Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Twaalf - Gedreven (Terusir)

Rumah dalam keadaan sepi, seperti biasa, tanpa penjaga rumah ini yang sehari lalu pulang kampung menjenguk anaknya yang sakit keras. Kini tinggallah aku seorang diri. Tiada seorang pun peduli apakah aku hidup di sini. Orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing, tak terkecuali semua yang kukenal.

Pembaca, aku sedang tidak ingin bermelodrama lagi dengan segala hal rumit yang tengah berkelebatan di kehidupanku. Jangankan memikirkan kejadian beberapa menit lalu, bayang-bayang Helenina saja tak kuasa menghindariku. Sekiranya ia tak lagi datang lantaran mati di dalam mimpiku, alih-alih ia seakan memberiku kejelasan bahwa ia masih hidup dan sedang berbahagia dengan orang-orang terkasih.

Jika boleh memilih, barangkali aku mau hidup sebagai Helenina saja di masa lalu. Tampaknya, ia sudah menemukan kebahagiaannya. Apa sebab aku berpikiran demikian? Biarpun Helenina dikandung oleh seorang simpanan yang dinistakan masyarakat, ia mendapatkan kasih sayang tak terhingga dari Nyai. Biarpun Pieter seorang Belanda yang semena-mena, ia tak akan meninggalkan putrinya demi wanita lain; bahkan, Pieter meninggalkan istrinya demi Nyai dan putri yang dihasilkannya. Nina, juga memiliki orang yang teramat ia cinta dan mencintainya. Seorang ningrat, anak Raja, yang tak peduli pada bahaya yang sewaktu-waktu bisa mengancamnya, sebab ia berani mendekati seorang Indo. Tentu tak sembarang orang bisa mendapatkan kesempatan sepertinya.

Dan aku? Dibandingkan dengan bidadari jelita macam Helenina, tentu aku tak sama dengannya. Benar apa yang dikata Raka waktu itu. Aku bukanlah apa-apa dibandingkan seorang dara cantik yang memiliki aura memikat. Seakan merasakan kehidupan Helenina—biarpun dalam mimpi, dengan kesadaran penuh—, aku yakin betul ia seorang yang cerdas, mampu membolak-balikkan hati orang lain, dan bertingkah serta berbudi pekerti luhur.

"Sampai kapan kamu diam?" pikiranku tersendat di tengah-tengah mendengar pertanyaan Raka di sebelahku. Baru sadar, rupanya mobil yang mengantarku telah berhenti di pekarangan rumah.

"Makasih," kataku singkat sembari membuka pintu mobil. Ia mengikuti kemudian.

"Aku minta maaf soal tadi. Bukan maksud membuat kamu sedih kayak begini," nadanya melunak, menyesali dirinya yang dengan sengaja mempertemukan aku dengan Papa di satu malam. Setelah beberapa tahun tiada pernah bersua, bahkan mendengar sepenggal kabar darinya lantaran ia disibukkan dengan kehidupan barunya. Kini ia dengan mudahnya muncul di depan wajahku, berkata merindukanku, setelah pergi tanpa kabar? Jangan melucu.

"Nggak apa." Aku mendesah pendek. "Aku aja yang melodrama."

Ia menepuk puncak kepalaku dan memberikan senyum sekilas. Sekilas, kira-kira satu detik saja. Harusnya aku melompat kegirangan dihadiahi senyum yang begitu mempesona. Namun suasana hatiku kini tak mendukung untuk melonjak kegirangan. Senyum kecil, itu yang justru kujadikan timbal balik untuknya.

"Thanks buat hari ini. Dan, oh, besok kamu ada waktu? Aku mau ngajak kamu."

"Kemana lagi?"

"Temanku ada yang nikah. Partynya di ballroom hotel. Aku nggak terbiasa aja datang sendirian."

Sebelah alisku terangkat. Ia tidak terbiasa datang sendiri? Batinku sedikit berkata ia berdusta. Orang macam ia kurasa lebih banyak menghabiskan waktu sendirian daripada ditemani orang lain. Aku tak boleh berpikiran keji padanya. Siapa sangka, ia memang butuh seorang teman. Untuk sekarang aku tidak akan banyak berharap. Sebab aku tahu diri dan tidak ingin memosisikan diriku sebagai orang ketiga. Ekor mataku melirik pada jarinya yang dilingkari cincin. Nah, ingatkan aku untuk selalu melihat benda berkilau itu. Tanda bahwa ia tak bisa kumiliki. Ia sudah bertunangan, oke?

"Oke," aku mengiyakan ajakan sekaligus menjawab pertanyaanku sendiri.

"Aku jemput kamu sore dan mengajak kamu fitting baju. Nanti kita ke lokasi lebih dulu karena... well, temanku mau aku datang lebih awal sama yang lain. Kamu bisa minta bantuan asisten aku buat persiapan di satu ruangan. Gimana, Ras?"

Aku mengerjap sebentar. Ia sungguh mengatakan hal itu? "Oke..." Kendati tak bisa memahami pikirannya, aku ikuti saja kemauannya.

Kami lalu berpisah setelah ia memasuki mobil dan melajukannya menuju rumah sebelah. Aku pandangi mobil itu sampai lenyap di balik tembok pagar. Rumah tampak lebih suram dari biasanya dan terkadang aku merinding sendiri. Di kamar, aku melempar diriku di atas kasur dengan keadaan tertelungkup. Ponsel di depan mataku kuraih dan kumainkan selama beberapa waktu. Menimbang-nimbang, aku mencoba menghubungi Elsa, mungkin ia bersedia menjadi tempat sampahku.

Panggilanku tak ia jawab sama sekali. Aku mendesah pendek, meniup ujung poniku sampai tersibak ke atas. Wajah kubenamkan pada bantal, menguji seberapa kuat paru-paruku menahan nafas. Menggulingkan badan ke samping, aku berbaring mengamati langit-langit kamar. Keadaan makin sepi. Bunyi jangkrik mengerik dan binatang-binatang malam lain menyemarakkan malam ini.

Setengah jam aku terjaga seperti ini, tiada bergerak, bercumbu dengan pikiranku sendiri. Waktu kelopak mataku kupaksakan untuk terpejam, sayup-sayup aku mendengar alunan musik piano tak jauh dari sini. Praktis mataku terbuka. Suara itu berasal dari rumah sebelah. Seperti sebuah piano yang dimainkan dengan mahir. Mengangkat badan dan duduk, aku menyibak rambut ke belakang sampai beberapa helainya jatuh menyentuh dahi. Kudengarkan bunyi piano yang dimainkan itu. Rasa-rasanya, aku tak asing mendengar nada-nada itu. Lagu yang dimainkan seperti pernah kudengar, tak tahu kapan.

Perlahan-lahan aku melangkah menghampiri pintu kaca, membukanya dan menghampiri balkon. Kudengar dengan saksama bunyi piano itu. Dari sini, aku dapat melihat sosok bayangan di balik tirai putih. Begitu lihai ia memainkan pianonya.

Nah, nah, aku yakin aku pernah mendengar lagu ini. Lagu yang dimainkannya itu, sama persis yang kerap dimainkan Helenina. Jika ingatanku tak begini menyedihkan, kiranya aku ingat betul Helenina yang membikin not-not balok di atas kertas partitur, dan ia memainkannya begitu menyelesaikan not-not balok tersebut. Gadis itu pandai benar bermain piano. Dari kecil aku tertarik pada musik, namun tak punya kesempatan memainkannya. Tak ada guru musik yang kupunya. Aktivitasku pun tidak mampu mengimbangi jadwal kosongku. Alhasil, aku tak pernah bermain musik lagi. Terakhir, aku sempat memelajari piano, biola, dan gitar. Namun tak semuanya kelar kukuasai. Hanya mampu memainkannya tanpa menghadirkan nyawa.

Aku terpejam mendengar alunan piano itu sembari menyandarkan tangan pada birai balkon. Angin malam bertegur sapa menemaniku seorang diri. Kesenyapan bagaikan sekutu yang ingin bersekongkol dengan kesepianku. Aroma tanah basah pertanda hujan akan segera datang menguar di penciumanku. Membuka mata masih dengan alunan piano di seberang sana, kepalaku menengadah. Tak ada bintang-gemintang hadir membawa sinar lembutnya. Biasanya mereka datang bersama bulan. Akan tetapi, awan mendung seolah hendak menyembunyikan eksistensi mereka, seperti sebuah aib.

Dan seperti malam-malam lain, aku termangu dalam kesepian nan kesenyapan yang membelenggu.

*

Suasana ballroom hotel masih sepi. Hanya ada beberapa orang berkeliaran mengatur kemegahan pesta. Aku ditinggalkan berdua bersama asisten Raka yang sedari tadi mencericit tanpa spasi. Diceritakannya padaku tentang kehidupan pribadinya yang sebetulnya tak menarik minatku. Sambil clingukan mencari-cari keberadaan lelaki itu, Karin menarik tanganku untuk mengikutinya. Beberapa orang menelanjangiku dengan tatapan menyelidik dan bisikan. Dua di antara mereka tertangkap pendengaranku. Topik perbincangan memang sesuai dengan ekspektasiku. Siapa aku? Mengapa aku di sini sebelum pesta dimulai? Aku bukanlah siapa-siapa. Mengenal pengantinnya saja tidak. Jangan jadikan lelucon, Pembaca. Aku memang terlihat menyedihkan menjadi gadis asing yang ditinggalkan pria yang mengajaknya pergi bersama seorang wanita genit bernama Karin yang mengaku lulusan sekolah tata rias di luar negeri.

Jika ia lulusan tata rias, tak seharusnya ia menjadi asisten pribadi.

"Kamu itu harusnya seneng dan bangga," katanya. Tak sadar sampai mana ia bercerita. Aku sudah didudukkan di depan cermin. Tempat itu kosong tanpa keberadaan seorang pun. Di ruang sebelah tadi sempat kulihat beberapa wanita duduk merias diri; barangkali wedding singer, MC, dan tetek bengeknya?

"Kenapa?" Aku menoleh ke arahnya.

Karin memutar kepalaku paksa agar aku tetap menghadap ke depan. Kupandang wajahku sendiri di cermin rias lebar tersebut dengan mata membulat. Ia mulai membuka kuncir rambutku, menyisirnya, dan segala hal yang tak kutahu akan ia jadikan apa.

"Jarang ih ada yang seberuntung kamu. Aku ya, udah lama jadi asisten pribadinya, mana pernah diajak-ajak pergi kayak kamu yang cuma tetangga."

Aku setengah menjerit kala rambutku ditarik kasar oleh sisir. Karin menggumam meminta maaf dan berusaha menyisir rambutku hati-hati. Selama mendengar ceracaunya, aku mulai memikirkan ucapannya. Sudah sejak lama aku berpikir Raka mulai mengamini apa yang pernah kukatakan padanya. Namun karena tak ingin ia menganggapku aneh dan mengusirku lagi, aku sudah bertekad tak akan lagi mengungkit-ungkit soal jodoh. Puh! Bodoh kau ini, orang berpendidikan tinggi seperti ia tentu tak mau menelan omong kosong darimu.

Sambil menunggu Karin mengambil perlengkapan make up, aku mengutak-atik ponselku, berniat mengirimkan iMessage menanyakan keberadaannya.

Me: kamu di mana?

Tidak ada balasan. Kuketukkan jemariku di atas meja. Dua orang berseragam serba merah muda menyerobot masuk dan menarik tanganku. Aku tersentak kaget, ingin memprotes. Tetapi kedua perempuan bersanggul itu justru menarik kursiku dan memintaku tenang. Salah satu dari mereka mengerjakan kuku-kukuku tanganku, sedangkan yang satunya menggosok tanganku dengan krim-yang-tak-kutahu-apa-namanya.

"Eh, eh, ini apa-apaan?" aku berusaha mengelak.

"Mbak diam saja ya. Kami hanya menuruti perintah Raden Mas."

"Hah?"

"Udah, kamu diem aja. Rempong amat jadi cewek," Karin menggerakkan kepalaku ke atas sampai membikin aku memekik. Bersandar pada punggung kursi, aku dibuat ketiga perempuan sinting itu tak berkutik. Rambutku diikat dengan bando agar tak mengganggu kerja tangan Karin.

Entah berapa lama aku dibikin begini. Mereka tak memberiku waktu bernafas barang sebentar. Aku megap-megap mencari udara begitu Karin menyelesaikan sesuatu pada mukaku. Tak diberi kesempatan menengok cermin, Karin memutar kursi dudukku dan bertanya pada dua perempuan berseragam merah muda tadi hasil kerjanya.

"Lebih baik daripada yang sebelumnya, Mbak."

"Lebih baik?" Nadaku meninggi.

Kursiku diputar menghadap cermin. Hampir aku tersedak ludahku sendiri begitu melihat sosok orang lain di dalam cermin itu. Segala pertanyaan menguap di kepalaku, ingin melepaskan diri, namun aku lagi-lagi tak punya kesempatan. Karin mencerocos bersama kedua perempuan tadi, saling memberi masukan. Sudut mataku melirik kuku-kukuku yang kini mengilap dan diberi warna-warna yang membikin aku mengernyit agak jijik. Pembaca, perlu kau tahu aku tak menyukai segala bentuk seni menghias kuku macam begini. Bikin merinding saja.

Rambutku mulai dibenahi. Roll-roll rambut yang ia pasang padaku tadi ia lepas dan ditambahi dengan sentuhan alat pengriting rambut yang masih panas. Apa yang sebetulnya ia mau? Apa ia pikir, aku tak sanggup berdandan sehingga membikin ia memanggil banyak orang demi membantuku berdandan? Sebatas itu? Aku bisa berdandan, sudah kukatakan!

Hampir kehabisan udara dan menyatakan menyerah pada hidup, Karin dan kedua perempuan berseragam merah muda tadi berkata semuanya selesai. Tak kutahu harus menanggapi perubahanku seperti apa. Waktu menelaah diriku di depan cermin rias, aku bagai lenyap disisihkan oleh sosok yang baru. Sosok yang bahkan kau pun telah tahu.

Karin kembali mendekati tempat dudukku membawakan sebuah gaun. Ia memerintahkan padaku secepatnya memakai gaun itu dan langsung turun ke bawah lantaran acara sudah dimulai.

*

Tampaknya, sudah banyak acara yang kulewatkan. Sebab sewaktu mengintip di atas tangga, orang-orang sibuk mengumbar tawa dan obrolan, berfoto bersama pengantin yang berbahagia, dan mendengarkan orkestra memainkan segelintir instrumen musik. Suasana ini kurasai tak asing. Pesta yang meriah dan megah, musik orkestra, dan pasangan berdansa?

Baru sempat aku berpikir bahwa aku memang melihat dan merasakan suasana macam itu di dalam mimpi, Karin berbisik gaduh, mendorong punggungku agar segera turun. Ia berkata aku sudah ditunggu dan dicari-cari sejak tadi. Puh! Memang kemana sang pencariku sejak tadi, hah? Tak seharusnya ia kabur begitu saja dan meninggalkan aku bersama orang-orang itu.

Menghembuskan nafas panjang, aku membuka mata dan lalu melangkah dengan gemulai menuruni tiap anak tangga—bukan apa, hak tinggi ini yang membikin langkahku terhambat. Satu tanganku menyusuri birai tangga yang dihiasi oleh kain brokat berwarna krem dan putih gading, lampu-lampu kecil warna-warni, dan bunga-bungaan. Sedang tanganku yang lain mengangkat gaunku untuk mempermudahkan aku jalan. Di antara kerumunan orang yang serentak menoleh ke arahku—bahkan seolah aku menyita seluruh perhatian di ballroom ini dari sang pengantin—, Raka muncul dengan sebentuk senyum miring puasnya. Ia berhenti di bawah tangga sembari menyambutku. Tanganku yang terulur ia genggam, lantas diciumnya tanpa mengalihkan matanya dariku.

"Mooie," katanya. Persis seperti yang dilakukan Ario pada Helenina sewaktu di pesta.

"Makasih."

Digandengnya tanganku bagai seorang putri, dipertontonkan pada khalayak ramai dan diajak bergabung bersama berpasang-pasang manusia di tengah ballroom.

"Heh, aku nggak suka jadi bahan perhatian," bisikku ketus.

"Kenapa? Kamu cantik, kok."

Aku tergeragap ingin menanggapi. "Aku bukan siapa-siapa di sini. Kenal sama temen-temen kamu aja enggak. Terus kalau mereka tanya aku siapa, kamu mau jawab apa? Kalau mereka nanyain tunangan kamu, aku jawab apa juga? Dikiranya nanti aku itu selingkuhan kamu. Terus jadi bahan gosip. Idih... males banget deh."

Ia hanya menanggapi celotehanku dengan tawa pendek tak bersuara. Tangannya dilingkarkan di sekitar pinggangku sedangkan aku memandangnya membisu.

"Kamu nggak pernah dansa, ya?" selorohnya. Ia menungguku sembari menarik sebelah alisnya.

"Oh. Oh." Aku mengangguk kaku, mengambil nafas dalam-dalam, kemudian mengalungkan tanganku pada lehernya. Kupalingkan wajahku sekadar menyembunyikan ekspresiku agar tak jadi lelucon pribadi baginya.

Musik milik Albinoni, Adagio in G Minor dimainkan oleh orkestra di pojok ruangan, bersebelahan dengan seorang wdding singer yang mengobrol bersama kawan seprofesinya. Tak ada obrolan di antara kami. Tiada pula pandang-memandang, sebab aku hanya mengamati orang di sekitarku, terkadang mengamati kakiku sendiri berharap tidak salah langkah.

Namun aku rasai pandangannya padaku. Yang malah membikin aku kesulitan bernafas atau sekadar menggerakkan bola mataku untuk menatapnya. Benar, ini mirip seperti kejadian di dalam mimpiku semalam. Aku seakan dibawa oleh waktu melakukan kejadian itu, di masa sekarang.

"Siapa cinta pertamamu?" tiba-tiba ia bertanya padaku, sontak membikin aku menoleh ke arahnya dan mengerjapkan mata.

"Hah?" Aku mengedip lagi. Kutahu, ia tak suka seseorang mengulang pertanyaannya. "Ngg... nggak tahu."

"Kok nggak tahu? Kamu nggak pernah suka sama orang?"

"Ya pernah lah. Tapi aku nggak pernah nyebut itu cinta. Suka aja sih... sering. Dulu, aku pernah—sering malahan—ngalamin banyak kebetulan dan nganggep itu sebagai tanda bahwa aku sama mereka berjodoh." Aku mulai mengenang waktu-waktu ketika jatuh hati pada kawan-kawan sekolahku. Mulai dari A sampai Z. Semua kukenang dan membikin aku tertawa kecil. "Misal, aku sama si A ini wethonnya sama. Aku nganggep dia jodoh aku. Terus sama si B, kita punya banyak kesamaan, banyak kekurangan yang bisa saling melengkapi, aku kira juga dia jodoh aku. Dan... sama kayak yang lain. Banyak kebetulan yang terjadi. Aku yang memang suka percaya sama mitos percaya kebetulan itu membawa kami pada tali takdir." Lalu nadaku berubah menjadi kekecewaan tak bersirat. "Kadang Tuhan hanya mempertemukan, bukan menyatukan."

"Jadi... kamu ditolak sama mereka?"

Mataku membelalak tak terima. "Ditolak?? Please deh, nyatain suka aja nggak pernah. Cuma, aku selalu jatuh cinta sama orang yang salah."

"Jatuh cinta sama orang yang salah?" ia mengulangi. Dan aku pikir, aku baru saja mengatakan hal yang bodoh. Nista. Aissshhh! Ia termasuk di antaranya!

"Erm." Aku berdeham sejenak, membasahi kerongkonganku dengan menelan ludah. "Nggak usah tanya kamu juga udah paham. Eh, by the way, kenapa kamu tanya begitu?"

"Biar ada topik pembicaraan aja."

Hanya itu? Oh.

Ia tak lagi bertanya padaku. lagu Albinoni telah berganti menjadi nyanyian seorang wedding singer yang membawakan lagu-lagu romantis. Lagu yang baru ini, lagu yang sama ketika kudengar di dalam mobil Mahesa. When You Love Someone, bukankah itu judulnya? Pembaca, perlu kau ketahui, ini kali pertama seorang lelaki mengajakku berdansa, dan pengakuan itu cukup memalukan. Aku tak berpengalaman berhadapan dengan seorang pria. Aku tak dapat menarik hati mereka agar terpesona padaku. Meski begitu, ini menjadi hal luar biasa yang baru terjadi padaku, sekali dalam seumur hidup.

Dan baru aku bergumul dengan pikiran itu, ditariknya aku ke dalam pelukannya. Aku tercengang tak berkedip. Seluruh mata boleh jadi memandang ke arahku, namun hal itu tak jadi persoalan bagiku. Aku dibuatnya terkesiap. Kedekatan itu lagi-lagi hadir seperti sebelumnya. Rantai sakral yang abstrak seolah terbelit di sekitar kami, yang tak mampu membikin aku menarik diri darinya, dan sebaliknya.

When you hold your love

Don't ever let it go

Or you lost your chance to make your dreams come true

Ragu-ragu, aku balik memeluknya, memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam, mengatakan pada diriku bahwa semua ini hanyalah kebetulan yang biasa. Seperti sebelum-belumnya.

*****

Pertemuanku dengan Jan de Witt membikin aku gelisah. Perasaan ini bergejolak tak menentu. Sejak awal kemunculannya di rumah ini aku telah menyadari bahwa ia mengamatiku. Ucapannya waktu itu merongrong dalam pikiranku. Bahkan sampai detik ini pun, mata tajamnya tiada henti berlabuh ke arahku, seakan dirinya terkait erat oleh jangkar yang aku turunkan di dasar laut. Aku mengusap tengkukku tak enak. Gelas di tanganku aku letakkan di atas meja. Menyingkir dari obrolan Ario, Jasper, Martijn, dan teman-teman sekolahnya, aku mencoba menghindari pandangan di ujung sana.

"Nina, mau kemana kau?" suara Ario terdengar samar di pendengaranku yang mulai dibisingi orang-orang di sekitarku.

"Tak lama," balasku pendek. Aku lalu melenggang menepis pundak-pundak para tamu, menuju keluar rumah.

Udara di dalam begitu pengap dan memutar-mutar kepalaku. Aku menghirup udara segara di luar. Pening di kepalaku berangsur-angsur menghilang. Tampaknya, aku memang butuh waktu sendirian sekadar menyegarkan pikiran.

Berjalan-jalan menyusuri kebun mawar Mama, aku dengar suara berisik dua orang pria yang terlibat percek-cokan. Penasaran, kuikuti sumber suara yang tak jauh dari tempatku. Suara itu benar milik Papa dan Tuan de Witt. Dari balik semak-semak mawar, kulihat keduanya berbicara dalam bisikan keras, intonasi cepat, dan nada tercekat.

"Aku tidak membunuh bajingan tua itu!"

"Memang, kau mungkin bisa menyangkalnya, Pieter. Namun Anneke tak akan diam saja. Kau sudah tersudutkan. Tak akan ada yang bisa menolongmu dari masalah ini apabila Anneke datang kemari menuntut hak-haknya yang kau rampas."

"Omwille van God! Demi Tuhan! Si Tua Bangka itu mati bukan disebabkan olehku! Sahabat macam apa kau ini? Harusnya kau membelaku!"

"Kali ini aku tak dapat membelamu karena ini menyangkut soal kriminal. Ingat, aku bisa memberimu bantuan, tentu dengan prasyarat. Kau tahu betapa tergila-gilanya putraku pada putrimu? Jika kau mau terbebas dari kasus ini, yang bisa menjebloskanmu ke dalam penjara, atau malah kau bisa mati di hadapan Ratu Wilhelmina, maka kusarankan kau ikuti ucapanku."

Papa mengusap wajahnya frustrasi. Ia mondar-mandir, bertolak pinggang, dan menggumam dengan nada meyakinkan. Aku tertegun lama mengikuti perbincangan mereka. Kematian kakekku, benarkah itu sebuah pembunuhan atau rencana pembunuhan yang disengaja? Papa yang terlanjur lepas kendali ingin membela diri meraung cukup keras,

"Kau tidak bisa mengancam seorang Pieter Bregsma!"

"Aku? Bisa. Tentu bisa. Kau tersudutkan pada kasus pembunuhan itu, Pieter. Rudolf Verbrugge mati dengan sebab-musabab yang kau buat. Kau rencanakan kematiannya demi kucuran harta. Seluruh perkebunan, pabrik, dan tetek bengeknya, kau kira aku sebodoh itu, heh? Kekayaanmu tak datang dari langit! Boleh jadi kau sengaja mencuri hartanya."

"Aku bekerja keras di Hindia! Nyai-Nyaiku yang membantuku! Mereka kutempatkan di setiap kota yang berbeda untuk kuberi perintah menjaga dan mengelola seluruh hartaku! Kukirim mereka bukan tanpa sebab pula. Aku didik mereka, yang pada mulanya hanya pelacur bodoh, menjadi wanita-wanita mandiri yang tahu bagaimana mengurusi perusahaan dan perkebunan sebesar itu! Anak-anakku dari mereka pun kudidik agar kelak dapat mengelola semua kekayaanku! Dan itu murni dari hasil kerja kerasku! Kerja Nyai-Nyai serta anak-anakku!"

"Tak akan ada yang percaya pada omonganmu. Anneke akan memenangkan perkara. Kau tahu istrimu yang malang itu punya otak yang cerdas dan gerak-geriknya bagaikan belut yang licin."

"Kau sengaja bersekongkol dengannya?" Papa geram. Ia hendak menerjang Tuan de Witt, namun pria tua itu menahannya dengan sebuah senjata api yang ditodongkan di jidat Papa. Aku terkesiap membekap mulutku sendiri.

"Turuti saja, atau aku buat kehidupanmu sengsara. Oh... kau barangkali tidak begitu peduli pada dirimu sendiri. Tapi, bagaimana dengan anak gadismu yang manis itu? Bisa jadi, besok kau akan menemukannya dalam bentuk mayat. Tak bernyawa. Dan kubuat seolah-olah ia mati bunuh diri."

"Kau... yang mengatur semua ini. Kau yang membunuhnya. Kau yang membunuh Rudolf Verbrugge!"

"Siapa yang akan mempercayaimu, Pieter? Orang-orang mengenalmu sebagai seorang pembunuh berdarah dingin. Dari perintahmu, kau bunuh orang-orang yang mengganggu gundik-gundik piaraanmu, terutama induk si manis itu. Kalau boleh mengatakan, gundikmu yang terakhir memang menawan." Tuan de Witt menertawai raut muka Papa yang memutih. "Kau tak akan bisa berkutik jika Anneke sudah bertindak. Sebab semua yang kau dapatkan, pada mulanya berasal dari dia. Lalu kau anak-pinakkan jadi sedemikian besarnya. Pintaku hanya satu, nikahkan Helenina dengan Jan. Selesai perkara."

Tidak! Jangan lakukan itu, Papa! Jangan menerimanya! Biarlah aku mati, tak kupedulikan itu, asal bukan Jan yang pada akhirnya memilikiku! Aku tak sudi dimiliki orang lain!

Mendengar ancaman itu membikin kakiku gemetar dan aku menggigil ketakutan. Aku bergerak mundur ke belakang hati-hati dengan pikiran kosong. Berbalik dan berlari kesetanan tak memedulikan gaunku yang sempat tersangkut duri mawar hingga robek, aku menahan diri untuk tak memekik atau bahkan terisak. Menoleh ke belakang memastikan mereka tidak memergokiku menguping, aku terus berlari, sampai seseorang aku tubruk tanpa kesadaran, membuat aku menoleh ke depan dan hampir menjerit seandainya kedua bahuku tak didekap dan ditenangkan dengan suara bak beledu yang kukenal.

"Kalmeren, Nina. Ik ben het (tenang, Nina. Ini aku)."

Aku pandangi Ario yang tampak bingung melihatku ketakutan dan panik macam begini.

"Spaar me (selamatkan aku). Bawa aku pergi dari sini," kataku tergeragap di tengah gigilan ketakutan. "Tolong bawa aku."

"Wat gebeurt er (ada apa)??"

Mulutku seperti diselotip sesuatu hingga membikin aku membisu tak dapat berkata-kata. Aku ingin mengatakan segala hal yang kudengar, tetapi pening itu menyentak kepalaku lagi sampai aku tak kuasa menahan keseimbangan tubuhku. Tubuhku jatuh terkulai di pelukan Ario sebelum aku seratus persen tak sadarkan diri.

*

Kamarku sepi. Tak ada yang menemaniku di sebelah ranjang, terkecuali Elieen yang menatapku prihatin dengan topinya yang ia genggam di depan. Mataku mengerjap-ngerjap setelah terbaring cukup lama di ranjang ini. Aku pandangi ia dalam tanda tanya terpampang di wajahku. Ia menundukkan kepala, menghembuskan nafas panjang yang berat. Di luar sana aku dengar suara-suara gaduh, langkah-langkah kaki, barang-barang yang disentak di atas lantai, jeritan amarah, dan lain sebagainya.

Seingatku, kemarin malam aku tak sadarkan diri setelah menguping pembicaraan Papa dengan Tuan de Witt. Lantas kini, aku telah terbangun di ranjangku, di dalam kamar bersama Elieen yang murung dan suara gaduh di luar.

"Mengapa ribut?" tanyaku parau. Perlahan-lahan aku bangkit dibantu Elieen. Ia pandangi aku penuh rasa menyesal, kian mendebarkan jantungku, menambah kegelisahanku.

"Lebih baik, Juffrouw berbaring saja."

"Tidak. Aku rasa ada yang tidak beres di luar sana." Aku memaksa untuk turun dari ranjang. Kendati tubuhku lemah, aku gigih mengakhiri malas-malasanku dari ranjang. Tubuhku dipapah Elieen dengan sabar dan hati-hati.

"Tidak usah memaksa, Juffrouw."

"Jangan bikin aku makin kesal. Aku hanya ingin melihat keadaan di luar." Aku menatapnya murka. "Apa yang terjadi? Ceritakan padaku apa yang terjadi semalam sewaktu aku tidak sadarkan diri. Di mana Ario?"

Elieen bungkam. Hanya wajah memelasnya yang ia pampang sebagai jawaban. Yakin, memang ada yang tidak beres. Aku bergegas ke depan tak peduli pada papahan Elieen. Aku melangkah mandiri melewati lorong, menuruni anak tangga. Mulutku ternganga terkejut melihat kopor-kopor Mama beserta pakaian-pakaiannya dilempar tidak sopan, dibiarkan berserakan.

"Angkat kaki dari rumah ini!" seorang wanita paruh baya berambut coklat yang digelung di bawah topi kecilnya menyorongkan telunjuk menuju pintu rumah yang telah terbuka lebar-lebar.

"Bangsat! Kau pikir aku tak bisa keluar dengan terhormat!" tubuh Mama bergetar menahan amarah. "Baik. Baik Mevrouw Anneke Bregsma yang terhormat. Aku akan pergi, tapi akan kubawa anakku ikut serta."

Kupercepat langkah kakiku menghampiri kerumunan mereka. Tatapan nyalang wanita yang kuduga adalah Anneke bagai tamparan telak bagiku. Matanya menyala biru, seperti jantung samudra yang dikobarkan bara api.

"Anak itu tidak akan kau bawa serta," Anneke membentak. "Seorang gundik dilarang membawa anak yang dikandung dan dilahirkannya jika mereka berdarah Eropa."

"Hukum keparat!" Mama meninggikan nadanya. Dihadapinya si ular betina dengan berani. Dadanya dibusungkan tanpa rasa takut. "Kau hanya wanita asing yang tiba-tiba datang kemari dan mengusirku. Lalu kau tak biarkan aku membawa putriku? Aku ibunya! Bukan kau!"

"Perlu kuseret ke pengadilan biar pengetahuan dari otakmu yang bebal itu terbuka, hah?" Pandangan Anneke seperti menelanjangi Mama di tempat ini. Keadaan kian genting. Tak ada seorang babu pun yang berani melerai pertikaian dua wanita itu. Tidak pula Papa yang memijit pangkal hidungnya. "Al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een lejk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja makhluk buruk rupa)!"

Hening. Tak ada berontakan lagi dari Mama. Kendati dihina sedemikian buruknya, Mama tak mempertontonkan emosi di wajahnya. Tak ada air mata di pipinya. Hanya anggukan perlahan dan getaran kepalan tangannya yang menjadi sisa-sisa perlawanan. Aku mengamati dengan mata berkaca-kaca, terlebih ketika ia mulai mengepak pakaiannya ke dalam kopor-kopor besar.

"Kau tidak boleh pergi!" teriakku, berlari menghampirinya. "Mama jangan pergi!"

"Jangan menangis, Nina. Ini bukan perpisahan," gumamnya tanpa memandang ke arahku. Kopor yang ia siapkan telah terpegang di tangan. Hendak ia langkahkan kedua kakinya, aku berlutut memeluk kakinya, meminta ia tetap tinggal.

"Aku tak mau di sini. Bawa aku pergi, Mama. Bawa aku pergi."

"Aku bilang jangan menangis karena ini bukan perpisahan!" bentaknya. "Berdiri. Berdiri! Tunjukkan pada mereka kalau kau bukan anak perempuanku yang bisa seenaknya dihina. Tunjukkan kau beradab. Tunjukkan adab Eropa dan Jawamu yang baik di depan muka mereka. Ayoh, berdiri!"

Aku menggeleng. Kupeluk kakinya, menangis tersedu-sedan. Anneke menarik lenganku dan menyeretku menjauh. Aku meronta dari genggaman tangannya, namun kuku-kukunya justru menancap pada lenganku sampai aku memekik kesakitan.

"Kuperingatkan kau, jangan sakiti dia," Mama menggeram menunjuk Anneke dengan mata nanar. "Kau boleh hina aku, tapi tidak anak ini."

"Pergi. Aku tak sudi melihat wajahmu di sini. Pergi!"

Mama bertolak dari rumah ini dengan menyeret kopornya. Aku berontak, menjerit berusaha lepas dari cengkeraman kuat Anneke. Begitu Mama naik ke bendi yang akan mengantarnya pergi bersama kaki tangan setianya, Subarja, aku berhasil meloloskan diri dari pegangan erat Anneke.

"Mama! Mama!" teriakku.. "Jangan pergi! Jangan pergi! Mama!!!"

Ia tiada sama sekali menoleh ke arahku. Tubuhnya tegak, seakan tak ingin mengenalku lagi. Namun dapat kurasai kesedihan dan luka yang tertinggal di batinnya, dipisahkan secara tak terhormat dari putri semata wayangnya. Bahunya sedikit bergetar, seakan menahan isak tangis yang tak ingin ia tumpahkan dan menjadikannya lemah. Namun pandangan dan tubuhnya ia pertahankan tegak tidak menoleh barang sekejap. Ditinggalkannya aku berteriak memanggil namanya dengan uraian air mata dan disaksikan para pekerja rumah ini. Bendi yang membawa Mama makin lama makin mengecil. Lalu menghilang dari pandanganku. Di atas tanah berdebu dan berkerikil, aku berlutut. Kurasai nyeri pada lututku. Tetapi ribuan rasa nyeri dan perih pada tubuhku tak akan mampu mengalahkan rasa sakit hatiku.

Aku ditinggalkan seorang diri dengan orang-orang asing di sini. Aku ditinggalkan dalam cengkeraman ketakutan, terpenjarakan lebih lama dan kian terpuruk, dibiarkan mati perlahan-lahan dengan ketidakadilan hukum biadab.

Berdiri di sebelahku, Papa menggumam mengatakan aku tak perlu khawatir. Sebab ia akan mengasuhku di sini bersama istrinya. Hidup seperti pasangan lain, yang normal dan dapat diterima oleh khalayak. Namun kupandang ia mengiba. Tatapanku bunar oleh air mata yang mengganjal.

*

Dan hari-hariku di rumah ini seperti di neraka.

Aku tak menjamah makanku. Tidak pula menegur siapapun, kecuali duduk diam di ranjangku seperti orang linglung yang tak bertopang pada kehidupan. Elieen dengan sabar menyuapiku, namun tak kuhiraukan dirinya. Anneke sekali-dua kali dalam sehari memasuki kamarku, memerintahkan Elieen meninggalkanku dan tak usah memaksaku makan. Bahkan begini katanya:

"Biar dia mati pun aku tak peduli."

Penjaraku baru dimulai sejak Mama pergi. Aku dilarang keluar rumah. Pintu kamar mulai dikunci dan tak seorang pun boleh membantuku kabur jika tidak ingin mati terpenggal. Aku seperti boneka porselen tak bernyawa. Sepanjang hari kuhabiskan dengan melamun. Berbaring tanpa tidur. Berdiri di balik jendela tanpa tertarik pada aktivitas di luar. Wajahku memucat bagai tidak dialiri darah.

Duduk mematung memandang dinding mungkin menjadi kebiasaan baruku di sini. Tidak secarik surat datang padaku. Elieen berkata—biarpun tanpa kutanyai—surat-surat yang datang dari Ario maupun Mama akan langsung dibakar. Tiada seorang pun boleh menengokku di sini, terkecuali orang-orang rumah ini.

Apa salahku hingga aku dibeginikan? Apa salahku?

"Helenina."

Seperti hari-hari sebelumnya, aku tidak berbicara sepatah kata pun. Duduk di ranjang setelah rambutku disisir rapi oleh Elieen yang lalu berpamitan meninggalkan aku bersama Papa. Aku pandangi dinding putih di depanku tanpa daya. Kosong. Tak punya minat pada kehidupan lagi.

"Ada yang ingin kukatakan padamu," lanjutnya, duduk di sebelahku. "Aku telah menyepakati rencana Edward de Witt untuk menikahkan kau dengan anaknya."

Jantungku berdenyut nyeri, namun aku tak kuasa menoleh kepadanya. Hanya kedipan yang kuberikan sebagai reaksi berontakku mengatakan: TIDAK!

"Dan kau harus menyanggupinya."

Aku tidak mau! Dalam hati aku berontak, tak sanggup berkata-kata lantaran tidak memiliki tenaga untuk berbicara.

"Kau mungkin membenciku karena semua yang terjadi." Ya, aku sangat membencimu. Aku membencimu, Papa. Membencimu! "Kau boleh membenciku, Helenina, Sayang. Kau boleh membenciku karena memisahkan kau dengan Mamamu. Membenciku karena aku menentang keinginanmu bersama Pribumi itu. Membenciku karena aku membiarkan Anneke kemari. Membenciku karena membiarkan Mamamu diusir pergi. Kau boleh membenciku seumur hidupmu, Anakku." Di sampingku, kudengar ia menarik nafas dalam-dalam, lalu melepaskannya bersamaan dengan suara isak tangis perlahannya. "Tapi tak ada yang bisa kulakukan. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Ini kulakukan demi kau pula, Helenina. Lakukan untuk kebaikanmu pula." Pada akhirnya, ia beranjak dari tempatnya duduk, berlutut di depanku dengan menggenggam tanganku. Diciumnya tanganku sebagai permintaan maaf. Aku rasai air mata panasnya pada tanganku.

"Mereka menjebakku. Aku tahu itu. Mereka bersekongkol menjatuhkan aku. Aku tak hanya akan kehilangan seluruh harta kekayaan yang dengan susah payah kuperoleh sepanjang eksistensiku di Hindia. Dibantu pula oleh wanita-wanita hebat yang kusia-siakan. Aku juga akan kehilangan kau. Ik smeek voor dit laatste (aku mohon untuk terakhir kali ini). Pardon, Helenina. Pardon... Lakukan ini demi keselamatanmu. Biarpun kau tak sayang padaku, aku mohon kebaikanmu untuk tidak membiarkan semua itu terjadi."

Aku lebih baik mati daripada mengikuti mereka, Papa. Bunuh saja aku.

Ia mencium tanganku lagi, menangis di depanku, memohon padaku. ketika kukerjapkan mataku, bendungan air mata di pelupuk mataku tak kuasa kutahan lagi. Mereka turun secara bersamaan dalam cucuran panjang. Jantungku berdenyut kian menyakitkan. Aku tak mampu bernafas. Aku seakan tidak hidup di sini.

"Turuti, Anakku. Turuti." Ia menengadah memandangku. "Niscaya kau akan mendapatkan ketentraman. Tidak akan ada lagi yang mengganggumu. Tidak pula aku. Aku berjanji akan lenyap dari hadapanmu setelah itu. Kau boleh benci padaku dan tak sudi melihatku. Aku berjanji akan lenyap dari hadapanmu, jika itu maumu."

Tak kuhiraukan kata demi katanya. Mulutku kaku, seperti tanganku yang ia genggam penuh pengibaan. Ia lantas beranjak berdiri, mencium puncak kepalaku tanpa berakhirnya tetesan demi tetesan air mata di kedua pipiku dalam keadaan membisu. Ditinggalkannya aku seorang diri di kamar. Dengan kesenyapan yang merambat dan menghimpitku melalui dinding-dinding yang mengelilingiku. Cucuran air mata itu kian menderas bersamaan kedipan mataku. Aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya berulang kali seperti ikan yang dibiarkan mati perlahan-lahan di atas daratan.

"Kau baru saja membunuhku, Papa."

*****

Hari ini sengaja aku datang ke rumah Raka tanpa permisi karena aku dikecam rasa penasaran. Siapa sangka ia menyembunyikan informasi yang kubutuhkan di tempat ini? Yang tak kuharapkan boleh saja terjadi; ia bisa mengusirku dari rumahnya dan aku diolok-olok sebagai orang gila yang terobsesi pada sejarah dan mimpi.

Pembantu rumah ini mempersilakan aku masuk mencari keberadaan Raka yang kiranya ada di dalam, entah sedang apa. Sejak di pesta kawannya beberapa malam lalu, aku merasakan kebekuan yang sempat membentur kami dapat dilumerkan. Ia tak lagi bertindak kasar padaku, kecuali memperlakukan aku tanpa kutahu maunya apa. Kadang ia bersikap baik dan manis, kadang pula berlaku mengesalkan dengan kediaman dan ekspresi monotonnya. Dikiranya aku manusia tak berperasaan? Aku rasa ia gagal memosisikan diri di dimensi ke empat dalam Filsafat Jawa.

Hey, jangan dikira aku bebal soal ilmu pengetahuan. Biarpun tak sehebat orang berpendidikan tinggi yang mengikuti fast track atau bedebahlah itu, aku juga tahu sedikit ilmu pengetahuan.

Mengapa persoalannya malah menuju kemari?

Tak menemukan ia di mana-mana padahal telah kucoba meneleponnya, aku frustrasi memutar-mutari rumah besar ini. Naik ke lantai atas, aku mendengar suara dering ponselnya di sebuah kamar. Oke, sungguh tak sopan memasuki kamar orang lain tanpa ijin. Persetan soal kesopanan. Boleh jadi ia banyak menyembunyikan rahasia dariku di sini. Hey, ia seorang keturunan Bendara Raden Mas Arianta. Mustahil ia tak tahu menahu soal Helenina Bregsma.

Ponselnya berdering di atas nakas. Itu panggilanku, dan aku sengaja melakukan itu untuk mencarinya. Tanpa permisi, aku meraih dan membukanya. Sebelum kugeser kursornya, aku lihat wallpaper yang ia gunakan. Seingat otak dangkalku ini, ia pernah sekali menggunakan wallpaper sebuah sketsa yang—bukan maksud percaya diri—adalah sketsaku. Itulah sebab aku terkejut melihat layar ponselnya. Namun kini, ia mengganti wallpaper itu dengan foto lain. Fotonya bersama seorang perempuan. Berpelukan mesra. Dan tertawa. Tertawa! Bagaimana mungkin makhluk tanpa emosi macam dirinya bisa tertawa. Betapa beruntungnya perempuan ini mendapatkan dirinya.

Hey, mengapa aku menggerutu.

Berhenti di situ, Larasita. Kau sungguh tidak sopan. Jangan membuka-buka ponsel orang lain. Oops... maaf, aku terlanjur menggeser kursornya dan membuka-buka isinya. Tak ada media sosial yang ia miliki. Kecuali satu aplikasi, yakni Twitter. Penasaran, aku buka aplikasi tersebut yang tersambung dengan akun miliknya dengan ID teraneh sepanjang jagad raya: @Agnibrata. Tak ada foto yang ia gunakan sebagai icon. Tidak pula satu pun tweet atau lainnya. Apa yang ia lakukan dengan akun tanpa isi macam begini?

Aku mengerucutkan bibir. Kubuka opsi search lantaran penasaran akun atau kata kunci apa yang ia cari di Twitter belakangan ini.

LaraLarasita

Hey, itu ID Twitterku. Bagaimana ia bisa memasukkan ID itu ke kotak pencarian? Oh.... rupanya aku telah mendapatkan seorang stalker, Pembaca.

"Ngapain kamu?"

Aku terlonjak kaget mendengar teguran dari arah belakang. Di sana sudah berdiri Raka dengan sebelah alis terangkat meminta jawabanku. Buru-buru kusembunyikan ponselnya di belakang punggungku dan mundur menjauhinya.

"Itu bukannya hape aku, ya? Balikin." Tangannya bergerak memberiku perintah.

"Oh... jadi selama ini kamu stalking aku, ya?" Mataku menyipit. "Ngaku. Ini Twitter kamu kenapa ada ID Twitterku di kotak pencarian?" Kupampangkan layar ponsel padanya, memberi ia tatapan mengintimidasi, berharap ia rikuh atau segan padaku.

Di luar ekspektasi, ia hanya memandangku monoton. "Kepo banget sih. Kasihin."

"Eh, kamu yang kepo. Dasar Mister Stalker." Aku mulai menggodanya dengan kernyitan hidung. "Ciye stalking, ciye..."

"Apaan sih. Kasih, Nggak." Ia melangkah mendekat, berniat merebut ponselnya yang kini berada di genggamanku. Aku menghindar dan berlari dari kejarannya. Ia berusaha meraihku dan berjanji akau membalas ketidaksopananku dengan harga setimpal.

"Apa tuh Agnibrata?" aku berusaha berkelit darinya agar tak tertangkap, sambil melompati ranjangnya dan memutari kamarnya yang serba luas. "Aneh banget bikin nama ID. Oh... jangan-jangan ini khusus buat stalking doang?"

"Nggak usah sok tahu. Sinikan!"

"Kalau mau bikin ID, biarpun itu buat stalking doang..." Aku melompati ranjangnya lagi, sedangkan ia menggerung marah ranjangnya mendapat sapaan dari sepatuku, "yang kece dikit kek. Arjunan kek, Yudhistira kek, atau apalah yang keren."

"Whatever you say. Sinikan, Laras. Laras!"

Aku melompat-lompat di atas ranjangnya. "Nih, ambil nih. Kalau bisa, sih." Sebelum melompat untuk kabur, ia berhasil mendekap dan menangkapku hingga membuat tubuhku terpental ke belakang dalam keadaan terlentang, sedangkan ia di atasku. Menindihku. Menindihku!

"Agnibrata itu," ia berbisik tepat di depan bibirku, "dalam Jawa bisa diartikan sebagai 'bertindak dengan hangat'. Paham?"

Aku mengedip berkali-kali. Jantungku berdebar tak keruan. Bunyinya barangkali bisa ia dengar. Aku seakan mengkerut menjadi binatang kecil di bawahnya. Seakan berada dalam kekuasaannya, genggamannya, dan menunggu waktu untuk dimusnahkan menjadi potongan mikroskopik. Matanya tak lantas beralih dariku. Dipandanginya aku intens, hangat, seolah kami pernah saling berpandangan seperti ini. Dan entah mengapa, aku seakan pernah melakukan hal macam begini. Deja vu, kah?

"Raka."

Serentak, kami menoleh pada satu arah, pintu terbuka di mana seorang perempuan berdiri di ambang pintu memandang kami terkejut. Spontan saja Raka melompat dari ranjangnya dan melesat menghampiri perempuan itu.

"Nai? Kenapa nggak bilang kamu datang sekarang? Aku kan bisa jemput kamu di bandara."

"Aku... pingin kasih kamu kejutan." Dipandangnya aku tanpa perubahan emosi di wajahnya. "Itu siapa? Kalian ngapain?"

"Itu, anak tetangga." Menoleh padaku, Raka mendelikkan matanya horor, mengusirku secara halus. Segeralah aku beranjak berdiri dan menghentakkan kaki berniat pergi. Melewati mereka berdua, aku menekan bibirku pada satu garis lurus. Kupandangi perempuan di depanku ini dengan tatapan iri. Rambutnya panjang terawat, hidungnya bak perosotan, kulitnya bersih, matanya bundar, bibirnya tipis, tubuhnya langsing dan tinggi semampai.

Mari kita lihat ke arahku, kurasa kau akan terkaget-kaget. Ia lebih dari segalanya. Tipikal wanita metropolitan yang mempesona. Seperti model, aktris, penyanyi, bedebahlah. Ia begitu... ah. Aku tak kuasa melihatnya. Betapa kejam dunia ini menciptakan seorang Pangeran untuk seorang perempuan cantik. Aku tak mungkin bisa mengalahkannya. Mari, mari kita kibarkan bendera putih.

"Hai," sapaku. "Bye." Dan aku langsung pergi meninggalkan pasangan yang sedang kasmaran itu.

"Di tangan kamu, Larasita."

Langkahku terhenti. Secara instingtif, aku mengangkat tanganku, menemukan ponsel Raka masih berada di genggamanku. Kubalikkan badan dan menyodorkan benda itu padanya.

"Nggak mau makan bareng sekalian? Aku bawain masakan Perancis buatanku sendiri loh," tawar si wanita berhidung bak perosotan itu. Ia tersenyum ramah padaku.

"Nggak usah," aku yang ditawari, mengapa Raka yang menjawab? "Dia ada pekerjaan lain yang nggak bisa ditunda. Iya kan, Dek?"

Dek ia bilang? DEK?

"Oh, iya. Iya, MAS," sengaja kutekan kata terakhir itu sebagai rasa dongkolku. Tak lagi kupedulikan mereka, aku berbalik dengan muka memberengut. Kupercepat langkahku, tidak ingin mendengar dan melihat mereka berkasih-kasih di depan mataku.

Kendati mencoba tidak peduli, telingaku yang tidak tuli bisa mendengar percakapan mereka. Aku iseng menengok ke belakang sebelum berbelok ke kanan. Mereka berpelukan erat layaknya sepasang sandal yang baru dipertemukan akibat hanyut terbawa arus sungai, atau terbawa maling sandal di masjid. Bibirku mengerucut ke depan, sedikit cemburu ketika kulihat dengan penuh cintanya lelaki yang aku suka mencium tunangannya dan berkata betapa ia merindukan si wanita.

Tak mau menonton telenovela, aku melangkah lebih cepat. Secepat mungkin. Sebab aku ingin segera sampai di kamar dan langsung membenahi kepingan-kepingan hatiku yang terlanjur pecah berantakan.

Baru menyentuh kenop pintu rumah, kurasakan patah hatiku menimbulkan sedikit efek di kedua mataku yang mendadak panas. Aku tak percaya, aku menangisi seorang pria?

"Kenapa melodrama gini sih." Kuusap kedua pipiku dengan kasar. Sadar atau tidak sadar, terima atau tidak terima, ia milik orang lain.

Sekali lagi, aku terlanjur jatuh cinta pada pria yang salah.

*

Sebab jatuh cinta pada orang yang salah tidaklah mengenakkan :'))))))

Saya buat ini atas kesadaran, sebab saya berada di posisi Laras. Persis. PERSIS. Sayang, barangkali nasib saya tak sebagus Laras :'))))

BTW, saya lupa kasih tahu ya, kalau dalam bahasa Belanda, 'G' itu dibaca 'Khe' (bagi yang belum tahu). Jadi Bregsma itu bacaannya Brekhsma ya ;))

Author

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro