Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hello, Ex - Boss - 17

Yuhuu update ehehe🤗🤗 maap telat yak. Kemarin mau up tapi udah kemaleman :")

Ini nggak ku kasih target. Bebas deh. Tapi jangan lupa komen yang banyak kayak biasanya👍👍👍

Divisi telesales sedang meeting dadakan mendiskusikan apa yang kurang dan kesulitan selama menjadi telesales. Dengan adanya Taksa, para pegawai divisi telesales tak lagi kehilangan induknya––yang sebelumnya jarang masuk karena masalah internal.

Sebenarnya menjadi telesales susah-susah gampang. Harus pintar-pintar merayu dan membujuk klien agar bisa bergabung dengan program yang berlaku. Biaya telepon dengan ponsel masing-masing pun mendapat reimburse dari kantor. Namun, beberapa kebijakan kantor terkadang dirasa kurang menarik minat klien sehingga tidak banyak yang mau bergabung.

Dari empat pegawai telesales khusus pengiriman barang, hanya Sinar yang selalu mencapai target. Dari target itulah Sinar mendapat income tambahan selain gaji UMR. Target telesales divisi Sinar biasanya mematok 78 toko untuk bergabung dengan program ini. Dari sekian toko yang bergabung paling hanya separuhnya yang menggunakan jasa layanan antar perusahaan mereka.

"Selain soal kesulitan yang udah kalian jabarin, ada masukan nggak kira-kira untuk divisi ini tetap jalan? Saran kalian nanti saya tampung dan sampaikan kepada bos," tanya Taksa.

"Saya mau saran, Pak." Sinar menaikkan tangan layaknya anak SD yang ingin menjawab pertanyaan sang guru.

"Silahkan, Sinar."

"Bukan saran, sih, saya mau nanya dulu. Selain program diskon ongkir maksimal lima belas ribu nggak ada lagi, ya, Pak?"

"Sejauh ini masih program itu dulu. Untuk ke depannya sedang dipertimbangkan program diskon yang lebih besar lagi," jawab Taksa.

"Sebenarnya kalo dibilang kecil, ya ... kecil. Dibanding sama perusahaan sebelah, kita kasih diskonnya dikit, Pak. Nggak banyak yang tau tentang pengiriman barang pakai aplikasi kita, lho, Pak! Kalo perusahaan sebelah mah udah banyak yang pakai jasa kirim barangnya," ucap Sinar.

Sinar membandingkan dua aplikasi ojek online yang dia punya. Satunya perusahaan yang ditempati sekarang, satunya lagi pesaing yang jauh lebih unggul bernama Ready To Go.

"Selain itu aplikasi kita sering banget error. Mana kelebihannya cuma bisa lacak pengendara udah sampai mana. Nggak ada kelebihan lain yang bisa menyaingi sebelah," lanjut Sinar.

"Lo protes aja, deh, Nar. Aplikasi kita udah cukup oke, kok," serobot Jayanti.

"Oh, ya? Gue tanya sama lo, deh. Apa lo gunain aplikasi perusahaan kita? Waktu itu gue lihat lo naik ojek perusahaan sebelah," tembak Sinar sekenanya.

Jayanti menendang kaki Sinar dari bawah meja. Panik. Sinar menyunggingkan senyum saat Jayanti memelotot.

"Terus aplikasi kita kurangnya nggak bisa kirim foto. Jadi, semisal barang udah sampai dan agak lecet terus si penerima mau foto ke abangnya buat nanya, itu nggak bisa kirim foto dari aplikasi. Perusahaan sebelah udah bisa. Kalo mau saingan sama sebelah, kita harus punya keunggulan yang minimal bisa menyamai mereka. Soalnya orang-orang nggak mau pakai jasa pengiriman kita karena ada banyak kekurangan yang nggak selengkap pesaing kita. Contohnya yang soal foto itu, sisanya masih ada lagi," cerocos Sinar panjang lebar.

"Coba kamu jelasin kurangnya apa, Sinar. Nanti biar saya sampaikan untuk evaluasi," kata Taksa. "Kalo yang lain punya saran, boleh bilang sekarang. Jangan takut, ya, karena ini untuk perusahaan kita juga."

"Nih, Pak. Kurangnya selain foto, aplikasi kita suka error. Di luar aplikasi, diskon kita sedikit dengan tarif yang jauh lebih mahal dari sebelah. Terus ..." Sinar menjelaskan kelemahan aplikasi perusahaannya.

Di kantor lama Sinar juga melakukan hal yang sama. Memprotes kebijakan yang kurang tepat dan menyuarakan pendapat secara vokal. Meskipun suka protes, Sinar tahu sampai batas mana kapasitasnya. Hanya mau mengomentari yang sekiranya masih cocok dalam bidang yang dilakoni, seperti halnya sekarang.

"Makasih atas partisipasi kalian, ya. Saya udah catat masukan dan saran kalian. Minggu depan saya ada rapat dengan bos, jadi bisa coba saya sampaikan," ucap Taksa sambil tersenyum.

"Makasih juga, Pak," balas Sinar.

"Kalo gitu kalian boleh kerja lagi. Saya mau ke ruangan Bu Rahmi dulu," pamit Taksa.

Sinar dan rekan-rekannya kembali bekerja. Taksa sudah membuka pintu, tapi kemudian kembali mendekati Sinar.

"Sinar?"

Sinar mendongak melihat bosnya. "Iya, Pak?"

"Kamu dapat pesan dari Ratri nggak?"

"Dapat, Pak. Acara reuni minggu depan, kan?"

"Iya, betul. Kamu datang?" tanya Taksa.

Sinar berpikir sebentar. "Maunya datang, sih, Pak. Tapi kalo kemalaman kayaknya saya nggak ikut."

Bukan soal tidak bisa pulang sendiri, tapi Sinar tidak enak dengan keluarga Cakrawala. Bisa dipertanyakan statusnya sebagai istri yang tiba-tiba pulang malam tanpa dijemput suami. Sinar cuma tidak ingin namanya jelek dengan status palsu yang menyusahkan ini.

"Kalo gitu bareng aja. Nanti biar saya antar kamu pulang. Kita bisa pamit duluan biar kamu nggak kemaleman," tawar Taksa.

"Jangan, deh, Pak. Nggak enak nyusahin Bapak," tolak Sinar halus.

"Anggap aja ini balasan dari nasi goreng buatan kamu waktu itu. Nggak apa-apa, saya nggak merasa direpotkan, kok."

Sinar diam memandangi Taksa, berpikir cukup lama. Kalau ditolak, dia takut Taksa curiga. Soalnya waktu dulu dia bersedia diantar Taksa pas kerja lembur sampai malam. Kalau sekarang menolak, nanti dikira bosnya mau menghindar. Mau tidak mau Sinar mengiyakan.

"Oke, minggu depan kita berangkat bareng," kata Taksa diselingi senyum sebagai akhir dari obrolan, yang akhirnya pergi berlalu meninggalkan ruangan.

Tiba-tiba Jayanti bertepuk tangan, yang membuat semua pegawai di ruangan menoleh termasuk Sinar.

"Gile ... gile ... ini kayaknya pesona Sinar bisa bikin hati terjatuh-jatuh, ye. Kemarin Viscy, sekarang Pak Taksa. Besok siapa lagi, Sinar?" goda Jayanti jahil.

"Jangan lupa Pak Rendu, noh. Doi selalu ngajakin Sinar makan siang bareng, tapi ditolak mulu," sambung Lila.

"Pak Mills dari divisi legal belum disebut. Doi ditolak Sinar waktu ngajak kencan. Gila, ya, ditolak semua. Padahal apa yang kurang dari mereka?" tambah Dianka.

"Tau, deh, Nar. Apa, sih, yang bikin lo nggak mau terima mereka? Pekerjaan oke, baik, tampang di atas rata-rata. Apa yang kiranya kurang?" tanya Jayanti mulai penasaran.

Sejak Sinar bergabung dengan tim, rekan-rekannya penasaran dengan alasan Sinar menolak ajakan kencan beberapa pegawai kantor. Padahal Sinar single, tapi tidak ada yang digubris. Bahkan ada chat yang terang-terangan dicuekin dan dianggap angin lalu. Mereka penasaran. Apa yang membuat Sinar menolak mentah-mentah sebelum pendekatan?

"Berisik, deh." Sinar mengambil gelasnya. Ketika hendak minum, airnya sudah habis. Dia pun bangun dari tempat duduknya. "Nggak cocok aja, itu jawabannya," jawabnya singkat.

Jayanti memutar bola matanya. "Nggak cocok gimana kalo belum pedekate, Sinar Cintaku?"

Mungkin bagi orang-orang mudah menerima dan mengiyakan ajakan kencan. Namun, tidak untuk Sinar. Dia memiliki masalah kepercayaan dan belum siap berkomitmen mengingat sejarah keluarganya yang tidak baik-baik saja. Sinar takut ketika sudah nyaman, laki-laki yang bersamanya justru mundur pelan-pelan setelah mengetahui betapa rumit dan buruknya hubungan keluarganya. Sinar punya tanggungan akan keluarga. Kalau dia menikah, tentu suaminya harus tahu jika dia masih perlu membiayai mereka. Sinar takut suaminya atau keluarga suaminya tidak menerima dan mungkin dengan embel-embel anak 'broken home', dia tidak mendapat sambutan baik. Stigma anak broken home terkesan menyudutkan dan membuat Sinar takut. Ada beberapa keluarga yang terang-terangan tidak mau anaknya menikahi anak dari keluarga broken home. Fakta lapangan seperti itu. Anak dari keluarga broken home lebih sering dipandang sebelah mata, mungkin karena takut tidak bisa menciptakan keluarga harmonis atau mengulang sejarah yang sama.

Hal inilah yang akhirnya menjadikan Sinar sebagai pematah hati sejati karena senang mematahkan hati laki-laki tanpa pernah mengizinkan mencoba pendekatan, terkecuali Viscy. Usaha Viscy patut diacungi jempol karena awalnya Sinar menolak didekati sampai akhirnya bersedia pendekatan. Kalau teman-teman kantornya tahu dia menolak Viscy, bisa ditolol-tololin. Tapi mereka tidak tahu bahwa menolak Viscy bukanlah hal yang mudah. Hanya saja Sinar memiliki banyak pertimbangan dan memutuskan untuk mundur.

"Dilihat dari cara typing, sih, udah nggak cocok, Say." Sinar memberikan jawaban menyeleneh.

"Duh, Tuhan ... gue mau lempar lo pakai batu!" seru Jayanti gemas sendiri.

"Ini beneran cuma masalah typing jelek sama typing ganteng?" celetuk Dianka.

"Typing jelek macam mana? Typing ganteng kayak apa pula?" serobot Lila.

Sinar cuma nyengir kemudian pelan-pelan meninggalkan ruangan tanpa memberi jawaban gamblang. Biarlah mereka bertanya-tanya atau menyebut dia sok cantik sekalian. Cukup Sinar dan Tuhan yang tahu alasannya.

👔👔👔

Hari Sabtu menjadi awal kuliah Sinar di kampus baru. Dia mengikuti perkuliahan dengan baik, mencatat layaknya anak kuliahan lainnya. Sinar senang karena dapat teman baru dan bisa belajar banyak hal. Dia dibelikan buku catatan dan alat tulis sekaligus tas baru oleh Cakrawala. Katanya, hadiah untuk hari pertama kuliah. Sinar senang-senang saja, tapi dia ingat kalau setelah pulang kuliah harus menemani Cakrawala––yang harusnya dia pakai untuk menemani Viscy jadi batal.

Sinar baru saja menyelesaikan catatan yang diberikan dosen. Dia tidak menduga kalau dosen yang mengajarnya adalah Sultan, laki-laki yang ditemui di tempat konser. Laki-laki itu menunjuknya sebagai ketua kelas yang akan dihubungi tiap ada tugas atau saat Sultan berhalangan hadir.

Dua jam berlalu begitu cepat. Sinar menyelesaikan mata kuliah terakhir. Dia mendekati Sultan yang masih sibuk membereskan buku-buku ke dalam tas.

"Pak Sultan, saya boleh tanya nggak?"

Sultan terkekeh. "Kenapa harus ada embel-embel Bapak? Saya malu jadinya."

"Ini di kampus, Pak. Kalo di luar mah udah saya panggil Kak aja." Sinar ikut terkekeh. Lidahnya agak aneh memanggil Sultan dengan embel-embel barusan.

"Bisa diterima alasannya." Sultan tersenyum lebar. Baru saja selesai membereskan buku-buku ke dalam tas. "Kamu mau tanya apa, Sinar? Tanya aja."

"Seandainya buku yang dijadikan referensi Bapak habis dipinjam di perpus sini, itu gimana? Ada perpus lain yang nyediain nggak, Pak?"

"Beli juga boleh, sih. Tapi berhubung saya punya dua, kamu bisa pinjam sama saya."

"Beneran, Pak?"

"Iya. Tapi ini kalo bukunya habis di perpus. Kalo nggak, ya, batal saya pinjemin."

Sinar mengangguk sambil tersenyum lebar. "Oke, Pak. Makasih banyak. Kalo gitu saya duluan, ya."

"Iya, Sinar. Hati-hati di jalan."

Sinar melenggang keluar kelas. Belum ada dua langkah, dia langsung dikejutkan dengan kehadiran Cakrawala. Laki-laki itu bersandar pada dinding dengan tangan bersedekap di dada. Wajah Cakrawala datar dan santai-santai saja meskipun sudah membuat kaget.

"Astaga, Tuhan!" Sinar menyentuh dadanya yang nyaris lepas dari tempatnya. "Bikin kaget aja! Ngapain coba berdiri di situ?" omelnya kesal.

"Nungguin kamu. Takut kamu digodain dosen sini," jawab Cakrawala santai.

Kening Sinar berkerut. "Ya, terus kalo dosen sini godain saya kenapa? Bagus, dong, saya punya pasangan dosen. Biar kalo ada apa-apa saya bisa tanya, Pak."

"Kalo dinikahin, kalo nggak? Dosen sini banyak yang genit juga tau. Apalagi dosen muda. Saya cuma nggak mau kamu tiba-tiba dimainin terus nangis." Cakrawala memberi alasan yang rasanya bukan 'dia banget'. Dia sengaja menunggu di luar kelas karena tidak sabar ingin ketemu Sinar. Gila, sih, tapi Cakrawala sudah hilang akal sehat belakangan ini, terutama soal Sinar.

"Ya, terus...." Sinar berhenti bicara saat melihat Sultan keluar dari kelas sambil tersenyum. Dia balas tersenyum dan menunduk kecil mengiring kepergian laki-laki itu.

Cakrawala menyipitkan matanya, menatap baik-baik sosok yang baru keluar dari kelas. "Bukannya itu laki-laki yang ngobrol sama kamu, ya?"

"Iya, dia dosen saya. Lumayan cuci mata." Sinar menjulurkan lidah, lalu meninggalkan Cakrawala. "Bos sinting. Dia pikir gue gampang ditolol-tololin cogan apa? Gue belum sebolot itu kali," gerutunya pelan.

Cakrawala tidak diam saja dan mengejar Sinar dari belakang. Dia mendengar gerutuan Sinar yang nyaris terdengar seperti umpatan untuknya.

"Saya dengar gerutuan kamu," tegur Cakrawala.

Sinar mengabaikan bosnya. Cakrawala berhasil menyamai langkah dan sesekali melirik Sinar yang tampak malas meladeni.

"Jadi, gimana kuliahnya sama dosen tadi? Siapa namanya? Sukimin, ya?" Cakrawala membuka obrolan.

"Sultan, Pak, bukan Sukimin," koreksi Sinar gemas.

"Oh, iya, iya, Sukimin. Ngajar mata kuliah apa dia?"

Sinar memutar bola matanya malas. Bosnya ini minta disambit sepatu. "Dia ngajarin caranya jatuh cinta sama uang."

"Saya serius, Sinar."

Saat Sinar akan menjawab, pintu lift terbuka. Alhasil, obrolan terputus begitu saja karena mereka bergabung dengan dosen dan mahasiswa lain di dalam lift. Sinar bersampingan dengan Cakrawala. Laki-laki itu menariknya lebih dekat ketika ada mahasiswa lain yang masuk ke dalam lift. Walau tak bicara dengan Cakrawala, tapi laki-laki itu berbincang dengan dosen lain. Sinar cuma mendengar namanya disebutkan semacam Tebing atau Belimbing. Entahlah.

Tak butuh waktu lama sampai mereka tiba di lobi. Mereka masih tetap diam dan belum melanjutkan obrolan sampai akhirnya masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, Cakrawala menggunakan jasa sopir pribadi. Mobil yang digunakan tetap yang lama, yang bagian tengah mobil memiliki partisi kabin.

"Gimana hari ini? Abaikan, deh, pertanyaan saya sebelumnya. Ini pertanyaan serius," mulai Cakrawala.

"Nah, ini baru namanya pertanyaan. Hari ini berjalan dengan lancar, Pak."

"Kalo gitu ceritakan hari pertama kamu di kampus."

Sinar menceritakan hari pertama di kampus dengan semangat. Sinar menceritakan hal-hal baru termasuk dua teman baru yang dekat dengannya begitu kenalan tadi. Cakrawala duduk sedikit miring hanya untuk mendengarkan dan melihat ekspresi Sinar saat menceritakan pengalaman pertamanya kuliah. Cakrawala tersenyum dan memberi tanggapan beberapa kali.

"Berhubung saya udah cerita, kasih tau kita mau ke mana," tanya Sinar usai menceritakan harinya sepanjang rel kereta api.

"Butik langganan saya. Nanti kamu kasih tau pakaian yang cocok untuk saya," jawab Cakrawala.

"Butik?" Sinar manggut-manggut. "Kalo bukan karena Bapak, saya udah anterin Kak Viscy pergi ke butik juga. Kasian dia mau beli jas batal gara-gara Bapak."

Raut wajah Cakrawala berubah. Senyum di wajahnya memudar. Kedua tangannya langsung bersedekap di dada. Sorot matanya langsung serius. "Kamu sama Viscy mau ke butik mana?"

"Rahasia perusahaan. Bapak nggak boleh tau."

"Kenapa kamu nggak ajak saya ke butik sana? Kenapa cuma Viscy yang kamu ajak ke sana?" Nada bicara Cakrawala mulai dipenuhi kegemasan akan keingintahuan tentang Sinar dan Viscy.

"Emangnya Bapak mau cari jas? Butik sana cuma menyediakan jas."

"Iya, saya mau cari jas."

"Bukannya baju buat di rumah?" Sinar menatap bingung. Dia masih ingat betul Cakrawala mau beli kaus dan celana pendek, bukan jas.

"Saya mau beli jas juga." Faktanya, Cakrawala tidak butuh jas karena sudah banyak di rumah. Selain itu, rata-rata jas yang dibeli langsung dikirim dari luar negeri.

"Nggak, ah. Nanti nggak cocok," tolak Sinar.

"Kamu nggak rela saya nyamain jasnya Viscy kesayangan kamu itu?" Cakrawala menekankan kata-kata 'kesayangan'.

Sinar mengacak rambutnya gregetan. "Astagaaaaa! Bapak bisa nggak, sih, jangan bahas Viscy mulu? Kasihan telinganya panas."

"Kenapa? Bukannya kamu senang?"

Sinar menghela napas. Tubuhnya bersandar pada punggung jok, lalu melihat ke luar. "Saya udah tutup buku terkait masa lalu. Jangan bahas dia lagi, Pak. Nggak enak kalo telinganya sampai sakit."

"Oke, saya nggak bahas lagi. Tapi kalo kamu berkenan, saya ingin tau kenapa kamu nolak dia. Apa dia bukan tipe kamu?"

Sinar diam cukup lama memikirkan jawaban yang tidak pernah ingin dia bagi kepada siapa pun bahkan Asia saja tidak tahu. Namun, entah kenapa bibirnya bergerak bukan atas kehendaknya.

"Jujur, saya nggak punya tipe pasangan ideal. Tapi bisa dibilang Viscy tipe yang akan saya jadikan acuan untuk cari pasangan." Sinar menjawab pelan, masih dengan melihat pemandangan di luar sana.

Hati Cakrawala seakan tengah ditusuk setelah mendengar jawaban Sinar. Berusaha untuk tenang-tenang saja, Cakrawala memberanikan diri membuka mulut untuk melanjutkan pertanyaan dari keingintahuannya lebih jauh. Namun, belum sempat dilakukan, dia lebih dulu mendengar jawaban lain.

"Kenapa saya tolak dia?" Sinar menarik senyum pahit, mengingat satu per satu alasan yang ditimbun dalam-dalam. Dia diam cukup lama. Bibir tak kunjung terbuka.

Ketika keberanian untuk mengungkap alasan muncul, tiba-tiba ponsel Sinar berdering. Dia melihat nama adiknya menghubungi. Sinar langsung menjawab.

"Halo, Oxa?"

"..."

"Apa kamu bilang?!"

"..."

"Kakak ke sana sekarang. Jangan ke mana-mana. Tunggu Kakak datang. Kunci pintu!"

Saat Sinar menjawab panggilan, Cakrawala memperhatikan. Ada perubahan ekspresi yang cukup besar. Sinar terlihat kaget dan mendadak tidak tenang.

"Ada apa?" tanya Cakrawala setelah Sinar menutup telepon.

"Pak, maaf. Boleh kita tunda perginya? Saya harus pulang ke rumah ibu saya. Adik saya ditinggal berdua aja. Mereka ketakutan. Boleh, kan, Pak?" pinta Sinar saat melihat Cakrawala.

"Boleh. Kasih tau alamat ibu kamu. Kita ke sana sekarang."

"Makasih, Pak."

Cakrawala mendapat pesan masuk dari Sinar yang mengirimkan lokasi terkini rumah yang dituju. Adiknya Sinar yang memberikan. Lalu, Cakrawala meneruskan kepada sopirnya untuk mengubah rute perjalanan.

"Kita bisa lebih cepat nggak, ya, Pak?" tanya Sinar semakin khawatir.

"Bisa, saya bilang dulu."

Cakrawala menghubungi sopirnya supaya lebih cepat. Pandangannya sesekali melihat Sinar yang tidak tenang. Kaki perempuan itu dihentak berulang kali dan raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Ini bukan Sinar yang hobi protes melainkan sisi lain Sinar yang baru dilihat Cakrawala.

Pelan-pelan Cakrawala mendaratkan tangannya di atas punggung tangan Sinar. Tindakannya berhasil mengalihkan kekalutan Sinar. Tatapan Sinar tertuju padanya. Sepenuhnya.

"Mereka akan baik-baik aja. Jangan khawatir," ucap Cakrawala.

Sinar mengangguk pelan. Bukan masalah adik-adiknya ditinggalkan, ada masalah serius yang menciptakan kekalutan dan kekhawatiran menggunung. Sinar tidak bisa tenang. Namun, kekhawatirannya mulai sedikit lebih tenang saat Cakrawala menggenggam tangannya. Saat itulah kaki Sinar berhenti dihentak, kecemasannya mulai luntur walau hanya sedikit.

👔👔👔

Jangan lupa vote dan komen😘❤🤗

Nambah lagi nih satu tim🤣

#CAKRA - SINAR

#TAKSA - SINAR

#VISCY - SINAR

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro