Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

᭝ּ໋᳝݊Wrath

Pada akhirnya yang bisa Mori lakukan adalah membiarkan Arina terlelap dalam jarak yang dekat dengannya dan membiarkan jari-jemari lentik Arina menyentuh beberapa jari-jemarinya.

Apakah tidak apa untuk menggenggamnya?

Waktu yang terus berjalan ke depan pun membangunkan sang mentari dari peradaban. Pagi datang dengan kehangatan. Membuat sang Mori Ougai terjaga dari lelapnya dengan rasa sakit yang teramat sangat di kepala seolah dilanda sebuah beban. Nyatanya butuh beberapa saat untuk Mori menyadari jika ia sempat bermain dengan malaikatnya semalaman.

Pun mengundang penderitaan dalam dada. Lara yang membuat Mori tersiksa. Karenanya ia tak menatap sedikit pun Arina yang masih terlelap bersama dengan mimpi indah. Lebih baik seperti itu daripada malaikatnya kembali melihat wajah yang telah dan akan mengingatkannya pada luka.

"Jika sudah terlanjur begini ... "Lenguhan tak nyaman membuat Mori teralihkan dari lamunan. Sial, Mori terpaksa melakukan hal yang dia takutkan. Seketika mendapati Arina yang rupanya terganggu dengan mentari yang menyilaukan.

Dengan cepat Mori menjadikan dirinya sendiri penghalang. Arina bebas dari kilauan panas mentari sekarang. Dapat Mori lihat wajah Arina yang terlelap dengan tenang. Rasanya menimbulkan rasa yang lebih dari senang.

Namun, tidak. Mana mungkin orang yang mencintainya mau menerima dia yang telah menorehkan luka cukup dalam dan lama? Bahkan tidak pantas bagi Mori untuk mendapatkan cinta yang dimiliki Arina untuknya yang benar-benar hanya untuknya.

Mori menutup tirai jendela dengan segera, sebelum Arina terbangun karena sinar mentari yang tak ia suka. "Seharusnya kau memiliki cukup waktu untuk pergi, selama aku tidak ada di sini," batinnya kemudian seraya melihat sosok Arina dari sedikit lirikan.

Pria itu masih berharap agar Arina cepat pergi. Namun, apakah penyesalan yang Mori rasa setiap kali kedatangan sosok Arina akan berakhir? Pun wanita berwajah lugu itu masih terlelap di ranjangnya sampai saat Mori selesai membersihkan diri.

Mori menggertakkan giginya sedikit. "Kenapa kau masih di sini ... ?" Tak habis pikir dengan rasa cinta yang Arina miliki. Pun ia berjalan mendekati, kemudian dengan tangan gemetar ia ingin sangat ingin menyentuh pipi Arina dengan tangannya tanpa berbalut sarung tangan putih. Mori ingin mengelusnya dengan tangannya sendiri walau sekali.

Dan baru saja tangan itu mendarat dengan perlahan dan sempurna. Sang bos Port Mafia mulai memberikan sentuhan hangat dengan lara yang kian bertambah dalam dada.

Tak lama lenguhan lain pun terdengar. Kelopak mata itu mulai terbuka secara perlahan. Memperlihatkan netra ungu yang anggun dari balik sana. Namun, netra itu segera membulat sempurna saking terkejutnya dengan suasana keadaan yang ada. Yang sama seperti semalam.

Kamar mewah, ranjang empuk, aroma khas sebuah parfum mahal, dan dirinya yang telanjang pun cukup menjelaskan pada Arina suasana seperti apa yang ada sekarang. Terlebih melihat bosnya yang sudah berbalut rapi dengan pakaian kebesarannya sebagai sosok bos Port Mafia. Wanita itu buru-buru menunduk dan siap kena marah. Mengingat dia bangun lebih siang daripada sang pemilik kamar.

Dan pemilik kehidupannya yang telah hancur tak karuan.

"M-maaf, Boss."

"Harus berapa kali kukatakan padamu panggil aku 'Mori' saja?"

Arina tersentak. "I-iya, M-mori-san." Ia terus gugup juga takut, karena ia tak bisa bangun. Dan sekarang perasaannya makin bercampur aduk kala baru merasakan tangan Mori menempel pada pipinya.

Kalau boleh, Arina ingin mengakui betapa hangatnya sentuhan tangan seorang Mori Ougai.

Sayangnya, Arina tahu kalau itu salah. Pun ia lanjut berkata, "T-tangan Anda ... " Arina tak mau menepisnya daripada ia salah.

"Ah, ya, hanya ingin mengambil pisau bedah ini." Alibi Mori yang cepat-cepat menyingkirkan tangannya dari Arina, kemudian mengambil pisau bedah yang berada tepat di sampingnya.

Oh, salahkan Arina yang terlalu berekspetasi tinggi setiap kali berhadapan dengan bos yang dia cinta sejak lama. Ia pikir ada yang spesial.

"S-souka. Maaf m-membuang waktu Anda hanya untuk menunggu saya bangun saat Anda ingin memberikan perintah," ucap Arina yang langsung menarik perhatian Mori, sementara Arina berusaha bangun secara perlahan dari posisi tidurnya saat ini, meski sedikit merintih.

Mori menghela napas, kemudian berdiri menghadap jendela yang masih tertutup tirai sambil mengikat dasinya. Ingat, dia masih enggan untuk tenggelam dalam netra ungu anggun Arina.

Apa benar dia salah? Sikap Mori membuat Arina bertanya-tanya.

" ... Biarlah. Aku ingin kau beristirahat saja di sini atau di kantorku. Itu terserah padamu. Janin yang kau kandung membutuhkan itu, setelah apa yang kita lakukan semalam sampai larut," ucap Mori kemudian yang baru selesai memasangkan dasi dan sedikit merapikan penampilan pakaiannya sebelum dia benar-benar pergi.

Arina terdiam sejenak. "A-anda tidak akan mengurung saya, 'kan, M-mori-san ... ?" Dia sedikit trauma dengan cara sang ayah dalam melindunginya.

Hening sempat melanda, sebelum akhirnya Mori mengutarakan keputusan, "Itu akan kulakukan jika kau melakukan pemberontakan. Paham?"

Hanya anggukan kaku dari Arina sebagai jawaban.

Setelah dirasa tak ada yang perlu disampaikan pun Mori melangkah menuju pintu dan membukanya.

"Mori-san," panggil Arina.

Seketika bukan marah yang Mori rasa, justru gejolak aneh bak aliran listrik di seluruh tubuh, ketika wanita itu tak gugup dalam memanggil namanya. Pun ia berbalik sebagai respon dari panggilan barusan.

Arina menunjukkan senyum tipis. "Terima kasih."

Kembali hening. Mori dengan ekspresi yang tak diketahui, sementara Arina tetap menyunggingkan senyum tipis yang manis nan cerah bak mentari.

" ... Pintunya tidak kukunci. Tapi, kau harus bersamaku jika ingin keluar dari sini." Setelahnya Mori benar-benar pergi dari balik pintu yang tertutup sempurna.

"Apakah kau akan menetap sisiku dengan segala noda yang kuberikan padamu?" Terlalu malu untuk berucap, Mori berharap Arina menetap.

"Baik ... Mori-san," lirih Arina, kemudian memegangi perutnya sedaya tersenyum. "Aku harap akan ada sedikit cinta yang Mori-san berikan padamu ... " katanya dengan bulir-bulir bening yang muncul begitu cepat dari matanya. " ... Dan aku harap aku bisa menjadi ibumu," tambahnya seraya memendam wajah dalam selimut untuk meredam suara tangis yang mungkin dapat didengar oleh siapa saja yang ada di depan pintu itu.

Setelah dirasa kondisinya membaik, Arina memutuskan untuk membersihkan diri. Bahkan sudah tersedia pakaian untuknya dari Mori yang diantar oleh Ichiyou Higuchi tadi. Pun sarapan juga sudah tersedia saat Arina selesai mandi dan kini tengah mendandani diri.

Ketika Arina menghampiri sarapan tersebut, ternyata ada obat untuk penyakitnya di situ. Ia mengambilnya, kemudian mempertimbangkan apakah diminum atau tidak. Mengingat narkolepsi, yakni penyakit yang diidap cukup parah dan bisa kambuh kapan saja. Namun, di satu sisi ia mengandung dan tak mau membahayakan janinnya.

Tentu saja Arina menolak. Tapi, apakah tidak akan memperparah keadaannya jika tidak meminumnya?

"Akh-!" Tiba-tiba Arina merasakan nyeri yang teramat sangat di perutnya sampai-sampai merintih dan terduduk di lantai.

Tuhan, apa yang terjadi padanya? Padahal efek keras obat itu tak menyentuh janinnya.

" ... Tidak ada cara lain ... !" Arina bertekat untuk memeriksakan diri ke dokter lain daripada menimbulkan gaduh dengan Mori.

Namun, rupanya ini bukan cara yang terbaik. Arina tak menyangka jika narkolepsinya kambuh di saat seperti ini. Bahkan harus sesekali berhenti untuk bisa tetap terjaga, meski sebenarnya ia tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Dan di saat akan menyebrangi jalan pun narkolepsinya semakin menjadi. Arina tak kuat lagi. Rasanya ia akan jatuh tertidur di antara banyaknya orang asing. Bahkan mungkin akan tertabrak mobil, ketika Arina berjalan sempoyongan menyebrangi jalan yang sebenarnya masih dengan lampu hijau. Tanpa sadar ada mobil yang datang sambil membunyikan klaksonnya.

"Nona kembali ke mari!"

"Nona! Hati-hati ada mobil!"

Apa daya Arina terlanjur tergeletak di tanah, sebelum sempat kembali ke seberang.

"Awas, Nona!"

Beruntunglah ia tak mati tertabrak. Seseorang menyelamatkannya. Pun tidak ada yang terluka. Semua lega.

Namun, mengapa Arina berdarah?

Pintu mewah berbahan dasar kayu yang berkualitas itu seketika hancur hanya dengan sekali hantam dari seorang Mori Ougai. Bahkan menghantam pintu hingga hancur sebagian pun tak meredakan kemarahan sang bos Port Mafia, sebelum keberadaan Arina ditemukan.

"Cari jalang itu segera! Aku mau dia ditemukan hari ini juga!" seru Mori pada semua anggota Port Mafia, tak terkecuali eksekutif pun ikut serta.

Kouyou mengamati tindakan Mori yang makin gila. Entah apa yang ada di otak bosnya tentang Arina. " ... Apa yang akan kau lakukan pada dia yang kau sebut jalang, setelah kami menemukannya?" tanyanya dengan nada tegas.

"Aku akan membunuhnya," jawab Mori begitu saja tanpa pikir panjang.

"Kalau begitu aku tidak akan mencarinya." Segera setelah itu, Kouyou langsung meninggalkan tempat dan semua anggota Port Mafia yang menuruti perintah Mori daripada harus mati karenanya. "Dia sudah lelah dengan semua perilaku bejadmu, Mori-san," tambahnya. Kouyou hanya ingin menyelamatkan temannya.

"Mori-san."

"Terima kasih."

Mori menggertakkan gigi. "Tetap cari dia!" Pria itu bersikeras sekali, hingga panggilan masuk membuatnya teralih. "Jawab." Nada, aura, tatapan, semua yang ada pada Mori pun terasa dingin.

"Lapor. Ichiyou Higuchi desu. Saya menemukan lokasi Arina-san, Boss. Dia di rumah sakit pusat Yokohama."

" ... Apa yang terjadi padanya?"

"K-keguguran, B-boss ... "

To Be Continued
Story By LadyIruma

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro