinya sih, boro-boro.
"Kamu nggak salah. Yang salah itu Cakra." Pandu meninggikan suaranya saat melihat sang putra.
Amanda menyela sebelum mulai perang lagi. "Kok, masih manggil Om? Panggil Papa, dong. Iya, kan, Mas?"
Pandu menahan emosinya dengan menunjukkan senyum. "Iya. Panggilnya jangan Om, Nak. Kamu, kan, udah jadi bagian keluarga Soetomo. Jadi, panggil saya Papa. Panggil istri saya juga jangan Tante, tapi Mama."
"Baik, Pa." Sinar tersenyum canggung.
"Yuk, makan," kata Amanda dengan ramah.
Makan malam pun dimulai dengan situasi yang kurang enak. Sebelum makan, mereka berdoa untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Selesai berdoa, barulah mereka menyantap dengan tenang. Suasana hati keluarga Soetomo sedang tidak bisa ditebak. Sinar menyantap makanan sambil sesekali dibantu Cakrawala menuangkan makanan.
Meskipun suasana kurang baik, Sinar cukup menikmati. Beberapa kali Pandu memintanya makan lebih banyak, bahkan menyuruh pembantu rumah menyiapkan jus spesial untuknya. Padahal tidak ada yang minum jus. Sinar diperlakukan dengan baik oleh Pandu. Kemarahan Pandu perlahan luntur dengan senyum yang mengembang.
Pelan-pelan suasana menghangat dengan sendirinya. Tidak ada lagi marah-marah. Tawa mulai mengudara yang dimulai dengan cerita lucu mengenai masa kecil mereka. Sinar mendengarkan dengan baik, ikut tertawa menikmatinya.
Selama ini Sinar tidak tahu bagaimana rasanya makan bersama keluarga, tapi sekarang dia tahu. Senyaman dan semenyenangkan ini. Seharusnya Cakrawala bersyukur punya keluarga utuh, tidak seperti orang tuanya yang sudah bercerai sejak dia masih berumur lima tahun.
Sinar agak iri dengan keakraban dan jamuan makan malam kali ini. Kebersamaan seperti ini tidak familier untuknya. Jadi, ini rasanya punya keluarga utuh dan baik-baik aja. He's lucky.
👔👔👔
Jangan lupa vote dan komen kalian🤗🤗❤
Follow IG: anothermissjo
Salam dari Sinar dan Cakra lagi😂😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro