36. Tiffany : Br(OK)en
"Hi high school, i'm a newcomer!"
Gadis itu sudah berdiri di depan gerbang sekolah bernama Lenald High School.
Tetapi hal itu tidak semenyenangkan seperti dugaanya. Bermula dari dicegat 3 orang kakak kelas lelaki di salah satu lorong sekolah.
"Apaan sih, Kak! Aku mau pulang!" ujar Tiffany dengan nada sedikit tinggi.
"Rendah dikit kek ngomong sama senior!" bentak salah satu dari mereka.
Sekilas Tiffany memperhatikan tag name di seragam seniornya itu. Galih Fajar S.
"Eh tuh kulit gak dikasih skincare?" lagi lagi senior benama Galih itu angkat bicara. "Gelap ih."
Tiffany akan sadar hal itu. Kulitnya yang hitam dan gendut seolah keberadaan Tiffany disekolah ini menjadi bahan olokan.
Dalam diamnya, gadis itu menunduk reflek tangannya mengepal. Salah satu hal yang ia ingat sampai saat ini. Kesalahan di masa lalu. Emosi tak boleh menjerumuskannya lagi. Terkadang ia juga membenci sesorang yang menginjak harga dirinya seperti ketiga orang dihadapannya kali ini.
"Gue lihat lo selalu sendiri? Gak ada yang mau berteman ato emang lo gak mau temenan sama kita?" Lainnya ikut berkata. Namun gadis itu masih terdiam menduduk.
Salah satu siswa lain tidak sengaja lewat dan mendengar suara pembullyan dari arah lorong itu.
"Penting banget lo ngurusin dia?"
Galih dan kedua temannya menoleh ke arah sumber suara.
Ujar dari segerumbulan senior entah dari kelas berapa. Karena kebanyakan mereka sudah mengenakan seragam LHS. Yang membedahkan, murid baru masih mengenakan seragam sekolah menengah pertama, karena masih masa orientasi.
Tiffany berada di antara mereka juga tak kalah terkejut mengetahui keberadaan seseorang yang ia kenali.
"Jangan sok! Ngutamain jabatan mulu." cibir Daffa.
Tiffany memang mengenali orang itu. Dua siswa kelas 10 --teman seangkatan Tiffany diantara gerumbulan senior yang melerainya itu.
"Sini lo kalau berani." tantang Galih.
Galih menatap sinis kepada siswa yang mengejeknya itu. Kebetulan yang mengatainya itu ialah adik kelas. Dari seragam pun sudah terlihat jelas.
"Kita sama senior loh." alih alih salah satu dari mereka berseragam putih abu-abu. "Kan lo senior. Sebanding sama kita. Daripada lawan lo cuma adik kelas."
"Basi!" ujar Galih sebelum beranjak pergi.
Kini Tiffany kembali sendiri. Hari ini ialah hari pertama kembali bertemu dengan Daffa setelah kejadian tiga tahun yang lalu. Tiffany tak menyangka akan hal itu, jauh dari dugaanya sebelumnya.
***
Sejenak ia mengalihkan arah tertuju ke arah taman belakang sekolah. Terdiam diri sejenak merenungkan beberapa hal yang kini ia lalui.
"Apa yang lo sesali gak akan merubah keadaan." seseorang dibelakang menepuk pundaknya.
"Dan terimakasih buat tadi. Setidaknya lo nolongin gue." Tak ada jawaban. Tiffany kembali terdiam terdiam memperhatikan orang itu. "Lo gak benci gue kan?" tanya Tiffany setelah beberapa detik terdiam.
Daffa memilih tak menjawab pertanyaan itu. Terlebih dulu ia sejenak memperhatikan Tiffany. Matanya membengkang, jauh kusut saat terakhir mereka bertemu. "Butuh pendengar kan? Siapa tau lo pingin cerita."
Tiffany mengangguk. "Boleh?"
Lelaki itu hanya mengangguk.
Tanpa basa-basi lagi, ia segera mencurahkan isi hatinya. Hampir tiga tahun berlalu. Hidup Tiffany menjadi datar. Orang disekitarnya berlahan mulai meninggalkannya. Terkadang gadis itu juga mulai jenuh untuk bersosialisasi kembali.
Kepergian Ifa, saudaranya seolah awal dari segalanya. Keluarganya yang dulu harmonis kini mulai terpecah. Yang dulu kedua orangtuanya masih utuh kini sudah tiada kata untuk mengingat hal itu lagi.
"Maafin gue atas kesalahan gue dulu. Gue salah, gue pantes dibenci." ujar Tiffany diakhir ceritanya.
"Yang terjadi, udah terjadi." tangkas Daffa menyender di tembok memperhatikan semak-semak disekitarnya.
Karna halnya membenci dan dibenci itu ialah sebuah hak. Meskipun terkadang kita memilih salah satunya tetapi tak akan pernah mengubah keadaan.
"Gue janji, gue bakal jagain lo!"
***
'Gelap.'
'Gendut.'
Tiffany berniat akan mengubah dirinya. Membuang dua kalimat itu.
"Pa. Aku mau beli skincare."
Seperti biasa, Rivo akan pulang larut malam. Tetapi hari ini, rupanya putrinya itu menunggu kepulangannya.
Tiffany ialah satu-satunya putri yang Rivo punya saat ini. Setelah kepergian keluarga kecilnya berlahan meninggalkannya.
Tiffany juga terkadang merasa menyendiri dari kerumunan. Dan ayahnya adalah satu-satunya orang yang masih menyayanginya.
"Buat apa, coba?" ujar Rivo kini menatap anak gadisnya.
Dirumah ini hanya Rivo dan Tiffany. Keduanya sama-sama melanjutkan kehidupan dari kejamnya takdir.
"Aku tuh malu. Mau perawatan biar kayak teman-teman aku, Pa!"
Tiffany memang gendut dan berkulit gelap. Lagi lagi ia ingin mengubah kulitnya. Meskipun warna kulitnya berasal dari keturunan.
Jauh berbeda dari kedua temannya. Raxel dan Ezza. Raxel berkulit natural. Wajahnya berbentuk overal. Gadis itu sangat royal. Bahkan Raxel-lah yang mengajaknya di lingkungan pertemanan karena Tiffany tidak sengaja membantu beberapa pekerjaan saat dalam masa orientasi siswa baru. Dan Ezza, gadis paling pendiam diantara mereka berdua. Ketiga gadis itu tidak sengaja dipertemukan dalam masa orientasi siswa baru.
Apalagi di LHS, seolah muridnya kebanyakan dari orang berada. Fashionabel. Dan selalu mengikuti trend terbaru. Tak heran, sekolah ini salah satu sekolah sekolah terfavorit di kota ini. Dari segi kecerdasaan pun mereka lebih diasa.
Yang kalian harus ketahui. Orangtuanya menuntut agar bisa memasuki sekolahan favorit itu. Dan ia sangat beruntung karena bisa memasuki sekolahan itu meski karena mengenakan jalur beasiswa. Meski sekolah swasta, Lenald High School dan beberapa cabang disekitarnya tak mau menerima sembarangan murid. Penuh dengan seleksi. Apalagi lenad high terkenal dengan nilai akademi.
Terkadang jika Tiffany dibuly, Daffa lah yang menolong gadis itu. Daffa lah tempat ia berkeluh kesah. Lelaki itu seolah menjadi pendengar yang baik.
"Lo tau kan? Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sesempurnanya manusia. Lebih sempurna, yang ciptain."
Itu lah perkataan Daffa saat dirinya menceritakan ingin merubah dirinya.
Terkadang Tiffany malu akan dirinya sendiri. Perlakuan Daffa dengan apa yang diperbuat Tiffany saat itu sangatlah tidak pantas. Tiffany seolah menghancurkan teman terdekat Daffa saat itu.
"Gue gak benci lo. Cuma hilang respect." Itu ialah jawaban dari beberapa pertanyaan. Hubungan pertemannya dengan Daffa, emang tak sebaik itu.
Mengunakan skincare, berlahan kulit Tiffany berubah. Setidaknya tidak terlalu gelap. Dari situ, Tiffany merawat kulitnya. Pola makan pun sedikit ia ubah. Kini tubuhnya tak menjadi gendut lagi. Meskipun belum sampai ke bodygoals.
Usahanya selama ini memuai hasil. Hidupnya kembali normal, tak ada orang yang mengejeknya lagi. Raxel dan Ezza seolah mendukung perubahan itu.
Tiffany masih ingat. Salah satu amanah dari saudaranya ialah menjaga Daffa. Sebab itu, Tiffany selalu menghalangi perempuan mana pun yang terang-terangan mendekati lelaki itu.
'Siapapun cewek yang berani dekatin Daffa, akan berurusan dengan Tiffany.'
Pernyataan itu memang benar.
Dari situ, gadis-gadis yang menyukai Daffa tidak akan berani terang-terangan. Paling notok, menjadi pengangum rahasia.
Hingga hari dimana, Tiffany lagi lagi mendengar berita bahwa Daffa dekat salah satu siswi murid baru bernama Alexa. Tiffany langsung menghampiri dimana kelas gadis itu berada. Yang nyatanya satu kelas dengan Daffa.
"Mana yang namanya Alexa?"
Karena merasa dihiraukan, Tiffany langsung mengebrak bangku Fio.
Kedua gadis itu kini menatapnya tajam. Tak lain adalah Fio dan Syafa. Yang Tiffany dengar mereka adalah teman perempuan Alexa yang paling dekat.
"Gue cari teman elo! Si Nerd!"
"Mana teman elo, si Nerd. Namanya Alexa? yang berani dekatin Daffa." penjelasan Tiffany cukup jelas.
Tiffany dianggap ketua Geng Bymon. Karena prilakunya lebih bar-bar dari kedua teman cs-nya itu. Raxel dan Ezza. Mereka hanya menampakan aksinya ketika berurusan dengan salah satu dari mereka. Seperti saat ini Alexa dianggap berurusan dengan Tiffany.
Hari kedua, mereka masih mengicar siswi baru yang bernama Alexa. Gadis itu secara terang-terangan mendekati Daffa. Bahkan keduanya telah menjadi gosip LHS.
BYUR!!!
"Itu pembalasan karena lo udah berani berurusan sama kita!" Raxel tersenyum miring. Cewek itu barusaja membuat tubuh Alexa basah.
Beberapa tatapan mengarah ke mereka melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalian siapaa?" Kini targetnya membuka suara siapa lagi kalau bukan Alexa?
Tiffany datang kemari karena merasa berurusan dengan Alexa, nerd baru itu.
"Oh, jadi lo yang namanya ALEXA!" tekan Tiffany menekan namanya. Gadis yang disebut namanya masih dengan santai menatap keempatnya dengan expresi datar seolah tak terjadi apapun.
"Terus kalian kesini mau ngapain? Bukannya kalian yang salah cari musuh?" Alexa bertanya balik.
"Seharusnya lo nyadar! Karna lo udah deketin Daffa! Lo tau..?" potong Tiffany cepat. Gadis itu tak mau berbasa-basi lagi. "Gue, Tiffany! Gue gak suka siapapun yang berani dekatin dia! Jauhin Daffa!! Or...? --"
Alexa memincingkan mata, memotong ucapan Tiffany, "Atau apa?"
"GUE BAKAL BUAT SURAT PERMOHONAN KELUAR DARI SEKOLAH INI UNTUK ELO, ALEXA!"
Tiffany menekan kalimatnya menatap gadis berkepang itu tajam. Padahal disana juga ada Fio, seharusnya mereka tiga lebih tau jika Fio adalah anak dari kepala sekolah.
Bukankah mereka tau kedudukan? Seenaknya berbicara seolah mereka adalah orang tertinggi. "Ralat! Lo siapa? Ngeluarin anak orang seenaknya!" ujar Fio singkat.
"Ohya? Ya,sih! Kalau bisaaa. Hm kalau gak ya, kalian sendiri yang kena. Who knows?" Alexa masih berkata dengan tatapan datar.
BRAK!!!
Tiffany mengeram kesal. Rasanya ingin menjabak gadis itu, namun sebelum mengenai Alexa seseorang memutar tangan Tiffany kasar hingga dia mendesis.
"Gak punya kaca? Lihat aja posisi lo bakal terancam." sirmik Alfian tentunya membuat mereka bertiga lebih waswas.
Kedatangan Alfian sudah membuat mereka terkejut. Tiffany tak sebodoh itu, awalnya mereka menganggap aman karena tidak kedatangan Daffa dan temannnya, apalagi Alfian satu bagaian dari mereka. Kedudukan Alfian ialah anak dari pemilik sekolah. Lelaki itu memang tak banyak bicara namun sekali bicara tak akan bermain-main dengan perkataannya.
Daffa berada di kerumunan itu angkat bicara, "Emang lo siapanya gue?" Dia berdiri di depan Alexa, kini posisinya berhadapan tepat dengan Tiffany.
"Aku kan pacar kamu, Daf!"
Tiffany mencari perhatian. Sebelum memengang tangan Daffa, lelaki itu menghimbasnya jauh-jauh. "Halu?"
"Jangan nganggu Alexa lagi!" Daffa tak segan-segan menatap Tiffany tajam mebuat Tiffany mendadak diam dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. "Karna urusan lo kali ini bukan hanya ke Alexa. Maybe? Peringatan terakhir?"
Tiffany mengigit bibirnya. Daffa tak pernah membentaknya keras seperti ini. "Kamu belain dia? It's oke!"
***
"Lo bisa gak sih, berhenti ngurusin gue?!"
"Paling enggak, lo jangan ikutin Alexa ke masalah lo."
"Lo tau, gue sama dia, udah sahabat dari dulu, sebelum lo ada."
Tiffany menundukkan kepala, tak berani menatap kemarahan Daffa. "Gue gak tau ...--"
"Gue mohon lo bisa bersikap dewasa." Daffa memotong ucapan perempuan dihadapannya kali ini.
Baginya Daffa selalu bisa membuat suasana berubah. Tak heran jika Daffa seringkali mengangapnya obsesi , bukan menjaga, jauh dari kata menjaga. "Kita sama-sama jadi diri kita sendiri, bukan jadi orang lain karena hal yang belum mungkin bisa lo sendiri bisa raih."
"Daff! Aku cuma pingin ngelindungi kamu! Meski aku tau, cara aku salah! Aku salah? Oke, aku minta maaf."
Tiffany hanya tak mau, Daffa salah memilih. Meski terkadang caranya disebut dengan Obsesi.
"Sekali gue peringatin, jangan ngangguin Alexa lagi. Karena urusan itu bukan cuma ke gue aja." ujarnya untuk terakhir kali sebelum lelaki itu meninggalkannya di taman belakang sekolah.
Dengan perkataan terakhir Daffa, gadis itu mengerutu kesal. Tiffany masih memandangi pungung lelaki itu yang kini mulai menjauh.
Tiffany tak membiarkan siapapun yang berani mencoba mendekati cowok perusuh itu bahkan mengantikan posisinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro