Chapter 3
Bab 3. Kembali ke masa kini alias Javin-Miki versi asem. Silakan endus masalah-masalah yang akan datang. Javin atau Tris nih? 👀
---
"I'm really sorry, but I have to go. Lo nggak apa-apa pulang sendiri, Mik?"
Aku mengangguk, mengacungkan ibu jari untuk lebih meyakinkan Tris. "Ada taksi lagian, santai aja. Dari sini dekat kok."
Kunjungan kami ke chocolate shop tak bisa bertahan lama, karena setelahnya Tris mendapat telepon, katanya ada masalah di tempat kerja. Barulah aku tahu Tris ternyata bekerja sebagai tech ops manager di sebuah perusahaan asuransi.
"Lo tinggal di mana memang?" tanya Tris lagi.
"Orchard, Manhattan. Just a few streets away. Merayap juga nyampe lah, gampang."
"Oh, dekat dong? Gue antar aja kali, ya."
Buru-buru aku menggeleng. "Lo kan buru-buru. Udah, pergi aja. Gue jadi nggak enak, Tris. You've done so much for me, and I'm not paying you enough."
Kalimatku bukan sepenuhnya kebohongan. Sedari tadi, aku merasa sudah menumpuk utang. Namun, aku juga tak yakin membiarkan seseorang tahu kediamanku di pertemuan pertama kami merupakan tindakan yang bagus. Bukannya mau menuduh, hanya saja ... you know. Jaga-jaga.
"Humor me then," ujar Tris kemudian. Bibirnya melengkung jenaka, seakan mencoba menggodaku. "I've said this before, but I will say it again. I like you, Miki. You're a good companion. Kalau lo nggak masalah, gue pengin kita bisa jalan lagi. Berdua aja, nggak perlu pakai rombongan. Ujungnya mencar juga kayak anak SD."
Entah kenapa, aku terpancing untuk tertawa karena kalimat terakhirnya. "I don't think anak SD bakal ikut group date sih."
"C'mon. Anak SD juga cuman dikasih pinjam pensil aja tiba-tiba udah ngaku pacaran."
"Pas SD lo gitu?"
Tris menyengir. Ternyata cengirannya terbilang unik, berbentuk menyerupai persegi, memberi kesan ramah alih-alih aneh. Aku cukup menyukainya.
Kurasa bertukar nomor telepon tidak akan merugikanku. Malah mungkin menguntungkan. Akhirnya aku mengangguk, merogoh tas kecilku untuk mengeluarkan ponsel. Kami bertukar nomor WhatsApp dan email saat itu juga.
"I'll call you later," ujar Tris. Aku mengiakan dengan anggukan saja. "Gue duluan kalau gitu, ya."
"Drive safely, Tristian."
"Trust me, I'm the safest driver you will ever known." Dia mengerling. "I'll show you that on our next date."
Ketika Tris berputar dan berjalan ke arah klub jazz yang kami datangi sebelumnya—dia bilang mobilnya diparkir di sana—aku tak bisa berhenti berpikir bahwa ini bukan sekadar jalan-jalan biasa. Aku hampir melupakan fakta bahwa ini termasuk kencan. Berarti, beberapa menit lalu aku baru saja mengiakan ajakan seseorang untuk mengajakku berkencan, bukan? Dan aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi. Semuanya penuh keputusanku.
Not that I hate the idea, though. Hanya, aku merasa perlu merenung, mengingat-ingat pengalaman kencanku sebelumnya.
Zonk. Zero. Nada.
Kusingkirkan pemikiran itu lebih dulu, kembali memasukkan ponselku, dan bersiap untuk pulang. Aku bisa saja menunggu di sini, menunggu taksi lewat. Akan tetapi, diam di sini berarti membuang waktu lebih banyak dengan Javin.
In case you've been wondering ... yes, he's still here. Setelah obrolan pendek di dalam toko, Javin permisi keluar. Kukira dia akan langsung pergi, karena dia juga suda menjinjing paperbag berisi cokelat pesanannya.
Meski aku sudah berusaha untuk mengabaikan, aku sepenuhnya sadar Javin masih belum pergi. Sejak tadi, dia terus berada di bawah tiang lampu jalan, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Atau mungkin betulan sibuk. Aku tidak peduli. Tris sempat melambai ke arahnya tadi untuk pamit, tapi tampaknya Javin terlalu fokus pada apa pun yang dia kerjakan, sehingga dia tidak merespons.
Well, it's just him being himself, I guess—the rude workaholic dude I had known. Fokus pada satu hal sampai mengabaikan hal lain. Akan lebih baik jika dia bisa mengabaikanku sekarang, dan aku bisa pulang tanpa perlu berkomunikasi dengannya. Untuk apa juga? Situasi kami sekarang berbeda dengan saat di kantor.
Harusnya juga dia tidak muncul tiba-tiba.
Sewaktu Tris mengenalkan kami, aku merasa ada beberapa hal janggal. Aku tidak mengenal Tris sebagai sepupu Javin. Kalau dia menghadiri pernikahan kami, seharusnya aku bisa ingat wajahnya—aku cukup bangga akan kemampuanku yang satu itu. Dan lagi, andai Tris tahu, seharusnya dia mengenaliku sebagai mantan istri Javin, bukan?
Javin pun tak menjelaskan apa-apa, kecuali bilang, "I know. Miki kerja di MBC juga."
So, we're a colleague now. Related by work. Yah, aku juga tak berharap dia tiba-tiba memperkenalkanku sebagai mantan istrinya tiba-tiba. Tapi ....
Lupakan saja. Bisa jadi gejolak emosi antah-berantah ini pertanda jadwal datang bulanku yang makin dekat. Aku melewatkannya dua bulan lalu. Not that I have to be panicked. It happens quite often this year. Aku sempat baca lewat internet, tekanan batin dan stres mempengaruhi. Kenyataannya, bekerja di bawah orang seperti Javin Sadhendra tidak membuat kantorku berubah seperti wahana bermain.
"Mau pulang?"
Tidak perlu menoleh untuk tahu suara siapa itu. Sialnya, aku benci karena mengenali suara tersebut ketika seharusnya aku tak merasa familier.
Aku hanya mengangguk, menekan ocehan yang ingin kukeluarkan. Lagi pula, menurutnya apa yang kulakukan di sini? Menunggunya? Menemaninya?
"Biar aku antar," tutur Javin lagi, kali ini melangkah mendekat. "Mobilku ada di—"
"Thanks, but no thanks," potongku cepat. Aku tersenyum cepat, kemudian membiarkan ekspresi datar lagi, sebelum kembali memandangi jalanan.
"Udah malam, Mik."
"Tahu kok. Makanya yang ada di atas bulan, bukan matahari."
Dia kemudian menggeram. Caraku merespons jelas mengusiknya. Dan aku menyukai itu.
"Can you just be nice to me?"
Pertanyaannya kali ini membuatku mendelik. Kalau itu caranya mencuri perhatianku ... well, congratulation. Dia berhasil.
"Pardon?" Aku balik bertanya, bahkan tidak repot-repot menutupi keterusikan yang kentara dalam suaraku. Makin dia menyadarinya, makin bagus.
"Cara kamu bicara ke aku beda sama cara kamu ngobrol ke Tristian tadi," ujarnya menuntut, bahkan menuduh.
Mendadak umpatan demi umpatan berderet di kepalaku, minta dikeluarkan. Aku merapatkan bibir, mencoba menahan diri. Kata-kata kasar mungkin bisa menjadi wadah amarahku. Namun, itu juga akan merugikanku. My mental health will be damaged. Seharusnya aku diam saja sejak awal.
Oke. Sekarang, mari kita coba untuk membiarkan pria satu ini mengoceh sendiri.
"Are you two dating?"
"And how does that become your business?"
Shit, Miki! Bisa diam nggak sih?!
Kukatupkan rahang kuat-kuat. Salahku berpikir mengabaikan pria ini akan mudah. He definitely hate me succeed on that part.
"Dia sepupuku," dia kembali melanjutkan. "Sepupu jauh. Di pernikahan waktu itu dia memang nggak datang. Kami memang nggak terlalu dekat."
That kinda explained, I guess. Tapi, tetap saja, hal tersebut tak membuat komentarnya masuk akal.
"Terus kenapa?" tanyaku kesal. "Karena dia keluarga kamu gitu?"
"Just don't."
The hell he just said?
"Aku nggak tahu udah sejauh apa kalian. But since it seems both of you not really that close, it would be good to call it off as quickly as possible. Sebelum terlalu serius."
Dia bicara soal hubungan serius dengan siapa sih? Denganku?
Sungguh, aku sama sekali tidak mengerti pria ini. Aku masih bisa memahami kalau tawarannya mengantarku pulang termasuk basa-basi. Tapi, keputusanku untuk berkencan dengan siapa pun seharusnya bukan menjadi urusannya. Ucapan tersebut pun lebih terasa seperti perintah alih-alih saran. Heck, aku tidak membutuhkan sarannya sejak awal. Memangnya dia pikir dia siapa?
"Your audacity amazed me, Javin," ujarku sambil memaksakan diri terkekeh.
Perhatian Javin langsung tertuju padaku, dan dia mengernyit. Aku benci ini. Benci ketika dia menatapku begitu. Ada sorot kepedulian di sana, dan aku sama sekali tidak menginginkannya. Setelah bertahun-tahun aku memintanya peduli, kenapa baru sekarang? Di situasi seperti ini?
"Nggak usah pura-pura peduli," kataku sambil buang muka. Terlalu lama memperhatikannya kurang baik untuk ketenanganku.
"Aku bilang kayak gini buat kebaikan kamu."
"Kalau gitu nggak usah sok baik. Aku nggak butuh."
Untungnya, aku berhasil melihat taksi mendekat. Tak berniat menunggunya membalas, aku langsung menghentikan taksi, masuk ke dalam tanpa mengucapkan apa-apa lagi. That's enough of emotional turmoil for tonight.
Seperti apa dan siapa pasanganku, bukan urusan Javin lagi. Aku bebas menjalani hidupku sekarang, dan kupastikan dia tidak akan ikut andil di dalamnya. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro