Vierentwintig - Besluit (Keputusan)
Bulan berlalu lebih cepat dari yang kukira. Tinggal tiga puluh hari lebih sekian pergantian tahun tiba. Dulu saat orangtuaku masih bersama, Papa akan memboyong kami ke Belanda untuk liburan tahun baru. Entah untuk tahun baru nanti? Aloha 2016! Yakinlah, tahun baru nanti akan lebih menarik karena apa yang kuinginkan hampir semuanya tercapai!
Papa dan Mama tak bisa tinggal lama di sini. Bukan, bukan keduanya, melainkan Papa yang harus segera kembali ke negaranya. Mama barangkali menemeniku dan peduli setan dengan bosnya yang semena-mena. Bahkan secara terang-terangan—di depan Papa juga—Mama bilang ia tak lagi berhubungan dengan bosnya, memilih mencari pekerjaan lain saja.
"Je kunt werken in mijn plaats (kamu bisa bekerja di tempatku)," kata Papa sewaktu kami sampai di rumah dan duduk di ruang tamu.
"Ne, tidak." Menolak tawaran Papa, Mama menggeleng. "Aku tentu tidak bisa meninggalkan Laras di sini."
"Arimbi, perusahaanku tidak hanya di Nederlands. Kan aku punya satu anak perusahaan di Indonesia juga."
"Itu hasil kamu, bukan kita berdua."
"Tapi kamu yang membantuku memulainya."
Nah kalau sudah berdebat seperti ini aku tak suka. Tidakkah mereka menyadari eksistensi putrinya dan satu tamu yang memerhatikan dalam diam di pojok sana? Aku menoleh ke arah Raka, mengangkat bahu meminta ia mencari jalan keluar atau sedikit saja celah untuk menghindari perdebatan yang semakin keruh itu.
"Tante Arimbi bisa bekerja di tempat Papa saya. Papa saya membutuhkan sekretaris di kantornya."
Mama yang menyadari keberadaan Raka spontan menoleh dan berhenti berceloteh membantah Papa yang ngotot bahwa penghasilan yang ia dapat hasil kerja keras mereka. Kurasa aku tahu dari mana watak batu dan gengsiku berasal.
"Nggak usah repot-repot, Nak."
"Saya tidak merasa kerepotan. Papa saya membutuhkan satu sekretaris, bukankah seharusnya saya senang sudah menemukannya di sini?"
Kalimat itu sukses membungkam mulut Mama. Hanya helaan nafas panjang balasannya, sepertinya lebih memilih tawaran Raka daripada Papa yang ngotot meminta ia bekerja di perusahaannya—bahkan tak tanggung-tanggung memberinya posisi bagus sebagai general manager. Selain gengsi, Mama tak ingin mendapatkan sesuatu secara instan. Ia terbiasa bekerja keras demi mendapatkan hasil yang setimpal. Sikap itu juga yang diajarkannya padaku. Baik Mama dan Papa, keduanya memang pekerja keras.
"Ya baiklah..."
"Kamu lebih memilih tawaran anak orang daripada aku?" Papa tampak tak mau kalah dari Raka. Aku menepuk dahiku, bersiap mendengr perdebatan lainnya.
"Memangnya kamu siapa?"
"Anak itu juga siapa? Dia lebih asing daripada aku."
"Dia teman sekaligus orang yang menolong Larasita. Lagipula dia kan teman kerja kamu juga!"
"Maar ik ben je man (tapi aku suami kamu)!"
"Mijn man (suamiku)?!"
Ya ampun! "Mama, Papa, stop! Kalian nggak malu apa berantem di depan anak orang?" Mataku memelotot kepada mereka yang saling membelakangi dan membuang muka. "Kepala Laras jadi pusing nih. Laras mau istirahat aja di kamar."
"Biar Mama anterin, ya."
Aku menggeleng cepat. Tujuanku hanya memberikan kesempatan bagi kedua orangtuaku untuk bicara berdua. Harusnya mereka bisa lebih komunikatif dan mulai memperbaiki masalah di antara mereka tanpa keterlibatanku. Sungguh, pembaca, aku yakin masih ada cinta di hati mereka yang diselimuti keegoisan.
"Saya saja," Raka yang mengerti sinyal dariku menawarkan diri. Dipapahnya aku berdiri dan dibantu berjalan meninggalkan ruang tamu. Ketika menoleh ke belakang, aku lihat kedua orangtuaku masih berdiri saling membelakangi. Sampai akhirnya Papa menghela nafas panjang, duduk di sofa. Sebelum lenyap dari balik tembok aku melihat bahunya merileks.
"Kita dengar mereka mau bicara apa," bisikku menahannya membawaku naik ke atas.
"Oke."
Berdua, kami berdiri dalam senyap untuk menguping perbincangan di ruang tamu. Berjalan sepuluh detik sesuai perhitunganku dalam hati, mereka tetap tak saling bicara. Sampai akhirnya Mama membuka percakapan dimulai dengan hembusan nafas pendek.
"Terima kasih."
Papa menoleh. Kalau begini mereka seperti remaja yang baru saling mengenal. Keadaan kelihatan dan terasa sangat canggung. Bila aku berumah tangga nanti, aku harap tak ada insiden seperti ini yang justru membikin anak-anakku menderita di kemudian hari.
"Dia anakku, tidak perlu berterima kasih."
Lalu senyap. Aku menggeleng-geleng kesal. Apa susahnya sih bilang maaf dan memulai kehidupan baru? Mungkin aku yang belum cukup dewasa memahami persoalan mereka dan mementingkan keinginanku agar keluargaku kembali seperti dulu. Tak adakah cinta di hati keduanya? Mengapa hatiku berkata mereka masih saling mencintai?
"Aku minta maaf," pada akhirnya kata sakral itu terlontar dari mulut Mama yang keras kepala. "Aku kira masalah ini akan selesai dengan dibukanya pintu baru untuk kita. Kamu dengan perempuan itu dan aku dengan bosku."
"Kamu juga harus minta maaf karena tidak mau mendengarkan penjelasanku, Arimbi. Wanita yang aku kirimi uang, sahabatku, dia ditinggal suaminya yang tak bertanggung jawab. Anaknya sakit-sakitan. Aku sangat jahat jika tidak memberikan bantuan kalau tahu aku mampu."
Kenyataan macam apa itu? Ucapannya menelusup dalam kepalaku, membikin aku termenung sekadar mencerna kata demi kata Papa. Setahuku, mereka bercerai setelah terlibat pertengkaran sengit dengan tuduhan Mama yang berkata Papa selingkuh dan telah menghasilkan satu anak.
"Dengan menikahinya?" Mama tertawa sarkastis.
"Dia sangat depresi, aku tak tega. Anaknya seusia Larasita. Aku selalu membayangkan bila hal itu menimpa anakku, apa yang akan kulakukan?"
"Tapi kamu menikahi dia!"
"Oke, aku mengaku bersalah! Aku melakukan itu karena kasihan! Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku menikahi dia setelah kita bercerai, Arimbi. Aku yang bertanggung jawab atas anaknya yang sakit. Sungguh, aku tidak tega."
"Kamu lebih memedulikan anak orang daripada anakmu sendiri."
"Oh ya? Kamu yang melarangku bertemu, berhubungan, dan mendengar kabar anak kita. Sekarang kamu menyalahkan aku?"
Rupanya salah paham. Aku terlanjur menjustifikasi Papa sangat buruk. Bagaimana mungkin aku berpikir Papa tak sayang lagi padaku? Aku sempat berpikir Helenina lebih beruntung memiliki orangtua yang peduli padanya. Membandingkan diriku dengannya memang kesalahan. Raka betul, aku dan ia berbeda. Kami hidup di masa yang tak sama. Nina memiliki kehidupannya, sama sepertiku. Hidup kami harusnya tak boleh disamakan.
"Aku ke kamar ajalah." Melangkah lesu, aku melewatinya. Ia menyusul di sebelahku dan melingkarkan tangan di sekitar pundakku. Mereka berdua tampaknya tak akan bisa bersatu lagi...
"Orangtua kamu lucu ya. Gengsinya sama-sama tinggi."
Kepalaku tengadah memandangnya. Mataku menangkap senyum samar di bibirnya begitu kami bersipandang, lalu ia mengalihkan matanya dariku.
"Ya begitulah."
Di kamar, aku tak lantas merebahkan badanku, alih-alih membuka pintu dan berhenti di balkon sekadar merasakan hembusan angin sore di cuaca mendung. Belum-belum bau hujan akan turun sudah meruap di indera penciumanku. Angin membawa rambutku menari kecil. Beberapa helainya menempel di pipi dan bibirku. Raka membantuku menyingkirkan helaian itu dari wajahku.
"Jadi kamu suka stalking aku di sini?" katanya senewen.
"Eh, enak aja! Aku cuma nggak sengaja kok lihat kamu melukis di sana." Aku tunjuk jendela mana tepatnya dapat kulihat ia melukis. "Dan makan di sana." Lalu jendela lain tempatnya biasa makan. "Atau membaca di sana." Kemudian jendela di mana biasanya aku melihat ia duduk bersantai di sofa bertekur dengan buku-bukunya.
Apa yang baru saja aku katakan! Buru-buru aku membungkam mulutku sendiri. Tak ada pembelaan dariku. Kini ia akan menuduhku sebagai stalker yang terobsesi dengannya. Pada kenyataannya tidak, sumpah. Salahnya sendiri mengapa ia tinggal di rumah itu dan membiarkan aku melihat aktivitasnya ketika bersantai di balkon ini.
Di samping, aku dengar ia tertawa. Tawa mengejek kurang ajar. Kujatuhi ia dengan lirikan kesal, lantas melengos. Ia menyentil poniku, membikin aku mengerang dan menyisirnya lagi menggunakan jemari.
"Aku pengen deh keluargaku utuh kayak dulu." Mendadak suasana mendung mendorong hatiku mencurahkan keluh kesah dan keinginanku pada lelaki di sebelahku yang tak henti-hentinya memerhatikan aku. Jari-jariku mencengkeram birai balkon, memandang lurus ke depan dan berandai-andai kiranya aku dan keluargaku dapat berkumpul lagi. Biasanya kami merayakan dua hari besar bersama-sama. Saat lebaran, biasanya aku dan Mama membuat ketupat dan opor ayam sedangkan Papa yang sibuk mencicipinya. Dan waktu natal, kami terbiasa menghias pohon ramai-ramai, dan merayakannya di Nederlands bersama keluarga besar Gevaarlijk. Keluargaku dulu harmonis sekali dan tak jarang membikin tetangga cemburu. Sekarang, semuanya jadi terasa janggal dan aneh. Seakan ada lakuna di hatiku. Seakan ada air berjelaga yang mengeras di sana.
Aku ceritakan kesenangan itu pada Raka yang dengan senang hati mendengarkan tanpa menginterupsi.
"Nggak ada cinta yang kadaluarsa," ia membalasku usai kuselesaikan ceritaku. "Yang kadaluarsa itu nafsu, bukan cintanya."
"Iya? Kenapa begitu?"
"Hm, Ara, Papaku nggak pernah menikah lagi sejak Mamaku meninggal. Dia bilang, menikah itu penyatuan dari cinta, komitmen yang nggak sembarangan. Menikah lagi cuma alasan lain buat memelihara nafsu. Apalagi menikahi banyak perempuan. Kalau sekarang, poligami itu nama lain dari nafsu. Yang namanya cinta, nggak ada batas akhirnya, bahkan sampai kematian tiba."
"Kalau konsep jodoh?"
Ia tertawa. Entah bagian mana yang lucu dari pertanyaanku. Oh, aku baru ingat kalau dulu pernah menyebutnya jodohku.
"Dengar ya, Larasita, aku nggak percaya jodoh itu di dunia."
"Eh? Dosa loh bilang kayak gitu!"
"Jodoh itu di alam metafisik, alam setelah mati," lanjutnya yang praktis membungkam mulutku. "Kalau jodoh benar ada di dunia, apa artinya pasangan kawin-cerai, hm? Atau yang menikah sampai tujuh kali. Aku hanya percaya jodoh itu cuma ada di alam setelah kematian. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa di surga, maka manusia berakhir berpasangan di surga juga." Ia merangsek makin dekat di sebelahku sampai tak menyisakan jarak. "Amba dan Resi Bhisma salah satu contohnya. Bisa jadi mereka berjodoh di alam baka.."
"Atau Dasamuka dan Widowati?" aku tersenyum padanya.
"Dasamuka dan Dewi Sinta. Hmm bisa aja."
"Kalau Arjuna, menurut kamu, siapa jodoh Arjuna di alam baka?" Entah mengapa perbincangan ini makin menarik saja. Perbincangan macam begini, bila dilakukan bersama orang yang aku cinta, akhirnya akan bermuara pada rasa nyaman dan menyenangkan. Rasanya sama seperti saat mencium petrikor, aroma tanah basah sewaktu hujan.
"Arjuna? Hmm... mungkin Sumbadra."
"Kenapa bukan Srikandi?"
"Kalau Srikandi jodoh Arjuna di alam baka, terus jodoh buat Resi Bhisma siapa? Ingat, Srikandi itu perwujudan lain Amba. Itulah konsep jodoh yang aku pahami, Ara. Kalau yang di dunia, aku sebut takdir. Amba ditolak dua lelaki bukan tanpa alasan. Prabu Salwa yang emang udah dipertunangkan sama Amba menolak mentah-mentah karena merasa terhina atas kemenangan Bhisma yang dihadiahi Amba, Ambika, sama Ambalika. Amba yang terlanjur jatuh hati meminta pertanggungjawaban Bhisma atas kemenangan itu."
"Dia mati dipanah Bhisma secara nggak sengaja, kan?" Aku hafal cerita itu. Memang menyakitkan menjadi perempuan yang ditolak dua lelaki. Apa kurangnya Dewi Amba yang sangat cantik jelita itu? Aku rasa, pria manapun tak akan menolak seorang putri jelita macam dirinya. Dan aku tahu alasan dari penolakan itu. "Bhisma menolak Amba karena terlanjur terikat sumpah demi Satyawati yang tamak itu."
Ia mengangguk. "Lalu menitis pada Srikandi untuk membalas rasa sakit hatinya dengan kematian Bhisma. Coba kamu bayangkan, kalau Resi Bhisma emang nggak ada rasa cinta buat Amba, dia nggak akan mau mati begitu saja di tangan Srikandi, Ara. Bhisma punya keistimewaan, menentukan kematiannya sendiri, tapi dia memilih Srikandi yang menjadi penyebab kematiannya di medan perang. Beberapa hari setelah perang Bharatayuda, Srikandi mati dipenggal. Kematian Bhisma di Kurushetra dan Srikandi membuktikan kalau Amba cuma dipersiapkan untuknya di surga."
Aku tercenung selama beberapa saat sembari terus menatap langsung pada matanya. "Aku harap Drupadi cuma jadi milik Bima."
"Siapa tahu? Siapa tahu, Arimbi takdir Bima di dunia, sedangkan Drupadi jodohnya di nirwana. Niemand weet (tak ada yang tahu)."
Barangkali itu juga yang membikin ia menganggapku gila. Sejujurnya, aku hanya ingin ia yang menjadi takdirku di sini dan pasanganku di surga. Kuamati ia dengan lirikan sambil bertanya-tanya, apakah ia menjadi milikku suatu saat nanti? Aku tak bisa memaksakan kehendak Tuhan bila memang ia bukan takdir dan pasanganku di alam baka. Tapi, Tuhan, mengapa Kau mengutuk cinta yang Kau sematkan begini hebatnya dalam hatiku?
"Kalau menurut kamu... Nina sama Ario, berjodoh apa nggak?"
"Kita yang menentukannya." Ia tersenyum sekilas, lalu berpaling dariku.
Apa maksudnya 'kita yang menentukannya' itu? Aku ingin bertanya, namun suara rintik hujan menggerayangi genting rumah sontak menyelotip mulutku. Kepalaku tengadah melihat air ditumpahkan dari langit petang.
"Hujan nih. Masuk yuk. Nanti kamu sakit." Ia menggiringku masuk, menutup pintu namun membiarkan kelambunya tersibak agar dapat kulihat air tercurah menuju bumi.
Nah, petrikor yang tadi kusebutkan, kini merasuk dalam penciumanku. Aromanya damai. Terlebih keberadaan Raka di sini, ikut memberikan kedamaian. Ia membantuku berbaring dan membentangkan selimut.
"Mama dan Papa kamu pasti nggak ngebolehin aku ada di sini seharian." Setelah berkata begitu, ia beranjak berdiri hendak meninggalkan aku. Aku tarik tangannya, memintanya tinggal.
"Kalau aku ijinin pasti boleh kok. Lagian sekarang masih hujan."
"Kamu butuh waktu istirahat, Ara."
"Aku nggak butuh waktu istirahat, aku butuh ketenangan. Dan cuma kamu yang bisa bikin aku tenang." Kulebarkan mataku memberikan tatapan memohon. "Gelieve." Hey, mengapa aku jadi manja macam begini, Pembaca? Aku tak berniat melontarkan kalimat itu. Sekarang mengapa aku seperti ketergantungan padanya? Tapi tak kupungkiri, aku hanya ingin ia ada di sini. Sejak pembicaraan tadi, cerita tentang Amba, Resi Bhisma, Drupadi, Bima, Srikandi, Arjuna... entah mengapa justru menguatkan keinginanku tetap berada di sampingnya. Ini semacam... entahlah, bagaimana aku menyebutnya?
Rupanya Raka tidak mengabaikan permohonanku. Bukan hanya duduk di sebelahku, ia langsung memosisikan dirinya, berselonjor di sebelahku seraya melingkarkan tangannya di sekitar pundakku, membimbingku untuk tidur kiranya. Rasanya nafasku terhenti di tenggorokan. Kupandang ia, mengerjap.
"Kenapa jadi lihatin aku kayak gitu? Kamu malah nggak nyaman?"
"Bukan kok. Cuma... heran aja sama kamu."
"Heran?"
Aku memejamkan mata dan menggeleng. "Nggak." Lalu mataku terbuka. "Aku kan biasanya bikin cerita buat kamu, sekarang gantian dong."
"Aku nggak bisa bikin cerita."
"Apa aja deh, cerita yang udah pernah kamu baca."
Ia menggeleng. "Aku nggak bakat jadi story teller."
"Kalau gitu nyanyi."
"Seriously?" Bola matanya terputar.
"Ya udah, apa susahnya sih nyeritain sesuatu yang udah pernah kamu baca?"
"Oke, oke. Asal kamu langsung tidur dan nggak cerewet. Berisik, tahu."
Bibirku mencebik. Berisik ia bilang? Hah! Bilang saja kau merindukan keberisikanku ini waktu aku tak sadar! "Udah ah. Ayo cerita."
"Aku pernah membaca cerita ini dari salah satu buku koleksi Papa," mulailah ia bercerita. "Berkisah tentang seorang Panglima Perang, Leo, yang memiliki rekam jejak bertempur luar biasa sehingga dia menjadi kesayangan Raja Constantine. Raja Constantine memiliki dua putri yang sama-sama cantik. Putri Gemini sebagai putri sulung, yang memiliki rambut madu, adalah anak dari Ratu Carina. Putri Gemini memiliki keunikan dari matanya yang berbeda. Kalau aku menyebutnya heterokromia. Matanya yang kanan berwarna biru, diidentikkan dengan mata Ratu Carina, sedangkan yang kiri berwarna hijau, milik Raja Constantine. Dia dikenal sebagai pemain harpa luar biasa di istana dan tidak ada yang sanggup mengunggulinya di bidang musik. Putri kedua dari Permaisuri Lyra, Putri Aries, si rambut merah dianugerahi kemampuan bersenjata yang baik. Bukan hanya kemampuan bertempurnya yang bisa menyamai laki-laki, Putri Aries pandai merangkai cerita indah yang sering dibagikan pada anak-anak desa. Permaisuri Lyra dan Putri Aries tidak seatap dengan sang raja. Mereka diboyong ke istana lain untuk mengatur bagian barat negara.
"Leonades, singkatnya Leo, suatu saat memenangkan perang. Raja Constantine menghadiahinya Putri Gemini untuk diperistri. Rupanya hal itu dilakukan Raja atas desakan Ratu Carina yang mendapat rajukan dari putrinya yang memang telah mencintai Leo sejak dia diboyong oleh Raja sebagai kesatrianya. Bertunanglah mereka berdua yang diramaikan oleh rakyat dan penduduk istana."
"Leo mencintai Putri Gemini?"
"Aku kan belum selesai."
"Ya udah selesaikan."
Ia mendesah kesal. "Leo menghormati Raja, dia menerima keputusan apapun dari raja, termasuk untuk memperistri Putri Gemini, yang sebetulnya sama sekali tidak mampu membikin dia jatuh cinta."
"Kenapa? Kan dia cantik, pintar bermain musik, matanya juga bagus."
"Leo tahu itu. Lelaki normal mana yang tidak tertarik pada seorang putri jelita macam dirinya? Hanya saja, Leo tahu apa bedanya 'kagum' dan 'cinta'. Dia mengagumi Putri Gemini, tapi hatinya selalu menolak. Sampai suatu ketika saat dia berlatih memanah di lapangan bersama kesatria lainnya, papan berlatih yang digunakan mereka terbelah menjadi dua setelah sebuah anak panah dilontarkan dari seorang perempuan. Di hari itu Putri Aries datang setelah bertahun-tahun mengatur istana barat. Keanggunan, kemolekan, dan kemahirannya menggunakan anak panah sontak menarik perhatian seluruh laki-laki di lapangan. Dengan gaunnya yang bergesekan dengan rerumputan sampai menimbulkan irama indah, dia melangkah mendekati kerumunan untuk ikut berlatih.
"Wah. Srikandi?"
"Mungkin sama seperti Srikandi. Kesatria wanita agung yang tangguh. Dan detik itu pula menyihir Leonades hingga membuatnya takluk. Namun Putri Aries yang tahu kalau Leo sudah dipertunangkan dengan kakaknya menolak lelaki itu. Dia berusaha menjauh. Apa daya hati tak mampu, Leo bersikeras menjadikan Putri Aries sebagai istrinya. Raja yang mengetahui hal itu murka dan hampir mengusir Putri Aries keluar dari istana seandainya Permaisuri Lyra tidak memenangkan hati Raja dengan perkataan halus nan lembutnya. Kamu harus tahu, Ratu Carina di cerita ini sama licik dan tamaknya seperti Satyawati. Dia benar-benar tidak terima keputusan Raja yang membatalkan pembuangan Putri Aries yang dituduh telah menggoda Leo.
"Pada perang selanjutnya, Leo berhasil membawakan kemenangan untuk raja. Sebagai hadiah, dia meminta Putri Aries untuk dipinangnya pula. Raja Constantine menyetujui hal itu. Kedua putrinya lantas dinikahkan dengan Leo."
"Dan mereka bertiga hidup bahagia?"
"Itu kisah yang sangat mainstream. Aku nggak suka cerita mainstream."
"Terus kalau nggak bahagia, gimana dong?"
"Kamu tahu kenapa Putri Gemini memiliki dua warna mata berbeda, heterokromia?" Aku menggeleng. Saat ia melanjutkan, aku rasakan tangannya kini berpindah ke atas kepalaku, lalu mengusap rambutku. "Karena mata biru itu, milik iblis dalam dirinya."
"Iblis?"
"Ada iblis dalam dirinya. Ratu Carina bukanlah seorang wanita biasa, dia seorang iblis yang menyamar sebagai manusia untuk mengambil simpati raja. Jadi... ya, bisa dibilang Putri Gemini memiliki dua jiwa bersemayam dalam tubuhnya. Dia, dan iblis jahat."
Aku mengerjapkan mataku. Masa sih ada cerita macam itu? Kok aku tak pernah tahu?
"Suatu saat ketika Leo pergi untuk berperang, Putri Gemini merencanakan pembunuhan untuk adiknya. Iblis dalam dirinya yang bersikeras melenyapkan adiknya agar kebahagiaannya dengan Leo tidak direnggut. Dan hari di mana bulan purnama terbentuk sempurna, hari itulah Putri Gemini membunuh adiknya."
"Kok bisa?" aku tidak terima. Putri setangguh Aries mudah dibunuh begitu saja! "Putri Aries kan mahir bertempur."
"Karena dia terlalu mudah percaya pada kakaknya, ceroboh, terlalu polos. Dia menemani kakaknya berburu di hutan. Ada suara teriakan minta tolong kakaknya dari suatu arah. Dia pikir kakaknya dalam musibah. Putri Aries segera memeriksa dan sampailah dia di bibir tebing, tempatnya mendengar teriakan tadi. Di sanalah Putri Gemini mendorong Putri Aries sampai terjungkal di jurang. Untuk mengarang cerita kematian adiknya, Putri Gemini melumuri salah satu pakaian Putri Aries yang diambilnya dari lemari dengan darah binatang setelah menyayatnya dengan pisau.
"Sepulang berperang, Leo mendengar kesaksian palsu Putri Gemini yang terisak-isak menunjukkan pakaian adiknya yang terkoyak dan dilumuri darah. Sepeninggal Putri Aries tidak lantas mengabulkan harapan Putri Gemini yang menginginkan Leo seutuhnya. Sejak kematian perempuan yang dicintainya, Leo lebih banyak murung dan tak bersemangat lagi. Insting bertempurnya pun melemah. Hal itulah yang menjadi bumerang baginya. Lemahnya insting berperangnya membawa dampak buruk baginya. Di medan perang, dia terbunuh."
"Terus, gimana tuh nasib Putri Gemini?"
"Dia gila dan berakhir dalam kurungan istana sampai akhir hayatnya."
Alih-alih bisa tidur, aku justru tak mampu memejamkan mata. Ceritanya mengalir dalam pikiranku, terngiang-ngiang dan membikin aku bergidik sendiri.
"Sekarang tidur, Ara."
"Aku jadi nggak bisa tidur gara-gara cerita kamu."
Lagi-lagi ia mendengus. Bukan salahku kalau aku tak bisa tidur, ia yang memilih cerita mengerikan macam itu!
"Itu kan cerita bagus. Artinya, Leo dan Aries disatukan di surga. Indah, bukan?" Ia menyengir menggodaku. Bibirku tercebik lagi. "Kalau besok kamu udah baikan, aku ajak kamu pergi."
"Hmmm..."
"Kamu tidur sekarang biar besoknya baikan."
Kuanggukkan kepala, memejamkan mata mencoba tidur. Tangannya mengusap rambut dan bahuku. Aku dibuai rasa nyaman tak berkesudahan, lebih-lebih saat aku rasakan bibirnya beradu dengan bibirku, mengecupnya lembut, mengantarkan ceritanya merasuk dalam pikiranku. Anehnya, cerita itu justru menggeser kisah Helenina di mimpiku, dengan aku, Raka, dan Rinai yang memerankan karakter masing-masing.
Mengapa nama putri itu sama dengan nama zodiakku?
#####
"Udah tidur dia, Nak?" Tante Arimbi mengagetkanku saat ia mengintip dari balik pintu kamar Larasita yang tak terkunci. Segera, aku beranjak berdiri menjauhi Larasita yang sudah tidur pulas.
"Sudah, Tan. Besok boleh saya ajak dia pergi?"
"Boleh, sangat boleh. Kan dia juga butuh udara segar. Terima kasih banget loh, Nak Raka, udah nemenin Laras sejak di rumah sakit." Ia memberiku senyum tulus.
"Tidak masalah. Saya permisi pulang, mumpung hujannya sudah reda."
"Oh... iya, iya. Hati-hati ya. Sekali lagi, terima kasih." Tante Arimbi melenggang masuk, menepuk pipiku, dan duduk di sebelah Larasita merapikan selimutnya.
Dengan derap langkah tak kentara, aku beringsut keluar untuk mengambil mobil dan pulang. Di ruang tamu aku lihat Tuan Gevaarlik rebahan di sofa panjang. Suara dengkurannya terdengar bahkan sampai aku menyentuh pintu keluar. Di teras, ponselku berdering. Nama Tante Sarah tertera pada layarnya.
"Nak Raka bisa ke apartemen Nai, nggak? Tolong ya, urgent sekali. Nai hampir saja bunuh diri."
"Rinai nyoba bunuh diri?" aku menahan diri tidak meninggikan nadaku di sini. "Saya ke sana sekarang."
Apa yang ada di pikirannya sampai-sampai berniat bunuh diri—lagi! Mau tak mau aku mengikuti permintaan ibunya dengan melarikan mobilku menerobos rintik hujan di tengah malam menuju apartemen Rinai.
Jalanan tampak lengang. Pantas saja, sudah jam sebelas lebih. Lama sekali aku menemani Larasita di rumahnya sampai-sampai aku tak ingat waktu. Jarum di speedometerku menanjak naik saat kutambahi kecepatan mobil ini. Urusanku dengannya tidak akan pernah selesai kalau begini. Bila aku tak dapat memantaunya, boleh jadi nyawanya melayang dengan percuma.
Sampai apartemennya aku lihat Tante Sarah mondar-mandir menungguku di ruang tamu. Ia bergegas memintaku menengok putrinya di dalam kamar sambil menceritakan kronologi kejadiannya. Kudengarkan wanita ini berbicara seraya melimbai memasuki kamar Rinai dan melihatnya terbaring dengan pergelangan tangan yang dibalut perban.
"Tadi Tante berkunjung ke sini, mau nengok keadaannya. Tante menemukan dia di kamar mandi sudah berdarah-darah, Nak. Langsung saja Tante ambil tindakan menghentikan pendarahannya."
"Kenapa tidak telepon rumah sakit, ini terlalu berbahaya. Kalau dia mati kehabisan darah bagaimana?" aku bertanya sedikit kesal, duduk di samping Rinai dan memeriksa denyut nadinya yang melemah. Wajah serta bibirnya pucat sekali. Pergelangan tangannya yang diperban aku amati. Ada bercak darah merembes di sana.
"Kalau telepon rumah sakit urusannya rumit. Kalau bisa Tante atasi toh nggak masalah. Kalau menunggu ambulans juga bakal keburu dianya nggak selamat."
"Setidaknya setelah Tante memberikan pertolongan, Tante telepon rumah sakit biar dia dibawa ke rumah sakit dan ditindaklanjuti."
Telunjuk Tante Sarah yang panjang dan lentik digoyang-goyangkan seirama dengan gelengan kepalanya. "Saya tidak suka melibatkan orang lain. Nanti reputasi saya hancur kalau ada yang tahu anak Sarah Dermawan masuk rumah sakit karena percobaan bunuh diri."
Astaga, masih ia memikirkan reputasi daripada keselamatan putrinya? Ibu macam apa yang kutemui ini. Aku biarkan saja ia mau bicara apa.
"Nai," aku memanggilnya. "Nai, apa yang kamu lakukan?" Ia tak menjawab. Tante Sarah bilang Rinai disuntik obat penenang. Oleh dirinya sendiri! Aku yang mendengar penuturan itu segera memandang ke arahnya minta penjelasan. "Tante, ini bisa berbahaya kalau tidak sesuai petunjuk dokter."
"Tante nemu obat penenang di atas mejanya lengkap sama jarum suntik, ya sudah Tante suntik saja. Nai teriak-teriak histeris. Saya nggak tega melihat dia seperti itu. Lagipula Tante tahu sedikit ilmu kedokteran. Tante kan pernah kuliah kedokteran setahun di Belgia."
Kalau belajar ilmu kedokteran hanya setahun tapi tak meneruskannya, apakah itu artinya Anda berhak menyuntik putri Anda dengan obat penenang tanpa tahu takaran pastinya? Ingin kubentakkan kalimat itu di depan mukanya seandainya aku tak tahu tata krama. Aku merogoh ponsel di sakuku.
"Kamu mau apa?" Tante Sarah menghambur mendekat bersikap defensif.
"Saya mau menghubungi dokter."
"Saya sudah bilang jangan. Dia nggak suka dokter. Kamu tahu sendiri kan Rinai nggak suka dokter dari dulu."
"Kalau begitu, saya hubungi psikiater saya." Aku masih batu, mencari nomor Gracia untuk memintanya datang kemari.
Tante Sarah menghalauku menghubungi Gracia dengan merebut ponselku dan mengangkatnya di udara.
"Anak saya tidak gila, kamu jangan main-main."
Aku urungkan niatku mengumpat, menelan kata-kata kotor itu agar tak terlanjur meloncat tak tahu sopan.
"Saya akan telepon dokter kenalan saya saja di sini," katanya dan memakai ponselku untuk menelepon dokter kenalannya di Surabaya. Yang benar saja? Apa isi pikirannya sampai tak membiarkan aku menelepon dokter atau psikiater untuk menangani anaknya yang hampir bunuh diri? Selama beberapa saat berbicara dengan dokter kenalannya, ia menyempatkan diri melirik ke arahku. Aku tunggu ia menyelesaikan percakapan.
Ponselku dikembalikan, tentunya dengan wajah garangnya yang memang menginginkan aku berbuat sesuatu di bawah komandonya. Ia lalu duduk di sebelahku, mengusap rambut putrinya dan mengecup dahinya. Dipandangnya aku setelah itu.
"Saya nggak mau dia melakukan ini lagi. Saya nggak bisa menjaganya dua puluh empat jam. Dan saya sadar kesibukan saya menyita waktu saya dengannya. Dia begini karena dia kekurangan pengawasan. Kamu kemana saja?"
What the... "Begini, Tante..."
"Biar dia ada yang mengawasi, saya minta mau segera menentukan tanggal pernikahan."
Fuck, aku melanjutkan umpatan yang sempat terhenti di kerongkonganku. "Saya tidak bisa."
"Tidak bisa? Nak Raka, Tante kenal Mama kamu. Kita akrab, bahkan sebelum dia meninggal, saya selalu datang mengunjunginya di rumah sakit saat kamu sibuk menyelesaikan studi di Australia."
Sialan, mengapa ia jadi mengungkit-ungkit masalah itu?
"Masalahnya—"
"Masalahnya apa? Kamu tidak siap?" ia masih saja menginterupsi perkataanku.
"Saya dan dia sudah tidak berhubungan lagi," akhirnya ucapan itu lolos dari mulutku yang sejak tadi ia bungkam. Kulihat perubahan ekspresi Tante Sarah mendengar penuturanku. Ekspresi kurang senang. Matanya menyipit bersipandang denganku.
"Saya nggak akan maksa kamu. Tapi... kamu masih ingat kan pesan Mama kamu yang dititipkan sama saya?"
Aku menahan nafas. Ia licik menggunakan Mamaku dalam hal ini. Tak kusangka ia bisa menggertakku macam ini, membikin aku berhutang budi dan merasa bersalah. Kalau sudah menyangkut Mama, aku tak bisa menolak. Apalagi permintaan terakhir Mama adalah wasiat yang tak boleh kuingkari. Dan wanita di depanku ini, yang rupanya selicik Satyawati, mengungkit-ungkit wasiat Mama.
"Saya nggak maksa kamu loh, Nak. Itu terserah kamu. Tante menyerahkan masalah ini pada kalian saja. Yang pasti, saya cuma nggak mau bikin kamu jadi anak durhaka. Gitu saja." Ia tersenyum simpul penuh arti dan melengos.
Aku kalah telak. Benar-benar kalah. Kini keputusannya berada di tanganku. Haruskah kukhianati wasiat Mama dan disebut sebagai anak durhaka atau malah mengikuti permainan ini, yang berarti aku membiarkan Karma menang?
Kupandangi Rinai, namun justru bayangan Larasita yang mengganggu pikiranku.
*
Gambar Chelsea tjakep ya :'3 ngepens banget sama Chelsea nih makanya aku pilih dia jadi Laras :'3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro