Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Epiloog (Epilog)

AMSTERDAM, 2020

Putri Aries barangkali telah berbahagia dengan Leo. Mereka hidup di nirwana bersama bidadari, seperti Adam dan Eve sebelum terusir dari surga. Tiada yang tahu nasib kakak Putri Aries, si pendengki itu, kecuali kabar yang diterima rakyat bahwa Putri Gemini menjadi gila dan akhir hidupnya sungguh menyedihkan. Ia mati dalam kurungan. Tanpa kasih sayang. Tanpa cinta. Tanpa kehidupan.

Cinta sangat erat kaitannya dengan kehidupan. Menodai cinta artinya mengkhianati kehidupan. Mata bisa menjadi gelap demi mengejar kehidupan membahagiakan. Cinta, seperti udara, merupakan elemen penting dalam kehidupan. Segala hal jahat, tipu muslihat yang dilakukan Putri Gemini salah satu contoh gagal tumbuhnya pohon kehidupan yang ia tanam. Ia bukan mencintai Leo. Ia terobsesi pada Leo. Cinta tak mungkin dilakukan dengan pemaksaan. Hati manusia tidak serapuh dan selemah itu. Kendati Aries dan Leo tak disatukan di bumi, yakinlah mereka hidup lebih bahagia di nirwana.

Ario, Sayangku, jika kita tak disatukan di bumi, kau harus yakin kita disatukan di kehidupan berikutnya. Itu sumpah hidup dan matiku.

Buku di tanganku ini, hasil karya Helenina Bregsma yang disimpan kakek buyutku dalam bentuk kertas lusuh dan telah dimakan usia. Bukan hanya cerita dan penyampaiannya yang menarik itu yang mendorongku menyulap manuskrip tua ter-sebut menjadi buku, melainkan karena ingin menunjukkan pada dunia bahwa seorang Helenina Bregsma memang pernah dilahirkan dan ada. Dunia tak boleh pilih kasih hanya menampilkan karya kakek buyutku, ia harus memperkenalkan pula eksistensi dara jelita yang pernah memenuhi hati kakek buyutku. Bukan hanya berupa batu nisan di belakang galeri, yang keberadaannya tak seorang pun tahu.

Meletakkan buku dengan nama penulis Helenina Bregsma bertajuk "Prinses Aries en Leo", aku meraih cangkir teh dan menyeruput sebentar. Ini teh yang diekspor dari Indonesia, aku dapat mengenali kekhasannya dari aroma dan rasanya yang menyatu dengan lidah.

Sehari lalu aku sampai di bandara Siphol, langsung mengemasi barang menuju apartemen sementara seraya menghubungi bagian penyewaan mobil di Amsterdam. Hari ini aku duduk di Greenwoods bukan tanpa maksud. Kutengok jam di pergelangan tanganku, memperikarakan waktunya. Waktu aku akan segera meninggalkan tempat ini. Waktu berdetak tak sabar ingin melihatku enyah dari kursiku. Sengaja aku bikin ia kesal dengan melemparkan perhatian pada kanal-kanal di sungai yang tampak dari balik jendela tea rooms ini. Di jalanan sana aku mendengar keributan seorang turis dalam bahasa Jerman yang kelihatan kebingungan. Biarpun aku tak dapat berbahasa Jerman, aku tahu apa yang membuat ia kelihatan linglung dan panik. Seorang penduduk Belanda mencoba menenangkannya dalam bahasa Inggris. Rupanya turis itu baru kemalingan sepeda mahalnya. Aku tertawa sebentar. Di Belanda rupanya maling-malingnya lebih tertarik mencuri sepeda. Banyak kasus kemalingan sepeda terjadi di sini. Jika kau datang kemari, pastikan sepedamu terikat oleh rantai pada tiang-tiang yang disediakan khusus.

Sekali lagi aku tengok jam tanganku. Padahal sudah jam sepuluh lebih sepuluh menit. Harusnya ia lewat, sesuai dengan perkiraan. Anak buahku bilang ia melihatnya melewati Greenwoods pada jam sepuluh.

Begitu aku melihat sebuah sepeda yang kutaksir keluaran Batavus melaju melewati Greenwoods, segera aku menarik kursi ke belakang dan menyambar buku sebelum berlari menghampiri mobil yang terparkir di depan tea rooms. Sepeda Batavus itu dilajukan tak terlalu kencang, namun aku cukup waras mengemudikan mobil ini perlahan menguntitnya di sepanjang Singel dan berbelok menyeberangi jembatan Lijnbaanburg. Sepedanya terus melaju lurus hingga melewati jembatan lagi. Aku perlu mengurangi kecepatan mobilku menghindari kecurigaannya yang mulai menoleh ke belakang berkali-kali. Meski demikian, ia tidak menampakkan kepa-nikan, alih-alih bersepeda lebih santai melewati rumah-rumah mungil di kanan kirinya dan akhirnya berbelok menuju Noordermarkt. Ia memarkir sepedanya di tempat parkir, lantas berlarian kecil menenteng tas memasuki sebuah bangunan—lebih cocok disebut rumah yang disulap menjadi bangunan berisikan sekumpulan bocah—dengan papan nama bertuliskan "Het Weeshuis" yang artinya panti asuhan.

"Goedemorgen !"

Suara yang aku rindukan terdengar seperti nyanyian pengantar tidur yang menentramkan. Aku amati ia dari balik kaca jendela. Beberapa orang di dalam sana mengobrol sebentar padanya, memberi kabar seputar aktivitas di panti asuhan itu yang ia tanggapi dengan sangat antusias. Anak-anak berbagai umur berbondongan menyambutnya dengan seruan sambil mencak-mencak, seperti anak pada umumnya ketika melihat Santa Claus di malam natal.

"Mevrouw!" Salah seorang dari wanita Belanda di rumah itu memanggilnya—dengan sebutan 'mevrouw'? Mevrouw? Sungguh aku tak salah dengar, kan?

Apa yang kau harapkan darinya setelah lima tahun ini, goblok? benakku mencerca.

Bersama segala asumsi yang carut marut di kepala dan gerutuan batinku, aku memilih menunggunya, menghampiri bangku kayu panjang di taman yang bersebelahan dengan air mancur berbentuk tulip, lantas duduk di sana. Bocah-bocah di dalam rumah itu berhamburan keluar sembari berteriak-teriak dalam bahasa berbeda; Belanda, Inggris, dan Indonesia? Hebat benar ia mendidik bocah-bocah itu berbahasa Indonesia sampai fasih betul.

Aku lihat ia berdiri di depan sepetak mawar yang dipagari, tertawa melihat kelincahan bocah-bocah yang kini berpencaran untuk bermain. Pandangannya lalu dibagi menuju ke arahku dan senyumnya lenyap seketika. Kukira ia berbalik dan masuk ke dalam rumah enggan menyapaku. Di luar perkiraan, ia sudi melangkahkan kakinya menghampiriku dengan pandangan yang berulang kali dibuang ke sepenjuru arah menolak bertatap muka denganku. Akan tetapi saat ia berhenti di depanku, diberikannya aku senyum yang lama tak kulihat. Lengkap dengan tatapannya yang masih sama. Ia masih tetap Larasita yang aku kenal dulu. Tatapan dan senyumnya tak dapat menipu. Kendati penampilannya kini berbeda. Dress sebatas lutut dengan tali menggantung di pundaknya. Rambutnya diikat ke belakang, menyisakan beberapa helai dibentuk ikal membingkai wajah bidadarinya.

"Hoe gaat het ?" ia berbicara padaku. Untuk kali pertamanya dalam lima tahun bisu ini.

"Beter nu ."

*

PARIS, 2016

Menulis surat yang tak pernah dikirim, seperti kebiasaan Nyai saat ia bersedih, memang sangat membantu. Seperti fungsi terapi pada seseorang yang mengalami depresi. Dengan begini kegamanganku bisa teratasi. Aku tulis di atas secarik kertas, surat yang tak pernah aku kirim, tanpa nama penerima seperti pada umumnya. Menyelesaikan satu surat, aku lantas meletakkannya rapi pada satu tempat bersama surat lainnya. Surat di tanganku kini hanya berisi kerinduan dan rasa kehilangan tak berkesudahan. Aku merasa seperti bukan diriku. Menghilangnya ia dari kehidupanku membawa serta diriku. Ia bawa ruhku ikut bersamanya, sedangkan ragaku terus bergerak tanpa daya. Beginikah kakek buyutku kala ditinggal kekasihnya? Aku lebih beruntung karena kekasihku tak meninggalkan untuk selamanya; ia hanya pergi ke belahan bumi lain dan aku terpenjara di sini. Meski demikian, ada atau tidak adanya ia di bumi sama saja menyiksaku perlahan-lahan. Setiap detik kerinduan yang aku rasa senilai satu kali hujaman belati pada jantungku.

Suara pecahan di tengah malam ini spontan menga-getkanku. Tidak hanya satu kali, suara itu datang lagi, bertubi-tubi seperti terjadi serangan perampok. Aku khawatir memang ada perampok masuk. Segera, aku berlari kesetanan mencari sumber suara pecahan itu, yang rupanya berasal dari dapur. Piring dan gelas terlempar dari rak, mencecerkan pecahan belingnya di lantai. Di pojok pantri, aku lihat Rinai menekuk lututnya, tubuhnya gemetaran ketakutan. Saat aku sentuh, ia berjengit kaget seperti melihat hantu. Matanya cekung dan gelap.

"Jangan bawa aku ke sana," katanya di antara gigilan dan isak tangisnya. Ia menggeleng. Tatapannya benar-benar memelas. Rambutnya yang terurai dan acak-acakan aku singkirkan dari wajahnya yang pucat.

"Bawa kemana?"

"Kamu janji akan menjagaku di sini. Jangan kirim aku ke rumah sakit jiwa. Aku janji nggak akan bunuh siapa-siapa lagi. Aku janji." Ia menggenggam dan mencium tanganku, me-mohon berkali-kali sambil menangis.

Keadaannya makin memburuk, bukan malah lebih baik. Berulang kali aku memasukkannya ke rumah sakit jiwa agar ia dapat ditangani dengan serius, namun berulang kali juga ia mencoba bunuh diri di kamarnya sambil memanggil namaku dan meminta aku menjaganya. Meski Gracia menggeleng yang artinya ia tak menyetujui keputusanku, aku bawa ia pulang. Padahal aku membawanya ke mari, jauh dari Indonesia, agar ia membaik. Sebab tiap kali ia menatap ibunya sendiri dalam keadaan sadar tanpa dikendalikan oleh Karma, ia makin menjadi-jadi. Bahkan hampir ia membunuh ibunya sendiri yang aku asumsikan atas pengendalian Karma.

"Kamu tetap di sini, nggak ada yang bawa kamu ke sana," aku mencoba menenangkan, seperti biasa.

Air matanya bercucuran kian deras. Kepalanya tengadah, meratap padaku, "Selamatkan aku."

Seringkali ia berkata demikian, dalam dua arti berbeda; menyelamatkannya dari orang-orang yang dianggapnya berbahaya dan menyelamatkannya dari dirinya sendiri, dari Karma. Tak ada yang dapat kulakukan selain memberinya tempat untuk berlindung. Dan malam itu tak kusadari sebagai malam terakhir ia tertidur dalam dekapanku.

Esok paginya, aku tak menemukan Rinai di sampingku. Aku cari dan panggil ia seantero rumah sampai lima belas menit. Tak ada balasan darinya, bahkan suaranya pun tidak kudengar sama sekali.

Pencarian berakhir di gudang ketika kutemukan ia mati tergantung.

*

"Empat tahun lalu dia meninggal dan dikuburkan di Karet." Barangkali itu yang terbaik untuknya melepaskan diri dari belenggu Karma.

Cerita yang kuantar padanya tak mendapatkan respon kecuali kegemingan. Keadaan jadi canggung. Kami hanya membisu bagai bidak catur yang menunggu digerakkan. Ia tak memandangku sama sekali. Perhatiannya dilabuhkan hanya pada anak-anak kecil di taman bermain itu.

"Jadi kamu ke sini cuma ingin melihatku?" ia membuka suara dan menoleh.

                  

"Kamu menghilang tanpa kabar. Aku mencarimu kemana-mana. Papamu nggak pernah bersedia menjawab pertanyaanku. Hubungan di antara kita semua seperti diputus begitu saja. Pada awalnya aku takut menghampirimu setelah semua yang aku lakukan padamu."

Ia menghela nafas panjang. Aku amati ia tanpa berkedip. Tangannya yang dipangku, ingin rasanya aku raih dan menggenggamnya seperti dulu. Mengapa untuk melakukan itu aku perlu pikir-pikir? Dulu aku tak pernah berpikir atau meminta ijinnya sekadar menggenggam tangannya. Mataku menyoroti cincin di jari manisnya.

"Mevrouw." Aku mendapatkan balasan dari kata yang diberikan wanita Belanda tadi. Ia rupanya sudah mendapatkan orang lain, yang pasti lebih baik dariku.

Lagi-lagi ia menoleh. "Ya. Aku sudah menikah." Kalimat yang terlontar mulus dari bibir merahnya berhasil menohokku. Harusnya aku tak merasa begini mendengar ia menikah dengan orang lain.

"Punya anak?"

Ia mengangguk. Berdosalah aku menemui istri orang lain yang telah memberikannya anak. Aku menunduk menghindari bertatap muka dengannya. Dunia begitu sempit menghimpitku dan memakiku berkali-kali. Mungkin ini balasan yang setimpal untukku telah membuatnya sakit. Sekarang, aku jauh lebih sakit.

"Waktu aku kuliah di Fakultas Humaniora Leiden, aku ketemu mahasiswa dari Indonesia. Kami bekerja sama melakukan penelitian. Kami mencari manuskrip, menerjemahkan, menelitinya, dan menyelesaikannya bersama-sama. Aku nggak bisa menolak saat dia tiba-tiba melamarku di depan Papa. Karena kita memang saling cinta. Dan aku lakukan itu agar bisa menghapus semua rasa sakit yang pernah aku rasakan, yang berasal dari kenangan kita dulu. Aku pengen melupakan segalanya dan memulai hidup baru. Aku berpikir, kamu bukan takdirku. Butuh banyak waktu bagi Samudra memenangkan hatiku dan meyakinkan kalau aku adalah takdirnya. Aku kira, kita kalah mengambil hati gugusan bintang, seperti Helenina dan Ario yang nggak berhasil disatukan." Ia mengambil jeda dengan menghembuskan nafas pendek, tanpa melihat wajah terlukaku. "Tiga bulan pernikahanku dengannya, aku mengandung anaknya. Anak perempuan pertama kami. Aku menamainya Nalini. Dan itu momen paling membahagiakan, bahkan saat aku melahirkannya di dunia ini, seperti waktu Mama melahirkan aku. Aku nggak pernah ngerasa sebahagia itu bisa menjadi seorang istri sekaligus ibu."

Aku memaksakan diri memandangnya. Mata itu, yang dulunya hanya terisi kebahagiaan dariku, tampak hanya diisi binaran kebahagiaan dari orang lain. Ia memang sangat bahagia dengan kehidupannya. Kedatanganku mungkin merusak kebahagiaannya.

"Tapi itu nggak bertahan lama," ia melanjutkan. Ada nada sendu di dalam kalimat itu. "Sam dan Nalini yang masih berumur dua tahun pergi ke London untuk berlibur. Hari itu aku ada janji bertemu Mevrouw van der Lijn, salah satu dosen Leiden untuk risetnya, aku nggak ikut mereka ke London." Bibirnya tertekuk ke bawah. "Pesawat yang mereka tumpangi hilang kontak. Nggak ada korban selamat yang berhasil ditemukan. Mereka berdua, suami dan anakku, nggak pernah kembali." Senyum muramnya muncul sedetik sebelum terhapus kala menatapku. Ia memperlihatkan cincinnya padaku. "Aku nggak pernah menganggap telah berpisah dengan suamiku. Dia dan Nalini bagian dari hidupku. Tapi, tentu saja, aku nggak bisa hidup dalam kenangan."

Senyum samarku terbentuk tanpa kusadari. Kubiarkan ia meneruskan kalimatnya.

"Aku memang mencintai suamiku. Tapi cinta itu nggak akan bisa sebesar aku mencintai kamu." Ditatapnya aku, sama seperti dulu. Tatapan Helenina pada Ario. Tatapan Larasita padaku. Dan aku tak bisa terlalu yakin, apakah sumpah Helenina waktu itu masih berlaku.

Pembaca, untuk kali ini aku tak mengambil andil sebagai seorang dalang dalam pementasan panggung. Aku biarkan cerita ini berakhir di tanganmu. Biarlah kau yang menentukan. Jadilah penulisnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro