Chapter 1.5: Before
Kayak yang aku sampaikan di catatan prolog, cerita ini bakal diselipin juga sama momen-momen sebelum Javin dan Miki cerai. Biar gampang ngebedainnya, aku buat jadi bab desimal (lah) buat yang nyeritain masa lalu mereka. Biar kita kupas sama-sama, setajam ... apa? 😜
Apa bab ini berarti nggak penting? Of course it is. Nanti kelihatan bedanya yang dulu bucin sama yang sekarang. Also, for advanced notice, aku bakal mulai nyoba nerapin sistem baca dulu/extended part lewat Karyakarsa di cerita ini. Buat lebih jelasnya nanti. For now, enjoy your reads! ;)
-----
-----
Aku tidak pernah tahu jika akan banyak hal yang perlu dipikirkan untuk sebuah pernikahan.
Seolah acara, biaya, dan perintilan lainnya belum cukup memusingkan, kepalaku dihantam lagi dengan berbagai aturan dan pantangan.
"Pamali kalau pengantin ketemu kalau bukan di altar." Begitu kata Oma. Beberapa rencana pun terancam berubah, terlebih karena sebelum pemberkatan nikah, fotografer dari WO menyarankan kami untuk berfoto lebih dulu, berhubung riasan kami baru selesai. Ternyata, Javin membantah dan bilang tidak perlu ada perubahan apa pun.
"We live in modern society, for God sake. Fuck it."
Okay, except the "fuck" part. Bisa-bisa restu kami langsung ditarik kalau dia betulan bicara begitu.
Meski akhirnya sesi foto tidak dibatalkan, aku dan Javin tetap belum diperbolehkan bertemu langsung selama beberapa hari menjelang pernikahan. Komunikasi tentu tidak putus, terlebih pihak WO juga banyak menghubungi untuk memastikan beberapa hal. Tapi agaknya, Javin kurang puas dengan hal itu.
Tepat ketika sesi foto selesai, dia langsung membawaku pergi, mengasingkan diri ke ruangan kosong di lantai dua untuk barang-barang. Aku masih takjub bagaimana aku bisa menyamai langkahnya sambil menggulung gaun panjang dan berlari menggunakan high heels.
Or maybe he was the one who matched my pace.
Javin langsung menutup pintu, lantas bersandar di baliknya sambil menghela napas. Tak lama, cengiran tengilnya muncul. "We did it."
"Gila emang kamu." Aku menggeleng, tapi tidak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum. Hal serupa berlaku juga padaku. We're both together in this.
"Kayak gini namanya kawin lari nggak sih?" tanya Javin sembari mendekat, kemudian merapikan wedding veil di kepalaku.
"Tanggung kalau mau ngajak aku kawin lari tapi cuman beda satu lantai dari tempat acaranya," balasku.
Kami bertatapan beberapa saat sebelum berbagi tawa. Aku tahu ini kedengaran menggelikan, tapi absennya wajah Javin selama seminggu ternyata memicu lebih banyak kerinduan daripada dugaanku. Dia menegakkan punggung, menggenggam kedua tanganku, seolah-olah bisa membaca isi pikiranku dan berusaha menyampaikan bahwa dia pun merasakan hal yang sama.
"We're really gonna do this, aren't we?" tanyanya, dan aku mengangguk.
This is too good to be true, yet this is it. This is us. Rasanya, baru pekan lalu kami bertemu di UC Berkeley, dan baru kemarin Javin memintaku menjadi kekasihnya. Perlu kuakui, aku benar-benar menyukainya. Namun, sama sekali tak terpikirkan olehku nantinya kakak tingkatku sendiri akan menjadi calon suamiku.
Soon the be my real husband.
Beberapa orang—bahkan Mama—bertanya apakah keputusan ini terlalu cepat. Aku dan Javin berpacaran setelah dua bulan saling mengenal. Tak lama setelah lulus, kami bertunangan. Dan sekarang, kami benar-benar akan menikah kurang dari tiga jam lagi.
Honestly, I once thought about it too. Maybe we need more time. Maybe I haven't known him that well. There's a lot of "maybe" in my head.
Aku pernah bercerita juga pada Javin, dan jawabannya jugalah yang meyakinkanku.
"Nggak akan ada habisnya kalau kita mau nunggu saling kenal satu sama lain, Mik. Tiap hari, pasti ada aja sisi baru dari kamu yang bakal aku temuin, vice versa. Aku minta kamu jadi istriku bukan karena aku merasa udah mengenal kami sepenuhnya. Justru sebaliknya, karena aku pengin mengenal kamu lebih baik, dan aku siap ngasih seumur hidup aku untuk itu."
He had never been a sweet talker before. Kata-kata mungkin bukan keahlian kami berdua. Namun, ucapannya kala itu lebih dari sekadar manis, dan itu lebih dari cukup untuk membuatku yakin bahwa keputusan ini tepat. Menghabiskan waktuku bersama seorang Javin Sadhendra merupakan hal terbaik yang bisa kulakukan.
This day will be the best day of my life—our life.
Selama beberapa saat, tidak satu pun dari kami bicara. Hanya mata bertemu mata, senyum berbalas senyum, dan genggaman hangat yang kami bagi berdua.
"Aku mimpi kayaknya deh." Dia bersuara lebih dulu.
"Mimpi apa?"
"Nikah sama kamu."
Sengaja kunaikkan alis untuk mengejeknya. "Bangun makanya, jangan tidur mulu."
Dia ikut memasang ekspresi berpikir keras—dipastikan acting sih—kemudian menggeleng. "Nggak deh. Enakan tidur."
"Yakin?"
"Hundred percent." Javin langsung mengangguk, tapi tak lama senyum nakalnya muncul. "Apalagi kalau tidurnya ada teman sekarang. Nggak perlu pusing kalau ketahuan orang."
"And what is that supposed to mean, Mr. Sadhendra?" Aku sengaja pura-pura memasang ekspresi judgemental, sementara dia menarikku pelan, hingga jarak di antara kami pun menipis. Jika dia menarikku sekali lagi, dipastikan bukan hanya pucuk hidung kami saja yang bersentuhan.
"They say action always better than words, right?"
Aku menggeleng sambil menyipit. "Don't you dare. Belum sa—"
Bibirnya sudah langsung menutup bibirku dengan ciuman. Tak ada unsur sensual sama sekali dari kontak cepat itu, tapi ketika salah satu sudut bibirnya melengkung lebih tinggi, aku merasa sesuatu dalam diriku terpancing.
"I can guarantee you, it will be more than just a kiss tonight." Dia mengerling jail sebelum mengusap puncak kepalaku.
Mau marah pun percuma. Well, aku sama sekali tak bisa melakukannya. Karena sekarang, satu-satunya emosi yang kurasakan hanyalah penantian. We both do. Bukan hanya dia yang menunggu pernikahan ini.
Aku jadi ikut menyengir. "Kalau gitu jangan capek duluan di acara hari ini, ya, Pak Javin Sadhendra."
Dia langsung mengangguk. "Nggak bakal capek kok, Ibu Mikaela Sadhendra. Calon suaminya udah nabung banyak tenaga dari tahun-tahun lalu." []
---
Enak apdet terjadwal atau go with the flow aja nih? 👀
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro