Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

Heyo!
Setelah komentar kalian di bab sebelumnya, dialog yang bahasa Inggris bakal aku tetap tulis pake bahasa Inggris. Misal ada yang bingung, bisa tanya aja di komen. Teman-teman yang lain juga bisa bantu jawab, ya.

Tapi tenang aja. Karena di sini fokusnya ada di interaksi Miki sama Javin, jadi masih bakal dominan dialog indonya. Hopefully 😜

Enjoy the ride! 💜

---

---

Berita bisa diibaratkan koin: punya dua sisi.

Aku bukan bicara soal pro dan kontra, melainkan efek yang dihasilkan. Bagi sebagian orang, berita mungkin membahagiakan, sekalipun bukan kabar baik. Jauh di dalam hati, ada rasa syukur muncul, berbisik, "Thank God it wasn't me." Namun, kadang ada bagian dari otak yang berpikir, "Shit, kayak gini bisa kejadian juga di gue, kan?"

Bagi jurnalis, perasaan tersebut dirasakan bersamaan. Paling tidak, itulah yang kurasakan sekarang. Kabar baiknya, aku berhasil menghubungi narasumber untuk diwawancarai pagi ini. Namun, selama perjalanan menggunakan MTA dari apartemenku di Orchard Street, Manhattan, menuju kantor redaksi di New York, aku tidak bisa berhenti menebak-nebak informasi seperti apakah yang akan kudapatkan. 

Pasalnya, berita ini berisi tentang percobaan pembunuhan mantan kandidat senator periode lalu, dan perkembangan kasus mengharuskan adanya fakta kurang mengenakkan yang terbuka. Berdasarkan spekulasi masyarakat, ada kemungkinan pelaku merupakan orang terdekat dari korban.

Not really a good news, isn't it?

Dan memikirkan hal ini dengan perut kosong ternyata membuatnya terasa lebih buruk.

Karenanya, sebelum benar-benar ke kantor, aku pergi dulu ke food truck di 9th Ave dan memesan taco. Perlu kuakui, setelah kembali ke Indonesia akhir tahun lalu, perutku kembali pada kebiasaan semula—nasi. But I'll take whatever I can get. Mana mungkin memilih makanan berat sementara 15 menit lagi aku sudah harus absen. Berhubung sekarang Senin, ada rapat mingguan. Terlambat merupakan pilihan buruk. Trust me, I learned it the hard way.

Usai menghabiskan sarapanku, aku berlari menuju ke gedung pencakar langit bertuliskan Miller Broadcast Company. Derek, resepsionis di gedung tersebut, tersenyum. Aku balik tersenyum sebelum berlari ke arah lift.

Jangan telat. Jangan sampai ketemu dia. Jangan sampai hari ini digodain lagi ....

Pernah dengar kalau jawaban doa itu ada tiga? Kurasa aku tahu jawaban dari harapanku. Aku jelas ditolak, terlebih ketika pintu lift terbuka, dan hanya satu orang di dalam sana. Bukan sembarang orang.

Senior journalist sekaligus team leader-ku. Orang yang sejak tadi ingin kuhindari.

"Baru datang?" tanya Javin alih-alih menyapa. Not that I expect him to, though. Aku hanya bergumam mengiakan, sama sekali tidak menoleh ke arahnya, seakan-akan aku tengah bicara dengan pintu lift di depanku.

I'll choose that instead, honestly.

Walaupun sudah berusaha untuk tidak memperhatikannya, seluruh pori-poriku sadar ada perhatian ekstra untukku.

"Di mulut kamu," katanya. Langsung kularikan tangan menyeka mulut. Mungkin ada sisa saus taco di sana. "Bukan di situ."

Ketika dia mencondongkan tubuh, aku langsung mundur ke pojok belakang, membelalak. Jangan tanya kenapa reaksiku begini. Dia saja tiba-tiba bergerak begitu, justru menatapku seolah akulah yang aneh.

Mulut Javin terbuka, tapi dentingan lift menyela. Buru-buru kutegakkan punggungku sebelum pintu terbuka, dan beberapa orang masuk ke dalam. Beruntung posisi kami jadi berjauhan sekarang, dia berada di dekat tombol lift, sementara aku di pojok belakang. Kugunakan ujung lengan baju untuk menyeka kedua sudut bibirku, mengeluarkan ponsel untuk bercermin.

Sudah.

Padahal dia tinggal nyuruh gue bercermin doang elah. Ribet banget!

Omelan-omelan tersebut kutekan kembali. Kemampuan berpikirku lebih baik digunakan untuk hal penting lain. Percuma juga jika sudah tahu Javin ... yah, tetap menjadi Javin. Selama beberapa bulan sejak bekerja di MBC, satu-satunya opsi tersedia hanyalah membiasakan diri.

Yeah, it better this way. Andai dia bisa dihilangkan dari sini, pasti akan jauh jauh jauh lebih baik. But I won't push my luck, since I never excel in that part. Akan kuambil apa yang dunia tawarkan. Akan kumanfaat apa pun.

Semua ini soal menerima, kan? Sesulit apa pun, aku perlu melakukannya demi bertahan. Karena aku sudah bersumpah, aku kemari supaya bisa mengubah hidupku—duniaku. Bahkan ketika dunia akan menjadi musuh terbesarku.

Love won't stop me. Not now, not anymore.

*

Aku tidak percaya pada Monday Blues, tapi aku sepenuhnya yakin pada Monday Sickness.

Aneh, ya?

I don't want to take things for granted. Jadi, bekerja di hari Senin tidak akan kukeluhkan. Sayangnya, aku juga tidak bisa menikmati hari-hari kerjaku begitu saja, terutama hari Senin. Karena tiap hari itu, satu tim akan berkumpul di ruang rapat untuk membahas progres serta rencana selama satu minggu ke depan—atau rencana dalam jangka waktu lebih lama.

Oh, bukan rapatnya yang kupermasalahkan, tapi pemimpin rapat.

Orang-orang pasti sudah familier dan tahu apa itu jurnalis. Namun, pekerjaan itu sendiri jauh dari kata sederhana. Tetap ada tingkat dan deskripsi tugas masing-masing. Untuk seorang jurnalis senior MBC, tugas utamanya adalah memastikan jurnalis di bawahnya melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Sederhananya, posisi itu adalah pemimpin. Dan posisi itu diisi Javin Sadhendra.

If I knew this years ago, I probably would be so proud of him. Now he is nothing but a pain in the ass.

Selama kurang lebih lima bulan berada di sini, aku lumayan menangkap bagaimana Javin melaksanakan rapat. Tanpa basa-basi, langsung melapor, selesai. Tentu diikuti catatan tambahan: kalau beritanya sudah sesuai.

Berdasarkan cerita Becca yang sudah bekerja di bawah Javin selama satu tahun, rating MBC menaik semenjak dia mengisi posisi senior journalist. Kepercayaan masyarakat terhadap redaksi juga meningkat pesat. Sebuah pencapaian, mengingat Javin sendiri bukan asli orang Amerika. Sudah rahasia umum bagaimana kerasnya dunia jurnalisme—dan bidang lain juga, sebenarnya—kepada orang kulit berwarna. Racism is real, yet we don't have much option other than trying hard to survive.

Begitu semua berkumpul dan hadir menempati posisi masing-masing di meja persegi panjang besar dalam ruang rapat, Satu per satu jurnalis tim mulai menyampaikan berita yang sudah dan akan dibuat. Beberapa dikomentari Javin seadanya selagi dia berdiri, dan ada yang hanya menerima anggukan kecil. Masih ada dua jurnalis lagi sebelum giliranku. Seharusnya aku bisa tutup mulut. Bukan bagianku untuk bicara. Namun, aku benar-benar gatal sewaktu mendengar komentar Javin.

"People don't read this kind of nonsense."

Hampir semua orang langsung melempar pandangannya ke arah Danika, perempuan berambut pirang yang baru saja bergabung minggu lalu. Berarti, ini rapat pertamanya. Bisa jadi itu juga ide berita pertamanya. Dan komentar Javin justru ... itu?

Dickhead.

Danika tampak gugup, menunduk dalam sementara kedua lengannya mengepal di atas paha. Aku bisa melihatnya cukup jelas karena kami berada di sisi meja yang sama. "Sir, but—"

"There is other platform that serve conspiracies and such, and it won't be me and my team," potong Javin lagi. Dia langsung menggeleng, lantas menoleh pada jurnalis berikutnya di samping Danika.

Berita yang Danika sampaikan sebenarnya cukup menarik. Baru-baru ini, ada sebuah kanal Youtube yang menyebarkan video kekerasan. Video tersebut tidak bertahan lama, tapi pengguna internet jauh lebih cepat mempreservasi konten tersebut. Sejauh ini, belum diketahui siapa pengunggah video itu, sehingga muncul berbagai asumsi. Well, harus kuakui Javin tidak salah. Hanya saja, aku tidak setuju jika dia bilang hal tersebut tidak cocok dijadikan berita. Danika tinggal diarahkan.

He even called it "nonsense", for God sake.

Sebelum ada yang bicara, aku lebih dulu menyeletuk, "It's a good idea, in my opinion."

Alis Javin terangkat sebelah ketika melempar pandangannya ke arahku. "How's so?"

Aku menggigit lidah, sedikit gemas karena ocehan-ocehan dalam kepalaku berbentuk bahasa Indonesia. Javin pasti mengerti. Masalahnya, forum ini bukan hanya dihadiri dia. "Danika brought the latest topic from the internet, and I believe some people want to know about that too. Rather than letting those conspiracies forum add more lies to it, we can search for some facts about that case. Police are working on that too."

Javin memiringkan tubuhnya ke kanan, meletakkan telapak tangannya ke meja sebagai penyangga. "I don't think Danika suggested that before."

"She needs direction, Sir." Sengaja kutekankan kata terakhir sambil tersenyum. Aku sadar tindakanku barusan sukses mendapat perhatian dari rekan-rekanku. Kulihat Becca dan Nisa sampai geleng-geleng di tempat.

Ini bukan sesuatu yang perlu kulakukan. Ya, aku tahu. Tapi, aku tidak bisa tinggal diam. Khususnya jika itu berurusan dengan dia.

Javin tiba-tiba tersenyum, dan meski tak ada satu pun yang bersuara, aku cukup yakin lengkungan bibir itu mengagetkan banyak orang. Bahkan aku. Sudah lama sekali sejak terakhir kali melihat senyumannya. God knows I tried so hard to not really think about it, and I miserably failed.

"Well then, Mrs. Devada ...." Dia kembali bersuara, masih dengan senyuman seperti sebelumnya. Namun, aku tahu dari gerakan alisnya, ada hal buruk yang akan menungguku. "I believe I can trust you to help her. She will be in your guidance from now on."

Lihat, kan? Dugaanku benar! Tapi, aku tidak bisa berbangga akan pencapaian tersebut. Beban kerjaku bertambah.

"Danika." Perhatian Javin teralih kepada si gadis pirang itu lagi. "Give your report to Mrs. Devada first before you present it here. She will help you write it. You can start from today."

Setan emang!

Berbagai umpatan sudah siap meluncur keluar dari mulutku. Aku hampir tergoda untuk menyampaikannya lantang. Namun, aku mengangguk. Sumpah serapah tak akan banyak membantu, dan akan lebih parah jika Javin berkomentar lagi. Entah apa lagi yang akan dia katakan setelah ini.

"Sure," akhirnya aku membalas demikian. "I'll do it. I know she can do better."

Gadis itu lantas menoleh ke arahku, tersenyum sungkan. Mau protes pun, aku jadi ikut sungkan. Meski aku tidak ingin usahanya berhenti di sini saja, pada saat bersamaan aku sadar mengurus pekerjaan orang lain mengharuskan workflow-ku ikut berubah.

Javin mengangguk puas, kembali menegakkan punggung, lalu menyuruh jurnalis berikutnya melapor. Aku tidak lagi menyimak. Kugunakan beberapa menit untuk mengatur napas, meredakan gejolak emosi dalam diri akibat pria ini.

Aku benar-benar takjub bagaimana aku head over heels pada pria seperti ini dulu. Makin dipikirkan, aku mulai merasa seberapa bodoh keputusan tersebut.

Cinta itu benar-benar membutakan, ya? Atau sebenarnya ... aku yang buta?

*

Usai rapat, aku harus keluar untuk bertemu narasumber demi informasi tambahan, kemudian balik lagi ke kantor. Perjalanan dari Lincoln Harbor Park tidak terlalu jauh, tapi dikarenakan adanya panggung musik dari para mahasiswa di sana, situasi jadi lumayan padat. Aku baru kembali sekitar pukul dua siang, sengaja menunda. Pulang tepat pada saat matahari ada di atas kepala jelas keputusan yang salah. Sinar matahari lebih dari ampuh untuk memanaskan kepala orang yang aslinya sudah panas.

Especially for New Yorker.

Danika sempat menemuiku, dan kami berdiskusi sebentar. Kurasa pilihanku tepat, karena gadis itu ternyata rajin dan tekun. Laporannya jauh lebih bagus dan terstruktur ketimbang sebelumnya. Aku hanya perlu memberikan beberapa catatan lagi sebelum menyuruhnya untuk meneruskan draft langsung kepada Javin, supaya bisa dilanjutkan ke tim publikasi.

Begitu sampai ke ruangan, aku menemukan Becca dan Nisa menyambut. Beberapa meja lain kosong. Well, bukan hal aneh. Meskipun kami punya ruangan sendiri, sebenarnya pekerjaan kami tidak mengharuskan benar-benar duduk di meja selama jam kerja. We work far from our desk, most of the time.

"Lama, ya?" tanya Nisa. "How's it?"

"Bad," aku menghela napas sambil menempati meja kerjaku.

"Not resolved yet?" Becca ikut bertanya, dan langsung kujawab dengan anggukan.

Sebagai investigative journalist, sudah wajar bila kita mengetahui beberapa hal lebih dulu, karena kita sendiri yang mencari. It takes time, sure. Dan itu menjadi salah satu keseruannya. Akan tetapi, menyimpan beberapa hal ngeri sendirian tidak semudah dan seindah dugaan. Dari kasus yang kukerjakan, bukti dan informasi baru membawaku pada asumsi bahwa kasus ini akan lebih panjang.

Well, that's how it is with politics. Ajaib juga rasanya bagaimana aku memilih politik dan kriminal sebagai bidangku, padahal sewaktu kuliah aku hampir dibuat gila karena mata kuliah tersebut.

"At least you're back, Emilia Clarke," timpal Becca lagi.

Aku memutar mata malas. Belakangan ini, Becca baru saja menonton Me Before You. Dia sempat mengirimiku pesan dan bilang hubungan dua tokoh utamanya mirip aku dan Javin. Konyol, tentu saja.

Ucapan tersebut bisa saja kuterima sebagai pujian. Tapi, aku tahu perbedaanku dan Emilia Clarke. Dia aktris. Louisa Clark adalah perannya. Fiksi. Nggak nyata. Aku, Mikaela Devada, adalah jurnalis. Perempuan. Dan hidupku sama sekali bukan rekaan. Oh, aku bahkan cukup yakin kisahku tidak cocok dijadikan tontonan.

It's a total mess, fucked up, and definetely there is no happy ending in it. But God knows I'm trying to create my own happy ending.

Dan percayalah, tidak ada nama Javin Sadhendra di sana.

"If I were her, I'll take Sam Claffin instead," balasku cuek. "He's handsome."

"Javin juga," timpal Nisa.

Sulit untuk menyanggah, karena dipastikan aku berbohong. Kebencianku pada Javin tak mengubah fakta bahwa pria itu memang tampan. Itu salah satu dari sekian kelebihannya. Namun, sekadar tampan masih kurang untuk dijadikan alasan menyukai seseorang, kan? Andai bisa, aku siap menyebutkan deretan keanehan Javin, dan kupastikan siapa pun yang mengaguminya akan berpikir dua kali.

Dia sebenarnya pemalas. Bisa lupa mandi kalau sedang liburan. Punya kebiasaan melepas kaus dan melemparnya di sembarang tempat. Sering mencuri ciuman tanpa takut komentar publik. Dan bicara soal urusan ranjang, kebutuhannya bisa membuat orang lelah karena—

Wait. Why the heck I'm thinking about him? Aku makin membuang-buang tenagaku. Informasi di bagian terakhirnya juga agak ....

Oke. Aku benar-benar harus berhenti memikirkannya. Pembicaraan ini membuatku membutuhkan kafein.

Aku beranjak dari meja, pindah ke meja kopi dekat jendela. Meski kantor ini punya pantry, bisa memiliki ketel yang bisa diraih dalam lima langkah menjadi bonus. Baru mau mengisi gelas dengan serbuk kopi, Becca lagi-lagi bersuara, "You're free tomorrow, right?"

"I'm expensive."

"Girl." Becca menggeram pelan, sementara Nisa terkekeh.

"We have a date," dia menambahkan, sehingga aku menoleh alih-alih lanjut membuat kopi.

We? Maksudnya tadi 'kami' atau 'kita'?

Seakan tahu kebingunganku, Nisa melanjutkan, "Kita. Lo juga dihitung."

Becca sepertinya mulai terbiasa akan interaksiku dan Nisa yang kerap kali berganti bahasa tiap bicara. Dia melangkah menyusulku, menyalakan ponselnya dan ditunjukkan padaku. "See? It's a group blind date—well, triple date. There will be three guys there, and I can't split into two, unfortunately."

Sebenarnya, ucapan Becca wajar. Sudah bukan hal baru soal kencan buta di sini. Aku tahu beberapa jurnalis di sini pun memiliki pasangan yang berawal dari sana. I'm not against that, actually. Masalahnya, aku yakin belum pernah mendaftarkan diri untuk ikut. Tidak berniat.

Lantas, kenapa bisa aku terseret?

"Beck, I don't think this is a good idea." Mau menggeleng pun, kepalaku terasa kaku.

"Just try it out first, okay?" Kutatap horror layar ponsel sekaligus pemiliknya bergantian, sementara Becca justru menyengir lebar, tampak bangga akan ide tersebut. Dia jelas tidak menyadari kekecewaanku—atau memutuskan untuk mengabaikannya—ketika dia berkata, "You're joining us on the date, Miki. I swear this will be fun."

Sayangnya, yang kudengar justru sebaliknya. Mereka salah mengajak orang ke dalam kencan kelompok ini. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro