Chapter 2.5: Before
Tema plesbek kali ini: Honeymoon trip in Maldives! 😋
Untuk versi honeymoon lengkap kap kapnya, bisa langsung cek catatan di bawah ya ;)
---
"Capek, ya?"
Kubaringkan punggung ke kasur, membalas pertanyaan Javin barusan dengan gumaman.
Dalam kurun waktu tiga hari sejak menikah, banyak fakta baru yang kuketahui. Pertama, acara pernikahan menghabiskan tenaga lebih banyak ketimbang perkiraanku. Jangankan malam pertama, bisa melepas gaun dan tidur di kasur saja sudah merupakan pencapaian besar, mengingat sisa tenaga kami pas-pasan.
Kedua, bulan madu bukan berarti bersenang-senang tanpa merasa susah sama sekali. I swear to God it takes more than that. Namun, semua usaha yang dikerahkan akan terasa memuaskan pada akhirnya. Setelah berdebat dengan keluarga mengenai durasi dan lokasi honeymoon kami, aku dan Javin akhirnya bisa mengasing selama satu minggu penuh di Kepulauan Maladewa—or it more known as Maldives.
Kinan, sepupuku, justru jadi orang paling heboh begitu aku cerita akan pergi ke sana. "Girl, your marriage is insane! Udah pesta gede gitu di CA, sekarang lo honeymoon di Maldives? Kentut duit kayaknya suami lo itu."
She ain't wrong though. Meski Javin terlihat tidak jauh berbeda dengan orang-orang lainnya semasa kuliah, aku baru tahu bahwa keluarga dari pihak ibunya, bisa dibilang kaum old money. Technically, he is too. Tapi, Javin selalu bilang dia ingin menikmati segala sesuatu menggunakan usahanya sendiri. Seperti, yah ... perjalanan kami sekarang.
Datang ke Maldives merupakan kesepakatan bersama, tentu saja. Hanya saja, javin sama sekali tidak bilang dia bukan sekadar menyewa villa, melainkan private villa. Untuk sampai ke sini saja perlu menggunakan speedboat. Dia malah menyengir sewaktu memberitahuku.
"It's once in a lifetime, you know. Nggak ada salahnya kan kita nikmatin semuanya bareng-bareng."
Aku tidak tahu tindakannya barusan perlu kuhadiahi dengan ciuman atau omelan. Well, mungkin keduanya.
"Mau keliling deh, lihat pantai di luar," ujar Javin lagi, lantas ikut berbaring di sampingku, kakinya jadi sedikit menggelantung di pinggir kasur karena mencoba menyejajarkan posisi kepala kami.
"Aku skip deh, besok aja," balasku.
"Bukannya ditagih Kinan buat foto-foto setelah nyampe?"
"That can wait. Masih ada hari esok."
Javin mengubah posisi tubuhnya miring menghadapku, sebelah tangan menyangga berat badannya, sementara tangannya yang lain merapikan helaian rambut di wajahku. "Mau diam di villa aja jadinya?"
"Di sini ada spa, kan?" Aku balik bertanya, dan langsung dia jawab dengan anggukan.
"Part of the package, yes."
"Hari ini ke spa atau sauna aja kalau gitu deh. Kamu gimana?"
"Terserah sih."
"Jawabannya apa banget deh, Jav."
"Biasanya juga kamu gitu kok, Mik."
"Nggak tuh." Aku mencebik, tapi tidak bertahan lama karena Javin sudah lebih dulu menunduk dan mempertemukan bibir kami. Bisa kurasakan dia tersenyum di atas bibirku. Senyumnya menulariku juga.
"Perlu lampu lalu linta kayaknya, ya. Biar nggak sembarang nyosor," godaku, pura-pura menyuruhnya mundur. Tentu saja dia tetap diam di tempat, bahkan menyeringai jail.
"But you like it, don't you?"
Kurapatkan bibir sesaat, memasang ekspresi serius. Hanya saja, usahaku gagal begitu dia berpindah ke atas dan mulai menggelitikiku. This man definetely knows my weak spots.
"Udah ah, Jav!" Aku menendangnya pelan, memintanya berhenti karena air mataku sudah keluar saking kegelian. Syukurnya, dia langsung menyingkir, merebahkan diri di sampingku, menarikku ke dalam rengkuhannya.
"Sebentar aja," katanya sembari menempelkan dagu di puncak kepalaku. Aku pun merapatkan posisi, balik melingkarkan lengan di pinggangnya. "Habis itu baru kita ganti baju, dan ... yah, do whatever we want to."
Ternyata mudah untuk jatuh cinta pada Maldives. Yang kubutuhkan hanya Javin Sadhendra dan pelukannya.
*
Baik aku maupun Javin sama sekali tak berencana tidur lebih dari satu jam, tapi itulah persisnya yang kami lakukan. Perlu kuakui kami memang memerlukan banyak istirahat setelah menempuh hampir 19 jam di pesawat. Belum lagi, butuh waktu untuk membiasakan diri dengan perbedaan jam di sini, yang notabene lebih cepat 10 jam dari New York. Kami berangkat dari sana. Begitu bangun, tahu-tahu langit sudah berganti warna jadi jingga keunguan.
Kami jelas benar-benar ketiduran, hampir tiga jam lebih lebih tepatnya.
Javin sempat bertanya apakah aku mau langsung makan malam atau tidak, tapi tubuhku lebih butuh penyegaran ketimbang makanan. Oleh karena itu, kami sepakat untuk pergi ke heat room alias sauna. Bahkan, di sini juga tersedia cold room. Kupikir ide untuk menyewa tempat yang susah diakses dari daratan itu hanya cari-cari perkara. Siapa sangka ini ternyata terlalu sederhana jika disebut "vila". Money talks, I guess.
Setelah bicara dengan wanita paruh baya yang merupakan salah satu petugas vila, kami pun diarahkan ke satu pondok kayu yang paling ujung. Rupanya tiap layanan yang diberikan memiliki tempatnya masing-masing, terpisah dari vila yang disewakan, meski seluruh bangunan di sini terhubung dengan jembatan kayu kecil di atas air. Selama menapaki jalur kayu itu, aku sama sekali tak bisa berhenti memandangi air di bawah. Warnanya biru bersih, sampai pasir di bawahnya terlihat jelas. Even Malibu can't be this clear.
Ada beberapa bilik sauna di dalam sini, dengan kapasitas 2-7 orang. Namun, begitu Javin bilang kami merupakan pasangan yang tengah bulan madu, sang petugas langsung tersenyum lebar, membawa kami ke ruangan kosong, biasa digunakan oleh pasangan biasanya. Kami juga dituntun untuk menanggalkan pakaian, menggantinya dengan handuk yang sudah disediakan.
"For your information, the wall is soundproof," ujar wanita tersebut sambil mengerling, dan Javin langsung mengacungkan ibu jarinya, seolah mereka tengah merencanakan sesuatu. Dia kemudian pamit setelah bilang akan datang kembali jika kami membutuhkan hal lain.
"Ngapain tuh ngelihatin sampai sebegitunya?" Javin mencolek lenganku, sementara aku menyipit.
"Aneh-aneh aja."
"Lho, emang aku ngapain?"
Aku hanya bisa geleng-geleng saja, memilih masuk duluan. Seisi ruangan benar-benar disusun oleh kayu, dengan jendela kaca besar berhadapan langsung dengan area duduk. Javin lebih dulu mengatur suhu sauna, sebelum duduk. Aku pun menyusul, sengaja merapat ke dinding supaya bisa bersandar. Dalam beberapa menit, tubuhku mulai berkeringat. Sengaja kulonggarkan handuk, tapi kusadari bukan hanya kain saja yang membungkus tubuhku. Tatapan Javin juga.
"Ngapain tuh ngelihatin sampai sebegitunya?" Sengaja kuulang kalimat Javin sebelumnya, bermaksud meledeknya.
Alih-alih menjawab, Javin justru mendekat. "Nggak apa-apa."
"Terus ngapain mepet-mepet?"
"Emang nggak boleh?"
Aku memutar bola mata malas, tapi membiarkannya. I kinda do the same thing too, to be honest. Jika aku melilitkan handuk sampai di atas dada, Javin benar-benar memampangkan area torsonya tanpa sehelai benang pun. Sejak dulu, aku tahu Javin cukup rutin berolahraga. Ini juga bukan pertama kali aku mendapat pemandangan otot-ototnya itu.
But somehow seeing him now, in this very exact moment, feels different.
Mataku menemukan mata Javin, dan untuk beberapa saat, kami berhenti bicara menggunakan mulut. Entah suhu di dalam ruangan ini makin panas, atau ada faktor pendukung lainnya, yang sama sekali tak melibatkan tekanan udara.
Javin lebih dulu menggeram pelan, lantas membungkukkan punggung, membuat posturnya jadi lebih santai. "Ayo ngobrol."
"Ada, ya, orang kalau ngobrol pake ngajak begitu," cibirku.
"Because if we don't start to talk, I will kiss you instead." Dia memiringkan kepala. "It's way too quick. Basa-basi dulu aja."
Sungguh, aku tak yakin harus tertawa atau geleng-geleng. Meski sudah menikah, aku masih perlu membiasakan diri dengan sisi Javin yang satu ini. Blak-blakan? Terlalu to the point? Aku sendiri bingung harus menyebutnya bagaimana. But in a way, it makes me laugh.
"Oke," aku mengiakan. "Dare or dare."
Alis Javin sempat terangkat, tapi setelahnya dia mengangguk. "Asal nggak disuruh keluar naked aja sih. I prefer to have you as my only spectator."
"Thank God for that, then."
Dia langsung cekikikan. "Ya udah, mau ngasih dare apa?"
Karena aku tidak berniat memberi sesuatu yang berat atau terkesan aneh, butuh beberapa saat untuk menentukan. "I dare you to not throwing your clothes carelessly. Ada yang namanya keranjang baju, tahu."
"Kapan aku buang baju sembarang?"
"Oh, now you ask." Aku berdecak. "Sering banget ya pas di apartemen dulu kamu asal aja lepasin kaos. Adalah di sofa, di kursi, di lantai."
"Kursi tuh tempat naruh baju paling praktis lho, Mik. Kalau perlu tinggal ambil."
"Itu namanya berantakan. Kalau masih ada yang mau dipake, gantung apa gitu kek."
Javin tampak masih mau protes, tapi akhirnya mengalah. "Iya deh. Nanti kucoba," balas. "Now, my turn."
Aku agak waswas, karena agaknya dare pertamaku tadi memancingnya untuk lebih kompetitif. Javin sebenarnya termasuk tipikal yang laid-back. Namun untuk beberapa hal—mungkin egonya juga—dia bisa jadi tidak mau kalah.
"I dare you nanti kalau makan pizza ada saos nanasnya."
Spontan aku meringis. "That stuff is disgusting, you know."
"Baru juga nyobain sekali."
"Itu makanya aku nggak mau nyoba lagi. Kamu kok bisa-bisanya suka gitu? Nanas tuh buah, nggak usah pakai acara dikasih nanas segala."
"Technically, itu saos doang, Ibu Mikaela Sadhendra."
"Masih tetap dibuat dari nanas ya, Bapak Javin Sadhendra."
Keseriusanku untuk mendebat mengapa saos nanas merupakan penemuan paling buruk di dunia seketika luntur begitu Javin tiba-tiba tertawa. Dia bergeser mendekat, kemudian mengecup pipiku—dia biasa melakukan hal itu ketika aku terlalu serius, lalu menggodaku dengan, "Serius banget, Neng."
Suami siapa sih ini? Rada-rada memang.
"I know you don't like it, I'm just joking," katanya sambil memiringkan kepala. "Aku ganti dare kalau gitu."
"Udah kayak apaan tuh, bisa diretur," cibirku.
"I'm sure you'll do it. I try to play it easy here."
"Oh, ya? Apa tuh?"
"I dare you to kiss me."
Terlepas dari suasana kami yang diwarnai candaan beberapa detik lagi, bisa kurasakan ada keseriusan dalam ucapannya. Bohong jika aku bilang tidak terkejut. Well, sedikit. Tapi, aku juga bisa menduganya.
"That sounds like a challenge," balasku. Melihat bagaimana Javin menjilat bibir bagian bawahnya, aku spontan merapatkan bibir.
It's not like we haven't kissed each other before. We did it too much to be counted. Hanya saja, situasi kami sekarang berbeda. Persisnya apa, aku sendiri tak bisa menjelaskannya. Tatapan kami saling mengunci, dan kubiarkan Javin mencondongkan tubuh, menungguku mengambil langkah terakhir untuk sepenuhnya mengikis jarak kami.
"Are you down for that?"
I'm down for anything at this point.
Aku yakin Javin sama sekali tidak menginginkan jawabanku, karena dia langsung menerima ciumanku, bahkan menangkup rahangku, lantas memperdalam pertemuan mulut kami. Tubuhnya makin merapat ke arahku, hingga aku perlu mengalungkan lengan ke lehernya.
Our kisses last for minutes, but somehow it feels like we've been kissing for hours, panting.
Jika aku tak menepuk dadanya, memberi aba-aba supaya bisa mengisi ulang udara ke dalam sistem pernapasan masing-masing, agaknya Javin tak akan berhenti. Ada kelegaan berikut kekosongan terasa begitu dia menarik diri, tapi membiarkan dahi kami menempel. Sesaat, hanya terdengar kerakusan dua orang menghirup napas dalam-dalam.
"Mau balik aja?"
Javin harusnya tak perlu bertanya. Dia pasti tahu aku akan mengangguk. []
---
Catatan Arata:
Extended part chapter 2.5 available.
Jadi, ada versi yang lebih panjang dari bab ini (also, it's way more ... steamy?) yang bisa kalian baca di Karyakarsa.
Apa wajib? Kasarnya nggak juga. Tapi emang ada beberapa detail di sana. In case mau sekalian nyari konten manis pedas asam asin, you might want to read the extended part. Caranya?
1. Buka aja karyakarsa.com dan cari aratakim (atau klik link di bio aku aja, nanti pilih opsi yang karyakarsa).
2. Klik di bagian karya, nanti ada Chapter 2.5 Extended. Tinggal klik aja.
3. Nanti bakal muncul kayak screenshot di bawah. Langsung ikutin aja arahannya. Emang bakal diarahin bikin akun baru. Bisa pake google aja. Jumlah kata di sana 2x lebih banyak daripada ini. And yes, there is some steamy something haha 🔞👀
Kalau butuh bantuan, bisa tanya di komen aja~
Nggak semua bab bakal gini kok. Hanya beberapa aja yang emang lumayan banyak jumlah katanya.
Bab 3 balik lagi ke masa berantem. See you soon. 👀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro