Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Eén - Huis (Rumah)

SOERABAJA, 1905

"Jadi, ini yang namanya Hindia, tanah kelahiranku?"

Selama sisa perjalanan menuju rumah Papa, aku tak lelah bertanya pada wanita di sebelahku, Elien, yang telah menjadi jururawat pribadi setiaku semenjak aku dibawa ke Nederland. Dengan sabar ia menjawab segala pertanyaanku yang dirasa perlu kutahu. Selama aku tinggal dan belajar di Utrecht, tiada sepenggal cerita pun tentang tanah kelahiranku yang kudengar. Tante Roos yang merawatku atas perintah Papa hanya bercerita sekadarnya. Cerita-cerita tentang mimpi buruk suatu tempat yang disebut Hindia. Suatu kali ia berkata padaku bahwa Mamaku bagian dari Pribumi. Tak pernah kudengar hal-hal baik darinya tentang Mamaku kecuali kata gundik, pelacur, dan setan yang sering membuat hidungku mengernyit tidak suka. Meski aku telah lama dipisah dari Mamaku—kira-kira sejak usiaku lima tahun—tetap aku tak suka jika ada seseorang yang menghinanya. Lantaran tidak ingin mendapatkan bentakan atau hukuman yang tak segan-segan dijatuhkan padaku, aku tiada pernah menerjangnya dengan makian telah begitu lancang menyebut Mamaku seorang pelacur.

"Benar, Juffrouw," Elien mulai bercerita sekenanya, yang ia tahu tentang Hindia, lebih lagi kota ini. Aku lahir dan dibesarkan sampai berumur lima tahun di kota ini.

Perhatian kulabuhkan menuju keluar jendela kereta yang mengangkut kami menuju rumah Papa di Peneleh. Tempat ini jauh dari Nederland. Aku tak patut membandingkannya dengan Nederland. Meski begitu, jantung ini berdebar. Hati ini pun berbunga laksana musim semi yang disambut gembira mentari pagi. Bukankah aku harus bahagia karena bertemu dengan Mamaku setelah sekian lama dipisah?

Kuberitahukan padamu, Papaku memiliki seorang istri yang dinikahi secara sah; Anneke Bregsma. Ia tinggal di Amsterdam, tanpa anak. Mungkin itulah yang membuat Papa berkeliaran di Hindia mencari perempuan-perempuan yang bersedia—atau barangkali dipaksa—menjadi gundiknya. Mamaku gundik terakhirnya. Berdasarkan cerita Elien, Papaku menaungi sekitar lima gundik yang telah melahirkan banyak anak darinya. Aku tak kenal saudara-saudariku di sini kecuali nama mereka. Sungguh tak ada setitik ingatan yang bersembunyi di dalam ruang kepalaku mengenai kehidupanku sewaktu tinggal di negeri ini. Aku bagaikan dibius oleh ketidaksadaran, membuatku melupakan segala hal tentang tanah kelahiranku.

Kereta kuda yang membawa kami mendadak berhenti begitu kudengar suara kusir memaki-maki dalam bahasa yang tak kumengerti. Turun dari dalam kereta, Elien memintaku tetap di dalam. Kepalaku melongok keluar penasaran. Jururawatku berbicara dalam bahasa yang tak kumengerti bersama kusir kereta ini. Elien pernah tinggal di sini, dibawa Papa untuk menjadi jururawatku pribadi, sebab ia begitu sayang padaku hingga meminta Elien berlayar ke Nederland khusus untukku, merawatku bersama Mama, lalu menemani pelayaran pertamaku ketika aku berusia lima tahun. Kurasa, ia mengerti beberapa bahasa yang digunakan di sini.

Menunggu jemu, nafasku terhela tak kentara. Kulepas topi lebar yang kukenakan sejak dari Utrecht, memangkunya dan melesatkan perhatian keluar. Kereta ini berhenti tepat di depan segerombolan bocah lelaki yang tengah bercanda tawa, entah membicarakan apa. Saat roda kereta mulai melindas batu kerikil dan Elien telah duduk manis di sampingku, saat itu pula mataku menyoroti satu sosok di antara bocah-bocah itu. Begitu pula dengannya; bocah lelaki itu merangkul kawannya, berbisik di telinganya seraya menatapku tak berkedip.

"Hanya sedikit kendala, sudah dibenahi," Elien membuyarkan perhatianku dari sosok pemuda itu.

Kepalaku lalu menoleh ke arahnya sementara waktu, kemudian kembali terpaut pada gerombolan tadi. Tak kudapati lagi pemuda itu, sebab kereta berbelok ke tikungan. Sudut-sudut bibirku tertarik membentuk cebikan kecewa.

"Sedang memerhatikan apa, Juffrouw?"

Tanpa menoleh aku pun menjawab, "Niets, Elien."

"Tapi perhatian Noni Helenina terpaku pada suatu tempat sampai sekarang."

Barulah aku membalas pandangan curiganya. Buru-buru kusunggingkan sebentuk cengiran agar ia tak mengadiliku dengan tatapan menyelidiknya. "Sudah kukatakan, tak ada. Aku hanya terkesima. Rupanya, tempat ini tidak seburuk yang diceritakan Tante Roos."

Kereta kuda berhenti di depan rumah megabesar yang dikelilingi kebun mawar. Elien turun lebih dulu sebelum membantuku keluar dari dalam kereta dengan menggenggam tanganku. Kusingsing bawahan gaunku ke atas, turun secara hati-hati. Mataku menelisik rumah Papa. Sebersit kenangan menampar pikiranku, mengingatkanku tentang rumah mewah dan besar ini, di mana aku pernah berlarian mengitari rumah dan kebun bersama beberapa anak yang lebih tua dariku; barangkali saudara-saudari tiriku.

Elien membantuku melangkah masuk ke dalam setelah mengucapkan sesuatu pada kusir kereta kuda tadi. Sampai di depan pintu, aku tetap menelaah tiap sudut rumah. Beberapa tukang kebun menatapku sambil berbisik-bisik. Ada yang terperangah dengan menampakkan senyum merekah bak bunga mekar, ada pula yang memasang wajah apatis.

Pintu dibuka dari dalam setelah diketuk beberapa kali oleh Elien. Seorang wanita mengenakan kemben menundukkan kepala hormat.

Sekali lagi Elien berbicara menggunakan bahasa yang tak kumengerti dengan wanita di depanku, menyebut-nyebut nama Mamaku sambil menunjuk-nunjukku. Perempuan itu lalu membawa kami masuk. Seperti si buta yang baru bisa melihat dunia, aku mengedarkan tatapan penasaran pada isi rumah ini. Perabotannya sudah pasti dari Eropa, begitu mahal nan menawan. Langkahku terhenti. Tanganku terlipat di depan meremas topi lebarku, sementara Elien meletakkan koporku di bawah lantai.

Di dalam rumah ini tedapat banyak lukisan, potret Papa dan wanita jelita yang kuduga ialah Mama. Begitu sayangkah Papa pada Mama di antara gundik-gundik lainnya? Jika memang benar, mengapa tak ia nikahi saja Mama dan menjadikannya istri yang sah?

"God! Mijn dochter! Nina, mijn dochter!"

Aku terperanjat begitu kudengar suara melengking seorang wanita dari atas tangga. Kukerjap mataku mendapati perempuan cantik turun dalam langkah cepat menyambut kedatanganku. Selama di Utrecht, Elien dilarang mengajariku bahasa yang digunakan di sini, namun ia diam-diam sering bercerita padaku tentang Mama sambil menyodorkan potret dirinya dalam sketsa. Mama mengenakan kebaya, pakaian tradisional orang Jawa. Rambutnya digelung ke atas. Perhiasan melengkapi keelokannya yang bagaikan dewi fajar. Dipeluknya aku hingga topi lebar yang kugenggam jatuh saat tubuhku tersentak ke depan.

"Anakku! Mengapa tak kau kabari dulu Mamamu ini?" serunya dalam Belanda, tersedu-sedan ditelan keharuan.

"Mama!" Aku balik memeluknya. "Aku berniat memberi kejutan pada Mama. Tak suka kah kau atas kedatanganku?"

"Mijn dochter! Mengapa kau berkata seperti itu?" Pelukanku dilepas. Mama mengamatiku dari puncak kepala sampai ujung kaki. Cucuran air mata terhenti di dagunya, menggantung, kemudian terjatuh. Begitu bahagianya ia melihatku datang kemari setelah sekian lama kami dipisah secara paksa. "Makin besar makin cantik kau ini, Nak. Sehat?"

"Sehat, Ma."

"Tante Roos tidak berbuat kasar padamu? Kau diperlakukan baik, kan?"

Aku mengangguk, sedangkan Elien mendesah pendek. "Tante baik padaku, Ma. Oom Kaspar juga baik, meski jarang pulang ke rumah."

"Oh anakku sayang. Malaikatku. Dewiku. Mama merindukanmu, Nin. Kau lebih cantik dari potret dirimu yang diberikan Papamu setahun silam." Pipiku ditepuk perlahan, dielus dan dicium beberapa kali. Mama satu-satunya yang memanggilku Nin atau Nina. Orang lain lebih sering memanggilku Helen atau Helenina. Sewaktu kecil, kata Elien, Mama tak pernah berhenti menyanyikan lagu buatku. Sering ia dendangkan lagu pengantar tidur tiap aku terjaga, menyebutkan namaku di dalam dendangannya.

"Ma, mana Papa?"

"Jauh-jauh kau datang dari Nederland, kau malah tanyakan kabar Papamu?"

"Jangan marah padanya, Ma." Biarpun aku kesal terhadap Papa yang dengan sepihak memisahkan aku dari Mama, mengirimku ke Belanda untuk dirawat Tante dan Oom dan disekolahkan, aku tetap mencintainya layaknya putri pada Papanya.

Mama memalingkan muka, tampaknya tidak suka mendengar pertanyaanku. "Papamu, seperti biasa, Nin. Sibuk mengurus pabrik-pabriknya di kota lain."

Baru kusadari rumah ini sepi tanpa gundik-gundik Papaku dan anak-anak mereka. "Yang lain, Ma?"

"Tak ada. Dipindah ke rumah lain."

"Mengapa begitu, Ma?" Kutatap ia penasaran; Mama masih memalingkan muka. Sesekali ia menghela nafas pendek. "Ma, jawab aku."

"Ya biasalah Papamu itu, Nin. Seperti tak mengenal tabiat biadabnya saja. Dia tak mau rumah ini dipenuhi dengan gundik-gundik dan anak-anaknya. Mereka dibuatkan rumah sendiri. Yang tinggal di rumah ini tinggal Mama dan Yuk Rukmini."

Mama Rukmini gundik Papaku yang keempat sebelum Mama. Ia memiliki seorang putra, yang digadang-gadang akan menjadi pewaris harta Papa. Dari sekian banyak gundik, hanya saudara tiriku, Jasper, yang memiliki kesempatan luas menguasai harta Papa. Itupun kalau Papa menikahi Mama Rukmini secara sah, menjadikan Jasper sebagai putra yang sah, otomatis kekayaannya akan teralihkan padanya. Entah mengapa sampai sekarang Papa belum juga menikahi Mama Rukmini. Padahal anak laki-laki yang dinanti-nantikannya sudah ada. Alih-alih, ia menarik Mama ke dalam dunianya, menjadikan salah satu gundiknya hingga melahirkan aku, yang tidak sah secara hukum pula.

"Jas juga di sini?" Abang tiriku itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Abang tirimu entah kemana. Nanti juga pulang kalau lapar. Seperti anak kucing saja." Mama menatapku. "Sudah, Nin. Ayo, kau perlu istirahat setelah berlayar dari Nederland. Tidak letihkah kau ini, hah? Badanmu tak sebesar dan sekuat saudari-saudari tirimu. Bagaimana kalau kau jatuh sakit?"

"Ma, aku baik-baik saja." Kedua alisku menyatu. "Aku jarang sakit di Utrecht. Mengapa Mama tak pernah balas surat-suratku? Bencikah kau pada anakmu ini, Ma?"

Mata Mama yang seperti mutiara hitam mendelik. "Tak ada surat datang dan kuterima. Pasti, pasti perempuan sundal itu yang menahan surat-suratmu agar tak sampai ke tanganku!"

Perempuan sundal yang dimaksud Mama pasti Tante Roos. Memang, Tante Roos melarangku berkirim surat ke Surabaya. Tapi aku diam-diam selalu melakukannya, menitipkan surat itu pada Elien. Kulirik wanita itu yang menundukkan kepala ketakutan.

"Berani sumpah, Nyai. Sudah saya kirim surat itu."

"Lalu mengapa tak sampai di tanganku?"

"Saya tak tahu, Nyai. Ik zweer bij God."

Kemurkaan masih melingkupi Mama. Aku yakin Elien tidak berbohong. Ia tak pernah berdusta di depanku. Pasti ia juga tak berani berdusta di depan Mamaku. Mama bertolak pinggang meminta penjelasan, sampai kudengar suara bariton di belakangku, menyebut namaku bagaikan gemuruh. Berbalik badan, Papa dengan tas kerjanya menatapku bersinar-sinar.

"Helenina!"

Aku tersenyum sumringah. Kusambut ia dengan berlari, kemudian melompat ke depan dan memeluknya. Ia menyambutku hangat, mengecup puncak kepalaku dan menggumam dalam Belanda yang cepat.

"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyanya, melepas pelukanku dan menatapku lekat.

"Libur sekolah, Pa. Aku bosan tinggal di rumah, belajar, makan, tidur, sekolah, makan lagi, belajar lagi, tidur lagi, begitu seterusnya. Banyak yang berlaku tak menyenangkan padaku," aku pun mengadu. "Mereka bilang aku ini setengah Pribumi yang busuk."

"Siapa yang bilang begitu?" Papa menggeram marah. "Putri secantik ini dikatai busuk? Katakan, siapa yang menghinamu, akan Papa seret mereka ke pengadilan Belanda! Tidak tahukah kalau kau ini masih bersanak jauh dengan Ratu Wilhelmina?"

"Banyak yang menyebutku anak haram, Pa. Anak haram bukan termasuk keluarga kerajaan."

"Kau ini anak Papa, bukan anak haram."

"Tapi teman-temanku sering mengataiku begitu." Aku menoleh ke belakang, di mana Mama hanya diam bergeming menatap kami berdua. Matanya dipicing bak predator buas. Kurasai kebencian tersembur dari mukanya; ia tak akan pernah berdamai dengan Papa. "Ijinkan aku tinggal di sini saja. Aku tak mau kembali ke Nederland."

Nada Papa meninggi. "Tidak, Helenina. Kau tak akan tinggal di sini. Tempat ini tidak baik untukmu. Kau tetap akan tinggal dan menamatkan sekolahmu setinggi-tingginya di Belanda. Kau harus pintar benar. Tak boleh berlaku memalukan dan berotak udang."

"Kalau kau kuliahi saja, kapan dia istirahat, hah?" Mama menyergah, melipat tangan di depan dada.

Kali ini Papa mendengar perkataan Mama. Ia memberi kode pada dua pria di belakangnya untuk mengambil alih tugas Elien membawakan kopor-koporku. "Istirahatlah, Sayang. Nanti malam kita bertemu lagi di meja makan."

Artinya, aku akan satu meja dengan Mama Rukmini dan Jasper. Seperti apa tampang mereka? Apa yang akan dipikirkan Mama Rukmini dan Jasper melihatku di sini? Membawa pertanyaan itu berputar di kepalaku, Mama menggandeng lenganku, menggiringku naik ke atas tangga bersama Elien yang mengekor.

Mama banyak bercerita sepanjang kami berjalan menuju kamarku sementara waktu ini. Kudengarkan ceritanya tanpa selaan. Beberapa kali ia menggunakan bahasa lain, Jawa dan Melayu, sambil menerjemahkannya ke Belanda agar aku mengerti. Begitulah mungkin caranya mengajariku memahami bahasa Pribumi. Barangkali selama liburanku di sini, Mama akan mengajariku banyak hal, termasuk membantuku memahami bahasa-bahasa di sini.

*

Barang-barangku telah diletakkan di dalam kamar. Baju-bajuku ditata, dimasukkan ke dalam lemari. Dari dalam sini, kudengar geraman Mama di bawah, memakinya dalam Belanda—barangkali ia lakukan itu dengan sengaja, biar aku dengar pertengkaran mereka. Kubuka pintu dan memasang telinga mendengar seruan-seruan di bawah.

"Macam setan! Kau pikir dia milikmu saja? Aku yang mengandungnya, menahan sakit kala kulahirkan ke dunia, kuajari berbicara dan berjalan. Bukan kau! Kau yang sibuk dengan urusanmu tanpa kau pedulikan nasib anak-anakmu di sini! Lalu kau renggut dia, putriku, anak yang kusayang sepenuh hati, kau kirim dia ke negeri bangsatmu! Tak sampai di sana rupanya, kau bakar surat-surat darinya. Setan apa kau ini, hah? Belum puas kau menyiksaku, Pieter?"

"Tiada kan kuberikan Helenina padamu kalau kau menolak kunikahi!"

"Mana sudi! Nikahi saja Rukmini, bukankah kau mendambakan seorang putra, hah?"

"Kau yang lebih kusayangi, Nik, bukan yang lain. Itulah sebab mengapa aku tak membawa perempuan lagi kemari."

"Pembohong!"

Lantas mereka berdebat lebih kasar dengan berbagai bahasa. Nafasku tercekat di tenggorokan enggan lepas di udara yang pengap ini. Kupandang diriku kemudian menuju cermin rias di pojok kamar, bersebelahan dengan lemari.

Sebetulnya orang-orang di sini banyak membicarakan aku sejak dulu, kata Elien begitu. Mereka senang melihatku, sering mencubit pipi dan mengelus rambut ikal kecoklatanku. Pribumi kota ini sayang betul padaku. Mereka sering memuji-mujiku laksana sri ratu besar. Namun di Nederland, aku jadi bahan hinaan. Mereka sebut aku anak haram, Pribumi busuk, buruk rupa, dan tak pantas bersanding bersama mereka begitu tahu latar belakangku yang seorang anak gundik semata. Memang kadang mulut Tante Roos perlu disumpal. Kerap ia menyebutku anak haram di depan tetamunya, yang langsung jadi buah bibir di Utrecht.

Helenina Bregsma, anggota keluarga bangsawan terpandang di Belanda, rupanya hanya anak haram.

Mukaku memang lebih mirip Papa. Aku memiliki rambut, hidung, dan kulit Eropa. Namun mataku seperti cetakan kedua dari mata Mama yang seperti mutiara. Mata Pribumi, mata Jawa.

"Larasita."

Seperti ada kekuatan magis yang memengaruhi jiwaku, kutolehkan kepala ke belakang dan berhadapan dengan perempuan Jawa lain yang tak serupa dengan Mama.

*

"Larasita. Bangun, Nak. Sudah pagi."

Sentuhan lembut kurasai di sekitar lenganku. Mataku perlahan terbuka, mengerjap-ngerjap, dan diikuti suara menguap. Aku meregangkan badanku yang terasa pegal, membalikkan badan, menatap seorang perempuan dengan senyum bak dewi padi menyambut pagiku.

"Ma?" aku menguap sekali lagi.

"Anak Mama ini, sudah siang masih di balik selimut. Gih, tangi. Perawan-perawan kok bangunnya siang."

Sekali lagi kutarik badanku, meregangkan otot-otot persendianku seolah aku baru melakukan perjalanan panjang. Barulah beberapa detik kemudian kesadaranku tertarik dari medan magnet bumi, merasuki kepalaku.

"Ini tahun berapa, Ma?"

"Lhoalah, Ras. Nyawamu belum terkumpul rupanya. Sudah, Mama buatkan sarapan di bawah. Lekas turun dan isi perutmu dengan makanan. Bukannya kamu ada jadwal meeting?"

Kukerjap sekali lagi mataku. "Iya. Sepuluh menit ya, Ma."

"Yo wis, Nduk. Jangan lanjutkan tidurmu." Mama mengusap-usap rambutku, lantas beranjak dari ranjang keluar dari kamarku.

Butuh beberapa detik bagiku mengembalikan seluruh nyawaku ke dalam raga setelah dikomando gelombang alfaku. Kusingkap selimut yang melilit tubuhku bak kepompong ulat yang hendak bermetamorfosis.

Sepanjang melangkah menuju kamar mandi, bayangan Helenina masih tergambar dengan epik di kepalaku. Bahkan sampai aku turun untuk makan, seolah jiwa ini tak dapat lepas dari bayang-bayang Helenina di dalam mimpi semalamku.

Mimpi? Benarkah itu mimpi? Ah, tampaknya aku terlalu larut dalam kisah Anna Nyrud dan Nova di novel karangan Gaarder itu. Siapa tahu, aku tak akan bertemu dengan Helenina, Elien, Pieter Bregsma, dan Nyai di mimpi selanjutnya.

Siapa tahu.

*

Footnote:

Juffrouw (Belanda) = Noni, sedangkan untuk Nyonya menggunakan Mevrouw

Ratu Wilhelmina = Ratu Hindia Belanda 1890-1948

Utrecht = salah satu provinsi besar di Belanda

Tante dan Oom (Belanda) = Bibi dan Paman

Gundik = simpanan Belanda

*

Hai, maaf ya. Saya gonta-ganti cerita. Dari The Devil Inside, Crescent, sampai ini. Saya berlatih menulis dengan mengangkat kearifan lokal. Biar ga melulu bertema luar. Sekali-kali, kita tinggalkan mental inlander yang diwariskan penjajahan Belanda dan mulai membuka wawasan betapa kerennya negeri kita tercinta ini.

Sekali lagi, cerita ini terilhami oleh Jostein Gaarder dan Pramoedya. Jika terdapat gaya Pram, maafkan. Sebab saya begitu mencintai Pram dengan buah pikirnya yang maha keren. Lagipula, jelas sekali Pram lebih segalanya daripada saya yang hanya butiran pasir ini.

Jadi intinya, cerita ini mengambil tema Lucid Dream atau kesadaran mimpi yang kadang kita alami tanpa kita sadari. Seperti halnya di Dunia Anna. Kalau kalian baca, Dunia Anna itu bergaya teenlit tapi isinya berbobot, pasti kalian suka. Dan terakhir, maafkan jika terdapat banyak kesalahan.

Salam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro