Acht- Grijs (Kelabu)
Pembaca, sekiranya hari ini aku akan tamat di tangan Raka, tolong simpan baik cerita ini. Tampak dari matanya yang menyorot tajam padaku, keinginan tak tersiratnya untuk membunuhku. Siapa sangka sepulangku dari rumah seni dan budaya ini, ia merencanakan pembunuhan dan melakukannya dengan hati-hati.
Membaca cerita misteri kadang membikin aku makin sinting macam begini.
"Hai," sapaku. "Untuk apa... kamu ke sini?"
"Seharusnya saya yang bertanya seperti itu, Nona Larasita Nareswari Gevaarlijk."
Kilat seakan menampar pipi dan menohok jantungku kala ia sebutkan dengan lancar tanpa kesalahan pengucapan, nama lengkapku. Bagaimana ia tahu nama terakhirku? Kini aku gelisah. Gugerakkan kakiku, berjinjit dan turun perlahan, kulakukan berulang kali sambil menggesekkan kets pada kakiku yang lain. Telapak tanganku yang berkeringat mengelap tengkukku yang dingin. Sial, mengapa aku dibikin begini sengsaranya?
"Ini adalah galeri pribadi keluarga saya. Peninggalan turun temurun sejak abad 19 dan diisi dengan mahakarya kakek buyut saya. Mengapa Anda kemari tanpa permisi?"
"Sebetulnya saya sudah mengajukan ijin pada juru kunci." Thank God. Mahesa sepertinya iba melihat kesulitanku. Dibelanya aku dengan nada tenang dan senyum sopan. Untuk ke sekian kalinya aku mengusap tengkuk dan menggaruk kakiku menggunakan kets. "Larasita memiliki ijin liputan dari bosnya. Dia dari—"
"Majalah Galeri Budaya. Saya sudah tahu." Pandangan mata Raka bahkan tiada beralih dariku. Aku seperti ditelanjangi ramai-ramai melalui matanya. Sial, mengapa jantungku kian berdebar ditatap selekat ini. Padahal tatapan itu bisa dibilang memiliki arti buruk. Seperti sumpah serapah atau janji untuk membunuhku. Aku menelan ludah dengan susah payah menyusuri kerongkonganku yang kering kerontang. "Saya beri waktu tidak kurang dari lima belas menit. Setelah itu silakan keluar dari tempat ini. Kakek buyut saya tidak suka ada orang yang masuk sembarangan kemari."
"Kalau dia masih hidup dan bertemu dengan saya," aku maju satu langkah, mengubur dalam-dalam ketakutanku berhadapan dengannya, "sepertinya dia akan mempersilakan saya masuk kapan pun yang saya mau."
"Mengapa Anda bisa seyakin itu?" ia tersenyum miring. Keparat. Sungguh keparat. Aku suka senyumnya.
"Karena—"
"Anda mirip perempuan yang dilukis kakek buyut saya?" ia menggosok hidungnya. "Kalau boleh mengatakan, perempuan di dalam lukisan itu beribu kali lipat lebih cantik daripada Anda. Dia memiliki karakter dan aura kuat yang bisa saya rasakan, meski terperangkap di dalam bingkai dan berbentuk visual. Jangan terlalu narsistik, Nona Nareswari. Kakek buyut saya, jika beliau masih hidup, tak akan tertarik dengan gadis tukang imajinasi seperti Anda."
Beraninya ia bicara seperti itu... Biarpun aku selalu gagal memenangkan kontes kecantikan di sekolahku, gagal menjadi model, dan tidak diterima agen manapun untuk menjadikanku aktris, aku tak sejelek itu! Beraninya ia mengataiku demikian!
"Berani-beraninya kamu bilang kayak gitu." Aku berkacak pinggang. Peduli setan soal kesopanan. "Emang ya, dasar cowok. Yang dipentingkan itu penampilan. Dimana-mana kecantikan, dimana-mana tubuh seksi. Sekali-kali jangan nilai cewek dari penampilan!"
"Mengapa Anda jadi sentimen?" Sebelah alis Raka terangkat.
"Eh... maaf, boleh saya membawa Laras pergi?" Mahesa menggandeng tanganku, menyeretku menjauhi keributan setelah mengucapkan maaf dan berpamitan. Tak kudengar permintaan maaf Raka di belakang sana selain Pak Jain yang mewakilinya.
Sesampainya di depan gedung galeri, aku menarik tanganku dari gandengan Mahesa. Kukerucutkan bibir ke depan. Tangan kulipat di depan dada. Mahesa membiarkan emosiku menyurut sampai kepalaku dingin dan enak diajak berbicara santai. Metodenya mendiamiku sampai beberapa waktu berhasil. Tak semarah tadi, aku menghela nafas panjang berulang kali. Kusingkirkan poni yang menutupi sebelah alisku. Aku kaitkan ke belakang telinga tanpa kubiarkan sehelaipun turun.
"Kamu masih punya akal sehat kan, Ras?" Mahesa menepuk dahinya frustrasi. "Kamu bisa masuk bui cuma gara-gara bertikai dengan orang macam dia."
"Kok bisa?" aku menyeletuk tak terima. "Aku kan nggak salah. Dia yang ngatain duluan." Oh, maaf, aku yang lebih dulu menjelek-jelekkan ia dan menyebutnya bipolar.
"Hmph." Mahesa menggaruk kepalanya. "Gimana kamu mau berhasil menemukan informasi Helenina kalau kamu segarang ini sama pemilik galeri? Terus kamu dapat info dari mana, Ras? Informasi nggak datang dari langit."
Kalau aku tak sanggup menaklukkan hati Raka atau setidaknya berdamai, aku akan kesulitan informasi dan terus dihantui rasa penasaran. Bagaimana aku bisa mengorek informasi dari Raka kalau sikapnya saja seperti mengajak perang gerilya? Pertemuan pertama kami hampir mulus. Sampai aku merusak segalanya dengan kalimat tololku. Manusia waras mana yang tidak menganggapku sinting? Apalagi manusia macam Raka yang berpikiran idealis dan realistis. Mana mungkin ia berhasil ditaklukkan gadis tukang imajinasi sepertiku? Taruhan, pacarnya seribu persen berbanding terbalik denganku.
Aku tak menanggapi kalimat Mahesa. Kuminta ia mengantarku pulang saja daripada berada di depan gedung galeri milik Ario. Haaisshhh... kadang logika tak sanggup mendamaikan kejanggalan macam ini. Bagaimana aku bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang mimpi keparatku? Siapa kau, Helenina? Mengapa kau hidup seakan-akan aku pernah menjadi bagian darimu? Mengapa aku tiba-tiba memimpikanmu? Mengapa aku bertemu dengan duplikat kekasihmu?
Mengapa aku dibuat jatuh cinta pada duplikat kekasihmu?
"Aaarrggghh brengsek!!!"
"Ras, kamu nggak apa, kan?" pertanyaan Mahesa mengejutkanku. Baru kusadari kami tengah melakukan perjalanan pulang. Pikiranku mulai diperdayai ketidakwarasan. Kali ini aku bersungguh-sungguh akan menghubungi psikiater kenalan Mama. Aku tak ingin berakhir di rumah sakit jiwa dengan mengatakan bahwa aku dihantui Helenina Bregsma dan menyebut Raka sebagai jodohku.
"Nggak." Cengiran terpasang di wajahku. Mahesa tampak tak memercayai perkataanku. Ia pandangi aku, seperti menaksir batu permata bernilai jutaan dollar. Ia biarkan aku diam lagi.
Tiada hal lain yang mampir di kepalaku, kecuali Raka dan segala ucapan kurang ajarnya. Beuh... coba temukan aku dengan kakek buyutnya. Apakah benar ia tidak tertarik denganku, perempuan yang amat sangat mirip dengan pujaan hatinya. Ario bahkan berani menghadapi kemurkaan Pieter Bregsma demi Helenina. Memang cicitnya saja yang berlagak seakan-akan aku perempuan tak menarik dan tukang imajinasi yang tiada mampu menarik hati pria.
Meski... aku sedikit membenarkan ucapannya.
Kupandang diriku sendiri pada cermin di dalam mobil. Mengapa aku tidak bisa menarik hati lelaki? Padahal Mama dan kawan-kawan arisannya kerap memanggilku malaikat cantik yang diturunkan ke bumi seperti Nawang Wulan. Kendati tak bangga pada darah Belanda yang mengalir di tubuhku, aku yakin aku punya daya tarik tersendiri. Apa karena sikapku yang kekanak-kanakan? Tak pernah seorang pun menyebutku tukang imajinasi. Apalagi pria.
"Esa."
"Hm?"
Aku menoleh memandang Mahesa yang konsentrasi mengemudi.
"Kamu straight, kan?"
Praktis saja kepalanya tersentak ke arahku. Matanya mendelik terkejut. Duh, Laras, pertanyaan macam apa yang kau lempar pada pria yang baru kau kenal kemarin? Sungguh tak sopan kau ini! Aku jadi teringat perkataan Nyai Among. Perempuan tidak boleh berkata sembarangan, terlebih pada pria. Ia harus punya sopan santun dalam bertindak maupun bebrtutur.
"Ya iyalah. Kenapa emang?"
"Menurut kamu... aku..." Kumainkan jemari tanganku yang kupangku. Apakah pertanyaan itu harus keluar dari mulutku? "Nggak jadi deh."
"Ckck. Ngomong aja, Ras."
"Nggak jadi..."
Syukurlah ia tak banyak bertanya. Kubiarkan ia konsentrasi mengemudi tanpa segala pertanyaan yang hampir lolos dari bibirku.
Pemandangan kota yang padat oleh gedung bertingkat dan kesibukan lalu lintas begitu membosankan. Mendung menggantung rendah di kaki langit. Sewaktu aku menengadah ke atas, gumpalan awan kelabu di atas sana saling berdesakan hendak menumpahkan air ke bumi. Musim hujan akan segera datang. Yang kurindukan dari hujan ialah aroma tanah basah, bunyi kodok, jangkrik mengerik, dan cappuccino yang diseduh untuk bersantai bersama novel dan Ludovico Einaudi. Belum-belum aku sudah membayangkan bagaimana nikmatnya hujan, cappuccino, Ludovico Einaudi atau Lindsey Stirling pada iPod, dan novel di tangan.
Mahesa tak bisa menemaniku barang sebentar di dalam rumah. Diantarnya aku sampai di teras rumah. Penjaga rumah sekaligus tukang kebun rumah ini, Pak Dirman, tengah memangkas rumput yang telah meninggi di pekarangan samping. Ia mengintip di balik barisan tanaman bonsai, sampai mobil Mahesa melaju pergi.
"Dari mana, Non?" sapanya usai memangkas rumput dan berdiri.
"Liputan, Pak."
"Nyonya tadi telepon. Katanya hape Non Laras nggak aktif."
Benar saja, rupanya ponselku kehabisan baterai. Mama pasti panik tidak kuberi kabar. Akan kuhubungi ia selepas istirahat di kamar. Biarpun sibuk, Mama tetap memerhatikan aktivitasku. Akan ia pantau kegiatan putrinya dua puluh empat jam penuh.
Aih... kini aku tahu mengapa aku tak menarik minat pria. Sebab aku kurang pergaulan, tak memerhatikan penampilan, dan... suka mengkhayal yang mustahil. Memang apa yang dikatakan Raka ada benarnya. Ia seorang pria yang mengomentari seorang wanita. Tidak seharusnya aku tersinggung. Mengapa tidak kuanggap sebagai koreksi untuk lebih baik?
Haha. Jika ia pikir aku tak bisa seperti wanita kebanyakan, ia betul-betul salah. Sewaktu kuliah, aku terlibat kegiatan panggung. Aku seorang pemain teater, oke? Segala tata rias dan tata busana kutahu betul. Biarpun jarang menjadi aktris di panggung, aku kerap merias dan memilah pakaian untuk para aktor. Artinya dalam soal gaya, aku tidak ketinggalan.
Larasita, gaya keseharian dengan gaya panggung itu berbeda, benakku berbisik lirih, kian menyudutkanku di tempat tergelap dan terpencil. Sial, aku memang tak mengerti apa yang dibutuhkan wanita dalam fashion. Perlukah kuperhatian selera fashionku agar Raka mulai melirikku? Hampir semua pakaianku adalah kaus, jaket denim, jins, dan tank top. Dress saja bisa dihitung jari. Yang kemarin kukenakan untuk mengantar dessert ke rumah Raka, itu satu-satunya dress yang kubawa dari Jakarta. Sebelumnya aku tak berniat membawa banyak pakaian. Namun Mama memaksaku membawa berpotong-potong pakaian. Aku terbiasa mengenakan pakaian sama selama beberapa hari.
Oke, panggil saja aku jorok. Tak masalah.
*
Bintang malam ini tak seterang malam sebelumnya. Barangkali karena hujan akan datang, sehingga mendung mulai sering menyingkirkan pendarannya. Padahal aku gemar memandangi gugus bintang di angkasa. Jika dilihat dari atap rumah, mereka akan tampak lebih gemerlapan.
Angin malam bertiup lembut, menerbangkan beberapa helai rambutku sampai menyentuh dahi dan pipi. Bunyi instrumen biola Lindsey Stirling terdengar dari tape di dalam kamarku. Kadang jika aku penat, aku mendengarkan gesekan dawai biola Lindsey Stirling atau denting piano Ludovico Einaudi. Fungsinya seperti obat penenang. Aku jadi teringat kegemaran Helenina terhadap Johann Sebastian Bach.
Bunyi deburan dan gemercik air sontak menyita perhatianku dari langit mendung menuju kolam renang di bawah sana. Dari atas balkon, aku melihat seseorang menghabiskan malam hari ini dengan menyelam dan berenang. Kuperhatikan gerak-geriknya. Amboi... begitu lihai dan hebat ia bertahan di dalam air dan berenang sepanjang kolam. Aku bahkan tidak sadar kelopak mataku tiada berkedip sedetik pun. Begitu ia menarik diri dari dalam kolam, aku rasai kerongkonganku yang gatal. Spontan, aku tersedak dan terbatuk. Hal itu menarik perhatian Raka di bawah sana. Dipandangnya aku dengan tatapan monoton, seakan menontonnya dalam keadaan basah dan bertelanjang dada adalah sesuatu yang biasa.
Tak ingin mendapat tatapan mengintimidasi darinya, aku berbalik badan menahan nafas dan berlari ke dalam. Sial. Apa aku baru saja menguntitnya? Apa aku baru saja memerhatikan ia selama itu?!
Aku bergulingan ke kanan-kiri, memeluk guling, berteriak dalam redaman bantal, dan melompat-lompat di atas ranjang. Pikiranku sedang tak sehat. Hanya karena ketahuan mengamati seorang lelaki berenang selama beberapa menit, mengapa aku jadi begini? Beda cerita jika ia bukan seseorang yang kudambakan.
Ah, sial, aku tak pernah dibuat sinting lelaki sampai seperti ini. Pria memang kejam. Mereka mudah membolak-balikkan hati perempuan dan bisa seenaknya tak mengacuhkan perasaannya. Hey, apa yang sebetulnya aku suka dari dirinya? Karena ia mirip Ario yang begitu pandai memenangkan hati Helenina dengan segala pujian dan tindakannya? Seharusnya aku tak jatuh hati pada orang macam tetangga sebelah—secara teknis, tetangga almarhum kakek-nenekku. Seratus delapan puluh derajat kebalikan Ario, sikapnya mudah berubah, dari manis menjadi kasar. Aku jarang dibuat jatuh hati oleh pria berdasarkan keindahan fisik dan tampang, sungguh—meski kalau boleh jujur, baik Ario maupun Raka bagaikan hasil perselingkuhan dewi Aphrodite dengan dewa Ares. Hal pertama yang menarik minatku ialah cara bertutur kata mereka dan bagaimana mereka berpikir. Nah, apakah karena sebelumnya ia bertindak sangat sopan dan memperlakukanku laksana ratu, maka aku tertarik padanya?
Haha.
*****
Bisikan Jan de Witt kala itu menggangguku. Semenjak pulang dari Buitenzorg, aku tak berhenti memikirkan pertemuanku dengan lelaki berdarah Belanda dan Inggris tersebut. Tuan de Witt memintaku datang ke Buitenzorg lagi. Ketakutan seakan menggeliat di batinku ketika ia berjanji akan mengunjungiku ke Surabaya bersama putranya, Jan.
"Mengapa kau banyak melamun, Nina?"
Kesadaran seakan merambati pikiranku begitu kudengar bisikan lembut itu di telingaku. Aku mengerjap, menoleh ke samping dan sudah menemukan Ario berdiri tepat di sebelahku. Sejak kapan ia datang kemari tanpa kudengar suara langkah kakinya?
"Sejak kapan kau datang?"
"Bahkan kehadiranku tak mampu menarikmu dari dimensi lain menuju realita?" Ia menelengkan kepala ke satu sisi. "Kira-kira lima menit lalu."
"Lima menit!"
"Nah, kau tak sadar, benar?" Ia terkekeh geli. "Sepulang dari Buitenzorg, kau menjanjikan sebuah cerita untukku."
Tangan kusandarkan kembali pada birai istal kudaku. Senja bersembunyi di balik awan mendung. Aku kira, hujan tiada tanggung lagi menyapa bumi dan menciptakan aroma damai. Aku senang mencium aroma tanah dan rumput basah. Di Utrecht, kadang setiap hujan turun kuhabiskan waktuku dengan duduk di depan perapian. Coklat panas dan roti jahe buatan Elien yang menemaniku memandangi rintik-rintik di luar.
"Hey, bukankah kau sebentar lagi kembali ke sekolah?"
"Dan kau akan kembali ke Nederland."
Perpisahan itu akan terjadi. Sanggupkah Mama memenangkan hati Papa untuk tak mengembalikanku ke Nederland? Hatiku terlanjur terpaut di kota ini. Tak ingin kuangkat kaki dan koporku keluar Hindia. Jangkan Hindia, tanah ini saja tidak.
"Kau akan kembali ke Nederland?" ia mengulang pertanyaannya. Belum ada jawaban keluar dari bibirku yang mendadak memucat. "Nina." Masih tak kujawab pertanyaannya. Sampai tanganku yang lemas ia genggam, lantas ia kecup lembut. Aku menoleh ke arahnya. "U wordt teruggeleid naar Utrecht (kau akan kembali ke Utrecht)?"
"Aku akan bercerita," kualihkan pembicaraan kami. Tolong, jangan ingatkan padaku tentang pengembalianku ke tanah yang tidak pernah memberikan aku kebahagiaan. Aku balik menggenggam tangannya. Mata kami bertemu dan enggan terlepas, seperti genggaman ini. Benarkah aku akan meninggalkannya di sini? Aku tak memiliki kuasa apapun. Pertentangan dan perdebatan adalah dua hal yang tidak kusenangi di rumahku. Mama dan Papa tidak boleh bertengkar lantaran meributkan apakah aku tetap tinggal atau kembali ke Nederland. "Di sebuah tanah berumput hijau segar, sebuah pulau terpencil di sudut bumi, kau akan menemukan sebuah pondok yang didiami oleh seorang dara jelita bersama wanita tua. Dara jelita itu, seorang putri yang dibuang oleh istana karena dia berbeda dari saudara-saudaranya yang cantik jelita. Banyak yang percaya, sang putri mendapat kutukan atas perbuatan Ratu. Dia lahir dari hasil perselingkuhan dengan pejabat istana. Nama si putri... Roza. Orang bilang namanya didapatkan dari bunga yang tumbuh subur di sepanjang sungai pulau itu. Tiap bepergian, Roza dilempar batu dan dicaci. Tak pernah ada yang memperlakukannya baik. Tidak pernah ada. Kecuali wanita tua yang merawatnya dari bayi.
"Suatu ketika dia melihat seorang pangeran dari negeri seberang tengah melepas penat di pinggir sungai. Di balik sebatang pohon, Roza mengamatinya dan mendambanya diam-diam. Namun dia sadar, seorang pangeran segagah dan setampan itu tidak mungkin dia buat tunduk. Apalah yang bisa dia harapkan selain bayang-bayang cercaan? Siapa sangka, pangeran justru membenci dan mencacinya, seperti kebanyakan orang?
"Kala itu, pedang kesayangan pangeran terjatuh dan terbawa hanyut sungai. Tak ditemukannya pedang yang ditempa dari pandai besi terpilih tersebut. Pencariannya berakhir ketika senja menjajaki bumi. Roza berniat kembali dan melupakan pangeran yang membuatnya jatuh hati. Baginya, cinta hanya dimiliki putri cantik yang berharta banyak. Roza tak pernah memercayai cinta. Dia menganggapnya mitos dan dongeng yang dikarang-karang oleh para pujangga demi mendapatkan simpati Raja.
"Sepanjang berjalan pulang, Roza tak dapat berhenti memikirkan pangeran. Di tengah pikiran itu, matanya dipertemukan dengan benda berkilau yang tersangkut di antara bebatuan. Roza yakin benda itulah yang dicari pangeran. Melihat gelagat pangeran, Roza berasumsi bahwa pedang tersebut memiliki arti penting bagi pangeran. Maka, dia menerjunkan dirinya ke dalam sungai, tak peduli pada nasibnya yang tidak dapat berenang. Dengan jerih payahnya, dia berhasil mendapatkan pedang pangeran, meski tubuhnya mengalami lebam dan mengucurkan darah akibat terpeleset bebatuan licin. Usahanya diketahui oleh pangeran yang mengamatinya tidak jauh. Kegigihan Roza demi mendapatkan pedang kesayangannya membikin pangeran gelisah. Hatinya mengantarkan segala bisikan. Naluri sebagai seorang pria mengatakan, gadis itu perlu imbalan. Imbalan yang sesuai. Seorang pangeran yang tak ingin berhutang budi akan melakukan segala hal untuk orang-orang yang menolongnya. Dengan menampakkan diri di depan sang putri, pangeran meminta kembali pedang kesayangannya. Pedang itu dikembalikan Roza. Tanpa mengharapkan imbalan apapun, Roza berniat pergi sambil menahan perih luka-luka di tubuhnya.
"Pangeran kian gelisah. Tak pernah dia menemukan seorang perempuan segigih itu. Tanpa sepengetahuan Roza, dia mengikutinya sampai rumah. Berhari-hari pangeran datang demi melihat Roza, ingin mengetahui pribadinya. Seorang perempuan yang rendah hati, senang membantu, dan mencintai makhluk hidup. Jarang ada perempuan berkelakuan baik seperti Roza. Pangeran hanya menemukan dua orang sepanjang eksistensinya. Dua wanita, lebih tepatnya. Ibunya. Dan perempuan yang tengah dia perhatian.
"Esok paginya, pangeran datang membawa rombongan. Dia berniat menjemput Roza dan membawanya ke istana untuk diperistri. Sekali lagi, pangeran dibuat terkejut dengan kalimat Roza: 'Kau menjadikanku istri bukan karena cinta, Yang Mulia. Kau hanya kagum, tidak lebih. Dan aku tak akan pernah menikahi orang yang tidak sungguh-sungguh mencintaiku'."
"Pangeran itu tidak mendapatkan Roza?" Ario bertanya penasaran.
Aku menggeleng. "Sampai dua tahun kemudian, baru pangeran kembali lagi dan berkata: 'Aku tak sanggup makan dan tidur dengan tenang. Aku tak pernah melihatmu sejak dua tahun terakhir, namun mengapa jantungku kau buat berdebar tiap kali teringat padamu? Aku yakin, aku telah jatuh cinta padamu.'"
"Apa yang dikatakan Roza?"
"Roza tak pernah percaya cinta itu ada. Untuk ukuran perempuan yang dianggap buruk rupa oleh orang-orang, dia tak pernah percaya cinta hadir untuk dirinya. Kemudian dia bertanya: 'Mengapa kau mencintaiku, Yang Mulia?' dan pangeran menjawab: 'Apa aku punya alasan untuk menjawabnya? Setahuku, aku tak punya alasan untuk itu.' Dari situlah orang beranggapan, kau akan diakui tengah mencintai seseorang ketika kau tidak tahu mengapa jantungmu tiba-tiba berdebar tiada menentu."
"Seperti ini?" Ia menggerakkan dan meletakkan tanganku pada dadanya. Kurasai debaran jantungnya di telapak tanganku. Kulepas tanganku darinya seraya terkikik. Kemudian aku maju lebih mendekat dan meletakkan kepalaku di dadanya, mendengar degub jantungnya yang seirama dengan debar jantungku.
"Ya," kataku. "Seperti ini." Kujauhkan kepalaku darinya. Kami bertukar pandang dalam kebisuan. "Mau menemaniku berkuda?" Ia mengangguk.
Kami lalu mengeluarkan dua ekor kuda dari dalam istal. Kuda yang kutarik tali kekangnya tampak gelisah. Berulang kali aku mengelus surainya, membisikkan kata-kata agar membuatnya tenang. Kuda itu meringkik perlahan, menyundul-nyundulkan kepalanya perlahan ke arahku.
"Kau bisa memilih yang lain, Nina," anjur Ario yang bersiap menaiki kuda yang ia bawa. "Dia kelihatan tidak baik."
"Aku biasa menaikinya. Aku tak mau kalau bukan kuda ini yang kutunggangi." Tak peduli terhadap ekspresi cemas Ario, kunaiki punggung kuda berwarna hitam ini. Baru menyentuh tali kekang dan hendak kupacu, kuda hitam ini meringkik cukup keras. Aku terperanjat dibuatnya kala ia berpacu cepat melintasi lapangan.
"Pelan-pelan!" pekikku. "Mijn God!" Alih-alih berpacu pelan, ia makin menambah kecepatan.
"Nina!"
"Mijn God!"
Usahaku tampaknya sia-sia. Kuda yang kutunggangi kian berlari kencang hampir keluar dari lapangan, menuju hutan bambu. Aku menarik-narik tali kekangnya, memintanya berhenti, namun hanya suara ringkik keras dan lari yang kencang yang kudengar. Pernah sekali aku mengalami hal seperti ini di Utrecht. Saat itu bersama Oom Kaspar, aku berlatih menunggang kuda. Namun kuda yang kutunggangi tak sehat dan membikin aku jatuh dari punggungnya. Aku mengalami luka robek pada dahiku. Kini kejadiannya terulang kembali. Sudah kucoba menghentikan kuda hitam ini, namun segal daya tak mampu menyelamatkanku. Di belakang, suara pacuan kuda lain kudengar.
"Raih tanganku," ia meminta lantang. "Bereikt, Nina!"
Begitu menoleh ke belakang, aku meraih tangan Ario yang terulur padaku. Ia berusaha meraih dan menarikku sebelum kuda ini keluar lapangan dan lebih membahayakan nyawaku. Mati-matian aku mencoba meraih tangannya, sampai kurasakan tubuhku terjungkal dari atas kuda dan bergulungan di atas rerumputan. Tubuhku berhenti bergulungan dengan posisi terlentang, meninggalkan nyeri di bagian punggung, kaki, tangan, dan leherku. Namun semua itu terasa sirna begitu yang tampak di depan mataku ialah sepasang mata Pribumi yang menyorot teduh. Nafasku tersengal-sengal, jantungku berdetak dengan irama hentak-menghentak, dan darah seolah tersumbat di arteri.
"HELENINA!"
Halilintar seakan mencambukku kuat begitu kudengar teriakan menggelegar Papa. Ario menarik dirinya dariku, lantas kuikuti kemudian. Dari seberang lapangan kulihat ia berjalan tergopoh-gopoh bersama Mama dan dua kaki tangan mereka yang mengekor.
"Durf je te raken (Berani kau menyentuhnya)!" Tangan Papa melayang memberi tamparan. Sebelum tamparan itu mengenai Ario, aku mengambil tempat di depannya dan merasakan panas menyemut di pipiku. Tamparannya meleset kena mukaku. "Apa—apa yang kau lakukan?! Helenina!"
Ringis kesakitan keluar dari bibirku. Kurasai darah menyentuh sudut bibirku yang memar. Aku menyentuh pipiku yang memanas dan terasa basah oleh air mata.
"Wees zo goed, Papa (aku mohon, Papa)!" aku berteriak. "Klap me eens te meer, maar niet hem (tampar aku sekali lagi, tapi jangan dia)!"
"Ben je gek (kau sinting)?!"
"Klap me eens te meer!"
"Opgesloten (diam)!"
"Berhenti! Berhenti di sana dan jangan kau sentuh anakku dengan tanganmu!" Mama berang. Tatapannya nanar, dipenuhi kobaran api kemurkaan melihatku mendapat tamparan salah dari Papa.
Tatapan Papa beralih menuju Ario. Andai ia memiliki kesempatan lagi, akan ia layangkan tamparan lain padanya. Namun aku berdiri di antara mereka demi menghindari keributan. Biarlah ia memukulku, asal jangan menyalahkan orang yang telah menyelamatkan hidupku.
"Hij eitgezonderd mijn leven (dia menyelamatkanku)," lanjutku terisak. "Bisakah kau sekali saja tidak melakukan itu? Hah?"
"Saya bertanggung jawab atas celakanya Helenina, Tuan," Ario menyela kalimatku.
"Papa, hij uitgezonderd mijn leven..."
"Dia bertindak kurang ajar padamu, Helenina. Kau bodoh atau memang mewarisi sifat murahan dari ibumu?!"
Mama menggeram marah. Tangannya yang tergenggam bergetar di samping tubuhnya. Darah seolah mengumpul di telapak tangannya dan siap ia ledakkan dengan tamparan keras.
"Jika Tuan berpendapat demikian, saya terima segala resikonya."
"Kau berkata seperti itu seakan-akan kau tak bersalah? Biarpun kau disekolahkan bersama Eropa, berpakaian seperti Eropa, kau pikir kau bisa jadi Eropa, hah? Mental-mental Inlander busuk! Ik zweer bij God, ik zal je vermoorden met mijn hand (aku bersumpah, aku akan membunuhmu dengan tanganku)!"
"Gelieve te doen (silakan lakukan). Tuan boleh menggunakan tangan Tuan untuk membunuh saya, namun tidak dengan menyakiti putri Tuan sendiri."
"Berani kau berkata seperti itu, heh!"
"Pieter!" Mama berteriak lebih berang. Ia mengambil tempat di depan kami. Tangannya bersiap saja memukul Papa, namun hebatnya ia menahan keinginannya memukul Papa, alih-alih menghadapinya dan menyemburkan kemurkaan dari mulutnya dalam bahasa Belanda. "Hinalah aku sepuas yang kau mau! Toh aku memang sudah hina! Kau buat aku hina! Dengan berkelakukan macam ini, kau pikir kau tak hina, hah! Kau anggap dirimu lebih baik daripada aku yang hanya mainanmu, begitu? Kau bahkan lebih busuk daripada ribuan pelacur di plesiran! Iblis macam apa kau ini. Iblis apa kau, hah!"
Papa tak menanggapi gerungan marah Mama. Tangannya terangkat di udara tanda tak ingin melanjutkan pertikaian di lapangan. Dihentakkan kakinya pergi meninggalkan kami diikuti oleh kaki tangannya. Tumpahan air mata tak dapat terbendung di pelupuk mataku. Aku menutup muka dengan telapak tengan. Dekapan lembut aku rasai di sekitar pundakku, lantas beralih menjadi pelukanma. Mama bergeming dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Tatapan buasnya tak terelakkan, ia lesatkan bagai anak panah Srikandi. Ia tancapkan tepat pada lelaki bertubuh tinggi besar yang tak lagi menoleh memandang kami.
*
"Jangan kembalikan aku ke Utrecht," pintaku merengek. Malam itu sidang keluarga berlangsung di ruang tamu. Papa berdiri dengan tangan terlipat di belakang. Dagunya ditegakkan menantang setiap orang yang menentang keputusannya. Di kursi lain, Mamaa duduk dalam diam, seperti boneka porselen yang tak bernyawa mendengar keputusan Papa yang akan mengembalikanku ke Utrecht besok pagi. "Wees zo goed, Papa. Aku tak mau kembali. Aku mau di sini. Aku mau di sini." Air mata bercucuran di kedua pipiku.
"Kau tahu aku tak akan mengabulkannya. Jangan merengek."
"Kau ingin aku mati perlahan-lahan? Kau ingin anakmu ini mati?"
"Jangan bicara ngawur, Helenina." Telunjuk Papa teracung di depan wajahku.
Detik itu pula aku bersimpuh di bawah, memeluk kakinya dan memohon dengan suara parau.
"Aku mau di sini. Ini rumahku, ini tempat kelahiranku, dan aku bersumpah akan mati di sini. Aku tak mau kembali. Aku mohon, Papa. Aku mohon jangan kembalikan aku."
Tak ada jawaban. Papa diam melihatku tersimpuh di bawah kakinya dengan mata berkaca-kaca meminta kesempatan. Dialihkannya perhatiannya menuju tempat lain, tiada memedulikan suara parauku. Aku peluk kakinya erat, menengadah membiarkan cucuran air mata yang terasa panas kembali membasahi pipi dan menggantung di daguku. Tidakkah hatinya tergerakkan melihatku seperti ini? Apakah ia benar menyayangiku? Apakah benar aku putri kesayangannya?
"Aku mohon, Papa," pintaku lebih lirih. Tenagaku seolah tersedot bumi, membikin tubuhku melemah dan kepalaku pening. Papa menyentak tubuhku menjauh darinya. Dilenggangkan kakinya meninggalkan ruang tamu, berjalan cepat menaiki anak tangga. Mama yang sedari tadi diam kini beranjak dari tempat duduknya. Ia tak memandang ke arahku, tidak pula berkata sepenggal pun melihatku terisak-isak dengan tubuh bergetar di lantai.
Baru ketika kedua orangtuaku menghilang di balik tembok, kudengar suara mereka samar-samar.
"Kau dapatkan keinginanmu," Mama membuka suara. "Nikahi aku. Biarkan anakku tetap di sini, Tuan. Nikahi aku."
"Berhenti bersujud di depanku dan berdiri! Hanya sampai di sini, heh? Sampai di sini perlawananmu? Kau mengaku kalah, heh?? Sujud sampai tahun depan pun, aku tak akan menarik kata-kataku."
"Bukankah ini yang kau mau?" suara Mama melemah, tertelan dalam kegetiran. Nadanya bergetar, pertahanannya goyah. Ia lalu menggerung. "Jangan siksa anakku! Zij weet niets! Zee waard niet zijn zulks. Dit is mijn zonde, mijn schuld, haar niet martelen! (dia tak tahu apa-apa. Dia tidak pantas mendapatkan ini. Ini dosaku, kesalahanku, jangan siksa dia)." Suara Mama terpecah menjadi tangis tertahan. "Dosa ini biarkan aku yang menanggung, Tuan. Aku bersedia melakukan apa pun. Aku berjanji akan patuh. Jangan dia, Tuan. Jangan, Tuan. Tidakkan hatimu tergerakkan hati nurani? Biarkan dia bahagia, Tuan. Biarkan dia bahagia. Demi Allah, biarkan dia bahagia."
Jiwaku seperti tak menyatu dengan ragaku. Aku diam di lantai ini. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku yang bergetar. Kiranya, air mata sudah habis kukeluarkan seharian ini. Memohon, bersujud, dan menangis darah pun tidak akan meluluhkan hati Papa. Aku tetap dipenjara di Utrecht dalam pengawasan Tante Roos.
Mengapa detik ini aku tak mati saja?
"Juffrouw, mari saya antar ke kamar." Elien berjalan tergopoh-gopoh menghampiriku. Ditariknya badanku dari atas lantai. Aku bagaikan boneka kain yang tak memiliki daya. Tubuhku lemas, seakan jiwa berhasil dihisap kepekatan yang menjadi seteru. Aku tak berdaya.
Kupandang Elien dengan mata berkunang-kunang. Darah kurasai menetes melalui hidung, menyentuh bibir, dan jatuh menodai gaun putihku.
"Juffrouw," Elien memanggilku panik. Tubuhku yang lemas ia papah. "U bent bloeden (Anda berdarah)!"
"Ik voel me goed... (aku baik-baik saja)." Aku mencoba menenangkan Elien dengan senyum lirihku.
Namun detik berikut bumi seakan menarik badanku padanya dalam kepekatan panjang.
*****
Aku menangis. Pembaca, aku menangis. Aku menangis hari ini. Mimpi itu terlalu mengerikan sekaligus menyedihkan bagiku. Seakan aku sendiri yang mengalaminya. Seakan benar itu aku. Dapat kurasakan sakit yang didera Helenina. Baik batin, fisik, dan mental. Sial, mengapa aku jadi melodrama seperti ini?
Pagi ini aku menangisi mimpi yang aneh itu? Apa yang salah dengan pikiranku? Di pagi hari ketika surya bersinar terik di ufuk barat, aku berdiri di balkon kamar, tertegun dengan pandangan datar dan air mata bercucuran. Hanya karena mimpi.
"What the hell is wrong with me?" Kuusap air mata di kedua pipiku. Tapi mimpi itu terasa begitu nyata. Terlalu nyata sebagai mimpi. Dan perasaan ini pun nyata.
Apakah akhirnya Helenina mati? Sepertinya ia punya penyakit yang cukup parah. Biasanya aku menemukan cerita seperti ini di novel-novel. Pada akhirnya gadis berpenyakit itu pun mati tak terselamatkan.
Ponsel di sakuku berdering. Dari nama di display, kulihat nama Raka yang spontan membikin mataku membeliak. Buru-buru kuangkat panggilan tersebut setelah berdehem.
"Ya?" Aku menyambutnya dengan nada jutek.
"Kotak dessert Anda ada di rumah saya. Apakah Anda tidak lagi membutuhkannya?"
Haisshh... kotak itu kutemukan di lemari dapur ini. Mama banyak memberiku peringatan untuk tak menyentuh apalalagi menghilangkan barang-barang rumah ini. Sebab semuanya berarti baginya.
"Masih, masih butuh kok."
"Saya punya waktu sampai jam sembilan. Ambil kotak ini dan bawa pulang."
"Emangnya—"
Sambungan diputus. Brengsek, ia kira aku ini siapa, hah? Asal memanggil dan memutus hubungan begitu saja. Aku jadi kasihan dengan tunangannya. Apakah ia diperlakukan manis? Aku yakin tidak.
Naluriku sekali lagi berbisik menggoda. Aku disuruhnya segera mandi dan berdandan sebelum datang ke rumahnya. Sekitar satu jam aku berbenah. Mandi sampai menghabiskan busa sabun, memilah-milah pakaian yang kiranya menarik perhatian pria—namun tetap saja tak menemukan yang cocok selain pakaian-pakaian kasualku—, berdandan sebaik mungkin, dan memberi wewangian pada tubuhku. Aku hanya akan mengambil kotak dessert lalu pulang, mengapa seheboh ini seakan hendak mengunjungi Presiden? Siapa sangka pembantunya yang menyerahkan kotak itu sedangkan ia terlalu malas bertemu denganku?
Aku tak terlalu memikirkannya. Segera, aku berlari keluar rumah menuju rumah sebelah seperti kemarin. Pelayan muda lain yang belum pernah bertegur sapa denganku memintaku masuk ke dalam. Aku menunggu dengan duduk di ruang tamu dan mengedarkan perhatian menuju ke seantero tempat. Bagaimana dengan usia semuda ini, ia bisa membeli rumah megaluas dan mewah macam begini? Betul-betul hebat. Masih muda ia sudah dapat hidup mandiri dengan hasilnya sendiri.
Suara langkah kaki membuat kepalaku beralih menoleh ke satu arah. Tampaknya ia belum berniat bersiap-siap pergi ke kantor atau bedebahlah di mana ia kerja. Ia hanya memakai pakaian rumahan, tanpa stelan rapi. Di tangannya sudah terdapat kotak dessert dari dapur kakekku. Diletakkannya kotak itu di atas meja. Ekor mataku mengikuti gerakannya. Dari kotak dessert menuju ke arahnya.
"Udah, gitu aja?"
"Terima kasih," lanjutnya.
Aku terdiam hampir setengah menit. "Sama-sama." Menghela nafas panjang, aku meraih kotak tersebut dan berdiri seraya merapikan rokku. Hari ini aku mengenakan rok. Dan itu kali pertamanya aku mengenakan rok demi menarik perhatian seorang pria. "Oh, soal kemarin malam... aku nggak ada niat buat merhatiin kamu di kolam."
"Hm. Tidak apa."
Irit sekali bicaranya. Ini lebih sulit daripada yang kubayangkan. Biasanya kalau seorang pria memberi jawaban singkat pada wanita, itu artinya ia tak memiliki ketertarikan pada si wanita. Waktu aku berbalik badan, aku dengar ia berkata lagi,
"Saya tidak pernah merasakan dessert sesempurna buatan Anda."
Kubalikkan lagi badanku menghadap ke arahnya. "Emang tunangan kamu nggak pernah bikin dessert?" Aku tertawa pendek.
Dan ia menggeleng. Bagus! Setidaknya... ia menganggap aku adalah pembuat dessert paling sempurna. Satu poin di atas tunangannya. Lantaran ia tak lagi mengajakku bicara, aku pamit pulang. Jantungku lagi-lagi jumpalitan tak keruan. Ya Tuhan, jangan sampai ia dengar degupnya. Padahal baru berbicara sesantai ini dengannya, mengapa aku berdebaran?
"Lala."
Jantungku nyaris berhenti berdetak. Ia... memanggil namaku? Bukan hanya memanggil nama pendekku, ia bahkan memanggil nama kecil yang hanya digunakan Papa.
"Huh?" Aku berbalik lagi. Mulutku terbuka ingin bertanya mengapa ia memanggil nama kecil yang hanya digunakan Papa, namun ia menyela dengan mengatakan,
"Temani saya sarapan."
*
Saya lembur sampai jam tiga hanya menyelesaikan satu bab ini -_- Saya terbiasa tidak akan berhenti sampai menyelesaikan satu bab. Kalau berhenti di tengah cerita, feelnya bisa ilang dan idenya pun ikut ngacir wkwk
Tenang, cerita ini masih panjang. Masih puanjaaaaaaaaaaaaang. Ya mungkin dikarenakan satu buku diisi dua cerita yang masih berkesinambungan kali ya... hehehehe...
Yang pasti, kisah Helenina masih panjang, belum sampai pada puncak dan akhirnya. Demikian pula dengan Larasita (:
Silakan dengarkan lagu yang saya beri sebagai latarnya. Dan BTW, untuk bagian Laras dan Raka biasanya saya dengerin lagu-lagu Taylor Swift (kali ini Ours), Simple Plan, Muse, dan Avril. Dan saya juga sering dengerin Ludovico Einaudi sama JS Bach untuk bagian Helenina (yang biasanya saya beri di setiap chapter, itu lagunya Ludovico) dan juga Lindsey Stirling. Thanks for read ^-^
Author
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro