Tien - Muziekdoos (Kotak Musik)
Terima kasih atas kesediaannya membaca cerita ini sampai di bab sepuluh. Di bab ini, silakan dengarkan Love Me Like You Do-nya Ellie Goulding untuk bagian akhir hehehe. Dan musik yang saya cantumkan di bab ini (terdapat pada media) adalah bunyi kotak musik di bab ini. Selamat membaca.
------------------------
Dan darahku seperti berhenti mengalir dari jantungku yang sempat terhenti.
Mengapa ia memelukku seperti ini, seperti seseorang yang tak ingin kasihnya pergi? Batinku pernah berkata bahwa aku tak boleh mengharapnya lebih. Bukankah ia telah memiliki pendamping hidup, yang sudah pasti ia cintai dan mencintainya dengan sangat? Waktu seketika bagai dibekukan. Sebetulnya aku tak boleh berlaku seperti ini. Coba posisikan dirimu di tempat tunangannya. Hanya wanita bodoh yang hatinya tak akan bergetar dan jantungnya berdenyut nyeri jika melihat orang yang dicintanya memeluk orang lain. Maka, aku berdeham kecil sekadar berusaha menarik alam bawah sadarnya. Ia seperti disentak sesuatu hingga pelukannya dilepas seperti kedipan. Pandangan matanya tidak berani ia labuhkan padaku.
"Maaf," hanya kata itu yang ia gumamkan. Biarpun—sepertinya—ia memelukku lantaran bukan atas kemauannya, tetap saja hatiku mendadak menyusut. Kecanggungan seperti sekat yang memisahkan kami, meski secara teknis kami tak banyak berjarak. Tampaknya ia begitu merindukan tunangannya. Barangkali ia bermimpi bertemu dengan tunangannya?
Mengapa aku harus peduli pada urusan orang lain?
"Aku balik dulu ya," kataku. Mengaitkan rambut ke belakang telinga menjadi salah satu gestur yang kutampilkan tiap aku gugup. Ia tak membalasku. Jangankan menggunakan kata-kata, melirikku saja tidak. Matanya lurus pada dinding di depannya, enggan beranjak sekadar melihatku.
Tanpa selipan kata pamit, aku melimbai meninggalkannya di belakang sana. Langkah kaki ini seirama dengan detak jantungku. Tanganku sudah berkeringat dingin, sedang pikiranku tak sanggup berpijak pada realita. Suhu tubuhku mendadak panas dan dalam sekejap berubah dingin, lalu panas. Begitu sampai aku keluar dari ruang santai. Kendati tubuh ini sudah tak berada di satu ruangan dengannya, aku rasai tatapannya menusuk punggungku. Tadinya aku ingin memutar kepala hendak melihatnya, namun batinku berbisik jika aku melakukan hal itu, ia akan tahu aku tak rela meninggalkan rumah ini.
Sesampainya di kamar, dengan pintu terbanting di belakang punggungku, aku tekan dadaku. Debar jantung itu kian menjadi-jadi. Kuhela nafas panjang-pendek. Melompat ke atas ranjang dan mengubur wajahku di antara bantal dan guling, baru suara teriakanku terlepas dari bibir setelah beberapa waktu lalu terbungkam dalam rahasia. Nah, begini aku merasa lega. Pembaca, coba kau bayangkan hal ini terjadi padamu. Orang yang kau sukai setengah mati tiba-tiba memelukmu, seakan panah Cupid berhasil menyentuh jantungnya. Bukankah kau akan bersikap sama sepertiku? Akal sehat tak akan hadir padamu. Kau akan dianggap sinting jika melakukan tugasmu dua puluh empat jam dengan senyum melintang di bibirmu.
"Udara..." aku menggumam di antara bantal dan guling. "Gue butuh udara... Mana udara woy!" Aku menghentak kepalaku, duduk dengan nafas terengah-engah dan rambut mencuat sana-sini. Kuberantakkan poni yang kusisir miring.
Tanpa pikir panjang, aku raih ponselku yang tergeletak tak jauh dari tangan. Ponsel itu menjadi korban kebahagiaanku. Tadinya tanpa rasa ampun aku lempar bersamaan dengan badanku, sekarang aku ciumi. Jemariku menari lincah menekan nomor Elsa. Dering ke empat panggilan baru ia terima. Suaranya terdengar serampangan di seberang sana. Tampaknya ia sibuk dengan pekerjaannya di kantor.
"Sa, eh gimana kantor?" tanyaku basa-basi.
"Hm... bagus ya. Ngilang berapa lama lo hah, tiba-tiba telepon gue?"
"Yaelah. Sori... kayak nggak tahu gue aja lo. Kalau pekerjaan gue belum selesai, nggak bakal gue tinggal gitu aja."
"Jadi gimana pekerjaan lo yang memburu berita nggak penting itu?"
"Enak aja nggak penting." Sepasang alisku menyatu. Tak tahukah bahwa secuil informasi tentang eksistensi Helenina seharga sekali hirupan nafas?
"Dicariin bos tuh. Kalau lo nggak balik dalam waktu dua hari, lo bakal dipecat katanya."
Sontak aku terperanjat berdiri. "Hah?? Mampus dah gue." Kutepuk dahi frustrasi. Tidak! Pekerjaan ini sulit kudapatkan. Mana mungkin aku rela melepasnya? Dua hari harus kembali ke Jakarta? Tak mungkin. Sudah kuteguhkan dalam diriku, aku tidak akan kembali ke Jakarta jika rasa penasaranku terus membuntut. Namun mencari pekerjaan sama sebagai jurnalis di media cetak ternama tidaklah semudah meniup bunga dandelion.
"Makanya jangan ngecengin cowok mulu lo. Balik sini."
"Padahal gue mau cerita banyak loh." Bibirku mengerucut kecewa.
"Entar deh, pas jam istirahat aja atau abis gue balik kek. Mau cerita apa sih? Kayanya seneng banget nih."
"Iya dong. Sedikit nggak nyesel sih kemari. Ya... biarpun agak ngeselin juga. Nanti malam ya gue telepon lagi. Jadi nggak enak ganggu kerjaan lo."
"Nah itu ngerti. Emang kerjaan lo gangguin orang, kan?"
"Eh, sialan lo. Awas ya kalau ketemu."
Elsa terbahak. "Ya udah deh. Nikmatin tuh kerjaan nggak penting lo. Kalau dipecat jangan salahin gue ya."
"Doa lo jelek banget. Jangan dong, susah tahu nyari kerjaan di tempat bagus."
"Ya udah gue doain cepetan dapat jodoh di sana. Biar nggak ditanyain Mak lo kapan kawin."
"Eh... kayak lo udah punya cowok aja. Beneran gue abisin lo."
"Bye!!!"
Sambungan terputus. Helaan nafas yang mulanya tertahan di mulutku kini terhempas di udara. Bola mataku membidik jam di dinding yang jarumnya menunjuk angka sembilan. Apa yang aku lakukan sampai malam nanti? Kemarin sebelum aku datang ke rumah Raka, Mahesa mengajakku pergi. Aku tak enak hati menolak, juga tak enak membatalkan janjiku datang ke rumah Raka. Namun Dewi Fortuna tampaknya sedang berpihak padaku, Mahesa memundurkan jadwal menjadi hari ini.
*
Sore hari menjadi waktu paling mengerikan yang pernah mampir di hidupku. Malaikat seolah mengamini kalimat Elsa pagi tadi. Aku mendengar langsung dari bos—lewat telepon—bahwa aku dipecat karena kerjaku tak memuaskan akhir-akhir ini. Dan seperti atasan lain, tentu ia lebih memilih orang lain yang bisa bekerja dengan baik. Seseorang sudah lama mengincar posisiku. Waktu yang tepat baginya membuatku didepak dari kantor tempatku bekerja.
Aku tak menyalahkan bos atau penggantiku. Memang ini keteledoranku dalam bekerja, tak bisa memenuhi komitmen. Lantas bagaimana lagi? Aku tak mungkin merengek di kaki bosku dan memintaku dikembalikan ke kantor. Alamat, sepertinya aku tak akan kembali ke Jakarta dalam waktu dekat.
Entah perasaan yang mana yang kuhadapi. Senang dan sedih bergulat menjadi satu. Namun dengan keberadaanku di sini tanpa tujuan pasti, apa yang bisa kuharapkan? Aku selalu berpikir jangka panjang. Jika rasa penasaranku telah sirna dan Raka—tentu saja—sibuk bersama kehidupan dan tunangannya, kembaliku ke Jakarta tak berarti. Menemani Mama? Ia tak butuh ditemani putrinya. Mama selalu sibuk dengan pekerjaannya. Seorang wanita gila kerja sejak ditinggal Papa.
Hey, aku tak seputusasa itu. Buat apa aku memiliki banyak teman jika mereka tak bisa membantuku? Manusia ditakdirkan hidup bersosialisasi. Mereka adalah makhluk zoon politicon. Tanpa orang lain mereka tak akan mampu bertahan. Benar, kan? Akan kuminta kawan-kawanku membantuku mencari kerja...
Seperti kemarin, waktu kuhubungi Mama untuk menanyakan kapan kiranya ia datang kemari melihat rumah peninggalan kakek, ia tak dapat memastikan. Jadwalnya mendadak lebih padat dari hari-hari sebelumnya. Bahkan atasannya meminta ia ikut ke luar negeri. Boleh jadi, bos Mamaku tertarik padanya. Bukan maksud berprasangka negatif, kerap kutemui mereka saling berkomunikasi lewat telepon, terlalu akrab untuk ukuran bos dengan anak buah. Pernah juga kulihat Mama diantar pulang oleh bosku sampai malam. Nah, jika terdapat dua orang dewasa yang berlainan jenis berlaku seperti keduanya, tidakkah kau berpikir mereka memiliki relasi dekat?
Kini aku seperti makhluk kesepian. Seharian ini hanya menonton televisi tanpa minat, mengecek media sosial, update tak penting, mengutak-atik aplikasi, gah sungguh bosan. Lantas tanpa kuminta, pikiranku alih-alih tertuju pada kejadian pagi tadi. Sebangunnya aku dari tidur lelapku, aku melihat Raka berdiri dekat dengan sofa, mengamatiku tanpa emosi. Biarpun tak menunjukkan kejelasan emosi di raut mukanya yang apatis, dapat kutilik sedikit rasa kehilangan di matanya. Mengapa ia memandangku demikian?
Tiada satu pesan darinya. Baru saja kemarin aku girang mendapat undangan datang ke rumahnya, kini ia tak memberiku pesan? Jika kupikir-pikir kembali, untuk apa ia mengirim pesan padaku...
Baru pikiran itu berseliweran tanpa permisi, ada satu pesan masuk di ponselku.
Raka: Nice story. Kamu berbakat jadi penulis. Aku akui kekalahanku. Taruhan waktu itu, kamu yang menang. Jadi, kapan kita lakukan pembayarannya?
Spontan, aku menjerit dalam euforia. Kau dengar kegembiraan yang membuncah di dadaku? Aku melompat-lompat di atas sofa. Satu hari, dua puluh empat jam penuh, ia akan menuruti kemauanku. Aku rasai darah mengalir deras sampai sela-sela jari kaki. Sambil melompat kegirangan di atas sofa, aku membalas pesannya.
Me: Terima kasih atas pujian dan pengakuannya, Tuan. Ok, sesuai perjanjian kita waktu itu, kamu harus menuruti permintaanku selama 24 hrs penuh. Mmm... kita mulai besok saja
Raka: Berikan daftar permintaanmu
Me: Besok kalau kita ketemu
Raka: Kenapa nggak sekarang?
Me: Hari ini? Hello... sekarang sudah jam berapa?? Nggak. Pokoknya besok, mulai subuh!
Raka: Ok. Ada waktu malam ini?
Me: Nope. I'm busy tonight
Raka: With who?
Me: Not your business :/
Tak ada balasan. Padahal aku berharap ia memohon-mohon padaku agar memberitahu dengan siapa aku pergi malam ini. Apakah kuberitahu saja bersama siapa dan kemana? Hey, mengapa aku terdengar seperti memohon balik padanya agar ia mencariku dan merasa cemburu?
Kuhela nafas frustrasi. Bahkan kuhitung sampai sepuluh menit kemudian, tiada pesan darinya. Ia benar-benar tak memedulikan kesibukanku. Kedua tanganku terlentang. Badanku merosot di sofa dengan kaki menjejak-jejak karpet. Bunyi pesan masuk menghentak jantungku dan praktis kubuka pesan yang baru masuk itu.
Raka: Kalau sekarang ada waktu, kan?
Me: Kenapa emang?
Raka: Flashdiskmu ada di sini. Nggak butuh?
Me: Kenapa harus aku yang ke sana? Gantian napa :/
Raka: Kalau kamu yang butuh, biasakan kamu yang datang
Bleh! Sampai hati ia memintaku bolak-balik ke rumahnya. Meski begitu, bukankah aku memiliki banyak alasan untuk datang ke rumahnya sehingga kami bisa lebih dekat? Kalau aku tak dapat memilikinya, menjadi sahabatnya pun rela. Asal bisa terus dekat dan berbicara dengannya, sungguh tak masalah.
Segeralah aku berlari menuju kamar. Biasanya kalau sore begini dan tak punya kesibukan, aku malas mandi. Akan kuulur waktu sampai malam, kadang bahkan sampai esok pagi baru berkesempatan mandi. Kini aku sering-sering memerhatikan penampilanku daripada biasanya.
Tiap kali usai mandi, aku memilah-milah pakaian yang bagus pula. Biasanya, tanpa memilah-milah pun akan kusambar baju mana saja yang tertangkap mataku. Meski pernah menyukai lelaki lain sewaktu masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi, belum pernah aku bertindak seekstrim ini demi menarik perhatian pria. Terkutuklah Bloody Mary jika sikapku ini justru membikin ia menilaiku terlalu narsistik.
Jangan sampai... jangan sampai... bukankah tak jadi masalah jika aku memerhatikan penampilan yang tadinya tak beraturan menjadi sangat rapi dan condong feminim? Biarpun aku tidak punya banyak baju perempuan. Sepertinya aku harus sering ke mall demi sepotong dress atau rok.
Tak apalah mengenakan jins, jaket denim yang menutupi tank top, dan rambut yang dikuncir kuda. Jangan lupakan wewangian. Aroma model Victoria's Secret menguar di sekitarku. Aku membeli wewangian ini bulan lalu dengan menggelontorkan jutaan rupiah. Bukan bermaksud boros, tapi aku terpikat dengan aromanya. Menurut yang kubaca di internet, wewangian ini kerap dipakai Behati Prinsloo, Adriana Lima, juga beberapa artis Hollywood.
Kadang aku merutuk diri sendiri. Jika setiap saat seperti ini, aku tak tahu jadinya bagaimana. Jengah, iya. Bosan, iya. Tapi aku tak mungkin terus-menerus berpakaian ala kadarnya, kan?
Ini bukan berarti aku mulai memerhatikan penampilan sejak tertarik pada seorang lelaki asing yang sebelumnya kulihat di dalam mimpi...
Pelayan rumah seperti biasa, membukakan pintu dan mengantarku masuk. Kali ini aku diperbolehkan naik ke lantai atas. Rumah sebesar ini bisa membikin aku tersesat tanpa peta. Siapa sangka di dalam rumah ini terdapat harta karun seperti yang pernah kubaca di novel Ulysses Moore? Nah, berhenti meracau tak jelas, Larasita. Kumohon.
Tangga melingkar ke atas ini mengantarku menuju lantai dua, di mana kamar-kamar pribadi atau tamu berada. Aku clingukan mencari-cari keberadaannya. Begitu kutemukan ia di balkon berhadapan dengan sebuah kanvas, langkahku terhenti. Ini kali pertamanya aku melihatnya melukis. Dengan mata kepalaku sendiri. Namun, bagaimana hatiku bisa yakin aku pernah melihatnya melukis sebelum ini?
"Hai," sapaannya menghancurkan dinding lamunanku. "Tuh, aku taruh di atas meja." Ia menunjuk meja terdekatnya. Kuas, palet, dan cat minyak berjejer di atas meja.
Melimbai mendekat, aku mengamati kegiatannya. Ia tak memandangku barang sedetik. Konsentrasi dan perhatiannya hanya tercurah pada lukisan yang ia kerjakan. Kepalaku terteleng ke satu sisi, menelaah coretan-coretan cat minyak dalam berbagai warna yang ia buat.
"Surealis, ya? Bagus," pujiku.
"Biasa aja."
Aku mencibir. Flashdisk milikku ia letakkan bersebelahan dengan ponselnya. Saat jariku memungut benda mungil berbandul dreamcatcher mini, bola mataku mengekori ponselnya. Layarnya berkedip-kedip tanda panggilan masuk. Ada nama Rinai pada display itu. Bukan nama Rinai yang sebetulnya menarik perhatianku, melainkan wallpaper yang ia gunakan. Mulutku terbuka hendak bertanya, namun tangannya menyambar cepat ponsel itu dan mengangkat panggilan. Seketika membungkam mulutku dan menelan kalimatku dalam-dalam.
"Hai," ia menyapa si penelepon dengan suara manis madu. Mengapa tak ia gunakan nada itu ketika berbicara denganku? Padahal aku senang mendengarnya... "Nggak kok, aku nggak sibuk. Cuma hobi seperti biasa. Really? Well..." Ia melirikku. "That's great, Honey. Your Mom invites me? Send her my greeting." Matanya mendelik ke arahku dan aku menanggapinya dengan kedikan bahu. "Nggak ada siapa-siapa di sini." Ia mengibaskan tangannya memintaku pergi.
Bibirku mengerucut miring. Aku bisa saja menjerit agar menarik perhatian tunangannya. Namun hal itu tak kulakukan. Alasan pertama karena pandangan mengancamnya. Alasan kedua karena tak ada keuntungannya. Alih-alih, aku mengantongi flashdiskku dan berjalan tergesa-gesa meninggalkan balkon.
"Datang ke sini? Kapan? Kenapa dadakan sih?"
Bukan kalimat itu yang membikin kakiku terbelenggu oleh lantai. Sebuah benda yang diletakkan di balik kaca bufetlah yang menarik perhatianku. Lamat-lamat, aku menghampiri lemari kaca itu dan berhenti di depannya. Tanganku bergerak menyentuh permukaan kaca yang mengurung sebuah benda—kiranya berusia ratusan tahun—yang dipajang dekat dengan koleksi piring-piring serta foto keluarga sejak zaman Hindia Belanda. Rangkaian huruf yang tertulis di balik kaca itu menunjukkan bahwa lemari ini memang khusus dibuat untuk menyimpan beberapa benda bersejarah.
Benda yang menarikku padanya, sebuah kotak musik canon berbentuk persegi. Bagian penutupnya diukir dengan gambar bunga tulip dengan tangkai panjang dihiasi dedaunan, melingkar-lingkar hingga membentuk persegi di bagian tepinya, memenuhi pinggiran kotak musik. Benda itu serasa tak asing bagiku. Aku seperti pernah memilikinya. Jantungku berdenyut nyeri selama memerhatikannya. Kucoba untuk berpaling, namun sia-sia. Aku ingin menyentuh benda itu dan membuka kotak penutupnya, lantas mendengarkan nyanyian yang akan diputar. Bahkan aku seakan mengenali bunyinya. Tiba-tiba saja aku menggumam mengikuti suara di pikiranku. Menyanyikan bunyi kotak musik itu, meski benda tersebut tak bergerak di tempatnya, terkungkung di balik kaca.
"Kamu tahu bunyinya?" suara Raka di sebelahku bahkan tak menarik minatku. Aku terperangkap oleh kotak musik klasik tersebut.
Berhenti menggumam, kusapukan jemariku pada permukaan kacanya. "Ik voel me alsof ik weet dat het (Aku serasa mengenalinya)."
Kurasai tatapan tercengangnya. Ia pandang aku tanpa berkata-kata. "Is dit de jouwe (ini punyamu)?"
"Ik weet het niet (aku tak tahu)."
Walau tak terbuka dan terputar, bunyi itu terus berada di kepalaku. Semakin meyakinkanku bahwa benda itu pernah menjadi milikku.
*****
Terbaring dalam penyiksaan rasa sakit selama berhari-hari memang menjemukan. Keadaanku berangsur membaik. Tanpa perlu membawaku ke dokter spesialis di Nederland, aku baik-baik saja, malah sudah bisa tertawa dan bergerak lincah memainkan piano. Semenjak kesembuhanku, walaupun tak total, Papa berjanji tak akan membawaku pergi ke Nederland dan memisahkanku dari Mama. Kabar gembira itu tentu membikin Mama tiada henti-hentinya mengucap terima kasih dengan mencium tangan Papa sambil berlutut.
Biarpun kebahagiaan sudah kudapat seutuhnya di rumah ini, hal itu tak lantas membikin aku tenang-tenang saja. Ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Entah apa itu, ia mampu menjegal langkahku dan mengurungku ke dalam kecemasan. Sampai sekarang, tidak kuberi tahu soal ini pada Mama.
Papa berjanji akan mengadakan pesta besar-besaran menyambut kesembuhan putri kesayangannya beberapa hari lagi. Seluruh orang-orang penting ia undang kemari. Bahkan ia tak menentangku hendak kuajak siapa saja sebagai tamu undangan. Abang tiriku berjanji pula akan datang mengajak kawan-kawan sekolahnya.
"Betapa bahagia melihatmu bisa tersenyum seriang ini," suara Papa terdengar dari arah pintu. Tanpa kuminta, ia sudah masuk dan mengecup sebelah pipiku. Disentuhnya pundakku lembut. Ia pandangi aku dari pantulan bayanganku di cermin. Wajahku tak menunjukkan kepucatan seperti kemarin-kemarin. Pipiku kembali memerah laksana mawar mekar di pekarangan rumah yang menjadi kesukaan Mama.
"Kau tak pernah berlaku seperti ini padaku," kataku menengadah ke arahnya. "Apa sebab kau bertindak macam begini?"
"Memang aku tak boleh menyayangi putriku?" Ia menyentil hidungku, membikin aku mengernyit dan terkikik. "Berapa kali perlu kuucapkan padamu bahwa aku mencintaimu, Putriku? Barangkali kau tak memahami bagaimana caraku menunjukkan belas kasih dan cinta pada orang-orang terkasih. Padamu, aku lakukan semua ini agar kau dapat diterima lingkungan yang kejam ini."
Aku kembali menelaah wajahku di depan cermin. "Akan kau bawa aku kembali ke sana?"
"Bukankah Papa telah berjanji tak akan lagi memaksa kehendakmu? Kau boleh menetap di sini. Memisahkanmu dari Mamamu bukanlah tindakan yang sepatutnya dilakukan olehku. Kubayangkan tanpa keberadaanmu selama kau terbaring tak berdaya, bahkan kukira kau akan mati di rumah ini. Terpisah darimu, sayangku, adalah mimpi terburuk yang sanggup membunuhku perlahan-lahan. Tersadar akan rasa kehilangan yang sewaktu-waktu bisa terjadi, Papa tak akan membuang-buang kesempatan membuat kau bahagia dengan caramu sendiri."
"Akan kau terima ia di rumah ini, Pa?" Aku menengadah lagi.
"Pribumi itu?" Ia tampak menimbang dengan mengalihkan perhatian menuju sudut kamar sambil melipat tangan. Kutangkap ketidaksukaan di raut mukanya. Yakin, akan ia sangkal perasaan jengah dan tak sukanya pada Pribumi satu itu demi diriku. "Demi kau, Helenina. Apa yang harus kuperbuat lagi?"
Aku tersenyum sumringah. Berdiri dari tempat dudukku, aku melompat ke depan, memeluknya. Ia terkekeh melihat tingkah kekanak-kanakanku. Berulang kali kuucap rasa terima kasih dan syukur lantaran mengabulkan keinginanku yang pada mulanya sulit kudapatkan.
"Dank u (terima kasih), Papa!"
Jika telah menerima segala kenikmatan dan kebahagiaan macam begini, keburukan apapun tak akan kupikirkan lagi. Biarlah jadi persoalan belakangan. Kesempatan yang tak ternilai. Mengabaikannya barangkali menjadi suatu hal terbodoh yang dilakukan. Kesempatan baik tak datang dua kali. Demikian pula dengan kebahagiaan manusia. Ia akan hadir satu kali, jika kau menyadari itu.
*
"Een feestje (pesta)? Aku diperbolehkan hadir?" Ario tergeragap mendengar penuturanku sore di padang rumput dekat istal kuda. Menikmati semilir angin dan memandangi bocah-bocah bermain layangan di depan sana, kuhabiskan waktuku bersamanya, setelah beberapa hari itu tak dapat beranjak dari tempat tidur. Kini setiap helaan nafas di udara bersih nan asri ini akan kunikmati. Baru kusadari, sakit memang tak mengasyikkan dan membikin aku terisolasi dari keindahan Tuhan.
Kupandang ia seraya merekahkan senyum di bibirku. Angin yang menyapa membawa helai demi helai rambutku terbang tak beraturan, menyentuh dahi, pipi, dan kadang terperangkap di sudut bibirku hingga membikin aku jengah. Menyingkirkan sehelai rambut di sudut bibirku, aku mengangguk mengiyakan.
"Kan kau pernah berkata ingin mengajakku masuk dan berdansa di tengah-tengah pesta orang Eropa. Kini keinginanmu telah kupenuhi."
Ia pandangi aku tanpa kejelasan emosi. Biarpun tak ada emosi di matanya, aku dapat memperkirakan apa tanggapan hatinya.
"Bukankah Papamu semacam... ingin menerkamku?"
Aku terkikik geli. "Dia tak akan segarang singa kalau sudah berhadapan denganku, apalagi jika aku memelas." Jemariku kujentikkan teringat akan sesuatu yang tadi kubawa keluar dari kamarku. Di dalam kotak keranjang, di antara timbunan bunga-bunga yang semula kupetik dari berbagai tempat, aku keluarkan sebuah benda yang dibuat dari kayu cendana. Kayu ini konon didapat langsung dari Hindia dan dibawa sampai ke Nederland.
Sebuah kotak musik berbentuk persegi aku sodorkan padanya. Benda itu kudapat sewaktu aku di Utrecht. Melewati sebuah toko, aku ditarik oleh kekuatan abstrak yang dibawa benda tersebut. Kata sang pemilik toko, kotak musik yang membikin aku tertarik ini adalah satu-satunya kotak musik terindah di Nederland. Modelnya hanya ada satu di dunia. Bunyinya pun tak ada yang menduplikasi. Bisa dibilang, kotak musik ini menjadi kotak musik terlangka. Aku langsung dibuat jatuh hati. Kotak musik ini adalah benda kesayanganku, yang tak ternilai harganya, dan tak sanggup terpisah denganku.
"Ini ibarat jiwa keduaku," kataku padanya. "Jika kau membawanya serta, maka kau menggenggam satu jiwaku."
"Mooie," bisiknya takjub. Diterimanya kotak musik dariku dan ia buka penutupnya. Aku yang menarik pemutarnya hingga beberapa derajat ke kanan. Bunyi berdenting melesak di antara kami, berbaur kian mengikat kami.
"Kubeli itu di Nederland. Bukankah bunyinya indah? Hanya ada satu di dunia. Aku beli dari uang tabunganku selama tiga tahun."
"Mahal sekali. Mengapa kau berikan padaku? Aku terka, benda ini kesayanganmu, Nin." Ia hendak mengembalikannya.
"Niet doen (jangan). Karena kesayanganku itulah kau harus membawanya serta. Neem het als u voor altijd met mij leven zullen (bawalah seperti kau akan hidup selamanya denganku)." Aku genggam tangannya. Perhatian Ario dibagi antara aku dengan kotak musik di tangannya.
Kubaringkan tubuhku di atas rerumputan. Potongan awan cerah dengan sentuhan oranye memudar memenuhi pandanganku. Kotak musik itu terus berputar, lantas diletakkan di sebelahku ketika Ario mengikutiku berbaring. Namun perhatiannya bukan ia tujukan pada awan jingga di atas sana, melainkan padaku. Diperhatikannya aku dari sebelah. Lalu tanganku ia genggam dalam kehangatan. Jemariku terkait dengan jemarinya, seperti tak ingin dilepas lagi dan terus begini seumur hidup.
"Pernahkah, kau membayangkan masa depanmu bersamaku?" aku bertanya dalam bisikan kecil.
"Ya. Setiap teringat padamu."
"Berapa kali kau teringat padaku?"
"Setiap helaan nafasku. Tak dapat kuhitung."
"Lebih banyak aku, kiranya." Aku pandang ia seraya menyengir. "Tiap satu kali jantungku berdetak, di sanalah aku memikirkan kau. Faktanya, jantung manusia berdetak lebih cepat dibandingkan dengan helaan nafas."
"Baik. Aku memang tak dapat menang dari seorang penyair."
"Aku bukan penyair! Kau yang penyair, kerap kali mengobral syair-syair padaku. Aku hanya seorang penulis dan pencerita."
"Tukang imajinasi," ralatnya. "Kau tukang imajinasi." Lalu ia menertawai wajah memberengutku.
"Aku membayangkan rumah kecil dekat danau. Di sebelahnya terdapat sebatang pohon lengkap dengan ayunannya. Tempat itu kelak akan menjadi kesukaan anak-anak kita," kataku mulai mengandai. "Mereka akan berlarian kian-kemari. Saling bekejaran. Bermain petak umpet tanpa lelah. Lalu kembali jika senja mulai tiba."
Ia bergeming di tempatnya.
"Berapa putra-putri?" ia menimpali lirih.
"Mmm... sebanyak mungkin kurasa? Mama sering merasa kesepian. Barangkali Mama tak akan kesepian lagi dengan keberadaan mereka. Bagaimana jika kita tambahi beberapa ekor angsa putih di danau itu?"
"Lima ekor angsa putih," katanya lagi. Namun tak sesemangat diriku. "Atau tujuh."
"Di belakang rumah kita nanti terdapat sebuah hutan yang bisa kita gunakan untuk membangun suaka kecil. Kau bisa membikin satu rumah kayu kecil di atas pohon? Kelihatannya bagus dan nyaman untuk bersantai."
"Phonograf dengan lagu-lagu Bach, Albinoni, Pachelbel, Grieg, Mozart, dan Beethoven."
"Ya... dan sebuah piano agar aku dapat memainkan semua lagu-lagu Bach, Albinoni, Pachelbel, Grieg, Mozart, Beethoven, apapun. Untuk kau. Kita akan buat satu tempat, seperti galeri pribadi untuk semua karyamu. Aku ingin membuat satu ruang perpustakaan yang diisi buku-buku Multatuli dan penulis lainnya. Entah Eropa, entah Hindia." Kuhirup udara sore ini dalam-dalam. Aroma kedamaian seakan merangsek di paru-paruku. Baru kusadari bunyi kotak musik itu disudahi. Keadaan kini sunyi senyap. "Tak ada yang lebih membahagiakan daripada membayangkan masa depanku denganmu."
Dan ia masih memandangku dalam kebisuan.
*****
Mobil Mahesa membawa kami menuju Pakuwon, tempat pasar malam digelar. Suara penyanyi perempuan yang tak kukenal terdengar dari radio. Tapi kalau didengar-dengar, liriknya yang syahdu enak juga...
"Lagu siapa nih?" tanyaku pada Mahesa.
"Endah N' Rhesa. Kenapa?"
"Bagus aja." Liriknya menggambarkan perasaanku. Kira-kira begini lirik awalnya:
I love you but it's not so easy to make you here with me
I wanna touch and hold you forever
But you're still in my dream
And I can't stand to wait 'till nite is coming to my life
But I still have a time to break a silence
Padahal aku berusaha memecah belenggu di hatiku dengan pergi bersama Mahesa ke pasar malam. Mengapa justru nama Raka yang terus-menerus terputar di kepalaku? Terlebih sejak kulihat kotak musik itu, seakan benda itu pernah menjadi milikku.
"Oh, soal mimpi kamu itu," Mahesa menyapaku lagi. "Masih sering mimpiin si Noni itu?"
"Sejak malam lalu aku nggak lagi dihantui mimpi misterius itu," balasku lirih. Memang, Helenina menghilang dari mimpiku malam lalu. Alih-alih aku tak mendapatkan mimpi apapun ketika berada di rumah Raka. Mimpi terakhir ialah ketika Helenina jatuh pingsan, mungkin sekarat. Siapa sangka aku tak lagi bermimpi tentangnya karena masanya sudah berakhir? Siapa tahu ia jatuh pingsan lalu mati, penyebab aku tak bermimpi tentangnya lagi.
"Aneh," ia menggumam. "Dibilang lucid dream juga nggak mungkin setiap hari. Nggak pernah loh aku nemuin fenomena kayak kamu ini. Nggak bisa dilogika."
"Emang..." aku membenarkan.
Mobil Mahesa diparkir sementara aku diminta menunggunya di depan. Lalu-lalang pengunjung di lapangan luas tempat pasar malam digelar tampak membosankan. Aku mengusap lenganku kedinginan. Mendung menggantung di kaki langit gelap tak berbintang. Sepertinya tengah malam nanti akan turun hujan deras. Bukan bermaksud meramalkan, tapi biasanya begitu.
Mahesa mengajakku melanjutkan langkah kami memasuki area yang dijubeli lautan manusia. Berbagai tenda berdiri dengan berbagai barang ditawarkan. Aku memandang berkeliling, menelaah setiap tenda beserta penunggunya yang memintaku mampir. Beberapa kali kami mampir di sejumlah tenda sekadar mengamati apa yang mereka tawarkan.
Sampai tibalah kami di depan sebuah tenda berwarna hitam yang disulam dengan benang emas sebagai renda-rendanya. Aku yang sering dibuat penasaran hal-hal berbau mistis memutuskan berhenti.
"Eh, kayaknya seru nih," kataku melirik tenda gelap di sampingku. Kugandeng Mahesa untuk masuk. "Masuk yuk."
"Aku nggak suka dukun-dukunan," elaknya, menarik tangan dariku. "Serem."
"Yaelah, paling juga boongan. Lagian bukan dukun kok."
"Mau dukun kek, peramal kek, paranormal kek, tetep aja nyeremin. Nggak suka."
"Ya udah deh." Bibirku tercebik memberengut. "Aku masuk duluan ya."
"Iya, aku tunggu di sini. Kalau ada apa-apa panggil namaku tiga kali saja."
"Dih, emang Bloody Mary. Ngaco ah." Aku memberinya tanda untuk memasuki tenda. Berhenti di pintu masuk, kuajak ia sekali lagi. Masih saja sama, ia tak mengindahkan permintaanku, alih-alih membuang muka mencari-cari tenda lain yang menarik perhatiannya.
Ya sudahlah... biar aku masuk sendiri saja. Hanya iseng, sungguh.
Penerangan di dalam tenda begitu temaram. Hanya terdapat lilin-lilin kecil yang berdiri di sudut-sudut tempat. Aku clingukan menelisik tenda ini. Memang suram dan memberi kesan suram, namun tak lantas membikin aku menarik diri dan kabur.
"Selamat datang, Larasita Nareswari Gevaarlijk."
Kepalaku sontak beralih menuju suatu tempat di mana seseorang memanggil nama lengkapku. Jika ia tahu nama lengkapku, ia pasti bukan paranormal gadungan. Aku berjalan hati-hati menghampirinya. Wanita itu, ia berdiri di sudut tenda dengan seekor burung gagak di atas pundak kirinya. Aku seakan jatuh ke dalam dunia R. L. Stine dengan kisah horornya.
Jemari si wanita berpakaian dan bertata rias serba hitam itu digerakkan memberi kode padaku agar kian mendekat.
"Anda tahu nama saya?" aku bertanya polos, tersenyum sumringah.
"Kemari."
Kudekatkan diriku dengan keberanian penuh padanya. Ekor mataku bergerak mengamati burung gagak miliknya yang balik menatapku dengan kedua mata tajamnya. Wanita itu tanpa permisi menyentuh tanganku.
"Anda datang bersama kekasih?" tanyanya.
"Nggak. Sama temen."
"Tapi saya melihat sinyal merah muda di dekat Anda. Benar hanya teman? Biasanya saya melihat sinyal ini hanya pada pasangan kekasih." Ia menerawang tanpa melepas tanganku.
Yang dimaksud olehnya Mahesa?
"Dan berubah menjadi merah. Lalu ungu. Lalu merah muda lagi. Sepertinya pasangan Anda ini tipikal pecemburu dan arogan, namun ia tak bersedia menunjukkan rasa cinta dan kecemburuannya."
"Maaf," aku menginterupsi. "Saya masih single loh. Dan saya datang kemari bersama kawan saya."
"Bukan kekasih?" ia tersenyum miring misterius. "Berarti Anda datang kemari bersama belahan jiwa Anda. Takdir Anda. Ia sedang menunggu Anda."
"Belahan jiwa?" Paranormal ini sepertinya sudah sinting. Baru beberapa hari aku mengenal Mahesa dan ia berkata lelaki itu belahan jiwaku?
"Ia datang dan menunggu Anda. Ia yang pernah Anda kenal dan menggenggam jiwa Anda. Ia yang tak pernah lelah mencintai Anda. Dan ia yang tak akan melepas Anda. Anda akan bertemu dengannya," lanjutnya. "Saya banyak menemukan rahasia terkubur bersama kedalaman jiwa Anda. Namun rasanya, bukan saat ini saya membongkar satu per satu rahasia terdalam Anda," ia mencericit lagi, makin tak kumengerti. "Jika apa yang saya terawang dari Anda adalah kebenaran, nona, kita pasti bertemu lagi. Dan di pertemuan kedua itu, Anda akan mendapatkan jawaban yang Anda idam-idamkan selama ini. Rahasia di dalam jiwa Anda begitu kelam, rapuh, dan gelap. Ia tertimbun menjadi sebuah kenangan dan Anda melupakannya begitu saja."
Kau tahu maksudnya, Pembaca?
"Oke, saatnya saya kembali." Tangannya kulepas. Aku tersenyum hambar, sedang ia membalasnya dengan senyum samar. "Trims." Lalu kubalikkan badan menjauhinya, sejauh-jauhnya. Aku kira ini menjadi pengalaman menyenangkan, mengapa aku jadi merinding sendiri?
Ia bilang belahan jiwaku sedang menunggku? Benar-benar gila. Mahesa pasti terpingkal-pingkal mendengar penuturan ngelantur paranormal wanita itu. Rupanya ia memiliki daya imajinasi lebih kuat daripada aku.
Sampai di tengah pintu tenda, ia berseru lagi,
"Terima kasih atas kedatangannya, Helenina."
Langkah kakiku terhenti. Berbalik badan ingin bertanya lebih jauh dari mana ia mendapatkan nama itu—dan lebih sintingnya memanggilku demikian—aku tak mendapati si paranormal wanita. Ia lenyap bersama burung gagaknya, membawa serta rasa penasaran yang sialnya berasap di kepalaku bagaikan cerobong kereta lokomotif.
Pertanyaan-pertanyaan itu makin membikin aku gelisah. Keluar dari tenda, tak kudapati Mahesa di tempatnya. Aku clingukan ke sana-sini mencari keberadaannya. Di antara jubelan pengunjung.
Ia datang dan menunggu Anda.
Di mana pun, aku tak melihatnya. Hanya ada hiruk pikuk keramaian tanpa Mahesa di sela-sela pengunjung.
Ia yang pernah Anda kenal dan menggenggam jiwa Anda.
Hanya ada bocah-bocah kecil berlarian dan bercekikikan melewatiku, badut-badut berkaki panjang yang tengah melempar-lempar bola, dan pasangan kekasih yang bergandengan tangan. Tidak ada Mahesa.
Ia yang tak pernah lelah mencintai Anda.
Waktu kukeluarkan ponselku untuk menghubunginya, seorang wanita menubrukku hingga membikin ponsel itu terlempar dan jatuh. Aku berniat memungutnya ketika seseorang sekali lagi menambah daftar kesialanku malam ini dengan menginjak ponsel itu. Aku mengumpat memakinya. Kuraih benda itu sebelum kaki lain menginjaknya lagi.
Dan ia yang tak akan melepas Anda.
Ponselku mati. Kau dengar desahan frustrasiku? Ingin kubanting benda ini kalau tak ingat jerih payahku membelinya dengan uang hasil kerjaku sendiri. Memasukkan ponsel ke dalam saku jins, aku menggerung putus asa. Perhatianku yang mulanya kuedarkan menuju sembarang tempat sontak berhenti menuju lurus ke depan, bertepatan dengan bunyi hentakan di dalam rongga dada dan aliran darah yang kian menderas menyusuri tubuhku. Beberapa meter di depanku, dipisahkan oleh lalu-lalang manusia, aku melihat Raka berdiri mengamatiku dengan senyuman kecil.
Anda akan bertemu dengannya.
*
Ya, kalian sudah pasti tahu kan kalau Helenina ini memang ada, bukan sekadar mimpinya Larasita doang. Dan yep, flashbacknya Nina di bab ini memang bukan hadir sebagai mimpinya Laras, tapi berdiri sendiri. Alias saya nulisnya bukan terikat pada mimpi Laras, melainkan pengen menggambarkan kehidupannya, tanpa perantara mimpinya Laras. Kenapa Laras nggak bermimpi Nina lagi? Bukan nggak bermimpi lagi, tapi memang ketika berada di rumah Raka, dia nggak akan bermimpi seperti itu. Nanti akan ada penjelasannya muehehehe :v
Seperti yang ditulis Dee atau Ayu Utami, mungkin di cerita ini kalian akan bertemu banyak mitos-mitos yang memang sudah banyak kita tahu dan entah percaya atau tidak, itu urusan individu.
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro