35. (t)he beg(i)nning o(f) the p(a)st
"Gara-gara kamu!"
"Saya yang nerima atas apa yang sudah kamu perbuat."
Satu tamparan mulus mengenai pipi Tiffany.
Gadis itu mengelus pipinya. Sakit. Namun ini tak seberapa dengan apa yang ia rasa.
Rivo dan Rifa memang sudah lama bercerai. Tiffany hidup hanya dengan sang Ayah --Rivo. Begitu juga dengan Rifa, Mamanya kini tinggal dengan keluarga barunya, meskipun kedudukannya masih sebagai orangtua Tiffany.
"Mama heran, jiwa kamu itu pscyopat atau gimana." ujar Rifa tak kalah heran.
Bagaimana tidak. Gadis itu membully lebih dari diambang batas apalagi sampai menyakiti secara fisik maupun mental. Apalagi untuk kedua kalinya di orang yang sama. Paling parah karena rencana itu disusun rapi di dalam otaknya.
"Ma.. Maaf.. --"
"Gak berlaku!" bentak Rifa kasar. "Gara-gara kamu saya kehilangan pekerjaan saya!"
Tiffany masih berdiam di tempat, ia menyerka air matanya.
Lagi-lagi karena kesalahan yang diperbuatnya. Memang. Tak lain ialah karena tidak bisa mengendalikan emosi.
"Often i say, apa yang lo sesali gak akan merubah keadaan. Right?" ujar seorang lelaki yang kini telah berada di dekatnya.
Taman belakang sekolah.
Kini mereka berdua berada disana. Usai keluar dari ruang bimbingan konseling dan mendapat tamparan. Gadis itu menuju tempat belakang sekolah setelah kepergian orangtuanya. Tempat itu menjadi tempat ternyaman bagi Tiffany.
Spontan Tiffany memeluk lelaki itu. --Bukan tak lain, Daffa. "Maafin gue. Maafin gue, Daff. Sekali lagi maafin gue."
Tak lama Daffa mendorong gadis itu agar tidak memeluknya lagi. "Itu kata maaf bukan buat gue."
"Tapi maaf karena gue sering ngecewain lo."
Daffa hanya berdehem. Dia dengan Tiffany memang tak serescpect itu. Tetapi Daffa lah yang selalu menolongnya dalam masa kesulitan setelah kepergian saudaranya.
Lalu Tiffany memberikan seutas kertas. "Itu jawaban dari beberapa pertanyaan."
Haii, My Sister :)
Semoga lo dalam keadaan baik-baik saja baca surat ini. Maafin gue yang terlebih dahulu ninggalin lo hehehe.
Maafin juga,
lo selalu ngalah demi gue.
Maafin juga
karena gue terlalu lemah.
Maaf juga, karena gue gak bisa ngucapin maaf secara langsung.
Gue emang pengecut.
Hanya kata maaf
yang bisa gue ucapkan.
Lo Tifanny dan gue Ifa.
Hampir sama kan?wkw.
Gue seneng kok
punya saudara kayak lo. :)
Maafin juga gk bisa
ngucapin langsung.
Semoga lo tetap bahagia ya,
meskipun tanpa kehadiran gue.
Tapi kenapa ya,
kita suka orang yang sama?
Takdir sekejam itu ya.
Jagain dia ya, Tif.
Kalo suatu suatu saat nanti,
takdir mempersatukan lo sama dia, jaga dia baik-baik ya,
kita gak pernah tau
apa yang semesta rencain.
u sis.
ifa :)
Daffa kini membaca surat yang Tiffany beri. "Seharusnya lo berdua lebih awal tau, gue gak milih kalian berdua, dan enga pilih salah satu dari kalian."
Surat itu salah satu dari beberapa surat yang saudara Tiffany tulis saat dirumah sakit. Diagnosa kanker darah, sebelum menghembuskan nafas terakhir.
Yang Daffa simpulkan si penulis surat, tak lain Ifa. Gadis itu nemang menyukainya saat itu. Dibilang dekat, iya. Tapi Daffa mempunyai batasan, tidak memberikan respon lebih.
Jika Tiffany menyukainya saat itu, ini ialah fakta yang barusaja terungkap. Daffa kira hanya sebatas obsesi.
"Cara lo berlebihan, dan lo tau ...posisi lo bagi gue itu cuma teman. F-R-I-E-N-D-S." ujar Daffa lagi mengingat pertanyaan dari Raxel kemarin malam .
"Masih inget kesalahan awal itu?" Daffa bertanya lagi.
"Gue ga minta lo buat ngebuly, dia! Apa yang lo buat udah keterlaluan!"
"Tapi itu semua demi lo!" ujar Tiffany lebih keras. "Gue cuma peringatin supaya gak terlalu dekat sama Daffa!"
"Cara lo salah!" balas Ifa tajam. "Bagi lo bener. Tapi cara lo salah."
Usai kejadian dimana Tiffany tidak sengaja menyekap Alexa, awalnya Tiffany tak berani mengaku namun datangnya surat layang tanpa pengirim menunjukan foto dan berisi surat seolah pengirim ingin menunjukan apa yang dilakukan Tiffany dan mengancam mereka.
Niatnya Ifa akan meminta maaf atas kelakuan sahabatnya itu. Namun hari demi hari keberadaan Daffa maupun Alexa tak kunjung bertemu.
Entah mengapa beberapa orang hari ini masih mengingatkan tentang masalah itu.
Daffa yang sedaritadi memperhatikan raut Tiffany, gadis itu seolah kembali mengingat apa yang dikatakannya.
"Coba lo inget siapa Alea?"
Alea? Alea? Itu gadis yang tidak sengaja Tiffany bully saat sekolah menengah pertama. Bukan tanpa alasan, gadis itu melakukannya.
Usai kejadian dimana Tiffany tidak sengaja menyekap gadis bernama Alea itu, hingga datangnya surat layang tanpa pengirim menunjukan foto dan berisi surat seolah pengirim ingin menunjukan apa yang dilakukan Tiffany dan mengancam mereka.
Malam itu Tiffany memperhatikan saudaranya menangis di pingir kamar. Air matanya terus mengalir dan ini untuk kesekian kalinya. Melihat itu Tiffany menyerka airmatanya, "Dont cry, Bab."
"I'm oke."
Padahal hari ini adalah hari ulangtaunnya yang ke 17 tahun. Seharusnya Ifa akan bahagia akan hal itu. Begitu juga para tamu undangan sudah mulai berdatangan.
"Happy Seventeen, My Sister." Tiffany menghiburnya lalu menata riasan make up kembali, "Make up gue mahal loh."
"Sombing amat dah," balas Ifa malah tertawa.
Kedua gadis itu sudah menata rias. Rambutnya sama-sama dikonde agar tertata rapi. Bedanya, Ifa mengenakan dres panjang tanpa lengan dan Tiffany mengenakan drees panjang lengan panjang karena tubuhnya gemuk.
"Tif. Gue cuma minta Daffa datang di ulangtahun gue apa itu berlebihan ya? Dia datang aja udah cukup." Ifa menahan tangisannya. Sesak. Tiffany memeluk gadis itu lalu mentenangkannya.
Terkadang takdir sekejam itu, kedua gadis itu menyukai orang yang sama meskipun dari awal yang berbeda.
Terkadang Tiffany mendengarkan cerita Ifa tentang Daffa ada sesak yang ia rasakan.
Toh. Kedekatan Ifa jauh lebih dekat daripada Tiffany dengan Daffa. Dari situ, Tiffany itu mencoba merelahkan sesuatu yang bukan miliknya. "Gue sedih kalo lo sedih, If."
Esok hari di Safara coffe shop. Kedua gadis tidak senagaja bertemu dengan lelaki itu, lelaki yang semalam membuat Ifa menangis. Lelaki yang tidak sengaja keduanya sukai.
Usai memesan menu, lelaki itu berjalan ke salah satu meja. Disana seorang perempuan berambut coklat pirang tersenyum ke arahnya.
"If. Ayo kita kesana."
"Ngapain ah? Gak mau nganggu." Ifa mengalihkan arah tak memperhatikan kedua remaja itu.
"Gak usah pura-pura kuat deh," cibir Tiffany detik itu pula ia menyeret Ifa yang masih terdiam tanpa minta persetujuan. "Kita gabung! Seolah gak sengaja lihat mereka."
Tiffany melancarkan aksinya. Sedangkan Ifa tak hentinya menatap perempuan itu. Siapa lagi kalau buka perempuan itu. Tidaklah asing.
Chrisyale Alexa
Sahabat Daffa.
"Daffa... Lo ada disini?.. Oh ada Alea?"
Daffa menatap Tiffany dan Ifa sejenak lalu mengangguk, "Iyaa..."
Alea atau tak lain ialah Alexa tersenyum, "Eh, hai, Tif. Hai, If..."
Keempat remaja itu masih mengenakan seragam putih biru. Coffe shop ini biasanya dikunjungi Daffa dan Alexa sepulang sekolah dikarenakan dekat dengan sekolah mereka.
Disini juga awal pertemuan Ifa dan Daffa. Waktu itu, keduanya mengantri, namun dompet Ifa tidak sengaja terjatuh saat menuju kemari.
"Happy Seventeen ya, Ifa. Maaf ya Alea, kemarin gak bisa datang ke acara ulangtahun kamu. Doanya semoga kedepan lebih baik."
"Lo kenapa gak datang?" Kini Tiffany berucap tak berbasa-basi menatap Daffa tajam.
"Ada urusan mendadak." balasnya santai.
Alexa memperhatikan Daffa intens. Ia kira semalam lelaki sudah memberitau kabar terlebih dahulu kepada Ifa karena tidak bisa datang ke acara ulangtahunnya.
Merasa diperhatikan lelaki menoleh ke arah Alexa, "Nemanin lo juga namanya urusan."
Kini kedua gadis itu memperhatikan Alexa dengan tatapan yang sulit dimengerti. Lebih baik Alexa menghindar sejenak, menghindari kecangungan. "Gue ke toilet bentar."
"Gue anter gak?"
Alexa menghiraukan itu lalu berjalan menuju toilet. Ia membasuh mukanya lalu memperbaiki penampilannya.
"Lo bisa gak sih jauhin Daffa?!"
Alexa menatap lawan bicaranya. Itu ialah Tiffany, gadis yang barusaja ditemuinya kini gadis itu seolah bertindak mengikutinya ke toilet.
"Wait. Atas dasar apa?" Alexa mengerutkan kening.
Kejadian ini sudah berulang beberapa kali, keberadaan Alexa yang selalu berada didekat Daffa membuat para gadis yang menyukai sahabat lelaki itu dianggap seolah memberi jarak. Termasuk Tiffany saat ini secara tidak langsung.
Tentunya Alexa tak mengiyakan. Alexa dan Daffa hanyalah sebatas sahabat. Keduanya boleh menjalankan dan menjalankan hidup masing-masing. Kan sahabat hanyalah mendukung jalan terbaik.
"Lagi pula gue udah pacar. Gue gak mau pacaran sama sahabat sendiri." ujarnya santai.
"Tapi lo tau gak sih? Daffa lebih prioritasin elo!"
Benar apa yang dikatakan Ifa. Lelaki itu selalu memprioritaskan. Apapun itu Alexa selalu diutamakan meskipun ia tak mau egois. Terkadang Alexa berfikir disana mungkin ada yang lebih membutuhkannya daripada Alexa sendiri.
"Gini aja, lo suka Daffa? Kalo dia pilih lo sebagai pacar, It's oke! Tapi lo harus nerima orang disekitarnya. Termasuk gue."
Usai itu mengatakan itu yang mengejutkan adalah reaksi Tiffany. Gadis itu kini mendekat ke arahnya mendorongnya ke dinding lalu mencengkram tangannya erat-erat.
"Pliss.. Lepass." decit Alexa menahan air matanya. Sakit.
Hal itu tak membuat Tiffany melepaskan cengkramannya. Gadis itu malah mencekiknya lalu menumpahkan air berwarna hijau berbau kimia dari dalam tasnya ranselnya.
"Fucking bith." desak Alexa. Pasrah. Gadis itu memeluk kedua kaki di sudut ruangan, menumpahkan segala isak tangis.
"Kalau ada yang nolong lo dalam keadaan selamat. Berarti lo selamat." pesan Tiffany terakhir kali sebelum meningalkannya di toilet. Tak lupa ia mematikan saklar lampu.
"Itu ialah orang yang sama dgn apa yang lo lakuin kemarin."
Kemarin? Gadis itu mengingat baik. Dan hari ini ia mendapat hukuman atas apa yang diperbuatnya.
Tiffany kembali bertanya memastikan, "Nerd?"
"It's course. Same person."
Keduanya reflek menoleh ke arah sumber suara. Tiffany yang mengetahui kehadiran orang itu menatap tak percaya.
Gadis berkepang itu sedari sudah berdiri di balik taman belakang sekolah. Pesan dari Daffa sebagai permintaan maaf membuatnya beralih ke mari.
"Kan gue udah bilang, permainan lo dari awal udah salah, so, I'm the same person." Alexa tersenyum menyerigai sinis.
Disanalah pertama kali Alexa trauma. Trauma kepada siapun yang mendekati Daffa, entah mengapa lelaki itu selalu mendahulukannya.
Meskipun masalah sepele, pembullyan bisa merusak mental maupun fisik dan trauma itupula membuat Alexa disarankan pskiater untuk tidak bersekolah di Indonesia.
Saat itu, Alexa dipindahkan ke negri kincir angin, bersekolah disana namun tetap dipandu dengan pskiater untuk menghilangkan traumanya. Tepat kenaikan kelulusan, trauma sudah membaik, Alexa memilih kembali ke Indonesia.
Dari kejadian itu pula, salah satu alasan, kenapa Alexa berani menentang siapapun yang membully-nya. Alexa terkadang takut kejadian yang sama terulang kembali, dan satu per satu fakta yang ia terima bahwa Tiffany yang bersekolah di Lenald High ialah Tiffany yang sama pula. Same person. Tiffany yang dulunya gendut sekarang berubah dratis.
"Iya, gue salah gue mnta maaf." ujar Tiffany berlahan.
Perempuan yang kini tak memiliki rasa kemanusiaan sedikit pun meminta maaf. Tetapi kini semua nasi sudah menjadi bubur.
Tiffany juga seharusnya bersyukur karena mereka memberikannya kesempatan kedua. Surat yang diterima Ifa saat itu ialah sebagai petujuk.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro