Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hello, Ex - Boss - 19

Yuhuuu update ehehe

Aku akan update 1 chapter lagi. Jadi, dimohon jangan lupa komen segambreng😘😘

#Playlist: Kassy - Take My Hand

Sinar sudah bangun dari pukul lima pagi. Dia menyiapkan sarapan, bekal, dan semua kebutuhan kedua adiknya. Meskipun Oxana bisa menyiapkan alat tulisnya sendiri, Sinar tetap membantu. Sinar sesekali memanjakan adiknya, karena dia tahu adik-adiknya tak pernah dimanja orang tua mereka. Setidaknya Sinar ingin adiknya bisa merasakan bagaimana rasanya dimanja walau cuma sesekali.

Setelah selesai Sinar melihat pesan masuk dari Asia yang menanyakan kabarnya. Satu hal yang ingin Sinar beri apresiasi adalah cara Asia menghubunginya. Asia selalu menanyakan bagaimana kabarnya, lagi di mana, kapan pulang kerja, dan lain-lain. Pertanyaan Asia justru seperti kekasih yang posesif. Sinar senang. Ada yang peduli dengannya saja dia sangat bersyukur.

Oh, ada satu lagi. Viscy mengirimkan pesan untuknya. Ada empat chat dari Viscy yang belum sempat dia lihat setelah meminjam uang semalam. Hanya dengan melihat notifikasi yang muncul, dia tahu Viscy menyuruhnya untuk berhati-hati. Sinar pun membuka pesannya.

Kak Viscy: Hey, I hope everything is okay.

Kak Viscy: Tapi kayaknya nggak bisa baik-baik aja. Aku tau. Aku mau ralat kata-kata tadi.

Kak Viscy: Jaga diri dan hati-hati. Aku harap kamu bisa tersenyum dan bahagia hari ini.

Kak Viscy: Good luck, C.

Sinar tersenyum. C merupakan huruf awal nama tengahnya yang menjadi panggilan spesial Viscy untuknya. Ketimbang memanggilnya Sinar, Viscy lebih sering memanggilnya Cinta. Sounds cheesy, tapi Sinar fine-fine saja dipanggil Cinta--karena memang nama tengahnya Cintaku. Walau orang tuanya tidak pernah baik, Sinar berterima kasih kasih diberi nama unik. Nama Sinar Cintaku sudah lebih dari cukup untuknya.

Dia membalas pesan Viscy, lalu menilik turun pesan lainnya. Ada lima pesan dari Cakrawala. Dia membuka pesannya dan membaca dengan saksama.

Bos Gila: Gimana di sana? Adik-adik kamu bisa tidur nyenyak?

Bos Gila: Kalo besok kamu mau izin untuk menemani adik kamu, nggak apa-apa. Izin aja sama Rahmi.

Bos Gila: Oh, iya ... urusan Papa, saya udah bilang kalo kamu ada sleepover di rumah teman kamu karena ada yang mau nikah. Saya bilang kamu baru pulang lusa.

Bos Gila: Take your time. Kalo kamu butuh sesuatu, telepon saya.

Bos Gila: Saya harap kamu juga bisa tidur nyenyak malam ini. Good night.

Sinar mencibir, "Tumben banget, nih, manusia ngetik sebanyak ini. Biasanya juga nggak pernah chat gue. Kesurupan apa, ya?"

Dia tidak membalas pesan Cakrawala. Nanti juga bertemu di kantor. Dia mengunci ponsel dan mulai masuk ke dalam kamar untuk melihat adik-adiknya. Keduanya sedang bersiap-siap. Sinar membantu Mindy menguncir rambutnya dengan rapi. Begitu selesai Sinar menyuruh adik-adiknya sarapan terlebih dahulu.

Pada saat yang sama ketukan di pintu rumah memaksa Sinar membuka pintu setelah mendapati pemilik kontrakan datang.

"Pagi, Sinar," sapa Bu Jamilah.

"Pagi, Bu Jami," balas Sinar.

Bu Jamilah menggaruk tengkuk lehernya. "Gini Sinar ... uhm ... ini agak kurang enak, sih, bilang pagi-pagi begini. Tapi Ibu harus bilang biar nggak ada gondok di hati."

"Kenapa, Bu?"

"Ibunya Sinar belum bayar kontrakan. Ini udah nunggak enam bulan. Ibu nggak bisa biarin nunggak lagi. Ibu mau Sinar tolong sampaikan ke ibunya untuk bayar. Dan ..." Bu Jamilah senyam-senyum canggung. "Ibu nggak bisa perpanjang kontrak lagi untuk ibunya Sinar. Soalnya udah ada yang mau bayarin kontrakan ini."

Sinar sudah terbiasa diganggu dengan berita-berita mengejutkan di pagi hari. Namun, berita ini benar-benar mengacaukan hari baiknya. Dia sudah menduga ibunya menunggak. Padahal tiap bulan Sinar memberikan uang kepada ibunya untuk bayar kontrakan. Kepala Sinar mendadak sakit. Dia perlu melihat isi rekeningnya karena takut tidak ada yang tersisa.

"Bu Jami bisa kirimin saya nomor rekening Ibu atau anak Ibu? Biar nanti saya transfer semuanya," kata Sinar.

"Boleh, nanti saya minta Yuyun kasih nomor rekeningnya, ya. Nanti Ibu kirim ke nomornya Sinar. Masih yang lama, kan?"

"Masih, Bu."

"Makasih, Sinar." Bu Jamilah tersenyum lebar. "Oh, iya, masalah nggak diperpanjang itu, kalian boleh menetap sampai minggu depan, kok. Soalnya yang mau beli kontrakan nggak mau nempatin cuma mau direnovasi mulai minggu depan."

"Baik, Bu. Makasih banyak."

"Kalo gitu duluan, ya, Sinar."

"Iya, Bu."

Sinar tersenyum kecut. Bu Jamilah melenggang pergi dengan senyum semringah. Belum ada beberapa menit, dia sudah mendapat pesan dari Bu Jamilah yang kebetulan rumahnya depan-depanan dengan kontrakan yang dia tempati. Dia melihat isi rekeningnya terlebih dahulu. Entah Tuhan sayang padanya atau tidak mau dia dimaki-maki karena tidak bisa bayar, tapi yang pasti uangnya cukup untuk membayar enam bulan kontrakan ibunya. Sinar menahan diri untuk tidak makan yang mahal-mahal dan terkadang dibawakan bekal oleh Dianka yang hobinya mencoba resep baru terus. Selama tinggal di rumah Cakrawala, uang makannya utuh.

Setelah membayar kontrakan, Sinar memasukkan ponsel ke dalam tas. Saat dia akan masuk ke dalam rumah, dia mendengar teriakan yang cukup keras.

"Kak Sinar! Kak Sinar! Ada Kak Revino!"

Sinar menoleh ke belakang, mendapati seorang bocah laki-laki berumur delapan tahun berlari mendekatinya. Bocah itu terengah-engah dan memegang kedua lututnya setelah berdiri di depan Sinar.

"Aku lihat Kak Revino jalan ke sini, Kak. Tadi dia habis beli rokok di depan. Bentar lagi masuk gang." Bocah itu memberi tahu.

"Tomo, bisa tolong ajak Kak Revino bercanda atau apa untuk ngulur waktu nggak? Kakak mau pergi dulu lewat jalan di ujung."

"Bisa, Kak. Hati-hati, Kak Sinar." Bocah itu lantas bersiul memanggil teman-temannya yang akan pergi sekolah sepertinya.

Dulu Sinar pernah dipukuli Revino di rumah ibunya. Tidak ada yang berani melawan Revino. Namun, ada Tomo, si bocah pemberani yang berteriak berpura-pura menyebutkan ada polisi datang sehingga Revino kabur. Sejak saat itu Tomo menjadi informan Sinar setiap kali Sinar datang ke rumah ibunya. Jika ada Revino datang, maka Tomo akan langsung memberi tahu sehingga Sinar tidak pernah berpapasan dengan kakaknya di rumah sang ibu.

Sinar berlari cepat masuk ke dalam. Dia menenteng kedua tas dan keperluan adik-adiknya. Setelah itu, dia mengajak kedua adiknya pergi. Mereka pergi terburu-buru, menyisakan makanan yang tak sempat dihabiskan di atas meja, dan tidak sempat mengunci pintu. Lagi pula tidak ada barang berharga. Mereka pergi melewati jalan di ujung, tempat yang tembus-tembus ke gang sebelah.

Berkat info dari Tomo, mereka berhasil meloloskan diri dari jangkauan Revino.

👔👔👔

Sinar baru saja datang setelah izin terlambat masuk kantor. Sebelumnya dia mengantar adik-adiknya sekolah, memastikan mereka tak perlu takut ditinggal olehnya. Sore nanti sepulang kerja, dia akan ke apartemen Duda untuk membahas mengenai kos-kos-an yang-katanya-murah. Sinar ingin menyewa kos-kos-an untuknya dan kedua adiknya. Dia tidak peduli soal ibunya yang mau pulang ke mana. Ibunya bisa menjaga diri sendiri. Dia lebih mempedulikan adik-adiknya yang butuh tempat tinggal.

Baru saja bokong menikmati kursi empuk, dia melihat Jordan meletakkan kertas di atas mejanya. Jordan menyerahkan kertas secara sembunyi-sembunyi sambil berpura-pura meminjam pulpen. Karena penasaran, dia membuka kertas tersebut di bawah meja.

Temui saya di parkiran khusus CEO sekarang. Jordan tunggu kamu di lift khusus CEO.

- CS

Sinar berdecak. Tidak bisakah Cakrawala membuatnya tenang sedetik saja? Dia memutar bola matanya, lalu bangun dari tempat duduknya. Sinar pamit kepada Taksa izin membeli obat untuk perut yang sebenarnya baik-baik saja. Dia tidak tahu apa yang ingin Cakrawala bahas karena dari tadi pagi Cakrawala menghubunginya lebih dari dua belas kali. Bayangkan, dua belas kali!

Dia mengikuti instruksi dengan bertemu Jordan di depan lift khusus CEO. Untung saja lift khusus CEO ada di rute yang berbeda, tidak sampingan dengan lift khusus pegawai. Jadi, tidak ada yang terheran-heran dia menaiki lift khusus bos atau rekanan bos.

"Pak Jordan?"

"Ya, Bu?"

"Pak Cakra nunggu di mobil?"

"Iya, Bu, tapi tadi Pak Cakra datang mengendarai motor. Mobilnya datang baru belakangan."

"Tumben. Biasanya naik mobil." Sinar baru tahu bosnya bisa mengendarai motor. Dia pikir bosnya termasuk orang yang tidak bisa naik motor sepertinya.

"Mungkin mau ajak Bu Sinar jalan-jalan."

Sinar menaikkan satu alisnya, menatap Jordan yang senyam-senyum seakan mengetahui sesuatu tentangnya dan Cakrawala. Jangan-jangan Jordan tahu dia berperan jadi istri palsu Cakrawala?

"Saya nggak akan bilang siapa-siapa, Bu. Tenang aja. Dulu Pak First juga sama asisten pribadinya, kok," ucap Jordan seolah tahu maksud tatapan Sinar padanya.

"Pak First sama asistennya? Pacaran?"

Jordan cuma senyum tanpa memberi jawaban, yang mana membuat Sinar penasaran. Yang Sinar tahu First sudah lama tidak pakai asisten pribadi. Ada apa pula dengan asisten? Ah, sudahlah. Bukan urusannya untuk tahu. Sinar mengusir segala keingintahuannya. Lebih baik dia mengurus urusannya sendiri.

Tak lama dia tiba di lantai tujuan dan bergegas masuk ke dalam mobil Cakrawala. Di bagian jok depan tidak ada sopir. Cakrawala duduk di jok belakang. Baru juga duduk, dia langsung diberondong berbagai pertanyaan oleh bosnya.

"Tadi kamu ke mana? Saya datang ke rumah ibu kamu. Naik apa ke sini? Kenapa telepon saya nggak dijawab? Pesan saya juga cuma kamu baca."

"Ya, ampun ... Bapak nggak bisa satu per satu, ya, nanyanya?"

"Jawab dari pertanyaan awal aja."

Sinar mengelus dada. Begini banget punya suami palsu. Untung dia ingat semua pertanyaan yang dilontarkan barusan.

"Saya nggak tau Bapak datang soalnya saya udah pergi antar adik-adik saya sekolah. Saya nggak jawab telepon Bapak karena saya lagi sibuk urus adik-adik saya. Pesan Bapak nggak saya balas karena nanti kita ketemu. Bener aja, kan, kita ketemu." Sinar menjawab dengan tidak terburu-buru.

"Adik-adik kamu udah nggak takut lagi? Kamu pulangnya hari ini atau lusa?"

"Syukurnya udah nggak, Pak. Hari ini saya nggak bisa pulang lagi. Mungkin baru besok. Tapi nanti bilang sama Pak Pandu gimana? Mau kasih alasan apa lagi, Pak? Saya nggak tega bohongin Pak Pandu." Sinar merasa bersalah tiap kali membahas Pandu. Pria itu terlalu baik untuk dibohongi terus-terusan.

"Gampang, nanti saya cari alasan lain. Kamu urus adik-adik kamu dulu aja."

Cakrawala sebenarnya ingin bertanya soal uang, tapi dia tidak berani. Apa kapasitasnya bertanya soal uang yang dipinjam Sinar? Kekasih bukan, suami pun cuma palsu. Dia harus tahu diri tidak semua hal bisa ditanyakan dengan status yang cuma sebatas bos dan pegawai ini. Yang penting dia bisa tenang karena Sinar tak perlu membayar uang kepada Viscy.

"Makasih, ya, Pak." Sinar melempar senyum tipis. "Oh, iya, obrolan kita udah selesai belum Pak? Soalnya saya takut dicurigai kabur karena tadi cuma izin mau beli obat."


"Udah, kok. Saya cuma mau nanya itu aja."

"Oke, kalo gitu saya keluar." Sinar sudah memegang handle mobil. Dia mendengar panggilan bosnya yang membuat dia menoleh ke samping. "Kenapa lagi, Pak?"

"Kamu pegang ini." Cakrawala menggamit tangan Sinar dan lantas meletakkan kartu debitnya di atas telapak tangan Sinar. Melihat kebingungan di wajah Sinar, dia langsung menjelaskan, "Gunakan kapan pun kamu mau. Terserah mau kamu pakai berapa. Anggap ini kompensasi saya untuk kamu yang udah bersedia meluangkan seluruh waktu menjadi istri palsu saya selama beberapa minggu ini. Nanti saya chat pin-nya."

Sinar memperhatikan kartu sakti yang diberikan. Kartu punya bosnya bukan yang biasa-biasa saja. Sinar sempat bertanya mengenai kartu yang diberikan saat membuat kartu debit. Untuk bisa mendapatkan kartu sakti itu, minimal menabungnya dengan harga fantastis. Bagaimana bisa dia menerima kartu semewah itu?

"Pak, ini kayaknya berlebihan. Saya cuma bantu status aja, kok." Sinar menolak dengan mengembalikan kartunya.

"Tolong diterima. Kamu bisa balikin lagi setelah akting kita selesai. Kebetulan lusa, Papa mau ajak kamu jalan. Itu akan lebih berat karena lusa saya pergi dinas ke luar negeri. Saya nggak bisa menemani kamu. Jadi, tolong terima. Lusa tugas kamu sebagai istri palsu saya akan lebih berat." Cakrawala memaksa, meletakkan kembali kartunya di telapak tangan Sinar.

"Ya, udah. Saya simpan, Pak. Makasih, Pak." Sinar memasukkan kartu yang diberikan ke dalam dompetnya.

"Jangan disimpan aja. Gunakan kalo kamu butuh," tegas Cakrawala.

"Iya, Pak. Saya keluar, ya. Permisi, Pak."

Sinar baru saja membuka pintu. Lagi dan lagi Cakrawala menahannya. Kali ini tangan Cakrawala yang menahan lengannya untuk keluar.

"Kenapa lagi, sih, Pak? Kangen sama istri?" goda Sinar sambil kedip-kedip supaya terkesan genit.

"Iya, saya kangen," aku Cakrawala.

Sinar mencibir, "Palingan kangen denger saya protes."

"Nggak. Saya beneran kangen." Cakrawala menatap serius.

Sinar memandang sebentar sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Candaan Cakrawala cukup menggelitik perut. Lalu, dia menggelitik dagu Cakrawala dengan maksud menggoda laki-laki itu. "Ulululu ... apa istri tercinta berhasil menggeser Erine dari kepala dan hati Cakrawala Soetomo?"

Sebelum Cakrawala sempat menanggapi, Sinar sudah kembali bersuara lagi. "Udah, ah, capek bercanda. Saya beneran mau balik, nih. Jangan manggil mulu."

"Jangan pergi dulu." Cakrawala kembali menahan lengan Sinar, memberikan tatapan memohon. Melihat Sinar memutar bola mata, dia tahu perempuan itu capek dihentikan terus pas mau keluar. "Kamu baik-baik aja? Nggak ada masalah?" tanyanya.

"Baik-baik aja, Pak. Masalah mah suka dibaca sama semua orang, kan?" Sinar menjawab dengan penuh canda sambil cengengesan.

"Itu majalah, bukan masalah. Saya lagi serius."

Sinar nyengir. "Maaf, Pak. Saya baik-baik aja, kok. Jangan khawatir. Istri Bapak yang cantiknya nggak secantik Ariel Tatum ini nggak punya masalah. Hidupnya setenang air."

"Kalo ada apa-apa atau kamu butuh bantuan, hubungi saya. Jangan pernah sungkan. Saya bersedia bantu kamu." Cakrawala mengingatkan dengan nada serius.

Sinar mengubah cengiran kudanya menjadi senyum dan anggukan kecil berulang. "Iya, Pak. Tenang aja, semua aman terkendali. Sampai jumpa lagi. Saya permisi."

Cakrawala langsung turun. Untuk kesekian kalinya memanggil nama Sinar sampai perempuan itu batal pergi. Sinar sudah menunjukkan tanduk kemarahannya karena dihalau terus. Cakrawala tidak peduli. Dengan cepat dia menghampiri Sinar dan memeluk tanpa permisi.

Sinar terkesiap dengan tindakan Cakrawala. Dia bingung. "Pak? Ngapain?" tanyanya heran.

Pelukan yang diberikan Cakrawala semakin erat. Sinar tidak membalas, hanya diam dalam kebingungan.

"Saya yakin kamu nggak baik-baik aja dan berusaha bilang semua terkendali. Andai kamu butuh sandaran, kamu bisa datang ke saya. Nggak perlu berpura-pura semua baik-baik aja," bisik Cakrawala.

Sinar diam sesaat. Bosnya benar, dia tidak pernah baik-baik saja. Semua disembunyikan dalam kepura-puraan. Sinar tidak tahu harus bercerita dan bersandar pada siapa, dia takut orang-orang membenci keluarganya. Tutur kata Cakrawala, entah mengapa, bisa membuat hatinya menghangat.

"Makasih, Pak," balasnya pelan.

Tanpa bicara lagi, Sinar balas memeluk Cakrawala. Mungkin Cakrawala bukan seseorang yang bisa dia jadikan sandaran, tapi dia berterima kasih atas kata-katanya.

Dari jauh Jordan tak sengaja melihat adegan pelukan itu. Dia disuruh Cakrawala memantau keadaan sebentar. Lewat dari sepuluh menit, dia harus kembali. Ini saatnya Jordan kembali. Jordan tersenyum melihat kedua insan itu. Sepertinya sejarah akan terulang kembali, seperti hal bos terdahulunya, First dan mantan asisten pribadinya.

👔👔👔

Cerita First dan Rumbai bisa kalian baca di ceritaku yang judulnya One Last Game ya❤

Kemarin udah ku republish ulang jadi bisa kalian baca ^^ (tapi agak beda sama versi buku sih😅 jadi yang udah beli buku juga bisa baca versi wp ya❤)

Jangan lupa vote dan komen kalian😘🤗

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro