Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hello, Ex - Boss - 15

Yuhuu sesuai janji, aku update ehehe🥰🥰🥰

Anyway, kalo komen 100 lagi, besok aku update lagi🥰🥰 kalo gak tercapai, aku update baru hari Sabtu depan ya😘

Inget jangan spam abjad, emot atau angka :") biar aku bisa baca komen kalian🙈

#Playlist: Joan - I Loved You First (entah ini lagu buat si Sinar apa buat Cakra🤣🤣)

Nasi goreng kejam ala Sinar membuat Cakrawala pulang jauh lebih awal karena sakit perut berkepanjangan. Semua meeting dan jadwal ditunda sampai Cakrawala sehat kembali. Karena hal itu pula Sinar pulang sendiri. Bukan pulang naik kendaraan umum, Sinar tetap dijemput sopir pribadi Pandu di dekat kedai kopi kantor. Perasaan bersalah Sinar kian bertambah setelah mengetahui kondisi Cakrawala dari sopir. Katanya, sepulang dari dokter Cakrawala cuma diam di kamar, tiduran saja.

Demi menebus rasa bersalah, Sinar membawakan strawberry shortcake. Amanda bilang Cakrawala suka strawberry shortcake. Sinar membelikan sebulat penuh untuk suami palsunya.

"Kak Sinar!" sapa Cerecia riang, yang segera memeluk Sinar setibanya di rumah.

"Hai, Cia. Rapi banget. Mau ke mana?" Sinar merendahkan tubuhnya dan balas memeluk gadis kecil itu.

"Mau kondangan berdua sama Papa. Mama nggak bisa ikut soalnya dedek masih bobo."

"Oh, gitu. Hati-hati, ya." Sinar mengusap kepala Cerecia dengan lembut.

"Iya, Kak." Cerecia tersenyum lebar. Sejurus kemudian, senyumnya meredup saat menatap Sinar. "Kak Cakra sakit apa, Kak? Tadi aku ke kamar, Kak Cakra mukanya pucat. Mama bilang jangan diganggu soalnya lagi sakit."

Mendengar Cerecia bicara, perasaan bersalah Sinar tambah besar. Sinar mengusap kepala Cerecia sambil tersenyum tipis. "Sakit perut. Paling besok Kak Cakra sembuh. Doain, ya."

"Pasti, Kak! Nanti aku main ke sana sepulang kondangan, ya. Dadah, Kak Sinar!" Cerecia berlari cepat menghampiri ayahnya yang baru saja turun.

Sinar memberi salam kepada sang mertua palsu, lantas melambaikan tangan kepada Cerecia saat pergi berlalu. Setelah kepergian Cerecia, dia pergi ke dapur untuk meletakkan kue ke dalam kulkas. Barulah setelah itu Sinar naik ke atas menuju kamar. Dia akan menyapa Amanda nanti selesai mandi dan memastikan kondisi Cakrawala.

Tiba di dalam kamar, Sinar menangkap Cakrawala tidur memunggungi pintu masuk. Berjalan pelan-pelan, Sinar mendekati Cakrawala sampai berhasil melihat keadaan laki-laki itu. Cakrawala sedang tidur. Wajahnya masih pucat.

"Lagian kalo udah tau pedes, ngapain dihabisin, sih?" gerutu Sinar. Perasaan bersalah tak berhenti menghantui.

Sinar benar-benar tidak tahu kalau Cakrawala paling anti makan makanan pedas. Perutnya tidak sanggup menampung rasa pedas. Pantas hanya Cakrawala yang tidak pernah menyentuh sambal atau saus. Parahnya lagi, Cakrawala pernah masuk rumah sakit gara-gara makan makanan pedas. Jangan lupa juga kalau Cakrawala tidak bisa minum obat asal-asalan yang beli di luaran. Cakrawala punya alergi terhadap kandungan obat tertentu, yang membuat Cakrawala hanya bisa meminum obat yang diresepkan dokter. Jadi, bisa dibayangkan seberapa menyiksanya bolak-balik kamar mandi dan tidak ada obat yang bisa diminum dengan cepat karena tidak bisa sembarangan? Pasti sangat menyiksa.

"Cepat sembuh, ya, Pak. Maafin saya." Sinar spontan mendaratkan tangannya menyentuh kepala Cakrawala, mengusap kepala itu dengan lembut. Tak lama, dia hanya menyalurkan rasa bersalahnya, sampai akhirnya beranjak pergi menuju kamar mandi untuk mandi.

👔👔👔

Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Sinar tidak bisa tidur, siaga menjaga Cakrawala, takut sewaktu-waktu Cakrawala bolak-balik ke kamar mandi. Di atas nakas terdapat beberapa lembar obat yang diberikan atas resep dokter untuk bosnya. Sinar duduk di sofa bed sambil membaca novel. Di tengah kegiatan, ponselnya berdering. Nama Asia muncul di layar ponsel. Dengan cepat dia menjawab panggilan sahabatnya.

"Ini jam berapa, Say, telepon-telepon?"

"Biasa, deh, suami gue laper mendadak. Gimana keadaan Cakra? Masih tidur, ya?" balas Asia di seberang sana.

"Iya. Obatnya mungkin punya efek bikin dia istirahat penuh jadi belum bangun."

"Syukur, deh. Kak Angkara bilang waktu Cakra pulang, mukanya udah mirip mayat. Pucat banget. Dia makan apa, sih, di kantor? Lo tau nggak?"

Sinar mendesah kasar. "Dia makan nasi goreng buatan gue," akunya pelan.

"Buatan lo? Emangnya pedes? Nggak, kan?"

"Gue bikin asin dan pedes banget. Niatnya gue bikin gitu buat kasih pelajaran karena dia macem bocah main ngambek cuma perkara gue nggak mau diobatin. Mana gue tau dia nggak bisa makan makanan pedes. Ya, Tuhan ... dosa banget ini, sih. Gue jahat, ya?"

Dipikiran Sinar, sepupu bosnya akan memaki atau misuh-misuh, kenyataannya dia malah mendengar Asia tertawa terbahak-bahak. Sinar terheran-heran mendengarnya. Satu alisnya sampai menukik naik.

"Jahat, sih, dikit. Tapi lo, kan, nggak tau dia anti makanan pedes. Kalo tau lo bakal bales dendam dengan cara lain. Lagian gue heran kenapa dia sampai jadi tukang ambek dadakan perkara lo nggak mau diobatin doang. Emangnya lo kenapa, sih? Jatuh?"

"Iya, jatuh. Kakak lo udah obatin makanya gue nggak mau diobatin lagi. Cakra malah sewot bawa-bawa kalo diobatin Kak Viscy mau, tapi sama dia nggak mau. Kan, aneh. Sarap," cerita Sinar.

Asia tidak tertawa lagi. "Kakak gue? Kapan kalian ketemu?"

"Kemarin siang. Gue nggak lihat jalan terus kesandung buku di perpus. Ketemunya di perpus sini. Gitu, deh," cerita Sinar.

"Oh, pantes, besok dia mau ke sana lagi. Gatel banget kakak gue. Emang susah, sih, kalo belum lupa mah. Dia masih belum bisa lupain lo, tuh. Gue yakin banget. Biarpun nggak ngomong, gue tau, dia secinta itu sama lo."

"Lo gila, ya? Dia cinta sama istrinya lah."

"Lo belum lupa, kan, kalo kakak gue nikah sama kakak ipar gue yang judes itu bukan karena cinta? Mereka nikah dijodohin. Kakak gue nggak ada rasa sama dia. Kakak gue nggak bahagia kali sama dia. Lo nggak tau aja," beber Asia.

Sinar belum lupa. Dia tahu Viscy menikah dengan istrinya, Deora Palmer––si atlet panah––atas dasar perjodohan. Sebelumnya Asia sempat mengatakan kalau Viscy tidak bisa mengajaknya menikah, maka Viscy minta dijodohkan dengan perempuan lain. Dan hasilnya Viscy benar-benar dijodohkan. Sinar tidak tahu kalau Viscy tidak bahagia. Karena baginya pernikahan yang dijalani selama dua tahun, tidak mungkin tidak muncul perasaan.

Sinar baru akan menanggapi, tapi dia mendengar suara lain yang tak lain suara suami Asia, yang ikut nimbrung. "Itu mah Cakra cemburu kali makanya ngambek."

"Tuh, denger kata suami gue, kan? Kayaknya sepupu gue mulai kepincut pesona lo, deh," tambah Asia.

"Suami istri sama nggak warasnya. Udah, ah, gue mau tidur." Sinar menyudahi sambungan.

"Eh, eh, gue belum selesai, Sinar!"

"Bye."

Sinar tidak peduli dan mematikan sambungan sepihak. Mendengar ucapan suaminya Asia, pandangannya langsung tertuju pada Cakrawala. Masa, sih, bosnya cemburu? Gila kali. Orang masih galauin Erine. Tidak mau mengambil pusing, Sinar meletakkan novel yang dibaca di atas meja, lantas mendekati Cakrawala yang masih tertidur lelap.

Dia menarik kursi sampai berada di samping tempat tidur, memandangi bosnya. Sinar menarik selimut Cakrawala sampai menutupi batas dada laki-laki itu, membiarkan kedua tangan berada di luar.

"Cepat sembuh, Pak. Selamat malam."

Kalimat barusan menjadi pamungkas terakhir sebelum akhirnya Sinar ikut memejamkan mata sambil bersandar di kursi yang didudukinya.

👔👔👔

Bersamaan dengan mentari pagi yang muncul, Cakrawala bangun lebih awal. Sosok pertama yang Cakrawala lihat mengawali paginya adalah keberadaan Sinar. Perempuan itu merebahkan kepala di pinggir tempat tidur dengan tangan yang entah sejak kapan sudah menggenggam tangannya. Genggaman tangan yang terlihat, membuat senyum di wajah Cakrawala terbit bagai mentari pagi. Dia tidak tahu sejak kapan Sinar menemaninya seperti ini. Semalaman Sinar tidak pakai selimut, tidurnya pun membungkuk dengan mengandalkan sedikit ruang kosong di pinggir tempat tidur. Tubuh Sinar pasti pegal.

"Pasti sakit tidur begini," gumamnya pelan.

Cakrawala mengulurkan tangan hendak menyentuh  kepala perempuan itu, tapi niatnya batal saat Sinar bergerak. Cakrawala pura-pura tidur.

"Jam berapa, nih?" Sinar menarik diri, meregangkan seluruh ototnya yang sakit karena tidur tidak dalam posisi yang benar. Pandangan pun langsung tertuju pada jam dinding. "Udah jam enam aja. Duh, badan gue sakit," keluhnya pelan.

Cakrawala tidak enak Sinar menjaganya sampai tidak tidur di tempat tidur. Seharusnya pas pulang kemarin dia tidur di sofa bed jadi Sinar bisa tidur nyenyak di tempat tidur. Membuka kelopak mata pelan-pelan, Cakrawala tidak mau ketahuan pura-pura tidur.

"Pagi, Bos," sapa Sinar begitu menyadari Cakrawala terbangun.

"Pagi, Sinar," balasnya sambil mengusap wajah, berpura-pura baru bangun dari tidur nyenyak.

"Gimana perutnya, Pak?"

"Baik-baik aja."

Sinar bernapas lega. "Syukurlah. Lain kali jangan dimakan, Pak, kalo tau pedes gitu."

"Soalnya kamu udah buatin, sayang kalo dibuang."

Perasaan bersalah Sinar langsung muncul, semakin tinggi bak gunung. Ini pula yang kayaknya bikin Cakrawala dibodoh-bodohi perempuan, terlalu baik.

"Maaf, Pak." Sinar menunduk penuh rasa bersalah.

Cakrawala menatap bingung. "Buat apa?"

"Sebenarnya saya sengaja buat nasi goreng seasin dan sepedas itu untuk Bapak. Niatnya cuma buat jahilin Bapak aja karena ngambek saya nggak mau diobatin. Saya pikir nggak akan dihabiskan. Saya juga nggak tau kalo Bapak nggak bisa makan makanan pedas. Maafin saya," aku Sinar akhirnya.

Cakrawala kaget, tapi tidak marah. Dia tidak menduga Sinar sengaja. Dia pikir nasi goreng seasin dan sepedas itu memang karena ketidaksengajaan. Meski demikian, dia jadi tahu kalau Sinar mengiranya ngambek. Padahal bukan ngambek, dia cuma bingung sama perasaannya sendiri. Mau bilang cemburu kurang tepat, dibilang tidak cemburu juga bingung. Entahlah. Perasaan Cakrawala bercampur aduk. Waktu Sinar membuatkan makan dengan rasa nano-nano, dia tidak mau Sinar merasa sia-sia memasak kalau dia tidak menghabiskan.

"It's okay, Tukang Protes." Cakrawala mengubah posisi, duduk bersandar pada headboard sambil satu tangannya menyentil kening Sinar.

"Bapak nggak marah?" Sinar mengusap keningnya, kemudian menaikkan pandangan menatap Cakrawala yang tampak santai.

"Nggak. Kalo saya marah biasanya mau pecat orang. Kamu mau dipecat?"

"Eh, jangan-jangan." Sinar langsung panik kuadrat. "Sebagai gantinya Bapak boleh minta kompensasi apa pun."

"Apa pun?"

"Kecuali makan di restoran mewah. Uang saya nggak ada, Pak."

"Oke."

Sinar mengernyit. "Oke? Apanya yang oke? Bukan makan di restoran mewah, kan?"

"Bukan. Saya belum kepikiran mau apa jadi bilang oke dulu."

Sinar bernapas lega. Tangannya refleks mengelus dada. "Syukurlah. Bikin panik aja, Pak." Lalu, dia memperhatikan Cakrawala sekali lagi. "Bapak beneran nggak marah, nih? Bener nggak kesel saya jahilin sampai bikin bolak-balik ke kamar mandi?"

"Iya, nggak. Apa mau saya marah aja?"

"Nggak usah, Pak." Sinar menggeleng berulang kali. "Makasih, Pak. Kalo gitu saya mau mandi," lanjutnya.

Selepas kepergian Sinar, ada senyum yang tak bisa dikontrol muncul dengan sendirinya di wajah Cakrawala. Perut Cakrawala masih kurang enak. Meskipun sudah membaik, dokter menyarankan agar dia istirahat sehari di rumah. Dia tidak bisa marah dengan Sinar. Lagi pula kejahilan itu diawali ketidaktahuan Sinar akan ketidaksukaannya terhadap makanan pedas. Cakrawala beristirahat beberapa menit lagi sebelum nanti dia bersiap berangkat kerja. Dia tidak mau diam di rumah, toh, sudah baikan.

Setengah jam berlalu Sinar keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan diri. Bosnya tidur lagi. Sebelum berangkat kerja, Sinar menarik selimut Cakrawala sampai batas dada.

"Cepat membaik, Pak," ucapnya mendoakan. Detik selanjutnya Sinar bergegas keluar meninggalkan kamar.

Lima belas menit kemudian, Cakrawala terbangun. Dia mengusap wajahnya, tak melihat Sinar di sana. Tas tenteng kesayangan Sinar pun tak ada di atas sofa. Tampaknya Sinar mengira dia tidak bekerja jadi sudah berangkat duluan.

"Kak Cakraaaa!" Panggilan yang cukup kencang memenuhi ruang kamar Cakrawala.

Cakrawala menanggapi dengan pelan. "Iya, Yuri?"

"Kak Cakra udah sembuh belum?" tanya Cerecia.

"Udah, kok. Ini mau kerja."

"Aku takut Kak Cakra masuk rumah sakit." Cerecia memeluk Cakrawala dengan wajah sedih. Pelukannya dipererat begitu sang kakak membalasnya. "Jangan sakit lagi, Kak. Aku sedih."

"Iya, Yuri." Cakrawala terharu mendengarnya. Adik kecilnya ini memang paling akrab dengannya. Mungkin ini juga yang membuat Cerecia lebih sering menempel padanya. Sambil mengusap kepala gadis kecil itu, dia bertanya, "Kak Sinar udah berangkat kerja belum?"

Cerecia menarik diri dan menjawab, "Udah, Kak. Barusan aja."

"Oh, pergi sama Pak Darto?"

"Nggak, bareng Kak Viscy," beber Cerecia.

"Viscy?" Cakrawala mengulang, takut telinga salah dengar.

"Iya, Kak Viscy. Tadi Kak Viscy datang ke sini mau ketemu Kak Panca, tapi Kak Panca belum bangun, terus dia nawarin anterin Kak Sinar." Cerecia memberi tahu.

"Kak Sinarnya mau?"

Cerecia mengangguk. "Kak Asia yang nyuruh Kak Sinar untuk bareng. Katanya biar bisa ngobrol di jalan. Gitu, Kak."

"Berarti ada Asia juga?"

Cerecia mengangguk lagi. "Iya. Kak Asia mau ketemu Kak Angkara. Kalo nggak salah lagi ngobrol di bawah. Katanya juga mau sekalian jenguk Kakak."

Cakrawala mendesah kasar. Asia ini paling menyebalkan sedunia. Mentang-mentang tahu dia cuma suami palsu dan Viscy mau bercerai, Asia malah menyuruh Sinar berangkat bersama Viscy. Ini gara-gara sakit perut sialan, dia jadi tidak bisa berangkat bersama Sinar. Lonjakan amarah dalam diri Cakrawala muncul.

"Cakraaaaa! Udah sembuh belum?"

Tanpa perlu menoleh, Cakrawala langsung tahu kalau sang empunya suara adalah Asia. Satu-satunya sepupu perempuan yang dimiliki Cakrawala, yang kadang bisa menjadi bunglon karena berpihak ke mana-mana. Iya, terutama soal menyuruh Sinar berangkat sama Viscy.

"Karena udah ada Kak Asia, aku pergi, Kak. Semakin membaik, Kak Cakra." Cerecia seakan paham kalau kedatangan Asia untuk membicarakan hal penting. Dia meninggalkan kecupan manis di kedua pipi kakaknya, lalu berlanjut memeluk Asia sebentar sebelum akhirnya pergi meninggalkan kamar.

Cakrawala memelototi Asia. Yang dipelototi langsung sadar dan senyam-senyum.

"Kenapa? Mau protes, ya, karena Sinar berangkat bareng kakak gue?" tembak Asia sekenanya.

"Ngapain, sih, lo nyuruh dia bareng sama Viscy?" Suara Cakrawala agak meninggi, rahangnya mengeras.

"Kok, marah? Emangnya nggak boleh? Lo sama Sinar, kan, cuma pasangan palsu. Kalo lo beneran suaminya, baru boleh protes. Lagian abang gue udah urus perceraian. Bentar lagi dia menduda. Dalam konteks status, Sinar juga masih single. Nothing wrong, dong?" Asia menarik kursi yang sempat diduduki Sinar lebih dekat dengan tempat tidur sehingga bisa berhadapan dengan Cakrawala. Tanpa merasa bersalah, dia mengunyah permen karet dengan tenang.

"Viscy beneran mau cerai?"

Asia mengangguk. "Lo belum lupa, kan, dia menikah sama istrinya karena dijodohin? Bokap gue jodohin Viscy setelah Sinar nolak diajak nikah. Ya, lo tau sendiri, deh, Kakak gue nggak gampang jatuh cinta. Jadi, dia belum bisa cinta sama istrinya biarpun udah dua tahun jalan bareng."

Cakrawala lupa bagian yang satu itu. Dia baru ingat kalau Viscy menikahi istrinya atas perjodohan. Teringat hal ini, dia jadi kesal.

"Semalem gue teleponan sama Sinar. Kaget juga, sih, ternyata kakak gue masih terbayang-bayang Sinar," cerita Asia. Dia membuang permen karetnya yang tak manis lagi ke dalam tempat sampah sebelum akhirnya melanjutkan, "Pagi ini, gue tanya sama Viscy, dong. Gimana perasaan dia buat Sinar."

"Jawabannya apa?"

"Dia masih cinta sama Sinar."

Detak jantung Cakrawala seakan berhenti berdetak selama beberapa detik. Dia menyentuh dadanya, merasakan keanehan yang kerap dirasakan beberapa hari belakang.

"Kalo tiba-tiba Viscy usaha deketin Sinar lagi gimana, Cak? Lo nggak masalah, kan? Ini semisal Viscy tau kalian cuma pura-pura." Asia bertanya-tanya penasaran setelah melihat perubahan ekspresi sepupunya.

Ada perasaan tidak rela yang muncul. Cakrawala bingung mengartikan perasaannya. Mungkinkah dia mulai jatuh dalam pesona Sinar? Atau, dia tidak mau status palsu ini berakhir karena takut dikira akan merebut Erine?

"Terserah kakak lo aja." Cakrawala turun dari tempat tidurnya, menjawab dengan pikiran bercabang. "Gue mau mandi. Lo pergi, deh."

"Galak amat. Ya, udah, sih, easy. Kakak gue belum tau kalian cuma pura-pura, kok. Gue cabut, deh," pamit Asia sambil melambaikan tangan.

Cakrawala mengambil bathrobe, berjalan mendekati kamar mandi. Belum juga sempat melangkah masuk kamar mandi, dia mendengar ucapan Asia yang lain.

"Gue lupa bilang. Sinar nolak Viscy bukan karena nggak suka. Sebaliknya, Sinar cinta banget sama Viscy. Tapi gue nggak tau apa alasan dia nolak Viscy. Dia nggak pernah cerita. Sebelum Viscy nikah, Sinar kasih satu buku penuh diary punya dia yang isinya tentang Viscy. Gue sempat baca satu halaman dan gue langsung tau, Sinar sesayang itu sama kakak gue. Sampai detik ini pun, gue nggak tau apa Sinar udah lupain Viscy atau belum. Sinar selalu menghindar tiap gue bahas soal Viscy."

Kata-kata itu menembus dinding hati Cakrawala. Pertanyaan soal perasaan Sinar terhadap Viscy pun menjadi acuan utama untuk dicari tahu. Lebih dari itu, Cakrawala merasa takut. Entah apa yang membuatnya takut.

"Bye, Cak. Cepat sembuh!" Asia akhirnya pamit setelah selesai membeberkan hal yang perlu diketahui sepupunya tanpa niat apa pun.

Cakrawala ditinggalkan dalam keadaan diam membeku. Apa Sinar masih memikirkan Viscy? Sialan. Kenapa dia jadi kepikiran?

👔👔👔

Jangan lupa vote dan komen kalian🤗😘❤

Follow IG: anothermissjo

Yuhuuu salam dari Cakra🥺🥺


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro