Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Vier - Schilderij (Lukisan)

Pembaca, kiranya kau boleh meninggalkanku dalam ketidakberesan ini. Bisa jadi kau akan masuk ke dalam dunia gilaku. Silakan, tinggalkan aku, pergi sejauh mungkin dan anggaplah aku tak pernah bercerita padamu, sebelum kau kubuat bingung dan tak percaya pada apa yang tengah terjadi padaku.

Tapi jika kau masih berada di dekatku, akan kulanjutkan cerita ini.

Sungguh tak kusangka otakku benar-benar mengalami gangguan hebat. Aku tak percaya mengatakan ini padamu, pembaca budiman, namun aku curiga bahwa skizofrenia sedang aktif mengganggu isi kepalaku. Penyakit kejiwaan fatal yang tak mampu membedakan imajinasi dan kenyataan. Mataku mengerjap perlahan. Konsentrasi seolah lebur dalam ketidaksadaranku, dikuasai goncangan hebat. Lelaki di depanku ini amat sangat mirip dengan lelaki di mimpiku, si Pribumi kawan abang Helenina, Ario. Yang seorang anak raja kekratonan. Aku bergeming entah selama berapa menit.

Pada akhirnya lelaki di depanku, pelukis Helenina Bregsma, menegurku hingga kesadaran menamparku kuat sekali.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya memastikan.

"Ario?" seperti orang yang terlalu fanatik pada cerita fiksi, aku bertanya, menganggap lelaki itu kukenal sebagai Bendara Raden Mas Arianta.

"Wow, Anda sangat mirip gadis di dalam lukisan itu." Ia menunjuk lukisan Helenina dengan telunjuknya. Matanya yang gelap menelisikku lekat. Caranya memandangku begitu mirip dengan Ario. Aku curiga, jangan-jangan ia bermimpi sama denganku. Siapa sangka Tuhan sengaja mempertemukan aku dengan lelaki ini karena kami berjodoh?

Hahaha! Sekarang aku ngelantur.

"Helenina Bregsma, kan?" Aku tersenyum sumringah. Kuulurkan tanganku riang, berniat berkenalan dengannya. Bukan maksud aku terlalu percaya diri. Orang di depanku, yang sejatinya asing, malah seperti orang terdekatku. Ikatan abstrak ini dapat kurasakan hingga ke pedalaman jiwaku. Yakin, ia pasti jodohku. "Larasita Nareswari." Sudah lama aku tak memasukkan nama belakangku sehingga bersatu dengan nama depan dan tengah itu. Tidak, aku tak ingin membawa Papa ke dalam kehidupanku. Biar ia tak menganggapku ada, aku tidak masalah. Akan kulakukan hal serupa.

"Oh." Lelaki itu menyambut jabatan tanganku. "Raka." Senyum ramah ia tambahkan di antara perkenalan kami. Aku sempat mendesah dalam hati begitu tangannya terlepas dari genggamanku. Tidak apa, Laras, kau masih punya banyak waktu mengenalnya lebih! Pekerjaanku sebagai jurnalis mempermudah peluangku berkenalan dan dekat dengannya. Siapa sangka, ia bisa membeberkan padaku latar belakang pembuatan lukisan Helenina. Bagaimana bisa?

Aku yakin gadis itu pernah hadir dalam mimpinya pula, seperti aku.

"Kalau boleh, saya ingin mewawancarai Anda. Lukisan ini berbeda dengan lukisan lainnya."

"Karena Anda mirip dengannya?" selorohnya seraya tertawa. Cara tawanya bahkan mirip dengan tawa Ario. Tuhan, kiranya Kau benar mengirimkan ia untukku. Dapat kurasakan keajaiban yang Kau antar padaku. Orang ini pasti Kau datang dan pertemukan denganku bukan tanpa sebab, kan?

Senyumku tersungging kaku. Tanganku bagaikan tak memiliki daya. Saat mengeluarkan catatan dan pulpen, aku seperti merasakan kesemutan. "Oke, jadi kita mulai sekarang." Kumulai wawancara ini dengan menanyakan informasinya secara singkat. Ia tak banyak memberiku keterangan mengenai dirinya, hanya hal-hal umum. Aku tak keberatan. Siapa tahu ia enggan memberikan informasi dirinya pada orang asing macam diriku.

Haha, orang asing. Bukankah jika ia pernah memimpikan Helenina, aku tak lagi asing baginya?

Saat ia hendak menjawab pertanyaan pertama dariku, seorang pria berjas rapi menyapa Raka dan menggumam sesuatu dekat dengan telinganya. Entah apa yang dibisikkan pria paruh baya itu, tapi ekspresi Raka berubah mendadak. Ia menatap aku yang menunggu wawancara langsung dengannya.

"Maaf, Nona Nareswari—"

"Laras."

"—sepertinya saya tidak bisa melakukan wawancara dengan Anda," ia tak peduli koreksiku. "Barangkali Anda bisa mewawancarai seniman lain di sini. Atau jika Anda penasaran dengan lukisan itu, Anda bisa datang ke rumah saya."

Tak apa gagal mewawancarainya, aku mendapatkan bonus alamat rumahnya. Kau dengar aku terbahak dalam hati, pembaca?

Raka mengangsurkan kartu namanya padaku. Kuterima dengan baik kartu itu sambil berusaha menyembunyikan keberadaan senyum senangku. Mulanya aku menggerung kesal mendapat mandat Bos meliput pameran seni di kota ini, seorang diri tanpa ditemani rekan kerjaku. Tapi kalau balasannya seperti ini, bertemu dengan pria yang tak lagi hanya sebagai tokoh fiksi di dalam mimpiku, rasanya terbayar sudah. Terima kasih banyak Pak Wiryawan yang menugaskan aku datang kemari seorang diri.

"Terima kasih," kataku. Pada lelaki di depanku dan lelaki berbadan besar yang menjadi bosku.

"Mungkin kita bisa melakukan wawancara malam hari. Saya undang Anda makan malam di rumah saya juga, Nona Nareswari."

"Laras," sekali lagi aku meralat. "Panggil Laras saja." Dan ia tetap tak mengacuhkanku, alih-alih mengajak pria di sebelahnya mengobrol dan melewatiku begitu saja.

Aku mengangkat pundak. Oke, kuanggap sikapnya itu sebagai perkenalan baik. Toh aku baru bertemu dengannya hari ini. Sikap seperti apa yang kuharapkan? Mengundangku makan malam di rumahnya saja sudah membuatku girang tak karuan. Jarang kan ada jurnalis yang diundang langsung ke kediaman narasumber, apalagi ikut makan malam? Anggap saja aku beruntung.

*****

Musik Bach seperti biasa terputar dari phonograf di ruang santai. Aku terbiasa mendengar musik Bach ketika di Nederland. Komposer ternama itulah yang kerap menemaniku tiap aku membaca di ruang keluarga Tante Roos. Bersama Mama, aku mendengar Bach, membaca buku pemberian Ario karangan Multatuli. Di samping, Mama sibuk menulis sesuatu. Tak kutahu apa yang sekiranya ditulis Mama. Hendak satu pertanyaan lolos dari bibirku, namun melihatnya tekun seperti itu mengurungkanku bertanya, alih-alih aku meneruskan kegiatan membacaku.

"Ma," tapi rasa ingin tahuku terlanjur menguap di relung hati dan kepalaku. Tidak sanggup aku pendam terlalu dalam. Ia berhenti, memandangku dari kursinya. "Apa yang kau tulis?"

"Hanya surat-surat yang tidak Mama kirim, Nina," balasnya setengah berbisik. Dapat kurasai nada sendu dari kalimat itu. Mama meneruskan kegiatannya tanpa membalas tatapan skeptisku lagi. Tangannya dengan cekatan merangkai kata demi kata. Aku yang dibuatnya penasaran lantas berdiri dari kursi goyang, menghampiri kursinya. Gaun tidur terseret-seret di atas lantai dan tersibak begitu aku memosisikan diri dekat dengannya. Kutengok surat yang dibuat Mama, ditulis menggunakan huruf Latin berbahasa Belanda. Dapat kubaca surat itu dan bertanya pada diriku sendiri. Untuk siapa ia membuat surat tersebut?

"Kau pandai betul memahami beragam bahasa, Ma," kataku memujinya.

"Orangtuaku tak mampu menyekolahkan aku, bukan berarti aku diam. Aku mengenal banyak orang yang bersedia membantuku belajar. Majikan ibuku, keluarga Belanda totok, memiliki anak perempuan seusiaku. Namanya Magdalena. Aku biasa memanggilnya Lena. Kau tahu betapa aku membenci orang kulit putih, Anakku. Tapi Lena berbeda dengan mereka. Dia teman bermainku dari kecil sampai kami terpisah oleh jarak dan waktu. Orangtuanya mengirimnya ke Leiden untuk disekolahkan. Meski baik dengan mengangkat bapakku menjadi kepala pelayan di rumah Lena, pasutri Totok itu tak segan-segan memberi peringatan padaku agar tidak dekat-dekat dengan putri semata wayang mereka.

"Magdalena Rosemeijer, sahabatku itu, tak pernah kirim surat padaku lagi, Nin. Dia seolah raib di tengah arus modernitas di Eropa. Aku beranggapan dia telah melupakanku, kiranya telah menemukan kawan yang sederajat dengannya. Namun beberapa bulan tak pernah kudengar kabarnya lagi, aku dikejutkan dengan suara teriakan dan tangisan Mamanya. Dari Leiden keluarga Rosemeijer mendapat kabar bahwa putri mereka bunuh diri, Nin. Tak sanggup hidup dalam kekangan di tempat tinggal barunya dan diatur seperti boneka."

Aku tergugu. Cerita Mama merasuk hebat dalam diriku, sampai tidak kusadari getaran dan gigilanku mengusik Mama. Ia mengerutkan dahi melihat air mukaku, yang entahlah seperti apa.

"Jangan lakukan itu, Anakku," katanya lagi.

"Jangan lakukan apa, Mama?"

"Jangan seperti Lena. Tak boleh ada sebersit pikiran macam itu. Mama tahu kau tidak bahagia, Nina. Kau butuh kebahagiaan dan kebebasan. Bukan berarti kau menyerah. Tidak, Nak. Mama sudah lama berkelindan dengan dunia keras dan kuusahakan semampuku bertahan. Sebab mengalah pada keadaan sama saja meludahiku yang sudah hina ini. Kau tak boleh berputus asa, Nina."

"Mama!" aku menegurnya. Apa yang ia bicarakan? Tiada sebersit pikiran untuk melakukan hal serupa yang dilakukan Magdalena. Walau keluarga keparat ini menyatukan tubuhku dengan rantai besi yang teramat kuat, aku tak akan semudah itu mengalah pada keadaan.

Perbincangan kami tidak lagi dilanjutkan. Mama meneruskan kegiatannya menulis surat, entah untuk siapa, sebelum melipat rapi dan meletakkannya di tengah halaman buku bersampul kulit yang ia baca.

*

Baik, sekarang aku tahu siapa kau ini. Anak seorang pembesar, penguasa suatu daerah, seorang ningrat, Priyayi, aristokrat! Lain kali, jangan tinggalkan surat ibundamu di halaman buku Multatuli. Biarpun aku tidak berbicara Jawa, Mamaku bisa. Kini aku merasa lebih rendah daripada kau. Kau anak raja, sementara aku dianggap anak haram. Nah, tak perlu berlebihan menanggapi perbedaan di antara kita. Kau pun sebetulnya sadar bahwa aku berada di bawahmu.

Kenapa kau tak jua datang ke rumah? Papa tidak ada. Usai mengunjungi Fort de Kock, dia mampir menengok perkebunannya di Buitenzorg. Rasanya dia akan lama di sana. Jadi kau tak perlu takut padanya. Aku bahkan curiga kau bukannya khawatir pada keributan yang bisa saja terjadi, melainkan tidak punya nyali. Ayoh! Lawan ketakutanmu!

Nina

Surat itu diantar tangan kanan Mama seperti biasa ke Kebon Rojo, ke asrama murid H.B.S. Tidak seperti jongos lain di sekitar rumah ini, Subarja sedikit bisa berbahasa Belanda berkat didikan Mama. Ia yang membantunya memahami bahasa Belanda, bahkan mengajarkannya membaca dan menulis dengan memintanya ikut membacai surat-surat tak terkirim yang ditulis Mama. Selama menunggu surat balasan dari Ario, seharian itu aku menghabiskan karya Multatuli dan dibuai dengan keindahan bahasanya.

Begitu menutup buku Multatuli, kudengar suara ringkikan kuda dan seorang pekerja peternakan yang berseru-seru seakan menenangkan kuda coklat itu. Kepalaku terjulur ke depan, diikuti badanku yang beranjak dari kursi. Kutengok keributan di peternakan dekat rumah ini. Kuda coklat itu terus meringkik berusaha kabur. Aku mengangkat gaun krem berendaku, berlarian kecil menghampiri tempat itu yang kini dikerumuni oleh pekerja yang saling membantu menenangkan kuda.

"Hei, jangan ditarik-tarik kasar! Tentu dia marah!" teriakku dalam Belanda. Mereka yang tak memahami bahasaku hanya menggaruk kepala dan membiarkan aku mendekay. Seorang dari mereka berbicara cepat, tidak kumengerti, namun aku memahami maksudnya melalui gestur tubuhnya. Kuperintahkan mereka melepas tali kuda tersebut dan membiarkan aku yang mengurusnya. Kuletakkan tangan pada surai kuda, mengelusnya lembut, lalu kubisikkan kata-kata manis dekat kupingnya. Kuda itu lebih tenang daripada tadi.

"Begini cara memperlakukan kuda," lanjutku. Kendati tidak dimengerti oleh mereka, tampaknya mereka paham maksudku. Satu per satu dari mereka berpamitan pergi untuk melanjutkan pekerjaan masing-masing.

Kini berdualah aku dengan kuda coklat ini. Ia tak secemas tadi, alih-alih kelihatan nyaman dekat denganku. Naluri binatang memang tak boleh diabaikan. Sama seperti manusia, mereka peka pada lingkungan. Dari kejauhan kulihat Elien tergopoh-gopoh menjinjing gaunnya dengan payung putih berenda-renda menghampiriku.

"Juffrouw, hari begitu panas. Mari masuk saja, berlindung di bawah payung ini."

"Aih, kau ini kenapa? Aku baik-baik saja. Toh matahari di Hindia sama seperti di Belanda. Mungkin... sinarnya lebih terik di sini." Kutengadahkan kepala ke atas sambil mengernyit.

"Tapi, Nyai memerintahkan saya memanggil Anda. Terlalu panas, Juffrouw."

"Bilang pada Mama, aku akan mengantar kuda ini ke kandangnya dulu. Biar nanti kususul masuk."

Ia tak membantah perintahku. Wanita berambut pirang madu itu mendesah pendek, mengalah pada keputusanku. Kembali dilangkahkan kakinya menjauhiku, menenteng payung kecil yang menaungi dirinya dari terik mentari, sambil menjinjing bawahan gaun putihnya.

Kutarik tali kekang kuda coklat tadi, menyeretnya menuju kandang. Pekerjaan seperti ini kerap kulakukan di Utrecht. Bukankah aku pernah bilang? Barangkali para pekerja di sini tidak terbiasa melihatku menyeret kuda menuju kandang—apalagi bau kotorannya menyengat.

Sampai sore itu pun, tiada pesan kudapat. Aku putus asa. Apakah ia sibuk? Sebenarnya apa yang dilakukan Ario di asramanya? Abang tiriku yang kebetulan pulang dari rumah salah satu kawannya kupanggil untuk kutanyai. Rambutnya acak-acakan. Baju dan sepatunya kotor kena lumpur. Aku berdecak melihat kekacauan Jasper.

"Dari mana kau ini? Kalau Mamaku tahu, habis kau dimarahi."

Kukira ia akan berkelakar seperti biasa. Alih-alih, Jasper menunduk dan mendesis pendek.

"Mengapa Mamamu lebih peduli padaku daripada Mamaku sendiri, Helen?" bisiknya tak kentara.

"Jangan asal bicara. Kau tak tahu besarnya cinta Mamamu, Jas. Kalau dia tak peduli padamu, mana mungkin kau dilahirkan."

"Coba kau tahu kalau sebetulnya Mama tak mengharapkanku lahir." Begitu ucapan bernada larat itu keluar dari mulutnya dan sontak membikin aku menganga, Jasper melenggang lesu memasuki rumah. Aku mengekor di belakang hendak bertanya ada apa dengannya. Tidak biasa abang tiriku yang petakilan berubah jadi murung seperti ini.

Dari balik pintu, kulihat Mama Rukmini menatap kami. Responnya melihat keadaan kacau Jasper hanya kedipan mata dan gelengan kepala. Ia jarang keluar kamar sejak aku datang kemari—kata Mama begitu.

Mama Rukmini berjalan mengabaikan keberadaan kami, menuju dapur, entah untuk apa. Bola mataku praktis tertarik bagai terpaut pada magnet yang menempel di badan Jasper.

"Tuh, kau lihat sendiri. Mama diam saja melihatku berantakan begini."

"Memang dari mana kau ini?"

"Tadi aku tercebur di rawa. Seperti biasa, aku dan teman-temanku berburu di hutan sana. Melihat Shelley lewat cekikikan dengan teman gadisnya, aku terperosok saking rikuhnya."

Dosalah diriku ini yang menertawakan kemalangan abang tiriku. Aku menutup mulutku, menahan gelegak tawa. Jasper mendengus pendek. Jemarinya disusupkan pada rambutnya yang berantakan.

"Kau jatuh cinta, hah?" Kusenggol bahunya.

"Potong kupingku kalau tiada manusia yang merasakan jatuh cinta."

Aku terkikik lagi. Jasper meraung dan menggumam menggunakan bahasa Jawa, menghindari godaanku yang membikin wajahnya memerah.

Kudengar suara ringkikan kuda dan roda yang menggilas kerikil di luar sana. Kepalaku tersentak ke belakang, seperti sengaja ditarik oleh kekuatan abstrak yang asing. Bertanya-tanya kereta siapa yang datang. Apakah Papa? Secepat itukah ia pulang dari Buitenzorg?

Keresahan dan kegamanganku terjawab begitu kulihat pemilik kereta kuda yang berdiri dan menyandarkan tangannya pada pintu kereta. Oh, si priyayi rupanya. Aku mendesah lega sekaligus membeliakkan mata kesal. Tiada surat balasan untukku, kini orangnya datang langsung seolah mendengar radarku.

"Rupanya kau punya nyali juga," kataku, melipat tangan di depan dada.

"Kukira bukan itu sambutan pertama yang kudapatkan." Ia mencebik kecewa.

Aku terkikik. Tangannya melambai padaku, memintaku masuk ke dalam keretanya. Baru sampai dekat dengan anak tangga untuk naik ke atas, suara deheman Mama seketika mengagetkanku. Aku berbalik badan, melihatnya melipat tangan dengan tatapan menilai.

"Mevrouw," Ario mnyapa sopan dengan menundukkan kepala.

"Mau kau bawa kemana anakku ini, hm?" tanya Mama, berjalan perlahan menghampiri kami. "Dan, sudah berapa kali kubilang, jangan panggil aku Mevrouw."

"Berapa kali saya bilang juga, tak akan saya berhenti memanggil Anda Mevrouw."

Mama mendesah pendek. "Mau kau bawa kemana?"

"Nina, Mevrouw?" Ario benar-benar keras kepala. Mama tampaknya sudah tidak mempermasalahkan panggilan sopan itu. "Putri Mevrouw menyebut saya tak bernyali datang kemari."

"Tidak sopan." Mama mendelik padaku. "Apakah Tantemu tidak mengajarimu sopan santun di sana, Nina? Mana sikap sopanmu sebagai seorang wanita? Tak patut kau berbicara seperti itu pada orang lain, terutama lelaki."

Memangnya salah menyebutnya tidak bernyali?

"Tidak apa, Mevrouw," Ario merendahkan suaranya. "Saya sudah memaafkannya."

"Bilang maaf, Nina."

"Tak apa, Mevrouw."

Kurasai tatapan tajam Mama. Biarpun Ario tidak mempermasalahkan ucapanku di penggalan surat itu, tetap Mama memintaku minta maaf.

"Maaf."

"Jadi, saya boleh membawanya pergi, Mevrouw?"

"Silakan. Bawa saja dia, asal jangan lupa mengembalikannya pada ibunya."

Ario memberikan tabik, lantas membantuku memasuki kereta dengan genggaman tangan. Kurasakan jantung seperti berdenyutan. Aku duduk di pojok jendela seberang, diikuti olehnya setelah menghaturkan terima kasih pada Mama. Kereta kuda lalu membawa kami meninggalkan halaman rumah besar Papa, keluar gapura.

Suara kaki kuda dan roda yang menggiling kerikil terdengar samar dan serampangan. Kami melewati sawah luas yang hijau. Surya bermain petak umpet di ufuk barat, menyemburkan warna jingga pada gumpalan awan yang dilalui barisan burung.

"Soal suratku, kenapa tidak kau balas?" tanyaku.

"Mau kau baca di sini? Kebetulan aku membawanya." Tanpa mendengar jawabanku, diangsurkannya secarik kertas padaku. "Bacalah."

"Gila! Untuk apa kubaca kalau kau sudah ada di sampingku?"

"Nah, kenapa kau tanyakan surat itu kalau kau sudah pasti tahu jawabannya, Nina?" Ia menggelengkan kepala melihat air mukaku. Diletakkannya lagi pucuk surat itu. "Kedatangankulah jawabannya. Masih beranggapan aku tidak punya nyali?"

"Tanpa Papa di rumah, kau masih kuanggap tak bernyali."

Kudengar suara decakannya. Tak peduli hendak ia adukan ucapan tidak sopanku ini pada Mama atau tidak. Pandangannya merajam mataku.

"Aku bukan takut pada Papamu. Kan sudah kukatakan," sangkalnya.

Hmph, kurasa perdebatan nyali atau tidak sampai di sini saja. Aku melipat tangan di depan dada. Sesekali perhatian kulabuhkan keluar jendela, melihat hiruk-pikuk masyarakat di tengah kesibukan kota.

"Aku sudah tahu kau siapa," kataku, memutar tubuhku lagi berhadapan dengannya. "Mama menjelaskannya padaku tentang keluarga ningratmu dari surat yang terselip di halaman buku Multatuli." Dan kuingat wajah terkejut Mama ketika menerjemahkan surat itu untukku. Ia tidak tahu salah satu sahabat karib anak tirinya ternyata anak raja.

Bahunya terkedik. "Kalau aku anak raja, memang kenapa?"

"Harusnya aku yang bertanya, kalau kau anak raja, kenapa disembunyikan? Tak mau dianggap sebagai seorang pangeran?"

Ia terbahak mendengar celotehku. Kereta telah meninggalkan Peneleh, tak tahu menuju kemana. Kubiarkan ia membawaku kemana yang disukainya saja.

"Pribumi, biarpun mereka priyayi, tetap dianggap rendah oleh Eropa. Anggap saja aku bukan Priyayi, seperti kau kuanggap sebagai Pribumi, Nin."

Senyum kecil sedikit menarik sudut-sudut bibirku. Kereta berhenti di depan sebuah gedung kecil yang dipenuhi dengan segerombolan orang. Kulongokkan kepala keluar jendela. Pribumi, Totok, Eropa, dan Indo bercampur jadi satu. Ario mengajakku segera turun dan memintaku turut serta dengannya. Aku ikuti kemauannya, berjalan beriringan dengannya sambil menjinjing gaunku. Sedang senja mulai menyelimuti Surabaya. Lampu-lampu minyak telah dinyalakan.

"Nah, Nina. Ini rumah seni dan sastra. Aku punya banyak kawan di sini yang tertarik pada seni dan sastra. Ayo masuk." Ia menggiringku menuju ke dalam.

Pandangan menilai tak terelakkan. Aku menunduk sesekali mendapat perhatian dari mereka. Tatapan mendamba sebagian kecil dari mereka membuatku sedikit kaku. Kuamat-amati, lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Perempuan bisa dihitung pakai jari. Di pojok sana, kulihat seorang Pribumi tengah melukis seorang perempuan cantik berpakaian Jawa mewah dengan selendang-selendang hijau melilit dan mahkota bertengger di atas kepalanya. Hebatnya, ia melukis dengan mata tertutup kain.

"Jasper tidak pernah bercerita apapun soal ini," kataku, menelisik tiap sudut tempat.

"Mana mungkin Jasper bilang padamu. Dia tidak memiliki ketertarikan pada sastra dan seni. Sama seperti Martijn. Mereka lebih suka berburu di hutan." Ia menunjuk si Pribumi yang melukis dengan mata tertutup. "Itu Banu, kawanku di asrama. Pernah dia berkata padaku, untuk melihat kecantikan maha agung dari Ratu Pantai Selatan, haruslah menggunakan ini." Ia menyentuh dada, memandang padaku.

"Ratu Pantai Selatan?" Dahiku mengernyit. Ia mengajakku lebih dekat, agar aku dapat melihat bagaimana rupa Ratu Pantai Selatan yang dilukis Banu.

"Nyi Roro Kidul. Penguasa pantai selatan. Pria mana yang tak takluk melihat keayuannya. Malahan, banyak yang rela jadi budaknya di bawah laut sana." Ia pandangi aku lagi. Banu tampaknya tidak terganggu dengan kedatangan kami. Terus ia kerjakan lukisan Ratu Pantai Selatan itu tanpa menoleh kian-kemari, tiada acuh.

Kami melanjutkan langkah. Berbagai lukisan dipajang di banyak tempat. Di suatu ruangan, aku melihat dari jendela yang terkuak, beberapa orang sibuk menulis dan membaca, tanpa ada suara sedikit pun. Itu tempat pecinta sastra. Berbagai sastrawan dan penyair duduk di dalam ruangan tersebut.

"Aku suka menulis," akuku. "Boleh lain kali kutulis sesuatu untukmu?"

"Kau suka menulis?" ia mengulang, terkejut. "Kan kau sudah tulis surat untukku?"

"Jelas beda. Aku bukan suka menulis surat seperti Mama, Ario. Melainkan cerita. Memang, aku tak terlalu hobi membaca, tapi aku suka merangkai cerita."

Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Kemari, akan kutunjukkan sesuatu." Ditariknya tanganku lembut, melangkah lagi melewati beberapa pelukis yang kadang melirikku penuh selidik. Diam-diam aku balik melirik mereka. Tak seorang pun yang kukenal. Dan sejujurnya aku sedikit keberatan mendapat tatapan macam begitu.

Berhentilah kami di tempat selanjutnya, yang jauh dari keramaian. Kuamat-amati lorong panjang gelap yang kami lalui tadi. Kini kami berhenti di sebuah ruangan lain. Yang lebih tertata, rapi, dan wangi melati semerbak di penciumanku.

"Gedung ini dibangun kakekku, ayah dari ibundaku, yang pernah bertandang ke Surabaya. Dia seorang seniman sekaligus sastrawan," jelasnya. "Dan tempat inilah favoritnya. Tempat dia merenung, bertapa, hanya demi menyelesaikan satu karya. Entah lukisan, entah tulisan." Diajaknya aku mendekati sudut lain, dekat dengan kursi goyang. Aku menengadah, melihat satu lukisan yang membuatku meringis, terkikik pelan.

"Rupanya kau pandai melukis," kataku. Di depan sana sudah tertanggal satu lukisan, potret diriku, dengan gaun putih dan rambut terurai yang kedua sisinya ditarik ke belakang menggunakan pita, juga topi yang kupakai sewaktu datang dari pelabuhan. "Kapan kau lukis aku?"

"Pernah kubilang padamu kalau bayanganmu sering mampir di kepalaku. Bahkan aku tak dapat tidur barang sekejap, lantaran terlanjur terpaut padamu, Nina," ungkapnya. "Ya inilah hasil dari keterjagaanku malam-malam lalu. Daripada gila, kutuangkan saja menjadi lukisan ini."

Maju satu langkah, kucondongkan badanku, menyentuh permukaan kanvas yang telah dicoreti cat minyak. Benar-benar luar biasa. Tak kusangka sedetail itu ia memerhatikanku, bahkan hapal apa yang kukenakan hari pertama di Surabaya.

"Kan sudah kubuatkan ini," katanya. "Giliran kau yang membuatkanku sebuah cerita."

"Aku tak yakin kau bakal mengerti."

"Kan belum kau coba. Buatkan dan bacakan di depanku, pendek saja. Ingin kulihat sejauh mana kemahiranmu dalam bercerita, Juffrouw Helenina Bregsma."

Lagi-lagi aku terkikik. Aku mengangguk menyetujui kesepakatan kami. Ia melarang aku membawa lukisan itu; katanya, akan dibuatkan yang lain untukku, selain lukisan pertamaku itu.

Karena malam telah tiba lebih cepat dari yang kuduga—barangkali karena aku terlanjur keasikan brsamanya sampai lupa waktu—kami bergegas keluar dari rumah seni dan sastra. Katanya, kapan-kapan ia mengajakku lagi dan mengenalkanku pada kawan-kawannya, itu pun kalau aku mau. Mana mungkin aku menolak ajakannya, bahkan aku memintanya lebih sering menjemputku dan mengajakku berkeliling Surabaya.

Kereta kuda hampir mendekati Peneleh. Lampu minyak di dalamnya sebagai penerangan sudah dinyalakan. Bunyi kaki kuda dan roda menggiling kerikil saat ini terdengar lebih keras daripada sebelumnya.

Tak tahulah mengapa jantung ini berdebar tiap ia pandangi aku. Jarang ada yang memandangku seperti itu saat aku tinggal di Utrecht. Tak banyak yang memperlakukan semanis ini pula. Jika di sana aku dipandang sebelah mata lantaran orang-orang tahu aku anak simpanan dari wanita yang derajatnya disetarakan dengan pelacur, di sini justru sebaliknya.

"Kau sudah tahu kalau di Nederland tak banyak orang menghargaiku, meski aku memiliki darah Eropa yang mengalir di badanku. Sebab mereka tahu aku anak simpanan, yang malah mencoreng nama baik keluarga kerajaan, meski garis keturunannya lumayan jauh. Mengapa di sini kalian meninggikan derajatku?"

"Bagi Pribumi, orang-orang kulit putih, entah Eropa, Totok, maupun Indische, mereka lebih baik daripada kami. Hukum Belanda bahkan meninggikan orang-orang kulit putih. Meski kau hanya peranakan, kau dilindungi Hukum Belanda, Nin. Apalagi kalau Papamu menikahi Mamamu secara sah."

"Kan aku maunya jadi Pribumi saja."

"Tak bisa semudah itu. Biarpun kau menikahi Pribumi, pernikahan itu tak akan sah di mata Hukum Belanda."

Mendengar kalimatnya membikin aku murung. Biarpun kau menikahi Pribumi, pernikahan itu tak akan sah di mata Hukum Belanda, kata inilah yang mengganggu batinku.

Aku tak banyak bicara lagi ketika kereta disambut oleh hamparan sawah menuju rumahku. Kulirik ia sebentar, lalu mengalihkannya menuju arah lain. Tampaknya ia sadar ada yang sedikit menggangguku. Namun tak kudapat pertanyaan darinya, sampai kereta berhenti di pelataran luas rumahku. Ia membantuku turun dari dalam kereta dengan menggenggam tanganku.

"Mau masuk dulu?" tanyaku.

"Tak perlu. Mungkin besok saja. Tak enak kalau malam-malam begini berkunjung ke rumahmu. Nanti disangkanya aku menantang Pieter Bregsma dengan menggauli anak perempuannya."

Di atas sana, Mama menengok dari balik tirai kamarnya. Ia tak beranjak dari tempat itu selain mengawasi saja dari dalam.

"Sampaikan salamku pada kakakmu." Ario maju menarik tanganku, lalu mendaratkan kecupan di punggung tanganku layaknya sahaya pada ratu. "Adieu, Nina." Ia lalu memasuki kereta kuda, memandangku dari balik jendela dan melayangkan senyuman. Kusir menjalankan kereta kuda meninggalkan pelataran rumahku. Kupandangi kereta itu sampai lenyap di pandanganku.

Berbalik, aku melangkah tak seriang biasanya memasuki rumah. Pandanganku bahkan nyaris kosong. Seakan jiwa tak mampu lagi bersemayam di tubuhku.

Biarpun kau menikahi Pribumi, pernikahan itu tak akan sah di mata Hukum Belanda.

Kalimat itu lanjut berputar di kepala dan menyentuh relung hatiku. Membuat aku makin gundah gulana.

Benarkah demikian?

*****

Rumah narasumberku amboi megahnya. Ada berbagai patung malaikat dan dewa-dewi Romawi yang menghiasi taman, mengitari rumah bergaya Eropa ini. Tak kusangka, aku telah menginjakkan kakiku di rumah narasumber yang sebelum ini kukenal melalui mimpi.

Sekitar dua menit aku menunggu di depan pintu sambil menekan bel. Pintu dibuka seorang wanita berseragam pelayan hitam putih renda-renda. Ia memintaku masuk ke dalam, sebab aku telah ditunggu tuan rumah ini.

"Masuk, Non. Ndoro Raden telah menunggu di dalam."

Kuanggukkan kepala, lalu melimbai masuk. Aku dibuat terkagum-kagum oleh kemewahan dan keanggunan rumah ini. Tak hanya dari depan, di dalam pun tampak luas. Berbagai lukisan dipajang di beberapa tempat—kiranya semua lukisan itu ia yang buat sendiri. Furniturnya tampak mengkilat di bawah sinar lampu kristal. Tampaknya didatangkan langsung dari Eropa.

Pelayan wanita tadi memintaku masuk ke ruang makan. Aku mengucapkan terima kasih, tanpa sambutan lain, kecuali pelayan-pelayan yang mengitari meja makan. Mereka serentak menundukkan kepala padaku. Tempat dudukku telah disiapkan. Meja oval yang terbuat dari marmer sudah dipenuhi lautan makanan. Sungguh seumur-umur menjadi seorang jurnalis, tak pernah aku disambut semewah ini oleh narasumberku.

Beragam spekulasi menari serempak di pikiranku. Ada yang mengatakan aku disambut seperti ini karena wajahku yang mirip lukisan Helenina. Ada pula yang membisikkan kalau Raka mulai mengenalku sebagai Helenina. Aih... kebodohan dan keanehan macam apa dunia ini.

Pembaca, sekali lagi kau boleh meninggalkan aku kalau tak sanggup menghadapi kejanggalan ini. Tapi kalau kau mau tinggal, baiklah. Akan kuteruskan saja cerita ini.

"Rupanya, tamu saya sudah datang." Kudengar suara dari arah pintu. Pandanganku ditarik menuju sumber suara, di mana Raka telah berjalan khitmad mendekati meja makan. Tak seperti tadi yang berstelan resmi, kini ia berpenamilan lebih santai, seperti menyambut kedatangan temannya sendiri. Ia mengambil posisi di depanku. "Nah, Nona Nareswari—"

"Laras, Tuan," sekali lagi aku membenarkan. "Lagipula, nama akhirku bukan Nareswari. Dan tolong, jangan terlalu formal berbicara denganku." Aku tersenyum ramah. "Anggap saja, aku ini bukan jurnalis yang mau mewawancaraimu. Boleh?"

Ia tak berkedip. Diamatinya diriku selama beberapa detik dan mengangguk. Sikapnya begitu formal dan penuh perhitungan. Kuatur nafasku. Debaran jantungku mulai terdengar saling memukul rongga dada. Tak tahu apakah karena aku gugup, atau karena hal lain.

"Makanlah dulu," pintanya. "Nanti baru kita mulai."

Pelayan masih berdiri di sekitar kami, menunggu dalam diam. Mereka seperti boneka atau patung yang sengaja dipajang hanya sekadar penghias ruangan. Sampai beberapa menit, makan malamku telah kuselesaikan. Ia tak menyentuh menunya kecuali menyesap minuman dalam gelas berkakinya sambil mengamatiku. Begitu mengusap mulutku dengan serbat, aku berdehem kecil.

"Jadi, apa saja yang ingin Anda tanyakan?"

Hah, ia tak mendengar permintaanku untuk berbicara santai. Aku jadi rikuh kalau ditanggapi seformal ini. Kuselipkan rambut ke belakang telinga dan memulai sesi wawancara kami. Kuletakkan alat perekam dekat tanganku. Raka meminta para pelayannya meninggalkan kami berdua saja. Dan itu malah membikin aku gugup tak karuan.

"Lukisan yang Anda buat, Helenina Bregsma, bukan?" terkaku mengawali wawancara.

"Ya," ia menjawabnya santai. Lain halnya dengan ia, aku malah merasakan perutku seperti ditinju. Benar itu Helenina, lalu ia mengenalnya dari mana?

"Dari mana Anda mengenalnya? Mimpi?"

Dipandangnya aku lekat. "Imajinasi."

"Imajinasi?" aku mengerutkan dahi.

"Imajinasi yang membuat saya terpukau. Menggambarkan seorang gadis jelita yang hanya hidup berawalan dari imajinasi bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, imajinasi itu hidup, tengah duduk di depan saya. Isn't it pretty amazing?"

Aku melongo beberapa detik. Imajinasi ia bilang? Imajinasi macam apa yang bisa berkaitan dengan mimpiku! Makin janggal saja kasus ini. Aku yakin, Tuhan memang menjodohkan kami berdua melalui tangan ajaibNya. Kalau ia bukan jodohku, mengapa kami saling berkaitan?

"Anda suka membaca novel?" malah ia bertanya balik padaku.

"Ya?"

"Kalau Anda pernah membaca novel, Anda tentu bermain dengan imajinasi penulisnya, membayangkan bagaimana wajah tokoh-tokoh di dalamnya, meski tak serupa seperti yang diimajinasikan penulis novel itu."

"Imajinasi tiap orang berbeda." Anehnya, mengapa imajinasimu mirip aku, atau mirip sosok Helenina di dalam mimpiku?

"Melukis seseorang bukankah menggunakan imajinasi pula, Nona Nareswari?"

Kali ini aku tak peduli pada sebutannya padaku. "Tanpa berimajinasi, lukisan itu tak akan jadi."

"Imajinasi yang saya maksud bukan imajinasi saya. Bukan, Nona. Itu imajinasi kakek buyut saya. Dialah pelukis Helenina, yang kemudian saya salin kembali menjadi lukisan baru." Ia menelengkan kepala ke satu sisi. "Bukankah menakjubkan? Saya bertemu dengan Helenina, dalam sosok berbeda."

Imajinasi kakek buyutnya! Aku meremas tanganku saking gelisahnya. Aku curiga, jangan-jangan kakek buyutnya itulah yang bernama Bendara Raden Mas Arianta. Apakah lelaki di depanku ini keturunan Ario?

"Dari mana Anda mengenal Helenina Bregsma?" ia bertanya padaku.

"Dari... mimpi."

"Mimpi." Tawanya menggelegak. Makin berkerutlah dahiku. Sepasang alisku menyatu mendapat tanggapan seperti itu. "Saya terka, Anda ini seorang Indo."

"Papa saya orang Belanda. Mama saya orang Jawa." Aku rasai nafasku tercekat di tenggorokan. "Saya terka, kakek buyut Anda adalah Bendara Raden Mas Arianta."

Ekspresinya berubah terkejut. Nah! Benar kan asumsiku. Ario memang nyata! Dan lelaki di depanku ini adalah keturunannya. Otomatis, sosok Helenina memang nyata! Ia ada, ia pernah hidup. Dan mimpiku yang aneh ini seperti memutar kehidupan Helenina di masa lalu.

Ada kemungkinan, aku adalah keturunan Helenina. Kalau benar begitu, artinya Helenina dan Ario tidak bersatu...

"Anda tak meragukan mimpi saya," kataku penuh kemenangan. Kumatikan alat perekam di dekatku agar perbincangan kami yang ini tak tersaring masuk. "Sungguh, Tuan. Saya memimpikan diri saya sebagai Helenina Bregsma yang memiliki kehidupan lain. Entah itu mimpi, atau saya mengalami distorsi waktu, berkelana di masa lalu, merasakan kehidupan Helenina yang pernah nyata."

"Anda mengada-ada, Nona."

"Saya tak mengada-ada," nadaku meninggi. "Dan saya yakin, Helenina pernah hidup. Jika Anda berhasil mengorek informasi lebih mendalam kakek buyut Anda dan menemukan barang-barangnya di waktu lampau, saya yakin Anda akan menemukan surat-surat yang dikirim Helenina Bregsma."

"Kalau begitu, selesaikan mimpi Anda dan beritahu saya plot lengkapnya," tantangnya.

"Baik, saya akan memberitahu Anda secara berkala mimpi saya itu dan mencocokkannya dengan fakta-fakta kakek buyut Anda." Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya panjang. "Aku yakin Tuhan sengaja mempertemukan kita karena suatu maksud. Aku yakin kita berjodoh!"

Raka bergeming mendengar penjelasanku. Diraihnya gelas di dekatnya, kemudian meneguk isinya.

"Nona Nareswari." Kurasai nada bicaranya berubah, lebih dingin, seakan menganggapku gila. Atau barangkali ia pun menganggap dirinya gila dihadapkan dengan seseorang yang mirip dengan perempuan di dalam lukisan buatannya yang disalin dari lukisan kakek buyutnya. "Silakan pergi dari rumah saya dan temui seorang psikiater."

*

Footnote:

Buitenzorg = Bogor (nama ketika masa Hindia Belanda)

*

Maaf ya jarng update, kemarin sibuk mengurusi drama kampus, dua pementasan soalnya -__-

BTW, silakan dengarkan lagu Johnn Sebastian Bach yang Mass B in Minor dan Primavera punya Ludovico Einaudi. Cocok buat kalian lebih menyelami dunia Helenina :p

Dan kemarin saya berkunjung ke De Begrafplaats Peneleh setelah sekian lama hanya mengimpikannya -_- Meski perlu dimarahin dan diusir penjaga makam xD Tak apa, yang penting saya puas! Suasana Hindia Belanda benar-benar terasa di sana. Nggak tau kenapa, bukannya takut malah saya biasa saja dan senang bisa mengunjungi makam modern tertua di dunia, padahal teman udah nggak mau diajak keliling, apalagi foto di kuburannya -_-

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro